Minggu, 9 Agustus 2020, penggembalaan Paroki St. Petrus Kanisius, Wonosari resmi diserahkan dari Serikat Jesus ke Keuskupan Agung Semarang. Ekaristi konselebrasi dipimpin oleh uskup Keuskupan Agung Semarang Mgr. Robertus Rubiyatmoko didampingi oleh Provinsial Serikat Jesus Rm. B. Hari Juliawan, SJ, pastor paroki lama dan baru serta para pastor paroki di Gunungkidul. Dalam sambutannya, Mgr. Rubiyatmoko sangat mengapresiasi kerja keras para Jesuit di Wonosari. Pada hari sebelumnya, 8 Agustus 2020 dilakukan timbang terima paroki dengan disaksikan oleh Vikaris Episkopal Yogyakarta Rm. Adrianus Maradiyo, Pr, Ekonom Serikat Yesus Rm. J. Sigit Prasaja, SJ, dan Ekonom Keuskupan Agung Semarang Rm. I. Aria Dewanto, SJ. Sesudah timbang terima dan serah terima paroki, dua Jesuit terakhir di Wonosari, Rm. M. Irwan Susiananta, SJ dan Rm. JB. Clay Pareira, SJ kemudian digantikan oleh dua imam diosesan, Rm. N. Sukarno Siwi, Pr dan Rm. I. Sapta Adi, Pr.
Sejak akhir tahun 1923, dua imam Serikat Jesus, Rm. Henricus van Driessche, SJ dan Rm. Franciscus Xaverius Strater, SJ mulai berkarya di Wonosari. Dengan dibantu oleh para katekis awam mereka mewartakan Injil di seluruh penjuru Gunungkidul. Mulai tahun 1932 rumah Bapak Wongsosugoto disewa dan dijadikan kapel. Sekolah misi (Kanisius) juga bertumbuh subur di pelbagai penjuru Gunungkidul. Pada 28 Desember 1935, gedung gereja Wonosari seluas 12 X 15 m diberkati oleh Rm. Strater, SJ. Gereja ini merupakan stasi dari Paroki Kotabaru, Yogyakarta. Kemandirian sebagai paroki ditetapkan pada 12 Juli 1957 lewat pengesahan PGPM Paroki Wonosari. Gunungkidul Handayani yang identik dengan tiwul, belalang, pantai, dan pegunungan karst, mencakup 46,63 % dari luas DIY.
Kepak sayap Paroki Wonosari sebagai paroki induk melebar dengan mekarnya dua paroki baru. Stasi St. Petrus dan Paulus Kelor di bagian Timur menjadi paroki mandiri pada 2 Agustus 2006. Stasi St. Yusuf Bandung di bagian Barat menjadi paroki mandiri pada 8 Oktober 2017. Jumlah umat Paroki Wonosari sendiri tercatat setidaknya 4.900 jiwa. Gedung gereja yang baru diberkati pada 27 April 2006 menggantikan gedung gereja lama yang kini menjadi Aula St. Ignatius Loyola.
Setelah Serikat Jesus melakukan pemetaan dan pengukuran dalam eksamen karya, dengan diskresi yang panjang, akhirnya diputuskan bahwa paroki ini diserahkan kembali dalam pangkuan Keuskupan Agung Semarang. Selain Jesuit, sudah cukup banyak para imam Diosesan dan MSF yang sebelumnya pernah berkarya bersama di Paroki Wonosari. Kiprah bruder Jesuit juga sangat menguatkan pelayanan para pastor paroki. Selama 97 tahun, puluhan panggilan imam, suster, dan bruder (Pr, SJ, SCJ, SVD, MSF, MSC, AK, OSA, OP, CB, SFS, SMFA, FIC, CSA, dll.) bersemi di tanah Gunungkidul Handayani. Gua Maria Tritis yang diprakarsai sejak 1973 kian berkembang menjadi tempat ziarah yang menawan. Benih iman yang ditanamkan dan dipupuk Serikat Yesus selama 97 tahun di Wonosari akhirnya dikembalikan ke empunya Gereja, yakni Bapak Uskup, agar dilanjutkan dan dikembangkan oleh para imam diosesan.
Salah satu katekis senior, Bapak Heribertus Subari yang tinggal di dekat gereja mengatakan bahwa Jesuit sangat berperan dalam kehidupannya. Tuturnya, “Pengalaman paling berkesan dengan Rm. Widiyana, SJ. Beliau yang membimbing saya sebagai menjadi guru dan katekis. Saya diminta mengajar agama katolik di sekolah-sekolah negeri, tanpa imbalan / gaji. Saya hanya diberi jas hujan, payung dan senter oleh Romo. Kondisi jalan waktu itu belum seperti ini. Saya waktu itu naik sepeda onthel dan mengajar ke lingkungan sampai malam.”
Br. Yohanes Sunari, SJ, bruder Jesuit asli Pulutan, Wonosari mengisahkan masa kecilnya. “Saya mengalami pelayanan SJ sejak di SD Kanisius Pulutan II. Para pastor, Rm. Bratakartana atau Rm. Mardiwidayat memimpin misa lingkungan dan pendalaman iman dengan semangat. Rm. L. Sutarno, SJ sebagai romo muda melayani misa lingkungan sampai terperosok di jalan gelap dan licin sehabis hujan. Kami bersama umat menarik dan mendorong mobil jip tua tersebut. Saya juga mengikuti pendalaman iman lingkungan setiap minggu ketiga di hari Kamis malam oleh Br. Kirja. Minat umat sangat luar biasa sehingga lesehan di halaman luar rumah. Pendalaman iman lingkungan lebih diminati daripada rekoleksi di kapel.”
Sebagai suster kelahiran Gunungkidul dan pernah berkarya di sana, Sr. M. Magda, AK mengatakan, “Romo-romo SJ adalah pelayanan total, semangat kemiskinan, kesederhanaan, kerja keras, kalau misa itu komunikatif dengan umat, semua disapa. Romo-romo SJ memberi kekuatan iman. Saya ingin jadi Suster supaya bisa ramah, lembut seperti Rm. Puja Harsana, SJ. Romo-romo SJ sangat membantu, mendukung, ngopeni karya, dan hidup para Suster AK.”
Adieu, Paroki Wonosari! Terima kasih atas kebersamaan, suka dan duka bersama Serikat Yesus selama 97 tahun. Terima kasih karena turut menggemblengku dengan baptisan, keceriaan sekolah Minggu, keseruan lomba misdinar, misa pelajar hari Jumat, dan tempatku merayakan misa perdana. Dengan langkah haru aku menyaksikanmu berpisah dari Serikat Yesus, tetapi engkau selalu menjadi Rahim imanku.
Rm. Surya Awangga, SJ, Jesuit kelahiran Wonosari. Pemegang Kartu Baptis Paroki Wonosari LB XX/ No. 168.