Jumat, 12 Juni 2020, diadakan webinar untuk para skolastik yang mengundang juga keluarga Ignasian dari berbagai kelompok seperti CLC, Magis, Mitra Ignasian, Kelompok Ignatius dan lainnya. Kegiatan ini dinamakan bincang bersama yang bertemakan “Faith in the Time of Pandemic” bersama Pater Luis López-Yarto Elizalde, SJ (Editor Jurnal Manresa) dan Pater Dominico Octariano, SJ, langsung dari Salamanca, Spanyol.
Pater Luis López-Yarto Elizalde, SJ, adalah seorang editor Jurnal Manresa, sebuah jurnal spiritualitas Ignatian di Provinsi Spanyol, dan Pater Dominico Octariano, kandidat master spiritualitas. Mereka mengajak kita berbincang-bincang tentang pengalaman St. Ignatius yang identik dengan masa-masa pandemi Covid-19 serta melihat dan kemudian membadankan discernment tersebut dalam hidup kita sehari-hari.
Luka dan Trauma St. Ignatius
Luis-Yarto mengawali aktualiannya dengan mengisahkan situasi tiga luka yang dialami Ignatius, yaitu luka batin karena ibunya yang meninggal saat ia lahir, luka fisik saat di pamplona dan luka jiwa saat ia di Manresa. Berbagai penyakit yang dialami Ignatius selalu mengajarkan sesuatu bagi dirinya. Maka, Ignatius memberikan teladan kepada kita, bukan dari pemahamannya akan sesuatu, melainkan dari pengalamannya akan sakit dan penyakit yang dideritanya. Bukan Ignasius yang mengajarkan sesuatu pada kita, tetapi dia yang selalu belajar sesuatu dari sakit-penyakit.
Luka awal yang dialami Ignatius adalah kematian Ibunya. Hal ini telah mengajarkan Ignatius untuk selalu bertindak sendiri dan mandiri. Tindakan ini, bisa dikatakan, menjadi cikal bakal dari magis, karena ia belajar untuk bisa melakukan sesuatu lebih dari yang lainnya, tanpa dukungan orang-orang terdekatnya. Tujuannya agar ia bisa disukai orang lain, terutama oleh ayahnya, sehingga ia dapat dihargai.
Dengan demikian, ada tiga tahapan yang dialami Ignatius, yaitu luka (yang membuatnya shock) kemudian lockdown (yang membuatnya harus terisolasi, harus menyendiri dan merenung-berefleksi) dan akhirnya itu semua mengubah sikap dan pandangannya akan hidupnya.
Dalam berbagai pengalaman yang dialaminya, pola yang dialami Ignasius, selalu seperti ini, yaitu Luka (kaget, shock), lockdown (sendirian, isolasi, refleksi) dan perubahan sikap dan tujuan hidup. Tiga tahap ini selalu berulang lebih dari sekali.
Dalam konteks tersebut, Serikat Jesus dilahirkan dalam situasi pandemi. Gereja yang sedang sakit membuatnya merasakan suasana yang rentan, terisolasi, dihina, harus berubah dan berusaha menolong yang lemah. Dilihat dari situasi ini, Serikat Jesus lahir bukan karena sebuah kekuasaan atau prestasi yang telah dicapai namun karena Ignatius dan kawan-kawan merasa dirinya rentan dan tak berdaya. Jika kita belajar dari situasi ini maka kita bisa melihat kalau manusia itu rapuh. Namun, dari kerapuhannya ini bisa lahir belas kasih.
Penyintas Covid-19
Luis-Yarto sendiri mengatakan bahwa ia sendiri harus berjuang dengan Covid-19. Pada awalnya ia merasakan desolasi dengan Covid-19. Namun seiring waktu, dengan adanya waktu hening dan sendiri, ia mulai menerima penyakitnya tersebut dan mengatakan dalam dirinya bahwa penyakit Covid ini merupakan “a real gift” dari Allah. Hadiah yang membuatnya merasa rentan dan sepertinya kematian sudah di depan mata. Seperti Yesus di taman Getsemani, ia juga mengatakannya, “Saya tidak ingin berada dalam situasi ini namun jika Engkau menginginkannya, marilah kita bersama-sama berjuang dengan penyakit ini, tidak saya sendirian”. Rasa takut membuat kita makin manusiawi. Janganlah takut dengan rasa takut. Dalam suasana desolasi, kita harus belajar dari Ignatius. Jangan pernah lari dari apa yang terjadi. Jangan ada penolakan. Penolakan adalah musuh kita (Discernment 12).
Maka menurutnya kita tidak berlu berubah banyak dalam situasi pandemi ini. Kita tetap akan menjadi manusia yang sama seperti sebelum pandemi. Namun yang membuat kita bisa berdamai dengan situasi ini adalah kemauan kita untuk menerima dan berjuang dengan situasi pandemi yang tidak mengenakan dan situasi ini harus kita perjuangkan bersama-sama. Sangat tidak mungkin untuk keluar dari situasi desolasi sendirian.
New Normality
Menghadapi new normality, mari kita menjadi diri kita sendiri, sama seperti sebelumnya, tapi lebih kuat. Kita perlu membangun kesadaran baru kita setelah pandemi ini. Kita harus bisa melawan dan memproteksi diri terhadap virus tersebut. Meskipun tidak ada jaminan apakah kita akan bertahan atau tidak melawan virus tersebut, namun setidaknya kita dapat mengajak banyak orang untuk memiliki harapan untuk masa depan mereka masing-masing. Jangan pernah meyakinkan orang lain dengan mengatakan “setelah adanya vaksin, semua akan kembali seperti sedia kala kembali”. Saya rasa tidak semudah itu karena lewat pandemi ini kita diajak untuk percaya akan adanya berbagai perubahan yang mengarahkan kita pada hal-hal yang lebih baik lagi.
Kita harus tetap setia kepada Tuhan kita, Yesus Kristus. Jangan memuja berhala. Uang, penghargaan, dan mungkin juga agama adalah berhala. Kita harus semakin mendalam dengan Yesus. Kita harus lebih loyal kepada komunitas kita. Perbarui hubungan kita dengan orang yang menggerakkan perhatian dan keyakinan kita. Temukan kedalaman iman kita. Kita dapat melakukannya jika saya kita bisa mengolahnya bersama orang-orang disekitar kita. Ini yang baginya disebut sebagai “rasa humor transendental”. Karena selera humor memberikan nilai nyata bagi semua yang ada di dunia ini. Tuhan memiliki selera humor tinggi. Dia tahu pandemi ini “kecil” dibandingkan dengan hal-hal lain dalam sejarah, dulu dan sekarang.