Pilgrims of Christ’s Mission

Penjelajahan dengan Orang Muda

Penjelajahan dengan Orang Muda

Sebuah Catatan di Satu Semester

Perkampungan Sosial Pingit Seperti biasa, pada Senin sore saya bersiap dan bergegas terutama karena langit sudah berubah menjadi gelap. Doaku sore itu semoga hujan tidak turun sebab menurutku hujan hanya romantis bagi mereka yang mampu, yang mempunyai privilese untuk melihat indahnya rintik hujan dari balik kaca mobil. Namun tidak untuk penunggang ojek online seperti saya, pengguna kendaraan roda dua dan transportasi umum. Juga tidak romantis, terutama bagi  orang-orang yang harus mencari rezeki di jalanan. Petang itu, kami sudah janjian dengan anak-anak di Perkampungan Sosial Pingit (PSP) untuk memasak bersama, sebuah rencana sejak beberapa minggu sebelumnya. Ini harus terlaksana, sebab jika gagal, tentu anak-anak sakan sangat kecewa.    Malam itu kami akan masak seblak sebagai menu utama. Berbekal resep hasil berguru dari adik dan cookpad, merapal doa dan harap di hati kepada Sang Penentu Hidup supaya kelas perdana memasak kami hari itu berjalan lancar dan mudah, saya pun berangkat dari rumah menuju Pingit dengan wajah yang berusaha terlihat yakin meski hati khawatir tidak karuan. Rasa cemas muncul karena takut perkakas masak ada yang terlupa, bahan masakan ada yang terlewat, bumbu yang sudah diracik dari rumah tidak cukup, hingga  rasa takut jangan-jangan kompor gunung yang kami sewa tidak bisa bekerja ciamik layaknya kompor-kompor rumahan pada umumnya.    Tak disangka, anak-anak PSP luar biasa antusias terhadap kelas memasak ini. Bukan hanya dari kelas inti yang kami ampu, yaitu anak-anak SMP, tetapi juga anak-anak dari kelas sebelah juga sama bersemangatnya. Seperti biasa, anak-anak lebih memilih kelas diselenggarakan di Balai karena sirkulasi udara yang lebih terbuka dan mereka merasa lebih nyaman dan leluasa. Kelas memasak malam itu juga kami selenggarakan di Balai. Kami berdoa bersama sebelum memulai kelas. Salah seorang dari anak-anak kami pasti akan bertugas untuk memimpin dengan doa yang sangat singkat, dan tak jarang, sambil bercanda. Tetapi sepertinya pertanyaan musikus Sal Priadi dalam lagunya Gala Bunga Matahari tentang apakah Dia suka bercanda? terjawab malam itu. Sepertinya Dia memang suka bercanda sebab nyatanya doa kami yang kurang ‘serius’ pun tetap didengar dan dikabulkan. Doa kami malam itu adalah semoga kelas memasak pada malam itu berjalan dengan sangat riang, mudah, dan penuh kehangatan. Baik laki-laki maupun perempuan sangat bersemangat, bahu-membahu mempersiapkan semuanya, ikut mencuci sayur, memotong bahan isi seblak, hingga menyalakan kompor. Waktu terasa berjalan dengan cepat dan kelas kami pun melebihi jam pembelajaran sehingga anak-anak dari kelas lain untuk ikut bergabung memasak dan menyantap bersama hasil masakan perdana ini. Rasa masakannya? Lumayan enak.     Memang sejak awal kami terpilih untuk bergabung menjadi sukarelawan di Perkampungan Sosial Pingit, ada beberapa pesan yang menyarankan bahwa sedapat mungkin, materi yang kami akan berikan kepada anak-anak bukanlah materi pembelajaran yang mirip seperti silabus mata pelajaran mereka, namun sesuatu yang berbeda. Kami para sukarelawan yang tergabung ke dalam Tim SMP dari pertama urun rembug, kami memilih beberapa core values yang akan menjadi ‘benang merah; dari materi kami selama setahun ke depan, yaitu Survive and Sustain. Kami ingin materi yang akan kami bagi selama setahun ke depan, meskipun tidak banyak, namun bisa masuk menjadi ‘core memories’ anak-anak yang akan selalu mereka ingat, rasa dan gunakan ketika kelak mereka dewasa. Seperti kelas memasak yang kami pilih untuk malam ini, kelas ini memang sudah masuk ke dalam silabus materi rencana pembelajaran kami untuk satu tahun ke depan, karena untuk anak-anak kami yang memang baru mulai memasuki masa SMP, dimana mereka juga mulai masuk ke dalam fase pubertas dan pencarian jati diri, kami berharap materi-materi yang kami berikan kepada mereka akan membantu mereka menghargai dan sabar terhadap yang namanya ‘proses’. Proses daur hidup yang tidak selalu gembira. Sebelum kelas memasak ini, kami juga memberikan mereka kesempatan untuk berkreasi menghias kue untuk melatih kreativitas mereka. Harapan kami, kelak di masa depan, mungkin ada dari mereka yang tertarik untuk menjadi seorang Chef handal atau jika harapan itu dianggap terlalu tinggi, paling tidak suatu saat ketika kesulitan mendapatkan pekerjaan, mereka bisa membuat usaha sendiri, menjadi pengusaha makanan gerobak. Sekali waktu, kami juga pernah dalam satu jadwal kelas, memberikan mereka tantangan untuk mengisi peta buta negara-negara di kawasan regional Asia Tenggara, harapan kami, dengan itu mereka tahu bahwa ada kehidupan lain di luar Pingit, bahkan di luar Indonesia. Jika berharap salah satu dari mereka berhasil menjadi Diplomat juga terlalu muluk, setidaknya minimal mereka tahu bahwa mereka mungkin suatu hari nanti bisa bertahan hidup dengan menjadi pejuang devisa di negara tetangga.   Kembali kepada proses pembelajaran kami di kelas memasak malam itu. Ada satu catatan yang mungkin akan saya ingat dan menjadi salah satu pembelajaran hidup berharga untuk saya selamanya. Ada satu momen, di tengah proses kami memasak, kami kehabisan bumbu penyedap. Seorang anak perempuan kecil, dengan wajah lugu dan suara lantang langsung menawarkan diri kepada saya. “Mbak, aku belikan ya bumbunya di warung atas sebentar?”. “Loh, memangnya ga jauh? Sebentar biar Mbak minta tolong kakak yang lain untuk belikan, Mbak juga ambil uangnya dulu ya,” jawab saya. “Ga usah Mbak, kelamaan nanti, biar aku belikan saja, aku ada uang kok,” ucap gadis kecil itu sambil menunjukkan uang seribuan nya ke saya. “Loh jangan, masak pakai uang kamu, sebentar ya biar Mbak minta kakak sukarelawan saja yang belikan” tegas saya. “Gapapa Mbak, biar pakai uang aku aja, lagian kan ini untuk kita makan rame-rame juga, jadi ya gapapa,” ujar gadis kecil itu tetap memaksa dan seketika langsung lari pergi menghilang, menuju warung di atas. Seketika saya terdiam dan terhenyak. Fokus saya terpecah. Perasaan kaget, haru, dan senang menjadi satu. Ada perasaan hangat yang menjalar. Dari penampilan gadis kecil itu, bisa jadi, uang seribu yang ia tunjukkan kepada saya adalah uang jajan satu-satunya yang ia punya di hari itu, namun dengan lantang dan berani, ia tawarkan uang satu-satunya itu tanpa rasa takut, alasannya pun luar biasa, karena nanti masakan ini juga akan dimakan bersama-sama. Ucapan yang berjiwa besar dan tanpa rasa takut sedikitpun, terucap dari bibir seorang anak kecil.    Momentum itu membuat saya akhirnya merenung. Sambil memperhatikan sisa menit-menit terakhir menuju berakhirnya kelas kami di malam itu. Mungkin dunia orang dewasa menjadi sangat rumit karena tanpa sadar, seiring proses kita menjadi tua dan dewasa, perlahan kita juga

Penjelajahan dengan Orang Muda

Café Puna: “Discerning the Will of God”

Pada hari Kamis, 22 Mei 2025, komunitas SJ Pulo Nangka menyelenggarakan kegiatan Café Puna (Café Pulo Nangka), sebuah forum santai dan inspiratif untuk berbagi pengalaman dalam menghidupi spiritualitas Ignatian bersama para Frater Serikat Jesus Unit Pulo Nangka. Kegiatan ini berlangsung mulai pukul 19.30 hingga 21.00 WIB dan dilaksanakan secara hybrid, yakni on-site di Komunitas Pulo Nangka serta secara daring melalui platform Zoom.   Kegiatan bertajuk “Discerning the Will of God” ini dihadiri oleh 65 peserta secara langsung dan 50 peserta secara daring, yang terdiri dari umat lingkungan, OMK, mahasiswa, kelompok MAGIS, serta para religius lain yang memiliki ketertarikan pada dinamika hidup rohani dan proses discernment (membedakan kehendak Allah) dalam spiritualitas Ignatius Loyola.   Sesi utama dipandu oleh Frater Herdian, S.J. dan Frater Pond, S.J. yang membawakan pembahasan mengenai tiga waktu diskresi dalam spiritualitas Ignatian. Fokus utama malam itu adalah pada waktu ketiga—yakni momen diskresi di mana seseorang tidak berada dalam kondisi pengalaman batin yang kuat (waktu pertama) maupun gerak rasa yang mencolok (waktu kedua), tetapi mengambil keputusan melalui pertimbangan akal budi yang jernih dan tenang.     Disampaikan pula bahwa pertimbangan akal budi dalam waktu ketiga tidak bersifat kering atau semata-mata rasional. Diskresi ini tetap mengandaikan kebebasan batin, yakni keterbukaan dan keterlepasan dari ketertarikan pribadi yang mengaburkan pandangan. Kebebasan ini memungkinkan seseorang untuk memilih bukan hanya apa yang baik, melainkan apa yang lebih memuliakan Tuhan dan membahagiakan dirinya secara mendalam dan sejati.   Sesi diakhiri dengan tanya jawab interaktif dan sharing pengalaman singkat dari beberapa peserta yang menyoroti tantangan konkret dalam menjalani proses discernment, terutama dalam konteks pilihan hidup dan pekerjaan. Pada sesi ini, pertanyaan-pertanyaan dari para peserta dijawab oleh para Pater SJ yang hadir baik secara langsung maupun online. Mereka adalah Pater Sardi, Pater Effendi, Pater Siwi, dan Pater Widi. Selain bahwa kita harus cermat dalam melakukan diskresi, para penanggap menegaskan pentingnya membangun kebiasaan refleksi harian dan pendampingan rohani sebagai sarana konkret untuk menumbuhkan kepekaan rohani dalam membuat keputusan-keputusan penting.   Akhirnya, kegiatan ini menjadi ruang formasi rohani yang hangat, terbuka, dan mencerahkan, yang diharapkan terus berlanjut secara berkala sebagai wadah bagi kaum muda dan siapa saja yang ingin mendalami spiritualitas Ignatian dalam kehidupan sehari-hari.   Kontributor: Sch. Alexius Aji Pradana, SJ – Humas Café Puna

Penjelajahan dengan Orang Muda

“By Healing the World, We Rise Together”

Ekaristi Kaum Muda Johar Baru 2025 Sabtu, 17 Mei 2025, Skolastikat SJ Unit Johar Baru kembali menggelar Ekaristi Kaum Muda (EKM) sebagai bagian dari tradisi kreatif dan reflektif komunitas skolastik SJ Unit Johar Baru. Lebih dari sekadar perayaan liturgi, EKM menjadi ruang spiritual yang mengajak kaum muda untuk merenungkan iman mereka dalam konteks kehidupan masa kini. Dengan tema “By Healing the World, We Rise Together,” kegiatan EKM menggemakan Preferensi Kerasulan Universal Serikat Jesus, khususnya ajakan untuk berkolaborasi dalam merawat rumah kita bersama. Ekaristi Kaum Muda Johar Baru tahun ini diikuti oleh sekitar 120 peserta dari berbagai komunitas, seperti Prompang SJ, MAGIS Jakarta, PMKRI, ATMI Cikarang, Kolese Kanisius, PMKAJ Unit Selatan, PMKAJ Unit Barat, OMK Paroki Kampung Duri, Sant’Egidio, Universitas Atma Jaya Jakarta, OMK Paroki Santa Perawan Maria Tak Bernoda Tangerang, STF Driyarkara, serta kolaborator dari kongregasi, dan lembaga mitra lainnya. Keberagaman latar belakang, dan semangat yang dibawa para peserta, menjadikan EKM sebagai perayaan yang sungguh hidup, relevan, dan menyentuh realitas zaman.   Rangkaian kegiatan dibuka dengan Misa Kreatif yang dipimpin oleh Pater Effendi Kusuma Sunur, S.J. Dalam homilinya, Pater Effendi mengajak para peserta untuk merenungkan dimensi kasih dalam konteks ekologis. Ia menekankan bahwa lawan kata dari kasih bukanlah kebencian, melainkan ketidakpedulian. Banyak kerusakan lingkungan yang terjadi bukan karena kebencian aktif, melainkan karena sikap pasif, dan tidak peduli. Seruan tersebut menggugah hati para peserta, untuk melihat kembali gaya hidup mereka, serta membangkitkan kesadaran, bahwa mencintai Allah berarti juga mencintai, dan peduli pada ciptaan-Nya. Ekaristi semakin syahdu dengan kehadiran Sisca Saras, mantan anggota JKT48, yang tampil sebagai pemazmur. Dengan suara dan pembawaannya yang tenang, Sisca membantu menghadirkan suasana doa yang mendalam dalam Liturgi Sabda. Ia juga membawakan dua lagu dalam sesi ramah tamah.    Salah satu bentuk konkret komitmen ekologis dalam Ekaristi Kaum Muda Johar Baru tahun ini, adalah penggunaan meja altar dari 86 Eco-brick, yang dibuat secara mandiri oleh para frater Johar Baru. Eco-brick adalah botol plastik bekas, yang diisi padat dengan sampah anorganik tak terurai, seperti: plastik pembungkus, kresek, dan styrofoam. Melalui proses yang tekun dan kreatif, sampah-sampah anorganik tersebut dapat diubah menjadi barang, yang memiliki nilai guna.      Setelah perayaan Ekaristi, para peserta mengikuti sesi sharing dalam kelompok kecil, yang dibagi dalam tiga putaran. Sesi sharing didahului oleh penayangan video pendek, tentang ekologi yang telah disiapkan panitia. Putaran pertama mengajak peserta merefleksikan kehidupan pribadi mereka: Sudahkah aku hidup secara ekologis? Putaran kedua mendorong empati masing-masing peserta untuk mendengarkan, dan menangkap pembelajaran dari sharing teman lain. Pada putaran terakhir, masing-masing peserta diajak merumuskan satu kehendak konkret, sebagai buah dari keterlibatan mereka di EKM ini. Proses tersebut menjadi ruang refleksi bagi masing-masing peserta, untuk membangun kesadaran ekologi, dan mengarah pada transformasi gaya hidup yang lebih ekologis.    Setelah sesi sharing, suasana beralih ke nuansa perayaan dalam bentuk Pesta Rakyat dan Pentas Seni. Komunitas-komunitas peserta menampilkan karya seni mereka: musik, puisi, dan lain-lain. Semangat partisipasi dari para peserta menjadi tanda; bahwa iman kaum muda adalah iman yang hidup, kreatif, dan penuh sukacita. Tak ketinggalan, kehadiran stan UMKM dari warga sekitar, menjadi dukungan nyata terhadap ekosistem ekonomi lokal. Aksi kecil seperti ini menunjukkan, bahwa merawat bumi bukan hanya tentang menanam pohon atau mengelola sampah, tetapi juga tentang membangun solidaritas dengan sesama manusia.   Menjelang akhir acara, peserta diajak mendengarkan Gobind Vashdev, seorang penulis, dan fasilitator transformasi kesadaran dalam hal ekologi. Dalam talkshow-nya, Gobind berbicara tentang akar terdalam krisis ekologis: krisis spiritual. Ia menyampaikan bahwa krisis lingkungan adalah cermin dari ketidakseimbangan dalam diri manusia. “Ketika manusia lupa akan cukup, lupa bersyukur, dan hidup dalam ketamakan, maka bumi pun akan terluka,” katanya. Kata-kata Gobind menantang peserta untuk melihat ke dalam, sebelum menunjuk keluar. Ia mengajak para peserta menyadari bahwa perilaku eksploitatif terhadap alam, lahir dari jiwa yang kosong, jiwa yang tidak puas, tidak tahu cukup, dan tidak mampu bersyukur atas yang sudah dimiliki. Ketika manusia kehilangan rasa cukup (sense of enough), maka alam menjadi korban kerakusan yang tak berujung.     Sebagai skolastik Jesuit, kami yang terlibat sebagai panitia Ekaristi Kaum Muda Johar Baru 2025 tidak sekadar menyelenggarakan sebuah acara, tetapi juga belajar banyak dari pengalaman ini. Kami belajar mendengarkan, berkolaborasi dengan banyak komunitas, serta menggerakkan semangat ekologis secara nyata pada kaum muda. Semua ini menjadi bagian dari formasi kami, untuk menjadi “Men for others.” Akhirnya, Ekaristi Kaum Muda Johar Baru 2025 bukan sekadar perayaan tahunan, melainkan sebuah proses formasi, aksi ekologis, dan pewartaan iman yang hidup.   Kontributor: Sch. Ignatius Dio Ernanda Johandika, S.J.  

Penjelajahan dengan Orang Muda

Kunjungan ke Pesantren Ahmadiyah

Pada Sabtu, 18 Januari 2025, perwakilan frater dari Kolese Hermanum melakukan kunjungan ke Kampus Mubarok yang berlokasi di daerah Parung, Jawa Barat. Kampus Mubarok merupakan pusat Ahmadiyah Indonesia sekaligus “seminari” para calon imam Ahmadiyah di Indonesia. Ada 15 frater dari berbagai negara, ditemani oleh Pater Guido Chrisna, S.J. dan Pak Buddhy Munawar, seorang dosen Islamologi di STF Driyarkara, yang berkunjung ke komunitas Ahmadiyah. Kunjungan ini dimaksudkan agar para frater dapat semakin mengenal Komunitas Ahmadiyah dan pada akhirnya semakin mampu membangun dialog antaragama dengan mendalam.   Kunjungan kami ini disambut oleh Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia (pimpinan Ahmadiyah Indonesia), Maulana Mirajuddin Sahid. Dalam seremoni pembukaan kunjungan ini, Amir Nasional berpesan untuk selalu mengusahakan dialog dengan berbagai pihak agar dapat menciptakan kerukunan di tengah masyarakat. Setelah seremoni pembukaan tersebut, kami diajak untuk mengenal sejarah dan spiritualitas komunitas Ahmadiyah di sebuah gedung yang mereka sebut sebagai Peace Center. Ketika memasuki Peace Center kami diperlihatkan foto-foto para pemimpin agama di dunia (termasuk Paus Fransiskus), pendiri Komunitas Ahmadiyah dan para penerusnya, tokoh-tokoh nasional Indonesia yang merupakan bagian dari Komunitas Ahmadiyah dan karya-karya pelayanan Ahmadiyah di Indonesia. Komunitas Ahmadiyah menjadi komunitas yang sering “dipinggirkan” karena keyakinan mereka yang berbeda dari arus utama, terutama mengenai paham mesias dan nabi dari keyakinan umat Islam pada umumnya. Komunitas ini didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada abad ke-19 di India. Ahmadiyah percaya bahwa Kedatangan Kedua Sang Mesias telah terjadi, dan bahwa Mesias yang Dijanjikan adalah pendiri mereka sendiri. Meskipun sebagian besar keyakinan mereka mirip dengan agama Islam pada umumnya, penafsiran mereka tentang peran Mesias menjadi titik perbedaan yang kontroversial. Akibatnya, mereka sering dianggap sebagai non-Muslim. Bahkan Pusat komunitas Ahmadiyah dipindahkan dari Pakistan ke London demi alasan keamanan. Kepemimpinan Mirza Ghulam Ahmad diteruskan oleh para penerusnya dan bergelar Khalifatul Masih. Sekarang, Komunitas Ahmadiyah dipimpin oleh Khalifatul Masih V yang bernama asli Hazrat Mirza Masroor Ahmad. Khalifatul Masih V selalu menyerukan mengenai perdamaian dan cinta kasih dalam khotbah-khotbahnya. Love for all, hatred for none. Itulah motto dari Komunitas Ahmadiyah yang selalu dibawa dan ditunjukkan oleh Khalifatul Masih V dalam setiap khotbahnya.   Setelah berkenalan dengan sejarah dan iman mereka, para frater diajak berdinamika bersama para “seminaris” Ahmadiyah. Para mahasiswa di Kampus Mubarok ini tinggal dalam sebuah asrama besar dan tidur bersama di sebuah barak besar. Mereka tidak boleh mengakses internet dan menggunakan ponsel. Mereka bahkan juga mengalami “peregrinasi” selama tiga hari. Cara hidup ini sepintas mirip kehidupan di seminari pada umumnya.   Setelah lulus dari SMA, para calon imam Ahmadiyah menjalani pendidikan di Kampus Mubarok selama tujuh tahun. Setelah tujuh tahun, mereka akan “ditahbiskan” menjadi imam Ahmadiyah dan menerima perutusan langsung dari Khalifatul Masih, pimpinan tertinggi komunitas Ahmadiyah. Segala perpindahan tugas perutusan harus berdasarkan keputusan Khalifatul Masih dengan rekomendasi dari pimpinan nasional Ahmadiyah suatu negara. Secara tidak langsung, sistem hierarki yang dipakai oleh komunitas Ahmadiyah tidak jauh berbeda dengan hierarki Gereja Katolik. Komunitas Ahmadiyah memiliki pemimpin umum yang disebut Khalifatul Masih. Cara mereka mengutus para imamnya juga terkesan mirip dengan model Gereja Katolik dalam perutusan para imamnya. Belum lagi, proses formasi para calon imam Ahmadiyah juga mirip dengan formasi para calon imam Katolik.   Kemiripan dalam hal-hal teknis dan juga nilai kasih yang mereka junjung tinggi meneguhkan kami. Kunjungan kami ke pesantren Ahmadiyah ini semakin meneguhkan kami untuk berusaha berjejaring dan berkolaborasi dengan semua pihak dalam menciptakan bonum commune di dalam masyarakat. Memang apa yang kami imani tentu saja berbeda dengan mereka. Akan tetapi, kami dan mereka memiliki kesamaan visi dan nilai yang sama-sama dijunjung tinggi, baik oleh Gereja Katolik maupun oleh Ahmadiyah sendiri: mengasihi sesama dan mewujudkan kedamaian di dunia. Kunjungan ini ditutup dengan olahraga bersama dengan para “seminaris” Ahmadiyah. Kami bermain sepak bola untuk menutup kunjungan yang penuh makna ini.   Kontributor:Fr. Feliks Erasmus Arga, S.J. dan Fr. Aman Aslam, S.J.

Penjelajahan dengan Orang Muda

Open House dan Ekaristi Kaum Muda-Mahasiswa Katolik DIY 2024

Bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional di bulan November 2024, Pusat Pastoral Mahasiswa DIY (PPM DIY) mengadakan rangkaian acara untuk memaknai kepahlawanan yang relevan dengan situasi orang muda di zaman ini. Rangkaian acara terdiri dari Open House PPM DIY pada tanggal 9 November dan Ekaristi Kaum Muda yang dilanjutkan dengan talkshow serta pentas seni pada 10 November. Topik yang diangkat adalah mengenai kepahlawanan yang telah diteladankan oleh para tokoh nasional (tak terkecuali para pahlawan nasional yang beragama Katolik) dan aktualisasinya untuk anak muda zaman ini. Kepahlawanan sebagai suatu semangat selalu relevan dan bisa diaktualisasikan terus-menerus.   Untuk itu, dengan gaya bahasa anak muda, kegiatan ini mengambil judul AGAPE: Akrab aGAwe PEnak yang dalam bahasa aslinya (Yunani, “ἀγάπη”) merujuk pada bentuk cinta yang tanpa pamrih, tulus, dan penuh kasih sayang. Dalam konteks ini, agape sering digambarkan sebagai cinta universal atau kasih yang tidak bersyarat, yang mencerminkan keinginan tulus untuk kebaikan orang lain tanpa mengharap-kan balasan. Para mahasiswa Katolik Jogja diajak untuk berani memberikan diri dengan cinta yang tanpa pamrih, tulus, dan penuh kepada siapa pun sebagai bentuk kepahlawanan yang sejalan dengan ajaran Katolik. Akronim dari “Agape” yaitu “akrab agawe penak” mengajak para mahasiswa Katolik untuk menjalin keakraban dengan caranya sendiri dan berjalan bersama sebagai sesama mahasiswa Katolik. Tindakan kepahlawanan di zaman ini pun bisa ditempuh dengan cara anak-anak Generasi Z yang akrab dengan dunia digital. Maka, selain “penak” (fun, menyenangkan) juga bermanfaat untuk banyak orang.    Momen perjumpaan antar mahasiswa Katolik DIY sempat terhenti akibat pandemi beberapa waktu lalu. Maka, kegiatan ini menjadi kegiatan untuk mempertemukan mahasiswa Katolik se-DIY, sejak pandemi usai. Harapannya, dengan kegiatan ini bisa terjalin jejaring dan relasi persaudaraan antara mahasiswa Katolik yang tersebar di berbagai kampus. Di DIY terdapat seratusan lebih Perguruan Tinggi, Akademi, dan Sekolah Tinggi. Diharapkan dengan adanya kegiatan ini, para mahasiswa Katolik bisa saling mengenal satu sama lain, berbagi cerita, dan menguatkan dalam perjalanan hidup mereka.   Pada hari pertama, dalam acara Open House PPM DIY, para mahasiswa menyediakan layanan cek kesehatan bagi warga di sekitar PPM DIY. Selain itu, ada kegiatan senam bersama, kerja bakti, donor darah, pembagian hadiah doorprize, dan makan siang bersama. Keterlibatan para mahasiswa bagi masyarakat menjadi bentuk kepahlawanan sederhana yang bisa mereka lakukan. Mahasiswa perlu mengenali lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal setiap harinya, sehingga ilmu yang mereka pelajari di kelas tidak berhenti pada pemikiran saja tetapi juga diaktualisasikan untuk kebaikan bersama. Para mahasiswa kedokteran dan ilmu kesehatan misalnya terlibat dalam pelayanan cek kesehatan gratis bagi masyarakat. Selain itu, para mahasiswa juga belajar untuk menjalin jejaring dengan semua pihak yang berkehendak baik, seperti misalnya kelompok Sego Mubeng dari Paroki Kotabaru.   Pada hari kedua, EKM dilaksanakan di kapel Kolese de Britto dan dilanjutkan dengan talkshow serta pentas seni di aula Kolese de Britto. Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Rm. A.R. Yudono Suwondo, Pr. selaku Vikaris Episkopal (Vikep) Yogyakarta Barat didampingi Pater Daryanto, S.J. (Pusat Pastoral Mahasiswa), Rm. Setyo Budi Sambodo, Pr (Romo Mahasiswa Kevikepan Semarang), dan Pater Hugo, SJ (Moderator Kolese de Britto, tuan rumah acara). Inilah bentuk sapaan Gereja Katolik kepada orang-orang Muda terutama mahasiswa Katolik di Jogja. Melalui EKM ini mahasiswa juga mendapatkan ruang untuk menghayati Ekaristi dengan cara anak muda, seperti iringan musik orkes, tari-tarian pengiring, renungan yang dibawakan dengan teater, hingga doa dengan berbagai bahasa daerah.   Ada sekitar 800-an mahasiswa Katolik dari berbagai universitas yang hadir pada acara hari kedua. Bukan hanya dari Jogja saja tetapi juga dari Semarang dan Surakarta. Setelah Ekaristi, acara dilanjutkan dengan talkshow yang diisi oleh Pater G. Subanar, S.J. dan Walma Jelena. Pater Banar membagikan kisah kepahlawanan umat Katolik Indonesia pada zaman penjajahan Jepang melalui buku yang baru saja terbit, yakni Kinro Hoshi, Kisah Umat Katolik di Pendudukan Jepang (Kanisius, 2024). Sementara itu, dari perspektif orang muda Walma Jelena yang mempopulerkan mantila di akun media sosialnya (@walmajelena; Your Mantilla Lady) berbagi kesaksian iman di dunia digital.    Setelah talkshow beberapa kelompok mahasiswa mengisi pentas seni. Di antaranya tari-tarian daerah, teater, dan musik. Multikulturalitas mahasiswa Katolik yang ada di DIY akan mewarnai tampilan-tampilan seni ini, mengingat mahasiswa berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Rm Buset (Setyo Budi Sambodo) juga tampil menghibur dengan standup comedy. Selain itu juga ada keterlibatan siswa-siswa SMA Kolese de Britto melalui tampilan musik. Tidak sedikit juga alumni de Britto yang saat kuliah di Jogja terlibat aktif dalam kegiatan Keluarga Mahasiswa Katolik. Maka, inilah bentuk pendampingan berkelanjutan bagi orang-orang muda untuk berjalan bersama membangun masa depan yang penuh harapan.   Kontributor: P Agustinus Daryanto, S.J.  

Penjelajahan dengan Orang Muda

Orang Muda Menunda Menikah?

Akhir-akhir ini kita disuguhi beberapa data dari Badan Pusat Statistik terkait turunnya angka pernikahan orang muda di Indonesia. Hal ini dibarengi dengan berbagai liputan surat kabar yang memotret kekhawatiran kaum muda untuk menikah atau memiliki keturunan. Akibatnya, selama sepuluh tahun terakhir juga terjadi penurunan angka perempuan melahirkan dari 70,6% pada tahun 2012 menjadi 66,4% pada tahun 2022 (turun 4,2%).   Menanggapi fenomena ini, Sabtu, 9 November 2024 lalu para skolastik di Kolese St. Ignatius mengajak orang muda untuk berdiskusi bersama dalam acara Dialog untuk Aksi (DIKSI) bertajuk “Keluarga, Masihkah Harta yang Paling Berharga?” Fr. T.B. Pramudita, S.J. sebagai moderator diskusi membuka dengan data pemantik: banyak peserta berpandangan bahwa berkeluarga itu menakutkan karena harus menghadapi berbagai tantangan hidup keluarga (tantangan ekonomi, perselingkuhan, perceraian, dan kekerasan rumah tangga).   Untuk memahami fenomena ini dengan lebih dalam, dialog ini menghadirkan beberapa pembicara: Rm. Yoseph Aris, MSF, Pak Paulus Eko Ananto (Disdukcapil Bantul), dan pasangan suami istri Pak Albert dan Bu Erna Prajartoro. Dari para pembicara, para peserta belajar bahwa di satu sisi tantangan hidup berkeluarga memang nyata adanya. Di sisi lain, sukacita justru hadir bukan karena kesenangan superfisial, tetapi ketika tantangan itu dihadapi dengan tanggung jawab, kesetiaan, dan komitmen bersama sebagai jalan kekudusan.    Perceraian Sipil: Keprihatinan Gereja Pak Eko memulai diskusi dengan menyajikan analisis Disdukcapil atas data perceraian di Bantul. Sejak tahun 2017 hingga 2024, sudah ada 417 kasus perceraian yang dicatat di Bantul. Faktor terbanyak yang menyebabkan perceraian adalah ekonomi (30%), perselisihan (17%), perselingkuhan (14%), KDRT (13%), dan agama (8%).   Pak Eko sebagai pegawai Disdukcapil juga merasa prihatin karena dari total kasus perceraian di Bantul, 190 (45%) di antaranya dilakukan oleh pasangan yang pernikahannya dilakukan secara agama Katolik. “Sebagai seorang Katolik, awalnya saya merasa ‘berdosa’ saat menerbitkan akta perceraian sipil karena tidak ada perceraian dalam Gereja Katolik,” ungkapnya.   Menyambung keprihatinan tentang perceraian sipil, Romo Aris menegaskan bahwa tidak ada perceraian dalam Gereja Katolik. Perceraian yang terjadi secara sipil memang menjadi keprihatinan Gereja. Meski demikian, yang terpaksa telah cerai sipil, “selama tidak menikah lagi atau tidak hidup dalam konkubinat boleh menerima komuni,” ujar Romo Aris. Dalam Gereja Katolik tidak ada perceraian dan yang dikenal adalah pembatalan perkawinan. Namun, pembatalan perkawinan dalam Gereja Katolik bukanlah standar ganda, karena ada sesuatu yang tidak sah dalam hukum Gereja dan dibuat dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa.   Panggilan Menuju Kekudusan Alih-alih terkungkung dalam ketakutan akan perceraian, Romo Aris mengajak orang muda untuk lebih memahami perkawinan sebagai panggilan menuju kekudusan agar tidak melihatnya sebagai hal yang menakutkan. Romo Aris menegaskan, “Perkawinan adalah panggilan Allah yang membutuhkan tanggapan dari pasangan suami-istri dengan bebas, sadar, dan bertanggung jawab.” Sebagai panggilan Allah, perkawinan bertujuan untuk kebaikan suami-istri, keterbukaan pada keturunan, dan pendidikan anak. Yang harus dilakukan orang muda dalam menyiapkan perkawinan adalah mengenal kedalaman pasangan, membangun komitmen bersama, dan jujur dalam berelasi. Komitmen dan kejujuran dalam berelasi harus sungguh dibangun hingga terkait kesepakatan tentang keturunan. Jangan sampai childfree atau menunda berkepanjangan hanya karena alasan pragmatis atau menyalahkan situasi ekonomi.   Saat ini Keuskupan Agung Semarang semakin serius mendampingi calon pasangan suami-istri dengan program Katekese Persiapan Hidup Berkeluarga (KPHB), Discovery (program untuk semakin dalam mengenal pasangan), komunitas Marriage Encounter, Couple for Christ, dan pendampingan setelah perkawinan dengan acara/rekoleksi keluarga dan ulang tahun perkawinan. Berbagai program ini dibuat untuk semakin mempersiapkan dan menemani perjalanan pasangan suami-istri. “Memang tidak ada sekolah khusus untuk menjadi suami/ayah dan istri/ibu. Namun, sekolah yang paling penting adalah pengalaman hidup untuk saling mengenal dan berkomitmen,” kata Romo Aris.   Core Values dan Sejarah Hidup Pak Albert dan Bu Erna selanjutnya membagikan pengalaman hidup berkeluarga yang penuh dinamika. Mereka memulai keluarga baru dengan perjuangan ekonomi dari nol hingga perlahan memperoleh kesejahteraan bagi keluarga. Karena pekerjaan, Pak Albert harus dinas di Merauke dan menjalani long distance marriage selama 20 tahun. Di masa-masa ini ada banyak tantangan di lingkungan pekerjaan yang menguji kesetiaan. “Kesetiaan pahit saat dijalani tetapi manis buahnya,” ujar Pak Albert. Karena komitmen, Pak Albert dan Bu Erna mengusahakan untuk tetap bertemu secara berkala meski dengan harga tiket pesawat yang tidak murah. Tantangan lain muncul saat mendidik anak-anak. Keluarga ini dikaruniai 3 anak. Anak bungsu mereka memiliki kebutuhan khusus dan di masa awal pertumbuhan harus menjalani operasi sebanyak 10 kali. Tantangan juga muncul saat karier Pak Albert dijatuhkan oleh pihak-pihak yang tidak suka padanya karena ia bekerja dengan bersih dan tidak korup. Setelah menjalani berbagai situasi sulit, Pak Albert dan Bu Erna bersyukur karena selalu ada orang baik yang memberikan solusi dan hadir untuk mereka. Situasi sulit dapat mereka hadapi karena kesetiaan mereka pada nilai yang disepakati bersama (core values).    Bu Erna mengatakan bahwa “pasangan harus menyatukan nilai-nilai yang akan dicapai bersama untuk selanjutnya didoakan dan dicetak-dipasang sebagai pengingat kesepakatan.” Kesepakatan terjadi jika pasangan saling menerima dan memahami sejarah hidup. Dengan demikian tidak boleh ada salah satu pihak yang mengalah atau terpaksa karena core values adalah kesepakatan bersama. Beberapa contoh core values yaitu kejujuran, sederhana, tanggung jawab, dan kerja keras. Berkat core values Pak Albert dan Bu Erna dapat menjalani hidup berkeluarga dengan penuh kesetiaan dalam berbagai situasi. Hidup berkeluarga memang tak lepas dari tantangan, tetapi juga banyak pengalaman sukacita. Pengalaman sukacita bukan hanya kesenangan superfisial, tetapi justru ketika sebagai pasangan tetap setia dan mengusahakan core values bersama di tengah berbagai tantangan hidup. Maka orang muda, jangan takut untuk menikah karena ada banyak sukacita dan tanda kehadiran Allah dalam hidup berkeluarga.   Kontributor: Sch. Ishak Jacues Cavin, S.J.

Penjelajahan dengan Orang Muda

Ite Inflammate Omnia!

Rekoleksi Missioning Magis Jakarta 2023-2024 ‘Pergilah dan kobarkanlah seluruh dunia!’ Demikian pesan St. Ignatius Loyola sebelum mengutus sahabatnya, St. Fransiskus Xaverius, untuk menyebarkan Injil ke seluruh penjuru dunia. Ignatius ingin agar Xaverius tidak lupa akan semangat Injil yang mengubah dan mengobarkan hati mereka sebagaimana dua murid Emaus yang berkobar-kobar setelah mereka melek Kitab Suci kala berbincang-bincang dengan Yesus dalam perjalanan (bdk. Luk 24: 13-35). Api semangat yang mereka rasakan itu perlu diwartakan juga kepada yang lain supaya dunia semakin berkobar. Pesan yang sama rupanya ingin dimaknai oleh teman-teman Magis Jakarta untuk menutup rangkaian program Formasi tahun 2023 melalui kegiatan Missioning. Missioning berasal dari akar kata mittere, bahasa Latin, yang berarti mengirim atau mengutus. Kata tersebut kemudian ditafsirkan menjadi missio, yang dalam konteks teologi berarti tugas atau perutusan. Setelah berformasi dan ‘kembali’ pada perutusannya masing-masing, teman-teman Magis Jakarta diharapkan semakin mampu mengobarkan api cinta Allah kepada lingkungan di sekitarnya. Harapannya, terciptalah suatu dunia yang lebih baik dan teman-teman Magis menjadi sebagai salah satu frontliner-nya.    Dari Membangun Disposisi menuju Pembaharuan Hidup Rangkaian kegiatan Missioning Formasi Magis Jakarta 2023 mengambil tempat di Civita Youth Camp, Keuskupan Agung Jakarta. Selama kurang lebih 3 hari 2 malam, teman-teman Formandi dan Pengurus Magis Jakarta 2023 diajak untuk menemukan jejak kasih Allah dan menemukan wajah-Nya melalui pengalaman berformasi selama kurang lebih 9 bulan. Missioning sendiri terdiri dari beberapa sesi yang membantu teman-teman Formandi dan Pengurus Magis Jakarta 2023 mengkristalkan pengalaman formasinya. Sebelum memulai berbagai sesi, Fr. Albertus Alfian Ferry Setiawan, S.J. (Pendamping Magis Jakarta 2023) mengajukan pertanyaan reflektif, “Bagaimana disposisi batinmu sekarang dan rahmat apa yang kamu mohonkan dalam Missioning ini?” Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang penting sebab proses kristalisasi itu tidak dapat berjalan dengan baik dan bermakna kala disposisi batin tidak mendukung. Memang tidak semua dari teman-teman peserta Missioning memiliki disposisi batin yang siap untuk mengikuti kegiatan ini. Ada yang kurang bersemangat. Ada juga yang bertanya-tanya untuk apa. Ada yang setengah hati. Namun, mereka semua mencoba untuk berkomitmen, membangun disposisi untuk ikut masuk ke dalam rangkaian penutup Formasi Magis Jakarta 2023 ini.     Berbagai materi dipaparkan dalam sesi-sesi Missioning untuk membantu teman-teman peserta mengkristalkan pengalaman mereka. Sesi-sesi tersebut antara lain: Collecting Rainbows yang dibawakan oleh Sanita Ayu Burhan (Magis Jakarta 2016), Pendalaman Hidup & Karya Kristus oleh Luisa Catherine (Magis Jakarta 2019), Correctio Fraterna & Reformatio Vitae (Pembaruan Hidup) oleh Pater Alexander Koko Siswijayanto, S.J. (Moderator Magis Indonesia), Contemplatio Ad Amorem yang dibawakan oleh Pater Alexander Koko Siswijayanto, S.J. (Moderator Magis Indonesia), dan ditutup dengan sesi sharing alumni bersama Monica Wibowo (Magis Jakarta 2008), Claudia Rosari Dewi (Magis Yogyakarta 2016), Fr. Ferry, serta dimoderatori Fransiscus Xaverius Siahaan (Magis Jakarta 2015). Di samping berbagai sesi ini, terdapat juga kesempatan untuk melakukan percakapan rohani bersama sahabat rohani (saroh), sharing circle, dan emaus untuk memperkaya proses pendalaman buah-buah pengalaman formasi yang sudah dijalani.   Sesi Collecting Rainbows menjadi saat di mana teman-teman Formandi dan Pengurus Magis Jakarta 2023 diajak untuk melihat buah-buah rahmat formasi yang sudah dijalani. Kegiatan dilanjutkan dengan sesi pendalaman Hidup & Karya Kristus. Pendalaman Hidup & Karya Kristus menjadi hal yang penting sebab Kristus, Sang Pokok Anggur itulah junjungan umat Kristiani. Buah-buah rahmat itu datang karena kemurahan-Nya juga. Maka, untuk dapat membagikan buah-buah rahmat, menjadi garam dan terang bagi orang-orang di sekitar, teman-teman peserta diajak untuk mendalami lagi Kristus, Sang Pokok Anggur. Sesi Correctio Fraterna & Reformatio Vitae juga menjadi salah satu titik penting dalam momen Missioning. Bersama-sama teman seperjalanan dalam terang Roh Kudus, masing-masing menyampaikan apa yang sudah baik dan apa yang masih bisa dikembangkan satu sama lain. Ini menjadi dasar untuk menuliskan Reformatio Vitae, perubahan hidup yang ingin dicapai sebagai salah satu proses on going formation dalam hidup.    Setelah mengumpulkan berbagai rahmat, mendalami Hidup & Karya Kristus, bersama-sama dalam terang Roh Kudus melakukan koreksi diri dan menentukan arah perubahan diri, teman-teman peserta diajak untuk mengkontemplasikan bagaimana cara berbagi kasih yang sudah didapatkan melalui Contemplatio Ad Amorem. Bahwa rahmat dan kasih yang sudah dicecap dan dikristalkan dalam Missioning ini tidak bisa hanya disimpan untuk diri sendiri. Rahmat dan kasih itu perlu dibagikan kepada sesama sehingga berbuah lebih banyak lagi dan Kristus sungguh-sungguh semakin dirasakan kehadiran-Nya melalui teman-teman peserta yang adalah alter Christus, Kristus yang lain. Dengan demikian, pembaharuan hidup merupakan kunci dalam perjalanan teman-teman Magis Jakarta selanjutnya. Untuk semakin memantapkan dan menginspirasi perjalanan panjang proses melatih Spiritualitas Ignasian ini, tidak lupa ada sharing dari teman-teman alumni dan frater. Harapannya, teman-teman peserta terinspirasi untuk dapat berbagi cinta dan rahmat yang sudah dimiliki dalam konteks dan cara masing-masing.     Rekoleksi Missioning juga menjadi kesempatan untuk melakukan regenerasi pengurus Magis lama ke pengurus Magis baru. Berjalanannya formasi Magis selama setahun tentu tak terlepas dari peran-serta para pengurus yang turut belajar mengobarkan apinya dalam proses formasi mereka masing-masing. Pada umumnya para pengurus terdiri dari lintas angkatan formasi. Kepengurusan Magis tahun 2023-2024 yang dinahkodai oleh Hana Putra Wicesa dan Yuyun Dewi Cendana diteruskan oleh Antonius Eko Sunardi dan Editha Mei Indah Banjarnahor sebagai ketua dan wakil ketua pengurus Magis Jakarta tahun 2024-2025. “Nuansa kebersamaan di tengah hujan dalam misa ini merupakan sebuah tanda bahwa Magis tetap bisa terus kompak untuk melangkah ke depan,” ujar Pater Koko, moderator Magis Jakarta. Memang pada saat itu, di tengah-tengah misa, tiba-tiba turun hujan dan membuat seluruh peserta Missioning ini merapat dalam kebersamaan di depan altar Amphitheater Civita Youth Camp.    Kembali ke Hidup Sehari-Hari Missioning diibaratkan sebagai “puncak gunung” dalam perjalanan formasi Magis. Semua peserta pada akhirnya harus kembali ke hidup sehari-hari setelah berformasi. Tak dipungkiri bahwa perjalanan berformasi tidak melulu indah dan menyenangkan. Ada kalanya jatuh dan tersungkur karena jalan yang terjal berbatu-batu. Ada kalanya merasa hilang semangat, bahkan kehilangan arah. Namun kemudian rahmat Tuhan hadir lewat teman-teman seperjalanan yang mendorong dan menolong untuk bangkit kembali. Hadir sebagai sahabat untuk satu sama lain merupakan bagian dari aspek companionship atau persahabatan yang menjadi salah satu pilar Magis. Dalam Missioning, aspek companionship yang telah dibangun dalam circle atau kelompok sharing sejak awal formasi ini kemudian dipadukan dengan aspek spiritualitas. Kedua aspek tersebut memungkinkan para formandi dan pengurus untuk memaknai proses

Penjelajahan dengan Orang Muda

Saling Bersinergi untuk Menemukan yang “Magis” dalam Sebuah Keterbatasan

Ignatian exercise is becoming aware in growing inner freedom of God’s personal design or plan for me.” The Personal Vocation – Herbert Alphonso, S.J. Masih melekat di ingatan kami saat itu, sesi pembekalan terakhir di Kolese Hermanum Unit Johar Baru. Kami dibekali materi panggilan raja, meditasi dua panji, dan tiga golongan orang. Selama berdinamika dalam Formasi Magis 2023, kami menerima banyak bekal berupa latihan doa dasar, meditasi, eksamen maupun doa praktis yang membantu sampai pada perubahan, mengalami konsolasi, dan cinta pada Allah. Melalui Immersion Experiment inilah kami diajak menemukan yang “magis” sebagai sarana mencapai tujuan. Tema To Serve as You Deserve, kami maknai sebagai cara melibatkan diri seutuhnya dalam menjalankan peran sebagai manusia sebagaimana penjelmaan Allah untuk kami. Sebelum memulai segala sesuatu, kami mohonkan rahmat jiwa besar dan hati rela untuk bisa masuk ke dalam MAGIS Immersion Experiment dengan sungguh. Saat itu, secara personal kami memohon rahmat untuk bisa lepas bebas dan tidak terpaku dengan kegelisahan kami sendiri. Memohon rahmat supaya terus menyadari dan percaya bahwa Tuhan akan selalu menuntun langkah dan memegang tangan kami selama berdinamika di Lovely Hands Gardens, Sunter, Jakarta Utara.   Komunitas tempat kami immersion bernama Lovely Hands Gardens. Komunitas ini awalnya didirikan atas inisiatif Ibu Maria Lanneke Alexander bersama suaminya. Mereka terpanggil untuk memberikan pelayanan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, terutama dari keluarga yang kurang mampu. Lovely Hands Gardens melayani tanpa memandang latar belakang agama meskipun berada di tempat yang identik dengan agama Katolik. Tak hanya menangani berbagai kondisi disabilitas, Lovely Hands Gardens juga merupakan ruang untuk belajar dan terapi. Di Lovely Hands Gardens ini para guru, pendamping, dan orang tua saling bersinergi untuk mengupayakan dan mengusahakan yang terbaik bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Di Lovely Hands Gardens, latihan kemandirian diutamakan. Anak-anak diajarkan untuk setara dan berdaya dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti menanam, menyiram, memanen, memasak, membuat kompos, & air lindi. Bu Lanneke mengungkapkan bahwa anak-anak diajarkan untuk bisa menemukan jati diri dan tidak hanya mengandalkan belas kasih. Sebagaimana anak-anak dipersiapkan untuk mampu hidup mandiri dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat, anak-anak sangat ditekankan untuk disiplin dan tidak diperkenankan untuk mendahului antrian karena kondisi fisik atau keterbatasan lainnya. Anak-anak juga diminta untuk bertanggung jawab dengan apa yang mereka lakukan. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah untuk memandang mereka setara, bersikap normal seperti layaknya bertemu anak-anak, memperlakukan seperti biasa dan tidak terlalu berlebihan.     Tibalah hari itu. Hujan cukup lama tak berhenti dari pagi hingga menjelang siang. Kondisi ini tak menghentikan semangat agere contra kami untuk melawan kelekatan dengan perasaan aman dan nyaman berdiam di rumah. Bersamaan dengan harapan dan intensi baik, ternyata kami masih membawa kebingungan masing-masing. Muncul pertanyaan bagaimana memposisikan diri agar bisa masuk ke dalam dunia mereka dan membuat mereka nyaman atas kehadiran kami. Pertanyaan ini pada akhirnya secara tak sadar menghantar pada suatu permenungan singkat, bahwa ternyata hal yang lebih krusial sedang terjadi dalam diri kami. Ya, moment dimana kami dihadapkan dengan diri kami sendiri dan keraguan yang kami bawa dalam diri hingga akhirnya tuntunan Roh Kudus-lah yang memampukan untuk bisa melawan keraguan dan mengubah rasa itu menjadi tindakan nyata dalam bentuk sapaan hangat yang kami berikan.   Dalam immersion ini, kami (Ditha, Herian, Marie, Mary, Rakhas, dan Alexa) menjadi satu kelompok circle. Kami saling bersinergi untuk hadir sepenuhnya, menyediakan diri, dan melawan ragu untuk terus berkomitmen menjaga api semangat tetap menyala. Sebagaimana Spiritualitas Ignasian selalu membawa misi, melakukan sesuatu dengan berkarya, tidak diam dan selalu bergerak atau dinamis, hari ini kami membawa kerelaan hati untuk memberikan waktu dan tenaga yang kami miliki. Menanggapi panggilan Raja Abadi dalam aksi nyata, kami memberanikan diri untuk mengambil bagian dalam karya Allah bagi sesama. Kami menemani Dylan, Dimas, Raka, Ezar, William, Rifki, Marvel, Ansel, Kefas, Chika, Iin, Sasa, Kim, Gracia, dan Fajar. Kami berdinamika dalam beberapa aktivitas yaitu membuat puding, membuat jus timun suri, menanam semaian terong, dan menyiram tanaman di kebun.   Setelah makan siang, kami semua beraktivitas bersama. Kami melukis pohon cinta dan harapan, dimana setiap anak menempelkan sidik jari mereka ke ranting-ranting pohon. Ilustrasi ini mengingatkan kami pada kisah pokok anggur. Kami hanya dapat memberi dari apa yang kami miliki. Kami rasa saat itulah waktu yang paling tepat untuk kami semakin berakar, bertumbuh, dan berbuah dengan berbagi kasih. Kegiatan ini juga mengingatkan kami pada pengalaman Bu Lanneke. Ia bercerita bahwa ia hampir tidak menemukan kendala berarti. Hati tulus yang selalu ia bawa telah mengantarkannya pada banyak sukacita dan keajaiban. Ia tidak merasa terbebani karena melibatkan Tuhan sepenuhnya. Kesaksian Bu Lanneke begitu berkesan dan mengena bagi kami hingga saat ini.   Tanpa kami sadari, dengan terlibat sepenuhnya bersama mereka, segala pikiran dan prasangka negatif yang sempat ada hilang. Kami berhasil memposisikan diri sebagai anak-anak untuk bisa sepenuhnya hadir di sini dan saat ini. Percaya bahwa kami bisa terus bersandar pada-Nya membuat kami semakin yakin untuk mengabaikan bisikan roh jahat yang menggoda. Menyadari bahwa kami dilimpahi begitu banyak rahmat, mengetahui bahwa apapun yang kami lakukan hanya tertuju pada-Nya, melakukan segala sesuatu tidak untuk manusia melainkan untuk-Nya telah menuntun kami untuk bisa lepas bebas. Tanpa ragu dan percaya akan penyelenggaraan-Nya yang menjadi keutamaan pengharapan, kita semua Ia pelihara dan kasihi, begitu juga dengan kami dan anak-anak yang kami jumpai. Kami mengalami perjumpaan personal dengan Tuhan melalui anak-anak yang teramat istimewa ini. Kami “menemukan Tuhan” dalam diri mereka. Perwujudan cinta dalam aksi ini mengantar kami untuk mengalami sendiri menjadi men and women for others, bagaimana cinta Tuhan begitu tidak terbatas dalam keseharian di Lovely Hands. Sepulang dari Lovely Hands, hati kami begitu penuh dan banyak rahmat yang mengalir deras. Kami merasakan bentuk kasih yang begitu nyata dari sorot mata mereka. Rasa-rasanya, seperti ada surga kecil dengan malaikat-Nya hadir di sini. Dalam konsolasi itu, kami semakin percaya akan kehadiran Tuhan yang amat dekat, sebagaimana diungkapkan St. Ignatius sendiri, “You may be sure that the progress you make in spiritual things will be in proportion to the degree of your withdrawal from self-love and concern for your own welfare.”   Kontributor: Alexandra Yovina dan Patricia Editha – Magis Indonesia