Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak awal 2020 menyebabkan banyak negara melakukan lock down termasuk Indonesia. Kota dan provinsi memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dalam situasi pandemi ini, sebagian besar orang merasa tidak pasti akan masa depannya. Beberapa teman saya pun telah kehilangan pekerjaan karena imbas pandemi. Ruang gerak menjadi terbatas. Untuk mencegah penularan Covid-19, banyak aktivitas pelayanan terpaksa dihentikan. Hal ini membuat saya gelisah. Setiap bangun pagi saya berdoa kepada Tuhan supaya diberikan kesempatan untuk menjadi pembawa terang dan damai bagi sesama.
“Dewi, apakah berminat menjadi Fasilitator Latihan Rohani Pertama (LRP),” demikian pesan WA dari Romo Marwan pada akhir bulan April 2020. Romo Marwan bersama beberapa rekan Jesuit berencana menyelenggarakan program LRP yang akan dilaksanakan secara online. Saya langsung mengiyakan tawaran itu. Bekal pengalaman mengikuti LRP pada 2015 dan pengulangannya pada 2016 membuat saya merasa mampu menjadi fasilitator.
LPR pertama kali saya ikuti pada saat Romo Marwan sedang menjalani tersiat di Melbourne. Dia belajar LRP dari Michael Hansen, SJ, dan mengajak beberapa teman di Paroki Blok Q, Jakarta, untuk mengikuti LRP ini. Karena posisi pemberi LRP dan peserta berjauhan, bimbingan dilakukan secara online melalui WhatsApp Grup (WAG). Kelompok mengadakan percakapan rohani dengan bertemu langsung, namun pengalaman doa dibagikan juga lewat WAG dan email. Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa cara ini akan dilakukan kembali lima tahun setelah saya mengikutinya. Kali ini saya bukan lagi peserta, melainkan pemberi atau fasiliator LRP.
Nyali saya sempat ciut melihat mayoritas rekan fasilitator lain adalah para romo dan frater Jesuit. Mereka pasti lebih mumpuni dan memiliki pengalaman lebih banyak tentang Latihan Rohani. “Aduh, saya ini lagi ngapain sih? Bagaimana kalau nanti kelompok tidak komit dalam pertemuan percakapan rohani? Bagaimana kalau nanti ada yang mundur?” demikian seribu bayangan menakutkan melintas di benak saya. Namun saya terus melangkah maju terutama setelah mengikuti pertemuan pembekalan dan perutusan Fasilitator LRP Season 1. Di situ saya mendapat peneguhan melalui Meditasi Perutusan. Saya memilih perikop dari Injil Matius (9:36-38) tentang Yesus yang hatinya tergerak oleh belas kasihan melihat banyak orang lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. Kepada para murid Yesus berkata, “Mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.” Merenungkan kata-kata ini, saya merasa dipanggil oleh Tuhan sendiri untuk melayani melalui LRP.

Kelompok saya terdiri dari 5 perempuan dengan usia yang tidak terpaut jauh. Kelompok ini cukup solid dan semuanya berkomitmen tinggi dalam pertemuan kelompok yang dilaksanakan melalui zoom meeting setiap hari Minggu. Saya selalu mendoakan “Berkat Perutusan” yang wajib didoakan sebelum memulai percakapan rohani. “Berkatilah seluruh pribadiku, untuk menjadi pemberi kedamaian-Mu,” itulah sebagian kalimat yang paling mengesan bagi saya dari doa ini. Dengan doa ini, saya menjadi percaya diri dan merasakan penyertaan Tuhan dalam setiap perkataan dan tindakan saat mendampingi kelompok. Kami menjadi teman seperjalanan yang saling meneguhkan dan menguatkan satu sama lain. Kelompok masih tetap ada sampai saat ini meskipun LRP Season 1 sudah selesai.
“Dewi, saya mau mengajak beberapa Fasilitator menjadi pengurus LRP, apakah kamu berminat?” begitu WA dari Romo Marwan setelah LRP Season 1 selesai. Romo mengajak saya dan beberapa rekan fasilitator untuk menjadi Pengurus LRP. Dengan adanya kepengurusan, program LRP season berikutnya diharapkan lebih lancar. Tawaran langsung saya iyakan juga ketika Romo Marwan meminta saya menjadi Pengurus bidang Pendampingan dan Pengembangan Fasilitator. Pada Season 2 saya memang memutuskan untuk libur dari peran fasilitator dulu. Sebagai orang introvert, saya perlu perjuangan besar mendampingi orang-orang yang belum saya kenal. Saat menjadi fasiliator, energi saya habis terkuras dan saya merasa kurang produktif. Dengan mengambil peran menjadi Pengurus yang bekerja di belakang layar, saya pikir saya dapat lebih produktif.
Awalnya tidak mudah juga menjalani peran sebagai pengurus. Tim masih berproses dan saya belum mempunyai gambaran yang jelas apa yang mesti saya kerjakan. Masing-masing pengurus hanya diberi tahu area bidang yang mesti kami tangani, namun uraian tugas mesti dicari sendiri sambil berproses. Selain itu, karena ini adalah program yang dilaksanakan secara online, saya pun mesti belajar menggunakan aplikasi baru seperti Zoom meeting dan Google sheet. Saya perlu berjuang mengalahkan kecenderungan resisten dalam mempelajari program internet. Belajarnya mesti satu per satu dan diulang ulang supaya paham. Hal ini cukup menyita waktu.
Sebagai Pengurus Bidang Pendampingan dan Pengembangan Fasilitator, saya berusaha mengenal para fasilitator dan rajin menyapa mereka. Setiap minggu saya mengirimkan pesan kepada mereka entah untuk sekedar menyapa, maupun mengingatkan tugas yang harus mereka lakukan, mendengarkan kesulitan mereka dan memberikan solusinya. Semua dilakukan melalui pesan WA. Meskipun sudah ada WAG fasilitator di mana pesan dan panduan tentang tugas fasilitator disampaikan, tidak semua pesan terbaca semua fasiliator. Dan di situlah saya berperan.
Dalam tim Pendampingan dan Pengembangan Fasilitator sebenarnya saya memiliki rekan kerja. Namun karena ada kesalahpahaman informasi, kerjasama kami kurang bagus dan saya lebih banyak bekerja sendiri. Hal ini menjadi tambahan tantangan bagi saya dalam melaksanakan tugas. Saya pun sempat merasa sendirian. Namun saya percaya ini bagian dari proses yang Tuhan rencanakan dan Dia tidak pernah membiarkan sendiri. Selalu ada pertolongan dari pihak lain yang membantu saya menyelesaikan tugas yang harus saya kerjakan.
Pada LRP Season 3, tugas saya semakin jelas terutama ketika Romo Marwan mengajak anggota tim Pengurus merumuskan job description masing-masing bidang dan rencana kerjanya. Kali ini saya juga mendapat rekan kerja yang baru, yaitu Frater Craver Swandono SJ. Sempat merasa pesimis jangan-jangan yang terjadi nanti seperti yang dulu juga. Namun Frater Craver mengambil inisiatif lebih dulu dengan mengkontak saya dan bertanya apa yang bisa dilakukan. Saya merasa banyak dibantu oleh Frater Craver. Kerja sama kami solid dan kami tidak sungkan mendiskusikan kesulitan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tugas. Di sini saya mendapat energi yang lebih besar karena bekerja lebih efektif dan bersyukur melihat program pendampingan fasilitator bisa berjalan lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Saat ini pandemi masih belum berlalu. Saya bersyukur diberi kesempatan melayani melalui Program LRP dan ini merupakan jawaban doa saya kepada Tuhan. Ketika saya mengatakan “ya” terhadap tawaran dari Tuhan ini, memang banyak tantangan yang harus saya hadapi. Namun, saya percaya Tuhan selalu menyediakan jalan keluarnya; saya tinggal meminta saja. Dan saya sugguh mengalami bahwa Tuhan memang menyediakan apa yang saya butuhkan. Relasi saya dengan Tuhan pun semakin dekat dan saya semakin mampu melibatkan Tuhan dalam segala aspek hidup saya. Banyak pengalaman menyenangkan yang saya peroleh dengan terlibat dalam program ini dibandingkan kesulitan yang mesti dihadapi. Selain mendapat teman baru, saya juga memperoleh wawasan baru tentang Spiritualitas Ignasian. Saya pun mendapat peneguhan melalui pengalaman para fasilitator dan peserta yang disharingkan melalui WAG atau pesan WA personal. Saya menjadi lebih tenang dalam menjalani kehidupan sehari hari di tengah masa pandemi ini. Harapan saya program ini akan terus berjalan sehingga anugerah LRP dan Spiritualitas Ignasian dapat dialami oleh semakin banyak orang. Jika pandemi sudah selesai, semoga dapat diadakan acara off line untuk para fasilitator dan peserta, misalnya rekoleksi atau retret bersama.
Dewi Ambarwati