Pilgrims of Christ’s Mission

Formasi Iman

Formasi Iman

Pertemuan Bruder Jesuit Indonesia di Kolese Loyola Semarang

Pertemuan Bruder Jesuit Indonesia tahun 2023 diadakan di Kolese Loyola Semarang, dari tanggal 29 – 31 Oktober 2023. Ada 16 Bruder yang hadir dalam acara tersebut dan berasal dari beberapa komunitas. Hadir pula seorang Bruder Novis, yang diutus oleh Magister dan Socius Magister di komunitas formasi Novisiat Girisonta. Walaupun ada beberapa Bruder yang tidak hadir dalam acara ini, karena kesibukan maupun karena lokasi yang terlalu jauh (luar pulau), namun acara ini tetap berjalan dengan menggembirakan dan lancar.

Formasi Iman

Berjalan Bersama Sahabat Seperutusan

QUINDIN 2023 Pada tanggal 27 Juli – 2 Agustus 2023 para Frater dan Bruder Serikat Jesus Provinsi Indonesia mengikuti rangkaian acara Quindin 2023. Quindin adalah kesempatan rekreasi bersama yang bertujuan untuk membangun komunitas persaudaraan antarskolastik sembari membahas isu yang sedang berkembang. Quindin 2023 dengan tema “Berjalan Bersama Sahabat Seperutusan” ini diikuti oleh 53 peserta. Ada 22 Filosofan, 15 TOKER, 13 Teologan, dan 3 orang Romo). Artificial Intellegence:Berjalan Bersama Dunia yang Berkembang Quindin 2023 diawali dengan kegiatan studi bersama mengenai Artificial Intellegence (AI). AI berkembang pesat dan telah masuk ke semua lini kehidupan mulai dari bidang kesehatan, teknologi, ilmu pengetahuan, eksplorasi, transportasi, industri, bahkan dalam bidang peribadatan. Dalam proses study ini, para peserta Quindin didampingi oleh beberapa akademisi dan praktisi AI profesional. Dr. Ir. Lukas, MAI, CISA, IPM yang merupakan ketua dari IAIS (Indonesia AI Society) menjadi pembicara pertama. Selanjutnya, Pater Hari Suparwito, S.J. menjelaskan etika penggunaan teknologi, khususnya AI. Praktisi AI seperti Yulianus Ladung, Arbain Rambey, dan Yohanes Paganda Halasan Harahap turut berbagi pengalaman penerapan AI dalam bidang seni, fotografi, dan media informasi. Dalam proses study ini, ada antusiasme yang cukup dominan. Para skolastik terlibat aktif dengan menanggapi, melontarkan pertanyaan, dan mempraktikkan materi serta mencoba teknologi VR (Virtual Reality). Seorang skolastik berkomentar bahwa perkembangan dunia digital harus diikuti oleh Serikat Jesus agar relevan dalam menyelamatkan jiwa-jiwa di era teknologi global zaman ini. AI bisa menjadi ancaman dan peluang untuk sebuah dunia yang lebih baik. Kami pergi ke Bali, sambil Melihat Ke-mbali Rangkaian kedua acara Quindin 2023 adalah rekreasi ke Pulau Dewata, Bali. Dalam perjumpaan antarangkatan skolastik, terlihat jelas keakraban dan keinginan untuk saling mengenal satu sama lain, serta menimba semangat dengan saling membagikan cerita. Selain mengenal keragaman budaya dan karya serikat di Indonesia, Quindin kali ini juga diwarnai dengan aktualia teman-teman ekspatriat dari Myanmar, Thailand, dan Pakistan. Melalui perjumpaan antar skolastik lintas angkatan, lintas negara, serta lintas tugas perutusan ini, kami semakin mengenal satu sama lain. Semoga ini menjadi awal dari persahabatan dan perjalanan bersama sahabat seserikat. Semoga melalui Quindin yang telah diselenggarakan ini, tugas perutusan Allah semakin mampu dilaksanakan dalam semangat Kasih Persaudaraan. Kontributor: SS. Petrus Guntur Supradana, S.J. dan Feliks Erasmus Arga, S.J.

Formasi Iman

Berani Berjumpa di Tempat Mereka Berada

Perjumpaan, walau sederhana dan sekecil apapun, dapat mengubah jalan hidup seseorang dan bahkan menjadi sarana keselamatan. Sebagaimana perjumpaan sederhana Bunda Maria dan Elisabeth saudarinya, serta Yesus dan Yohanes Pembaptis yang “berjumpa” selagi masih di dalam kandungan ibu mereka masing-masing, berlanjut dengan karya keselamatan Allah bagi dunia, diharapkan perjumpaan-perjumpaan kita sehari-hari dengan siapa saja menjadi sebuah perjumpaan yang membawa keselamatan. Itulah salah satu renungan yang ditawarkan Pater Provinsial, P. Benedictus Hari Juliawan S.J. kepada seluruh umat yang hadir dalam Perayaan Ekaristi Pengucapan Kaul Akhir lima imam Jesuit pada 31 Mei 2023 mulai pukul 17.30 WIB di Gereja Santo Antonius Padua Kotabaru Yogyakarta. Mereka yang mengucapkan kaul akhir adalah P. Ignatius Suryadi Prajitno, S.J. (Pastor Rekan Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda Tangerang), P. Yohanes Adrianto Dwi M., S.J. (Pastor Kepala Paroki St. Yohanes Pemandi Waghete, Papua), P. Mario Tomi Subardjo, S.J. (Mahasiswa Doktoral Pontificio Instituto Liturgico Sant’ Anselmo, Roma, Italia), P. Julius Mario Plea Lagaor, S.J. (Direktur/Kepala SMA Seminari Mertoyudan Magelang), dan P. Yustinus Rumanto, S.J (Direktur CampusMinistry Universitas Sanata Dharma Yogyakarta). Melalui kaul akhir, kelima imam Jesuit ini mempersembahkan diri untuk sepenuhnya menggabungkan diri atau berinkorporasi ke dalam Serikat Jesus. Dalam Ekaristi yang bertepatan pula dengan Pesta Santa Perawan Maria mengunjungi Elisabeth ini, Pater Provinsial sebagai selebran utama didampingi P. Paul Suparno, S.J. (Acting Superior Kolese St. Ignatius atau Kolsani) dan P. Adrianus Maradiyo, Pr (Vikep Kevikepan Yogyakarta Timur) serta para imam kaules (yang mengucapkan kaul) sebagai konselebran. Perayaan ini ditayangkan juga secara langsung di kanal YouTube Jesuit Indonesia dan Gereja St. Antonius Padua Kotabaru. Selanjutnya Pater Provinsial mengajak terutama para imam kaules agar dalam karya pelayanan mereka bersedia berjumpa dengan siapa saja tanpa terkecuali. Mengutip homili Paus Fransiskus dalam kunjungannya ke Amerika Serikat, Pater Provinsial berharap agar para kaules mau menjumpai mereka di tempat mereka berada, bukannya di tempat yang kita pikir mereka berada. “Maksudnya, dalam pelayanan dan perutusan kita harus selalu siap berhadapan dengan situasi yang tidak nyaman, tidak mudah, tidak menyenangkan, ataupun tidak sesuai dengan keinginan kita. Sebab, hanya dengan cara itulah kita dapat sungguh terlibat menjadi sarana kasih Allah bagi orang-orang di sekitar kita,” ujar Pater Provinsial. Di akhir Ekaristi, Pater Tomi mewakili para kaules mengucapkan terima kasih kepada Serikat Jesus, keluarga, sahabat, rekan kerja, serta seluruh umat yang telah mendukung panggilan dan perutusan mereka hingga akhirnya mereka diperkenankan mengikrarkan kaul akhir. Selanjutnya ia masih terus mohon doa agar para kaules tetap setia dalam panggilan dan karya pelayanan dengan baik hingga akhir hayat. Selepas Perayaan Ekaristi, seluruh umat yang hadir yang meliputi para nostri Serikat Jesus, keluarga kaules, rekan kerja, perwakilan umat paroki tempat para imam kaules sedang atau pernah berkarya, serta umat Paroki Kotabaru beramah tamah di halaman sayap utara Gereja Kotabaru. Kontributor: Amadea Prajna Putra Mahardika, S.J.

Formasi Iman

Menyambut Anggota Keluarga yang Baru

Tanggal 15 Juni 2022 adalah hari yang istimewa bagi Komunitas Novisiat St. Stanislaus Kostka Girisonta dan juga bagi Serikat Jesus Provinsi Indonesia. Tujuh pemuda datang ke Novisiat dan memulai peziarahan formasi awal mereka dalam Serikat Jesus. Mereka bertujuh datang dan diantar oleh beberapa anggota keluarga mereka. Sukacita kehadiran mereka juga menjadi kesempatan bagi kami, para novis, untuk berlatih melayani dengan sepenuh hati. Harapannya, anggota keluarga baru kami dapat cepat kerasan dan nyaman dalam rumah barunya sehingga mendukung tekad bulat mereka untuk mengabdi Allah dalam Serikat Jesus. Sukacita dalam penyambutan mereka juga tidak bisa dilepaskan dari perhatian pada situasi pandemi covid yang masih tidak menentu. Meskipun keadaan pandemi tidak separah dan setinggi masa-masa sebelumnya, kami tetap menerapkan protokol kesehatan dalam acara tersebut. Protokol ini diterapkan dengan semangat untuk melindungi dan menjaga kesehatan keluarga novis baru lebih daripada kesehatan kami sendiri, walaupun kesehatan kami juga sama pentingnya. Kami berusaha agar semua keluarga yang mengantar dan juga kami tidak beresiko terpapar mengingat kami datang dari berbagai tempat. Kiranya pengalaman acara serupa di tahun sebelumnya menjadi pembelajaran yang penting bagi kami. Namun, apakah dengan adanya protokol covid ini menjadi hal yang mempersempit dan membatasi ruang interaksi kami dengan novis baru dan keluarganya, juga novis baru dan keluarganya dengan lingkungan novisiat? Tentunya tidak. Semua anggota komunitas novisiat terlibat untuk menyambut. Bahkan anggota keluarga para novis baru diberi kesempatan untuk berkeliling di kompleks Novisiat. Semua tampak antusias dan gembira. Ada keluarga yang sungguh tertarik dengan tanam-menanam, menanyakan berbagai hal mengenai tanaman-tanaman yang diolah di sawah, green house, dan kebun, bahkan ada yang memetik dan meminta beberapa tanaman novisiat untuk dibawa pulang. Ada keluarga yang sungguh terkesan dengan area dalam novisiat, melihat kebun dan halaman dalam, bahkan karena melihat sekilas kerapian kamar tidur (dormit) dan ruang kubikel (ruang komunitas basis) yang digunakan oleh para novis. Masing-masing keluarga mempunyai kesannya masing-masing dalam berkeliling area novisiat. Acara penyambutan ditutup dengan perjumpaan novis baru beserta keluarga dengan Pater Magister dan Socius Magister. Kesempatan menyambut kedatangan para novis baru ini menjadi kesempatan berharga dalam membangun persaudaraan sebagai satu keluarga dalam Serikat Jesus. Anggota keluarga baru yang kami dapatkan bukan hanya para novis baru tetapi juga keluarga mereka. Dengan semakin saling mengenal, entah itu pribadi maupun tempat, harapannya kami dapat saling mendukung proses menjesuit dan pengabdian kepada Allah. Kontributor : Agustinus Satria Bagus D.S., nS.J.

Formasi Iman

Pelayanan yang Membuahkan Persahabatan

Tujuh orang novis mengikrarkan kaul pertama mereka di dalam Serikat Jesus, setelah menjalani formasi novisiat selama dua tahun, pada Sabtu, 25 Juni 2022. Para kaules mengikrarkan kaul-kaulnya dalam perayaan ekaristi yang dihadiri oleh keluarga kaules, nostri, dan para skolastik baru dari Myanmar, Pakistan, dan Thailand. Perayaan Ekaristi ini dipimpin langsung Pater Provinsial Benny didampingi oleh Pater Magister Sunu dan Pater Superior Yumartana. Gelora semangat perayaan ini didukung pula oleh koor dari siswa-siswi SD Kanisius Girisonta yang menyanyikan lagu-lagu perayaan ekaristi dengan merdu dan indah.  Kamulah Sahabat-sahabat-Ku. Itulah tema yang dipilih oleh Frs. Andre, Michael, Neno, Feliks, Petrus, Hari, dan Yohan untuk kesempatan berharga ini. Mereka bertujuh merefleksikan bahwa “… kami bukanlah manusia-manusia ampuh. Namun sekuntum lembut panggilan-Nya telah menjadi curahan kasih yang amat besar, semerbak di hati kami hingga kami tak mengingini apapun lagi selain penyerahan diri di tangan-Nya. Melalui lembaran ini, kami hendak berbagi tentang segenggam harum manis cinta Tuhan bagi kami, sahabat-sahabat-Nya yang rapuh ini. … Dia menyebut kami sahabat. Banyak kerapuhan, pergulatan dan ketidak-ampuhan kami diterima dan diampuni. Hingga kami pun bisa bersahabat dengan diri kami apa adanya. Serikat Jesus telah menjadi sahabat kami juga. Kami dibantu dan didukung mendiskresikan inti panggilan kami untuk mengabdi Dia lebih sungguh dalam segala. … kami mantap berlantang merdu mengungkapkan janji setia kami kepada Yesus sahabat kami yang tergantung di Salib. Kasih seorang sahabat yang memberikan nyawa-Nya ini, kami mohonkan mewujud pula di dalam perjalanan kami menghayati hidup kaul bersama Dia.” Dalam homilinya, Pater Benny juga mengingatkan pentingnya persahabatan dalam hidup menjesuit. Hanya sahabat kita yang bisa menanggung kerapuhan kita. Beberapa probasi selama di Novisiat telah menjadi miniatur sekaligus bukti kebenarannya. Setelah perayaan Ekaristi para skolastik baru mendapat kesempatan untuk bertemu dengan keluarga mereka, melepas rindu, dan bergembira bersama. Banyak rasa syukur yang muncul karena peristiwa hari ini. Bagi kami para novis, kesempatan ini menjadi latihan bagi kami untuk melayani kaules sebagaimana mereka telah terlebih dahulu melayani kami. Harapannya, kami dapat terus saling melayani dan menghidupi semangat pelayanan ini dalam tugas perutusan selanjutnya. Kehadiran para skolastik dari Myanmar, Pakistan, dan Thailand juga memberi suasana baru dan menambah wawasan universalitas Serikat bagi kami para novis. Kami senang bisa saling mengenal dan bercerita satu sama lain. Meskipun sesekali terkendala bahasa, kami tetap berusaha saling menghormati dan melayani. Sesekali kami saling menertawakan meskipun kami tidak paham apa yang kami tertawakan. Kami bersyukur karena sebagai tuan rumah kami mendapat kesempatan untuk melayani mereka dan mengembangkan hospitalitas kami. Kelancaran acara dan persahabatan dalam perjumpaan-perjumpaan baru yang menggembirakan menjadi buah dari pelayanan, proses memberikan diri untuk orang lain (for others). Ketika orang mampu melayani dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati maka orang di sekitarnya pun merasakan buah sukacita. Dari pengalaman ini, ternyata, pelayanan membuahkan sukacita baik bagi yang dilayani maupun yang melayani. Tentunya mengembangkan semangat pelayanan seperti ini tidak hanya diperlukan dalam acara-acara penting dan besar saja tetapi juga harus membadan dalam pilihan tindakan hidup sehari-hari. Kontributor : Christoforus Kevin Hary Hanggara, nS.J.

Formasi Iman

Libur sebagai Kesempatan untuk Masuk ke Kedalaman

Libur akademik bukanlah alasan bagi para frater untuk berhenti mengembangkan diri mereka. Justru dalam waktu-waktu ini para frater diberi kesempatan untuk mengikuti tiga jenis kursus untuk mengembangkan pribadi dalam tiga aspek berbeda, yaitu spiritual, keuangan, dan psikoseksual. Aspek spiritual didalami lewat kursus spiritualitas daring bersama dengan Pater Leo Agung Sardi, S.J. (19-20 Jan 2022). Pater Sardi mengajak para frater untuk semakin menyadari betapa pentingnya kedalaman dalam menjalani formasi studi di Kolese Hermanum. Kedalaman dalam proses formasi studi ini tidak hanya dicapai dalam kedalaman intelektual belaka, tapi juga kedalaman spiritual. Kualitas dan aspek kedalaman inilah yang pada akhirnya membuat kontribusi kita sebagai Jesuit bisa semakin maksimal, semakin berdampak, berlangsung lama, dan menginspirasi. Kedalaman ini sungguh diperlukan oleh para frater, dan juga semua Jesuit, terlebih untuk bisa menjalankan dan menghidupi UAP. Bagaimana caranya kita bisa membantu orang untuk menunjukkan jalan kepada Tuhan bila kita sendiri tidak punya kedalaman? Itulah pesan utama yang coba disampaikan Pater Sardi lewat kursus spiritualitas kemarin, yaitu untuk mencapai kedalaman intelektual dan spiritual agar dapat membantu sesama menemukan jalan menuju Tuhan.  Kursus kedua yang diikuti oleh para frater filosofan adalah kursus finance bersama dengan Pater Ignasius Aria Dewanto, S.J. (21-22 Jan 2022). Kursus ini menjadi cukup spesial karena untuk pertama kali dalam dua tahun, kursus diadakan secara offline di salah satu ruang kuliah STF Driyarkara. Dalam kesempatan kursus kemarin, Pater Aria membagikan beberapa pengalamannya yang bersinggungan dengan persoalan keuangan di PIKA dan Keuskupan Agung Semarang. Pengalaman-pengalaman yang dimiliki Pater Aria menjadi jembatan bagi para frater untuk mulai membayangkan tugas-tugas perutusan Jesuit yang tidak pernah jauh dari urusan keuangan. Rasa-rasanya, kesempatan kursus ini menjadi tepat waktu karena kita semua mendapat ajakan Pater Jenderal untuk merenungkan kembali praktik kaul kemiskinan Serikat dalam waktu-waktu ini. Terakhir, para frater diberi kesempatan untuk mengikuti kursus psikoseksual bersama Bu Ineke Suhati. Sebagai seorang psikolog, Bu Ineke memiliki segudang cerita untuk dibagikan kepada para frater. Sharing pengalaman dari Bu Ineke tidak hanya menjadi tambahan cerita bagi para frater, tapi juga menjadi bahan refleksi pribadi mengenai perkembangan psikoseksual masing-masing untuk dapat melihat kembali bagaimana diri berkembang dari tahap ke tahap hingga saat ini. Kursus ini sungguh penting, mengingat kita semua perlu untuk terus menghidupi budaya safeguarding dalam pelayanan kita masing-masing. Salah satu cara konkret untuk menghidupi budaya safeguarding adalah dengan menyadari terlebih dahulu perkembangan psikoseksualitas diri dan berusaha untuk terus mengembangkannya ke arah yang lebih baik.  Sebagian materi yang didapat selama kursus-kursus tersebut bukanlah hal yang benar-benar baru. Akan tetapi, bukan berarti materi yang diulang tidak ada manfaatnya sama sekali. Justru sebaliknya, pengulangan memungkinkan para frater untuk memiliki pemahaman yang semakin mendalam. Hanya dengan menyelam ke kedalaman kita bisa mendapat apa yang sungguh berharga. Kontributor : Leander Emanuel Arya Wikan P., S.J.

Formasi Iman

Babak Baru Peziarahan Novisiat St. Stanislaus Kostka Girisonta

Selasa, 21 September 2021 menjadi kesempatan istimewa bagi Komunitas Novisiat St. Stanislaus Kostka Girisonta. Kami merayakan ulang tahun ke-90 Novisiat Girisonta. Perayaan ulang tahun kali ini dilakukan secara sederhana. Kami menggunakan kesempatan ini bukan sebagai titik puncak perayaan tetapi justru sebagai awal proses perjalanan yang baru dengan mendalami semangat Peziarahan St. Ignatius. Hal ini sekaligus menjadi tanggapan atas undangan Pater Jenderal untuk menyiapkan formasi menghadapi tantangan Serikat ke depan. Kami tergerak untuk menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh seperti Bapa Ignatius, sekaligus terbuka pada banyak kemungkinan yang tak terduga. Dengan membaca buku Berjalan Bersama Ignatius yang telah diluncurkan pada peringatan 50 tahun Provindo yang lalu, para novis belajar membatinkan semangat jiwa besar hati rela berkorban. Begitu pula melalui pendalaman bersama Rm. Priyo Poedjiono, para novis diajak untuk menyerap proses internalisasi Autobiografi, Latihan Rohani dan Konstitusi yang terarah untuk Missio Dei.  Begitulah kami komunitas Novisiat merayakan 90 tahun Novisiat Girisonta menyongsong undangan untuk bertransformasi bersama seluruh tubuh serikat Universal. Berikut ini selayang pandang Novisiat St. Stanislaus Girisonta: Novisiat SJ di Indonesia dibuka pertama kali pada tahun 1922 di suatu rumah sewaan di Yogyakarta. Novis Indonesia pertama yang masuk Novisiat SJ di Yogyakarta adalah Frs. Hardjasoewanda, Poespadihardja, Reksaatmadja, dan Soemarna serta beberapa novis dari Belanda. Mereka dibina oleh Pater F. Strater. Lalu pada tahun 1931 Novisiat mulai dibangun di samping rumah retret Girisonta di Ungaran. Pada bulan September, Novisiat dan Yuniorat pindah dari Yogyakarta ke kompleks yang baru ini. Magister novis pertama di Novisiat Girisonta adalah Pater Gregorius Schmedding, yang sejak tahun 1932 telah berkarya di bidang formasi sampai dengan akhir hidupnya, tahun 1934. Para novis pertama yang menikmati formasi di kompleks ini adalah enam orang yang berasal dari Indonesia. Masuk SJ pada 3 September 1931, mereka ini adalah Leonardus Daroewenda, Antonius Sontoboedoyo dan Servatius Tjakrawirjana. Tiga orang lainnya merupakan bruder Indonesia pertama yang diterima pada 10 Mei 1931. Mereka adalah Neo Kardis, Matheus Tirtasumarta, dan Hermanus Wirjapoespita. Pada tahun 1932, beberapa novis Belanda, yaitu Cornelis Jeuken, Carolus Krekelberg Kiswara, Joannes Overes, Bernardus Schouten, Alphonsus Smetsers, dan Laurentius van der Werf menjalani formasi di Novisiat Girisonta. Dalam buku Girisonta: Dari Novisiat Menatap Taman Getsemani, Pater Henricus Suasso memberikan gambaran tentang Novisiat awal di tahun 1937. Novisiat sederhana yang dibangun seperti asrama biasa ditambah kapel dan dihias sehingga tercipta suasana yang tidak menekan (tenang). Pada saat itu, para novis dididik untuk mengalami komunitas antarbudaya di mana penyesuaian diri menjadi tantangan utamanya. Selain itu, Pater Widyana menambahkan bahwa suasana silentium amat ditekankan dan semua harus menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar dan jika ingin berbicara harus menggunakan bahasa Latin. Novisiat Girisonta pernah mengalami masa-masa perang kemerdekaan. Pada tahun 1948, suasana yang santai tersebut berubah ketika Pater Schonhoff tiba di Novisiat dengan menerobos garis demarkasi perang. Dalam catatan Pater Harry van Voorst tot Voorst, adat kebiasaan novisiat pada tahun tersebut menjadi para novis memakai jubah setiap saat kecuali olahraga; makan pagi, siang, dan malam dengan silentium; adanya penitensi di refter (parva mensa); dan terakhir adanya lectio saat awal makan. Dalam hari-hari khusus ada rekreasi sesudah makan. Kebiasaan-kebiasaan dalam novisiat mengalami perubahan dan penyesuaian dari masa ke masa. Dalam perjalanan Novisiat tersebut, beberapa formator magister yang terlibat dalam formasi para Jesuit adalah Pater Magister Petrus Sunu Hardiyanta, Agustinus Setyodarmono, Leo Agung Sardi, Laurensius Priyo Poedjiono, Sartopandoyo, Warnabinarja, Ignatius Haryoto, dan Chrysantus Prawirasuprapta.  Tidak terasa usia 90 tahun itu telah dicapai oleh Novisiat ini. Dalam prosesnya itu, sudah dan masih ada begitu banyak orang yang terlibat dalam mewarnai peziarahan formasi para Jesuit di Provinsi Indonesia. Hasilnya, Novisiat ini telah melahirkan para Putra Ignatius yang dibakar dengan semangat Latihan Rohani, untuk terus melayani Tuhan melalui Gereja dan Negara. Memang, perayaan ke 90 ini harus dirayakan secara sederhana di tengah keterbatasan karena pandemi. Namun, dalam suasana 500 tahun pertobatan St. Ignatius, kita diajak untuk melihat segala sesuatu secara baru di dalam Kristus. Dalam suasana penuh syukur kita diminta untuk menghayati tegangan yang kreatif dan semangat bersungguh-sungguh dan terbuka terhadap sesuatu yang tidak terduga.  Kontributor : Hendricus Satya Wening, S.J.

Formasi Iman

Biarawan dan Biarawati Abad 21: Menjadi Wahyu Dalam Kerapuhan

Hari Hidup Bakti dalam Gereja Katolik dirayakan setiap 2 Februari. Di bawah ini adalah refleksi Bruder Emili Turú, FMS mengenai makna hidup religius saat ini. Bruder Turú adalah Sekretaris Jenderal para Superior Jenderal (USG-Roma) dan ia diwawancarai oleh Sekretaris Eksekutif para Superior Jenderal Kongregasi Biarawati, Suster Patricia Murray.  Dimensi Profetis Hidup Bhakti Hidup di tengah krisis global karena pandemi Covid, rasisme, kekerasan, dan perpecahan menuntut jawaban profetis dari para biarawan dan biarawati. George Floyd yang lirih berteriak, “Aku tidak bisa bernapas,” memperjelas betapa jutaan orang yang terinfeksi Covid dan mereka yang mengalami berbagai bentuk penindasan sungguh berjuang demi hidup mereka. Di berbagai belahan dunia, oksigen sebagai penopang kehidupan juga semakin menipis. Lalu bagaimanakah respon kita sebagai religius? Bagaimana caranya menghidupi kaul kita di tengah dunia yang sedang menderita ini?  Patricia Murray, IBVM Pandemi Covid-19 menunjukkan kemiripan berakhirnya sebuah zaman, yaitu perubahan peradaban. Sejarah mencatat bahwa masa dekadensi senantiasa menandai lahirnya peradaban baru. Masa dekadensi adalah waktu yang penuh kekacauan dan ketidakpastian, persis seperti saat ini di mana kita berusaha menemukan diri kita sendiri.   Saya berkaca pada jemaat Kristen Perdana ketika merefleksikan masa-masa ini. Bahkan dalam masa sulit yang melebihi situasi kita saat ini, jemaat Kristen Perdana mampu berkembang pesat dengan cara yang sulit dijelaskan. Terkait dengan hal ini, saya merasa terkejut ketika membaca sebuah refleksi mendalam seorang pastor Lutheran untuk menemukan neologisme “anti-rapuh” yang dapat diterapkan pada Gereja kita. Ia menyimpulkan bahwa sistem-sistem mekanis itu cenderung rapuh sedangkan sistem-sistem organik justru sebaliknya karena mereka memang dirancang untuk tumbuh dalam tekanan. Beberapa bagian tubuh kita, seperti otot dan tulang, memerlukan beban tertentu agar tetap sehat dan kuat. Demikian halnya dengan Gereja Perdana. Mereka ini “amat kuat” dan justru tumbuh pesat ketika tekanan semakin kuat.  Kita dapat menerapkan daya juang “anti rapuh” ini di lingkungan sekitar dan kongregasi kita. Kita terlahir dalam keadaan penuh tekanan dan kita justru bertumbuh subur di bawah keadaan demikian. Jikalau keadaan senantiasa nyaman, maka kita cenderung santai lalu kehilangan daya juang dan akhirnya kita menjadi sakit.  Jika orang Kristiani menganggap hidup di bawah tekanan itu wajar agar tumbuh semakin kuat, maka wajarlah juga ketika Gereja Perdana sangat menghargai sikap sabar, yang maknanya adalah kemampuan untuk tetap bertahan menghadapi penderitaan secara tenang.  Orang-orang kudus, misalnya Siprianus, Yustinus, Clemens, Origenus, dan Tertulianus semuanya berbicara mengenai kesabaran dan meyakini bahwa kesabaran adalah nilai kristiani paling utama. Kesabaran memampukan kita berpasrah diri secara total kepada Tuhan, hidup damai tanpa kegelisahan dan rasa benci, dan bahkan tidak pernah terlalu memaksa diri meraih apa yang kita inginkan. St. Yustinus menggambarkan kesabaran sebagai hal “aneh” yang telah banyak menobatkan orang yang tidak percaya.     Kesaksian tersebut bagai ragi pada adonan roti. Baik para jemaat Kristen Perdana maupun para pendiri kongregasi kita secara aktif telah terlibat dalam proses kelahiran kebaruan dalam dekadensi dunia seperti saat ini.  Meskipun secara lahiriah mungkin menunjukkan kebalikannya, namun menjadi seorang biarawan atau biarawati masihlah sangat relevan saat ini. Inti panggilan kita adalah menjawab apa yang dibutuhkan sesama kita. Sedangkan inti hidup kita adalah serangkaian hal yang tidak bisa ditawar-tawar, di mana dalam hidup kita yang otentik, kita memiliki daya tumbuh yang besar. Orkestra hidup demikian merupakan kontras kenabian terhadap dekadensi yang terjadi saat ini dan menjadi ragi kesabaran bagi datangnya perubahan.  Saya tetap berharap bahwa kita akan senantiasa “membangunkan dunia” karena tanda utama dari hidup bakti adalah bernubuat. Sebagaimana saya sampaikan kepada para Superior Jenderal yaitu bahwa tuntutan hidup injili secara radikal bukanlah melulu ditujukan bagi para religius atau biarawan dan biarawati melainkan bagi semua orang. Benarlah bahwa para religius mengikuti Tuhan dengan cara yang khusus, yaitu jalan kenabian. “Inilah prioritas yang perlu diperhatikan saat ini, yaitu menjadi utusan yang memberi kesaksian bagaimana Yesus hidup di dunia ini. Seorang religius janganlah pernah meninggalkan panggilan kenabiannya.” (Surat Apostolik Paus Fransiskus kepada para Biarawan dan Biarawati, II, 2) Bukan soal radikalitas, tetapi lebih kepada kenabian. Atau tepatnya radikalitas kenabian. Namun demikian, ini bukanlah perkara kenabian demi menjadikan diri kita sebagai teladan utama dalam Gereja, tetapi lebih sebagai utusan kecil dan rapuh yang menjadi saksi belas kasih Allah. Menjadi nabi, seperti dikatakan Br. Michaeldavide Semeraro, berarti mampu untuk hidup berdampingan dengan kematian, kegagalan, yang tak terlihat, yang dipinggirkan, dan melakukan hal-hal tersebut sebagai pilihan kekal sepanjang hayat.                    Emili Turú, FMS – Diterjemahkan oleh Herman Wahyaka dari artikel berbahasa Inggris “Religious Life in the 21st Century: The Prophey of Fragility” dalam https://www.jesuits.global/2021/02/02/religious-life-in-the-21st-century-the-prophecy-of-fragility/ akses terakhir Rabu, 3 Februari 2021 pkl 14.30 WIB.