Pilgrims of Christ’s Mission

Karya Pendidikan

Karya Pendidikan

Kick Off Vaksinasi Murid di SD Strada Bhakti Utama

Perkumpulan Strada merupakan lembaga pendidikan milik Keuskupan Agung Jakarta yang dikelola oleh Serikat Jesus. Perkumpulan Strada saat ini mendidik 23.284 murid. Mereka bersekolah di TK, SD, SMP, SMK, dan SMA Strada yang tersebar luas di wilayah Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Para murid, selama pandemi Covid-19, perlu mendapat pelayanan vaksinasi khusus untuk anak dan remaja. Vaksinasi murid dilakukan secara bertahap. Per 21 Desember 2021 sudah ada 8.734 murid Strada yang menerima vaksin. Penjadwalan vaksinasi di Perkumpulan Strada masih akan terus berlangsung. Target vaksinasi ini adalah semua murid Strada menerima vaksin kecuali ada halangan medis, misalnya usia, penyintas, dan penyakit bawaan yang diderita. Ada pengalaman menarik selama kegiatan vaksinasi di berbagai sekolah Strada, misalnya dalam kegiatan kick off vaksin di SD Strada Bhakti Utama, Bintaro, Jakarta Selatan. “Kick Off” adalah istilah dimulainya vaksinasi covid-19 untuk anak usia 6-11 tahun pada 14 dan 15 Desember 2021 yang diselenggarakan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Program vaksinasi ini berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK. 01. 07/Menkes/6688/2021 tentang pelaksanaan vaksinasi Coronavirus Disease 2019 (Covid 19) bagi anak usia 6 sampai 11 tahun. Vaksinasi Covid-19 dilaksanakan pada Selasa, 14-15 Desember 2021 oleh pihak Puskesmas bekerja sama dengan pemerintah terkait seperti Lurah, Satuan Pelaksana Penanganan Covid-19, Bidang Pendidikan, TNI dan POLRI di Kecamatan Pesanggrahan Bintaro, Jakarta Selatan. SD Strada Bhakti Utama dipilih dalam pelaksanaan vaksin perdana usia 6 s-d 11 tahun. Menurut Ibu Angel, Kepala Sekolah, sesuai data di Puskesmas, SD Strada Bhakti Utama memiliki murid SD terbanyak di Kecamatan Pesanggrahan, yaitu 558 peserta didik. Selasa, 14 Desember 2021, jumlah peserta vaksinasi kelas II, IV, dan V berjumlah 228 murid. Pelayanan vaksinasi dimulai pukul 08.00 WIB dan selesai pukul 14.30 WIB. Vaksinasi dilayani oleh enam petugas medis Puskesmas. Satuan Pelaksanaan penanggulangan Covid 19 dan para guru bertugas mendampingi para murid yang divaksinasi. Secara keseluruhan, pelaksanaan Vaksinasi berjalan baik dan lancar.  Pelaksanaan vaksinasi hari kedua, Rabu, 15 Desember 2021 dimulai pukul 08.00 WIB dan selesai pukul 12.00 WIB. Awalnya kegiatan vaksinasi yang dilakukan pemerintah bekerja sama dengan TNI, POLRI, dan Strada ini akan disiarkan interaktif virtual melalui zoom meeting bersama Bapak Presiden Republik Indonesia namun dibatalkan karena keterbatasan waktu. Peserta vaksinasi hari kedua diikuti murid kelas I, III, dan VI dengan jumlah peserta vaksin sebanyak 270 murid. Vaksinasi di SD Strada Bhakti Utama kali ini dimeriahkan dengan kehadiran Captain America (tokoh komik Marvel) dan Spiderman yang dipersembahkan oleh pihak kepolisian untuk menghibur para murid supaya gembira dan tidak takut menerima vaksin.  Kegiatan vaksinasi di Strada dihadiri oleh Kapolsek Pesanggrahan, Bapak Wendy. Beliau menyampaikan bahwa vaksinasi yang diadakan ini merupakan kerja sama antara Pemda, TNI, dan Polri dalam rangka percepatan pelaksanaan program vaksinasi Covid 19. Hadir pula Pak Rodin, Kepala Satuan Pelaksana (Satlak) Penanggulangan Covid 19, Bidang Pendidikan. Beliau memberikan pernyataan bahwa vaksinasi Covid-19 merupakan hasil kerja sama yang baik dengan sekolah Strada yang bertujuan supaya semua peserta didik usia 6-11 tahun mendapat vaksinasi. Satlak Pendidikan Pesanggrahan sangat mengapresiasi Kepala Sekolah karena telah memfasilitasi segala tempat dan aneka keperluan demi memperlancar penyelenggaraan Vaksinasi Covid 19. Sementara itu wali murid Elfa siswi kelas VI, Bapak Han, menyampaikan bahwa program ini sangat bermanfaat demi kesehatan putrinya. Ia berharap agar semua kegiatan sekolah dapat segera normal seperti semula. Ibu Bene, orang tua Arya, kelas VI sangat menyambut gembira adanya vaksin untuk para murid. Selama ini anaknya tidak berani bepergian karena belum mendapatkan vaksin. Semoga setelah divaksin, ia beserta seluruh siswa lainnya, dapat kembali bersekolah offline seperti sediakala. Kontributor & Dokumentasi: Tim Vaksin Strada, Cabang JPBS

Karya Pendidikan

Merawat Bumi, Rumah Kita Bersama

Pada Jumat, 24 Desember 2021, Kepala SD Kanisius Semanggi 2 Surakarta,  Bapak Petrus Sunardi, S.Pd., M.Pd. dan Kepala SD Kanisius Serengan Surakarta, Bapak Alb. Susilo Saputra, S.Pd. menerima Sertifikat Sekolah Adiwiyata Tingkat Kota Surakarta Tahun 2021.  Sertifikat yang diberikan pada dua sekolah Yayasan Kanisius Cabang Surakarta ini diterima karena SD Kanisius Semanggi 2 dan SD Kanisius Serengan telah berhasil menerapkan standar Sekolah Adiwiyata, yaitu sekolah  yang peduli lingkungan yang sehat, bersih, dan indah. Selain itu, Sekolah Adiwiyata adalah sekolah yang menjadi tempat pembelajaran nilai-nilai pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan benar bagi warga sekolah dan masyarakat sekitar. Sekolah Adiwiyata didorong untuk meningkatkan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup melalui kegiatan pengendalian pencemaran, pengendalian kerusakan, dan pelestarian fungsi lingkungan sekolah. Sekolah adiwiyata menerapkan Konsep 5R dalam merawat lingkungan sekolah yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang), replace (menggunakan kembali), dan replant (menanam kembali). Dalam rangka perayaan Natal 2021 Yayasan Kanisius Cabang Surakarta melakukan gerakan menanam dan merawat bersama. Gerakan ini dilakukan  bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota Surakarta. Yayasan Kanisius telah mendapatkan bibit tanaman sejumlah 600 batang yang akan di bagikan pada 38 sekolah yang berada di Yayasan Kanisius Cabang Surakarta. Bibit tanaman telah diambil oleh Seksi Bakti Sosial Panitia Natal 2021 Yayasan Kanisius Cabang Surakarta dan untuk sementara ditempatkan di SD Kanisius Sorogenen Surakarta. Setelah Perayaan Natal, 7 Januari 2022, tanaman yang terdiri atas ketepeng, salam, pala, sirsak, dan lain-lain akan didistribusikan ke sekolah-sekolah Kanisius Cabang Surakarta. Kontributor & Dokumentasi: F.X. Juli Pramana – Kepala SMK Kanisius Surakarta

Karya Pendidikan

Kekhasan Kopkar Mamona

Selain aspek ekonomi dan sosial,  Koperasi Karyawan MAMONA YKC Surakarta menghidupi jiwa ekonomi dan koperasi dengan ditunjuknya Penasihat Rohani. Biasanya dalam struktur pengelolaan koperasi terdapat  Pengurus dan Pengawas sebagai pengelola. Namun di Kopkar MAMONA selain pengurus dan pengawas terdapat pula Penasehat Teknis dan Penasehat Rohani. Penasehat teknis memberi pertimbangan bagi anggota, pengurus, dan pengawas dalam mengambil keputusan “ekonomi,” sedangkan penasehat rohani memberi pertimbangan “moral, hati nurani” dalam  pengambilan keputusan  bagi anggota, pengurus dan pengawas dari sisi pandang rohani. Saat ini Koperasi Karyawan MAMONA beranggotakan 331 orang dengan aset yang sudah cukup besar, lebih kurang mencapai 5,6 milyar rupiah. Persoalan yang kini dihadapi oleh Kopkar MAMONA adalah membangun jejaring dan lebih mentransformasikan jiwa ekonomi dan sosial koperasi kepada semakin banyak orang selain pada anggota. Kontributor : F.X. Juli Pramana – SMK Kanisius Surakarta

Karya Pendidikan

Donor Darah Serentak Seluruh Dunia

Di tengah pandemi Covid-19, Asosiasi Alumni Jesuit Indonesia (AAJI) memberanikan diri untuk menyelenggarakan donor darah. Kebutuhan darah selalu penting baik saat tidak ada pandemi dan terlebih saat pandemi. Seperti motto sekolah-sekolah Jesuit “men and women for and with others,” AAJI mengajak alumni delapan Kolese Jesuit dan satu universitas untuk membantu sesama yang membutuhkan melalui kegiatan donor darah.  Kegiatan ini awalnya diinisiasi oleh rekan-rekan KEKL (Keluarga Eks Kolese Loyola) yang pernah mengadakan kegiatan serupa tahun 2019. Tahun ini, KEKL mengajak kolese-kolese lain untuk berkolaborasi bersama dalam kegiatan donor darah lintas Alumni Kolese dan Universitas. Ini menjadi tugas dan tantangan besar bagi Asosiasi Alumni Jesuit Indonesia, yaitu membangun kolaborasi antar-alumni kolese dan universitas Jesuit. Dicari 1000 Pahlawan Dunia Masa Kini menjadi tagline kegiatan ini. Tercatat lebih dari 1200 yang mendaftar untuk berpartisipasi dalam kegiatan donor darah ini. Kegiatan ini diselenggarakan serentak pada 6-7 November 2021 di 48 kota di Indonesia dan dua kota mancanegara yaitu Singapura dan Hongkong. Koordinasi antar panitia di berbagai kota dan negara ini tidaklah mudah. Syukurlah kegiatan ini dapat berjalan dengan baik. Kantong darah yang terkumpul total sebanyak 807 buah. Ada banyak yang ingin mendonorkan darahnya namun terkendala tekanan darah tinggi, HB kurang, dan lain-lain. Pelaksanaan donor darah ini dibuka oleh Provinsial Serikat Jesus, Pater Benedictus Hari Juliawan, S.J. di SMA Kolese Loyola, Semarang. Beliau begitu antusias mendukung kegiatan ini, salah satunya dengan mengajak rekan-rekan awam agar terlibat dalam kegiatan ini. Pater Beni pun menjadi pendonor pertama dalam kegiatan ini.  Ada satu kejadian mengharukan sekaligus membahagiakan, yaitu ketika di PMI R.S. Fatmawati, dikoordinasi oleh rekan-rekan IKAGONA (Ikatan Alumni Gonzaga), seorang ibu dengan gembira menghampiri panitia. Ia mengucapkan terima kasih karena dengan terselenggaranya kegiatan ini, kebutuhan darah untuk putrinya menjadi tercukupi. Hal ini membuat kami tersadar dan mengingat kembali pesan dari Pater Beni yang dikutip dari ucapan St. Ignatius Loyola, “Cinta harus lebih diwujudkan dalam perbuatan daripada kata-kata.” Kita tidak perlu menunggu hal besar untuk membantu dan memberikan cinta untuk sesama. Kita dapat memulainya dengan hal kecil tetapi berdampak bagi hidup orang lain. Sekali lagi, terima kasih untuk Anda yang sudah bergerak bersama seluruh Alumni Jesuit Indonesia dan menjadi pahlawan pembaru dunia masa kini! Kontributor : Adrianus Roy – AAJI

Karya Pendidikan

Perayaan 103 Tahun Yayasan Kanisius di YKC Surakarta : Peziarahan Batin Insan Kanisius

21 Oktober adalah tonggak peringatan berdirinya Yayasan Kanisius yang berkarya di bidang pendidikan. Pada kesempatan ini, Yayasan Kanisius Cabang (YKC) Surakarta mengadakan Perayaan Ekaristi Syukur 103 tahun berdirinya Yayasan Kanisius yang dilaksanakan pada hari Kamis, 21 Oktober 2021 pukul 09.00 WIB di Gereja St Antonius Padua Purbayan Surakarta. Perayaan Ekaristi ini istimewa karena dilaksanakan secara selebrasi bersama Pater Joseph M.M.T. Situmorang, S.J. (Kepala Yayasan Kanisius Cabang Surakarta), Pater Clement Budiarta, S.J., dan Pater Fransiskus Kristino, S.J. (Romo Paroki Santo Antonius Padua Purbayan), dan Pater Robertus Budi Haryana, Pr. (Vikep Kevikepan Surakarta) sebagai selebran utama.  Semua Kepala Sekolah yang berada di YKC Surakarta, perwakilan guru karyawan dan siswa yang berada di Surakarta, dan tamu undangan hadir dalam perayaan Ekaristi ini. Selain perayaan ekaristi secara offline, dilakukan juga proses live streaming perayaan ekaristi ini sehingga bisa diikuti oleh sekolah-sekolah di luar regio Solo serta para pemerhati pendidikan.  Tema Perayaan ulang tahun ke 103 adalah “103 Tahun Yayasan Kanisius dalam Semangat Universal Apostolik Preferences (UAP)”. Tema ini  hendak meneguhkan peziarahan batin insan Kanisius guna menunjukkan bagaimana menemukan dan mengikuti Yesus Kristus melalui Latihan Rohani dan diskresi, memberikan kepedulian bagi yang terkucilkan, merawat lingkungan dan ciptaan Tuhan serta mendampingi kaum muda untuk menciptakan masa depan yang penuh harapan. Dalam homilinya Pater Joseph Situmorang, S.J. mengajak para guru untuk merefleksikan kembali keteguhan hati Pater van Lith yang meletakkan cikal bakal pendidikan di Indonesia serta usahanya untuk memanusiakan manusia. Semua guru dipanggil untuk menyalakan api cinta kasih dan damai, yang didasari prinsip pilihan-pilihan nilai yang tegas, kesediaan berkorban sama seperti Yesus yang mengalami luka-luka untuk membawa damai. Para guru yang berjalan bersama Yayasan Kanisius akan ditempuh sebagai jalan ketekunan melatih diri seperti Santo Paulus, Jalan ini bukan mengejar prestasi dan prestise duniawi, bukan mengejar hadiah mahkota dunia fana. Melalui panggilan sebagai guru, Yayasan Kanisius hendak mendampingi peserta didik menghalau kegelapan dan mengajak anak didik bertemu Tuhan dengan kecerahan akal budi melalui pendidikan. Di akhir Perayaan Ekaristi Syukur 103 tahun Yayasan Kanisius, Pater Joseph Situmorang, S.J. sebagai Kepala YKC Surakarta, meluncurkan buku Bunga Rampai Refleksi Guru Mendidik di Masa Pandemi. Buku ini merupakan kumpulan refleksi para guru dan karyawan YKC Surakarta mengenai pengalaman mendidik sebagai peziarahan batin yang meneguhkan serta memaknai masa pandemi sebagai pengalaman hidup yang memiliki kekayaan makna. Buku Bunga Rampai Refleksi Guru Mendidik berbentuk buku elektronik dan hanya dicetak beberapa eksemplar saja. Pater Joseph berharap tulisan ini bisa menghibur bagi yang sedih, memberikan  semangat bagi yang terkadang kehilangan pengharapan, dan memberikan inspirasi bagi yang mencari cara-cara baru sebagai guru di zaman sekarang.  Selain Perayaan Syukur Ekaristi 103 Tahun Yayasan Kanisius, di bulan Oktober Yayasan Kanisius mengajak insan Kanisius, baik guru maupun karyawan di  sekolah masing-masing, untuk melakukan kegiatan Hari Rohani. Kegiatan ini dilakukan dalam berbagai cara seperti berziarah ke berbagai Gua Maria atau rekoleksi, yang tidak hanya dilakukan oleh sekolah-sekolah di YKC Surakarta namun juga karyawan kantor yayasan. Hari Rohani dimaksudkan sebagai hari yang dipilih untuk melakukan refleksi, pendekatan diri pada Tuhan, maupun “peziarahan batin’ menimba spirit pelayanan dari teladan pendidik Santo Petrus Kanisius, Romo van  Lith,  dan Santo Ignatius dari Loyola dalam diskresi serta latihan rohani. Selain itu juga diselenggarakan lomba video kreatif untuk para siswa dan sekolah yang berada di YKC Surakarta guna meramaikan peringatan 103 tahun Yayasan Kanisius. Kontributor : F.X. Juli Pramana – SMK Kanisius Surakarta

Karya Pendidikan

Membangun Fondasi Pendidikan di Tanah Papua (Bagian 2)

Selain itu, pola asuh yang mengandalkan kekerasan menciptakan rasa frustasi (frustration) karena anak tidak bisa menghindar dari situasi tersebut dan harus bertahan. Anak-anak di asrama seringkali membenarkan pola asuh model kekerasan di keluarga dengan mengatakan bahwa itu adalah demi pendidikan. Mekanisme emosi dominan ini mereka bawa saat masuk asrama atau sekolah di Kolese. Kebiasaan dan tuntutan baru di asrama maupun sekolah mudah membuat mereka frustasi karena mereka tidak memiliki pondasi literasi yang dibutuhkan. Akibatnya antara 30-50% siswa asrama di Waghete dan Nabire serta SMA Kolese Le Cocq rontok di tengah jalan.   Emosi dominan lainnya adalah keras kepala (stubbornness). Ketika mulai membandingkan dengan kemampuan orang lain atau tingkat pencapaian yang harus diraih, mereka merasa minder. Mereka yang berhasil mengatasinya, memperkuat nilai kemandirian yang potensinya sudah mereka miliki. Mereka yang gagal biasanya menjadi keras kepala, tukang protes, dan semau-maunya sendiri.  Emosi dominan yang tidak diolah ini seringkali dibawa sampai usia dewasa dan membentuk kecenderungan untuk mau bebas sebebas-bebasnya (compulsive freedom). Banyak tanah misi atau tanah gereja di wilayah Mee Pago dipalang. Sekolah dipalang, Jalan dipalang. Proyek dipalang. Main hakim sendiri. Kalau mereka punya kemauan, mereka bisa berbuat apa saja meskipun merugikan orang lain. Tindakan ini bisa dibaca sebagai reaksi masyarakat kecil akibat keterdesakan karena kehadiran pendatang dan protes terhadap para elit pemerintahan yang tidak menjawab aspirasi mereka. Polisi sebagai representasi negara tidak berbuat apa-apa. Sementara para elit pemerintahan punya cara yang lebih canggih dalam mengekspresikan compulsive freedom-nya untuk mencari perolehan bagi diri sendiri. Misalnya, menggunakan dana negara bukan sesuai intensinya.  Pentingnya membangun fondasi kesehatan dan pendidikan sejak di keluarga perlu dilakukan oleh lembaga-lembaga Gereja karena merekalah yang saat ini punya akses langsung kepada masyarakat. Kita tidak bisa banyak mengharapkan pemerintah melakukannya sebagai kewajiban sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang, karena banyak elit tersandera oleh  kepentingan ego masing-masing. Kepentingan keluarga dan kelompoknya sendiri lebih dipentingkan daripada urusan pendidikan dan kesehatan masyarakat. Tentu ada beberapa bupati atau kepala dinas dalam jumlah kecil yang berbeda dari kebanyakan lainnya. Mereka bisa diajak berkolaborasi untuk memajukan pendidikan dan kesehatan.  Para pemimpin gereja Katolik di tanah Papua di LoC 199, para pemimpin agama Kristen Protestan LoC 156, dan para pemimpin agama Islam LoC 99. Sedangkan bupati dan gubernur masing-masing di LoC 98 dan 77. Melihat kondisi ini tidak mudahlah menggerakkan para pemimpin di lembaga-lembaga agama dan pemerintahan untuk mau berbasah tangan untuk  meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan.  Bagi pengelola asrama dan sekolah Kolese Le Cocq d’Armandville, tidak ada pilihan selain membangun fondasi pendidikan dan kesehatan dalam diri siswa yang didampingi meski sebenarnya sudah terlambat. Selain menambah asupan gizi, berbagai program untuk melatih kebiasaan baru mendesak diperlukan. Otak kita tidak berbeda dari otak homo sapiens 600.000 tahun  lalu. Apabila anak-anak diajak melakukan praktik kesadaran dengan berfokus pada nilai-nilai kejujuran, integritas, dan altruisme, maka LoC (level of consciousness) mereka akan naik di atas 200+ (dari skala Hawkins 1-1000) dan sel-sel otaknya  mengalami transformasi signifikan. Saat ini kebanyakan siswa berasal dari wilayah adat Mee Pago dengan LoC 140 dan wilayah adat Saereri (Nabire dan sekitarnya) LoC 68. Pendidikan karakter sekolah Kolese Le Cocq saat ini mencapai LoC 199, sama dengan SMA YPK Anak Panah Nabire. Sementara sekolah-sekolah lain di dua wilayah adat ini berada di bawahnya.  Nilai-nilai cukup baik ditangkap oleh para siswa lewat latihan-latihan hidup berkesadaran dasar, seperti bangun lebih pagi  dan mandi, menjaga hidup rohani dengan misa harian di asrama, memperhatikan kepentingan orang lain atau kepentingan  bersama dengan menjalankan tugas memasak, membuang sampah di tempatnya, mengucapkan salam dan membalas salam,  berani meminta maaf, mengatakan terimakasih, tepat waktu hadir di sekolah atau kelas, memuji teman, membantu teman  yang sakit, melakukan refleksi melalui pemeriksaan batin (Examen Conscientiae) setiap hari, mengenal diri lebih intensif  dalam kesempatan rekoleksi tahunan, dst.   Rangkaian demo atau protes terbesar oleh siswa Kolese Le Cocq selama 21 tahun terakhir, setidaknya tahun 2015 dan 2020, apapun pemicunya dan siapapun yang bermain di air keruh, menunjukkan bahwa pengelola asrama dan sekolah masih  gamang dalam membantu pengolahan emosi-emosi dasar siswa. Ini pekerjaan yang tidak mudah karena kondisi politik dan budaya sangat berpengaruh.  Oleh karena itu penting dan mendesak dibuat modul-modul latihan berkesadaran dasar. Modul-modul ini juga penting supaya sistem pendidikan karakter berjalan tanpa bergantung pada guru atau pendamping yang terus berganti. Misalnya, modul-modul pendidikan ekologi, modul-modul apresiasi, teknik-teknik relaksasi dan pelepasan emosi atau ketegangan, modul pengampunan radikal dan rekonsiliasi, modul pengembangan seni dan kecakapan kinestetik, dst.   Model pembelajaran kinestetik (paling dominan), auditif, dan visual setiap kali perlu digunakan sesuai kebutuhan masing masing siswa. Cura personalis menjadi kuncinya.  3. Akses pada Teknologi Digital  Era Revolusi Industri 4.0 memaksa manusia saat ini untuk hidup dalam dunia digital. Saat ini produk digital dan internet begitu lekat dengan manusia. Bahkan penduduk di Papua yang di banyak wilayah tak mendapat akses internet dan listrik, dapat menonton video kesukaannya dari kanal Youtube yang sudah diunduh terlebih dahulu dari handphone mereka.  Informasi juga menjadi mudah didapatkan dan disebar. Banyak buku yang sudah didigitalisasi dan disebar juga via internet sehingga dapat diakses gratis.   Salah satu tantangan akses teknologi digital di Papua adalah faktor geografis yang menyebabkan variasi topografi. Hal ini membuat pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi tak bisa dilakukan di 64% wilayah karena tak ada internet.  Jaringan internet tersedia di pusat-pusat kota di sepanjang pesisir pantai. Di pinggiran kota, apalagi di wilayah pegunungan, jaringan internet tidak tersedia. Sebenarnya cukup banyak bantuan VSat untuk sekolah-sekolah pedalaman. Namun teknologi ini banyak tidak terpakai, kecuali hanya sebatas untuk sms atau Whatsapp. Kebijakan kuota gratis yang diberikan Kemendikbud pun tidak maksimal manfaatnya di Papua. Karena itu perlu kreativitas untuk menyiasati keterbatasannya.   PNE 4.0 (Pustaka Neo EduTech) sebagai sebuah platform sharing materi digital tanpa sambungan ke internet, adalah salah satu inovasi yang dibutuhkan di Papua. Adalah fakta bahwa semakin terpencil sebuah wilayah, semakin tidak berkualitas pendidikannya. Semakin ke pinggir, semakin sulit penduduk punya akses teknologi.  Namun demikian, berbagai penelitian menyebutkan bahwa anak punya kemampuan belajar mandiri, asal mereka mau dan ada teknologi yang mendukung. Kita tidak perlu menunggu anak mengerti Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris untuk  bisa membuka internet atau materi digital. Teknologi digital justru bisa mempercepat literasi membaca.   Teknologi digital tanpa sambungan ke jaringan internet

Karya Pendidikan

Gonzaga Festival 2021 : Jatuh Satu, Tumbuh Seribu

Setiap tahunnya, kompleks bangunan di Jalan Pejaten Barat 10A menjadi saksi bisu kemeriahan pagelaran Gonzaga Festival (Gonzfest). Ratusan anak muda tumpah ruah dan terlibat di dalamnya. Ada pekik gembira lantaran bertemu kawan lama. Ada histeria karena bertemu idola, mendapati teman-teman sepermainannya naik panggung, atau karena bisa menunjukkan kebolehannya. Akan tetapi, pandemi tahun ini membungkam segalanya. Kompleks bangunan yang terletak di Jalan Pejaten Barat 10A itu kini sunyi, sepi, dan nyaris tak berpenghuni. Tidak ada lagi antrean body checking, pembelian tiket, maupun lorong-lorong yang penuh sesak oleh tenant yang menjajakan berbagai kudapan. Lapangan-lapangan olahraga yang biasa menjadi medan laga kontingen dari berbagai sekolah, kini ditinggalkan kosong. Demikian pula dinding-dinding SMA Gonzaga tidak lagi bersolek dengan dekorasi meriah. Ia ditinggalkan pucat pasi tanpa riasan. Pada malam hari, tidak ada lagi sorot lampu warna-warni di halaman sekolah. Hanya pendar samar-samar lampu taman yang menerangi jalan setapak yang sesekali dilewati orang. Sekali lagi, pandemi tahun ini membungkam segalanya.  Pandemi memang membuat anak jatuh, terpuruk, kesepian, dan bahkan kehilangan harapan. Gonzfest 2021 pun menjadi monumen mereka tumbuh, menyongsong hari baru yang masih akan datang, dan merawat api harapan yang masih berpendar dalam diri mereka. Keinginan untuk tetap tumbuh di tengah ketidakpastian inilah yang membuat mereka sampai pada rumusan tema “Jatuh satu, Tumbuh seribu”. Gonzfest ditandai dengan kegiatan ZADARI (Gonzaga Sepeda Lari). Kegiatan ZADARI berlangsung satu bulan dari tanggal 9 Agustus 2021 s/d 12 September 2021. Seluruh Komunitas Kolese Gonzaga diundang untuk berolahraga sambil mengumpulkan donasi. Olahraga yang dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah sesuai protokol kesehatan yang dibuat.  Donasi yang terkumpul sebesar Rp. 111.320.000,- (Seratus sebelas juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) dan disumbangkan melalui LDD KAJ (Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung Jakarta) bagi keluarga-keluarga pra-sejahtera yang terdampak pandemi.  Rangkaian perayaan Gonzfest pun berlanjut dengan berbagai agenda sejak tanggal 13 hingga 18 September 2021. Pekan Gonzfest ini ditandai dengan diselenggarakannya pengumpulan donasi. Ada dua metode yang digunakan, yaitu melalui donasi secara langsung dan melalui Gonzcart. Dalam kegiatan ini, siswa/siswi Gonzaga mengupayakan adanya e-canteen yang menjajakan berbagai kudapan. Keuntungan yang dihasilkan dari Gonzcart inilah yang nantinya turut akan disumbangkan bagi keluarga pra-sejahtera. Pekan Gonzfest diawali dengan webinar mengenai Perubahan Iklim oleh pendiri Greenwalfare.id, Nala Amira Putri dan workshop pembuatan kompos oleh anggota komunitas Kertabumi, Santi Novianti. Dalam kegiatan ini, semua peserta disadarkan kembali identitas mereka sebagai bagian dari alam semesta. Semua peserta diingatkan akan adanya tuntutan untuk terus berkontribusi aktif terhadap kelestarian lingkungan. Setiap orang dipanggil untuk terlibat dalam merawat bumi, rumah bersama ini. Selanjutnya, dinamika Gonzfest diisi dengan berbagai perlombaan pada hari kedua hingga kelima, antara lain: Solo vocal, Poster, English Debate, E-Sport, Visualisasi Puisi, Short Film, Pidato Virtual, Fotografi, Solo dance, dan Makeup. Meskipun penyelenggaraan lomba dilakukan secara daring tetapi tidak menurunkan animo para peserta yang terlibat. Perlombaan dan kompetisi Gonzfest diikuti oleh 36 SMP, 121 SMA, dan 12 perguruan tinggi. Mereka berasal dari Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Malang, Bali, Bajawa, Lampung, Aceh, Jambi, Pare, dan Nabire. Rangkaian Gonzfest ditutup dengan Charity Concert pada hari Sabtu, 18 September 2021 secara daring. Di ruang virtual inilah, siswa-siswi Gonzaga menunjukkan kebolehan mereka, baik dalam bentuk nyanyian, tarian, maupun visualisasi puisi. Secara khusus, konser ini dimeriahkan oleh penampilan Hindia sebagai bintang tamu. Penutupan Gonzfest ini menandai pula akhir dari pengumpulan donasi bagi keluarga pra-sejahtera yang terdampak oleh pandemi Covid-19.  Meski warga Kolese Gonzaga tidak lagi dapat mengekspresikan kemeriahan Gonfest Gonzfest seperti di tahun-tahun sebelumnya, akan tetapi jiwa muda kawula muda Kolese Gonzaga tetap dapat diungkapkan dalam tindakan nyata untuk membantu sesama. Gonzfest tidak lagi hanya diperjuangkan demi kemeriahan maupun gengsi belaka. Gonzfest tahun ini terus mengupayakan agar mereka yang putus asa dan terpuruk karena pandemi dapat menemukan dan menyalakan sekali lagi harapan mereka. Akhirnya, kompleks bangunan di Jalan Pejaten Barat 10A inilah yang menjadi saksi bisu geliat anak muda yang gelisah atas keprihatinan dunia. Kompleks bangunan di Jalan Pejaten Barat 10A juga menjadi rumah bagi orang muda yang tidak gentar memberikan diri bagi sesama. Mereka inilah nyala-nyala api di tengah kabut ketidakpastian, yang siap menyalakan api harapan dunia yang mulai pudar nyalanya.   Kontributor : Gregorius Agung Satriyo Wibisono, S.J.

Karya Pendidikan

Membangun Fondasi Pendidikan di Tanah Papua (Bagian 1)

Kondisi pendidikan dan kesehatan di wilayah Indonesia Timur berbeda dengan wilayah Indonesia Barat. Mengapa kemajuan SDM (Sumber Daya Manusia) di wilayah Indonesia Timur, terutama di Papua, lambat berjalan? Ada banyak sebab.  Sekurang-kurangnya tiga faktor yang akan kami cermati berikut ini memberi kontribusi yang signifikan: geografi, pendidikan dan kesehatan, serta teknologi digital.   1. Geografi  Peradaban yang kita kenal sekarang ini baru mulai sejak nenek moyang kita mengenal budaya pertanian. Pada 13.000 tahun yang lalu di Afrika, terjadi disrupsi yang mengubah sejarah. Hal ini dipicu oleh kekeringan hebat yang mengubah cara bertahan  hidup. Homo Sapiens yang bertahan hidup dengan berburu dan meramu, dipaksa keadaan untuk mencari benih-benih tanaman yang kemudian dapat dibibitkan dan jenis hewan-hewan yang dapat didomestikasi. Maka, mulailah budaya bertani dan beternak. Dari sana berkembang kebutuhan untuk menciptakan teknologi pertanian, peternakan, transportasi, alat senjata, dst. Berbeda dengan Afrika, di Papua tidak pernah terjadi kekeringan dan kelaparan – setidaknya ketika mereka masih memilih untuk memaksakan diri memakan nasi. Hujan sepanjang tahun. Hutan lebat. Kekayaan alam melimpah. Orang di Papua sudah bisa hidup tanpa perlu bertani atau beternak. Alam memanjakan mereka. Tidak dibutuhkan inovasi teknologi agar bisa bertahan hidup. Kondisi masyarakat dengan kultur berburu dan meramu di Papua saat ini, sebanyak 16% (kal.) dari  populasi OAP (Orang Asli Papua), tidak berbeda jauh dari nenek moyang kita sebelum 13.000 tahun yang lalu.  Selain kultur berburu dan meramu, terdapat pula kultur petani 28% (kal.) dan kultur urban 56% (kal.). Menurut data resmi Badan Pusat Statistik tahun 2020, di seluruh tanah Papua, 67% penduduk tinggal di desa, sedangkan 33% di kota. Di Papua sendiri sebanyak  68.8% penduduk tinggal di desa, sedangkan di Papua Barat 65.1%. Artinya, kultur modernitas urban sudah mempengaruhi lebih dari separuh populasi OAP baik di perkotaan maupun di pedesaan.  Kultur urban yang berciri serba praktis, cepat dan instan mulai mengubah pola kebiasaan konsumsi OAP. Cukup banyak OAP mengonsumsi nasi, bukan lagi ubi atau nota, sebagai akibat kebijakan politik “beras-isasi” Papua. Mama-mama Papua menjual nota untuk membeli indomie. Ikan dari danau dijual untuk ditukar dengan sarden. Pisang dijual untuk membeli pisang goreng. Banyak orang dari pedalaman senang pergi ke pusat-pusat kota kabupaten atau dari kabupaten pedalaman ke kota di pesisir pantai karena berbagai alasan atau tujuan. Ada yang ingin melakukan transaksi jual-beli barang dan jasa, mencari akses internet, mencari tempat yang dirasa lebih aman, atau hanya sekedar jalan-jalan melihat keramaian. Moda transportasi modern telah membuat kebutuhan untuk bergerak dengan cepat terlayani dengan relatif mudah. Bentang alam di Papua juga luar biasa kaya. Di Indonesia, hanya Papua yang mempunyai topografi pesisir pantai dan juga pegunungan hingga glacier. Bahkan Puncak Mandala (5050 mdpl), yang tertinggi di Indonesia, ada di Papua. Papua mempunyai rawa, hutan hujan dataran rendah dan dataran tinggi, terumbu karang, dan mangrove. Variasi bentang alam memisahkan satu daerah dengan daerah lainnya. Baik itu dibatasi oleh pegunungan dan perbukitan, danau, sungai yang lebar dengan arusnya yang deras hingga bentangan laut dengan musim anginnya. Selain itu, tanah Papua kaya dengan potensi tambang yang meliputi minyak dan gas bumi, emas, tembaga, batubara, nikel, pasir besi dan sebagainya. Faktor geografis Papua dengan kekayaan alam yang melimpah dan mendukung penghidupan masyarakatnya juga berkontribusi pada pemerataan akses kebutuhan hidup yang esensial.  Melihat kekayaan alam seperti ini, siapa tidak tergiur? Selain Free Port, banyak perusahaan mencari keberuntungan di Papua. Mereka bermain di segala sektor, entah di pengelolaan hasil hutan, tambang, atau laut. Ketika kepentingan ekonomi berkoalisi dengan kekuasaan negara, konflik terbuka tak bisa dihindarkan. Konflik bersenjata seperti yang terjadi saat ini di Intan Jaya, misalnya, ditengarai sarat dengan kepentingan ekonomi.  2. Pendidikan dan Kesehatan  Di manapun di dunia ini, pendidikan dan kesehatan selalu membantu masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Bagaimana dengan kondisi pendidikan dan kesehatan secara umum di Papua?  Keluarga-keluarga yang mempunyai motivasi agar anaknya memiliki peluang lebih besar dan bisa mendapat pekerjaan yang lebih  baik di era modern, akan mengirimkan anaknya ke sekolah-sekolah yang dianggap berkualitas di daerahnya. Meskipun  demikian, keinginan mendapat hasil tanpa proses panjang atau pemahaman bahwa pendidikan merupakan proses barter untuk  mendapat ijazah karena sudah membayar—warisan kultur berburu dan meramu–juga masih banyak terjadi. Biasanya mereka menuntut sekolah agar anaknya tetap lulus atau naik kelas, meskipun tidak bisa membaca atau jarang masuk  sekolah.   Masih banyak didapati, meskipun sudah usia SMA atau bahkan perguruan tinggi, mereka tidak lancar membaca dan berhitung. Banyak gedung sekolah berdiri tetapi tidak ada KBM (Kegiatan Belajar Mengajar). Kurangnya guru baik dari segi kuantitas maupun kualitas.  Guru yang ada terlalu sering absen. Banyak murid tidak memiliki buku pelajaran meskipun dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) disediakan. Guru memberi nilai bagus supaya anak naik atau lulus meskipun anak tidak bisa membaca. Situasi tersebut umum terjadi di banyak tempat di tanah Papua.  Prevalensi Malaria, TBC, dan HIV/AIDS cukup tinggi. Namun pengobatan penyakit seperti ini pada umumnya hanya tersedia di pusat-pusat kota. Di pedalaman banyak gedung puskesmas berdiri tetapi tidak ada obat, tidak ada dokter, tidak ada perawat.  Faktor geografis di poin pertama tadi, berkontribusi terhadap tersedianya fasilitas bagi tenaga kesehatan dan tenaga pendidik, juga distribusi obat atau buku. Nakes dan nadik di pedalaman harus mau hidup cukup terisolasi, jauh dari keluarganya. Penyediaan alat pendidikan dan kesehatan lebih mahal karena biaya transportasi. Oleh karena itu, semakin jauh dari pusat kota, semakin sedikit tenaga guru dan kesehatan yang mau mengabdikan diri. Guru-guru lokal yang diangkat sebagai ASN/PNS sering tidak masuk. Di Pulau Jawa guru tidak masuk paling sehari atau dua hari; di Papua bisa satu bulan atau lebih. Banyak tenaga kesehatan yang bersedia mengabdi di tempat terpencil akhirnya harus menyerah dan kembali ke kota karena minimnya fasilitas.  Belum ada kebijakan publik di Papua yang membawa dampak perubahan positif, kecuali proyek infrastruktur jalan trans Papua (LoC 495). Kebijakan-kebijakan lain di level yang rendah. Kondisi pendidikan di level terendah LoC 38, kesehatan LoC 49. Pengiriman TNI ke Intan Jaya dan lokasi-lokasi konflik untuk memerangi OPM/KKB LoC 89. Otonomi Khusus LoC 99. Semua kebijakan publik di bawah level 200 belum akan mendatangkan perubahan yang positif bagi masyarakat.  Pulau Papua terkaya dibanding semua pulau di Nusantara. Pulaunya sebesar 4-5 kali pulau Jawa. Populasinya tidak sampai ½ dari penduduk Jakarta.