Melihat Segala Sesuatu Baru di dalam Kristus: Benih Panggilan dalam Formasi Bersama
Pengantar Akhir abad lalu kebanyakan tarekat ‘memvonis’ kalau ada calon yang mau masuk dengan latar belakang keluarga ruwet dan keruh (butheg) tidak akan diterima atau diterima dengan uji coba. Sikap seperti ini mungkin dipengaruhi cara berpikir yang disebut determinisme ala predestinasi (ketentuan Tuhan atau takdir). Sikap determinisme banyak dilacak dalam interaksi hidup sehari-hari dengan sesama kita. Kita cepat-cepat menyimpulkan sesuatu secara sempit entah secara deduktif atau induktif. Yang dikorbankan ialah ruang perkembangan, pertobatan dan menyediakan ruang untuk ‘rahmat’. Seseorang akan memunculkan label, kacamata hitam atau putih atas suatu perkara dan menutup diri terhadap fakta-fakta baru. Tidak ada penyebab tunggal baik bagi keberhasilan atau kegagalan. Banyak faktor seperti keluarga, ekonomi, budaya, politik, sosial, pendidikan, iman/agama yang mempengaruhi dan mewarnai kisah sukses dan gagal. Semua hal ini mempengaruhi pula formasi para religius. Tidak bisa serta-merta bahwa latar belakang keluarga sempurna tanpa cacat cela ‘pasti’ akan menghasilkan proses formasi yang mudah. Sebaliknya, kalau latar belakang keluarga, maaf seribu maaf, gelap suram seperti perceraian orang tua, single parent, yatim, piatu atau keduanya, tidak rukun, penuh kekerasan dan lain-lain, ‘pasti’ akan sulit bahkan gagal dalam proses formasi. Keduanya adalah determinisme, hanya isi berbeda, tapi bentuknya ‘sebelas duabelas’, alias identik. Keduanya menutup kran atau pintu ‘rahmat’, campur tangan Allah. Zaman sekarang ini ditandai oleh kompleksitas dan multi dimensi kehidupan. Tidak ada hal yang begitu saja mudah dijelaskan tanpa kait mengait dengan banyak faktor lain. Karena itu, pola berpikir hendaknya tidak terkurung oleh paradigma pribadi, tradisi, prasangka dan lain-lain. Sobat saya Pater Haryatmoko menyarankan berpikir pola abuktif, yaitu mencari solusi alternatif dan kreatif. Dalam kerangka teologis, kita diajak untuk menyediakan ruang bagi rahmat dan campur tangan Allah. Muncul labelisasi, tidak terbuka akan fakta-fakta baru, apalagi kalau ada rasa ‘tidak suka’, bahkan yang baik pun dilihat dengan kacamata minus-plus-silindris, gelap atau kabur. Tentu saja ada alasan-alasan yang sangat masuk akal untuk menerima atau tidak menerima. Ilmu psikologi dengan perkembangan yang super cepat menyajikan horison ilmu yang sangat berguna bagi formasi. Zaman sekarang formasi kita sangat kompleks dan rumit, atau dengan kata lain multi dimensi. Allah adalah Formator “par excellence” Ignatius menyimpulkan seluruh perjalanan formasi, baik rohani maupun ‘hal-hal praksis’ selalu dalam konteks Allah Sang Formator, melalui diskresi, mencari kehendak-Nya. Bahkan Allah sebagai guru dengan penuh kebapaan dan kesabaran menuntun dan mendidiknya (Autobiografi. 27,4). Dari sudut pandang tersebut, Ignatius sampai pada puncak sekaligus sumbernya, yaitu pengalaman mistiknya, “Melihat Segala Sesuatu Baru dalam Kristus” (Autobiografi.30), motto Tahun Pertobatan Ignatian. Pater Kolvenbach merumuskan Allah sebagai pendidik ‘par excellence’ yang menggunakan sarana-sarana manusiawi. Lebih jauh dia melukiskan bahwa formasi adalah sharing dalam konteks Allah Bapa, melalui Roh Kudus, mempertontonkan serta memoles sikap batin dan cara bertindak Sang Putra dalam hati orang-orang muda (Kolvenbach, The Formation of Jesuits, Roma, 2003, hal. 2-3). Melalui pendekatan lain, Pater Kolvenbach merumuskan sekaligus menyimpulkan empat kategori ‘penulis’ proses internalisasi dua unsur rahmat dan seni, mystical and ascetical aspect, yaitu Ignatius penulis buku Latihan Rohani Pembimbing penulis kedua Retretan atau kita penulis ketiga Tuhan, par excellence penulis utama dan pertama Saya mau melihat dan menggunakan dua kisah orang kudus Jesuit yaitu St. Ignatius dan St. Alfonsus Rodriguez untuk melihat proses penulisan unsur rahmat dan seni. Sebagai anak, keduanya hidup di bawah asuhan single parent. St. Alfonsus Rodriguez bahkan kemudian ditinggal mati oleh anak-anak dan istrinya. Kita lihat contoh-contoh di bawah ini. (1). Ignatius Loyola Kita lihat latar belakang Ignatius di masa kecilnya, dia anak bungsu dari 13 bersaudara. Ibunya meninggal saat dia, dapat dikatakan, masih bayi. Hal ini tampak dalam kesaksian proses kanonisasinya dari perempuan, istri seorang petani sederhana yang menyusuinya, Maria Gorin (Hugo Rahner, 1980, hal. 2-10). Dari data sejarah tidak diketemukan laporan kapan ibunya meninggal. Ditambah lagi Ayahnya meninggal pada saat Ignatius berusia 16 tahun (1507) atau setahun setelah dia meninggalkan Loyola ke Arevalo atas ‘perintah’ ayahnya. Usia bayi kehilangan ibu dan usia remaja kehilangan ayah memperlihatkan bahwa dia mengalami absennya figur ayah dan ibu dalam masa-masa penting pertumbuhan Ignatius. Tinggal kita menafsirkan dari sudut mana, positif atau negatif? Karena kurangnya sentuhan afeksi dari kedua orang tuanya, lantas muncul pertanyaan apakah ini mutlak ‘kutuk’ atau sebaliknya ‘rahmat tersembunyi’ atau keduanya, dan di antaranya? Idigoras (Solo y a Pie ‘Alone and on Foot’, hal. 17-18), mengutip pandangan ‘tokoh kedokteran psikosomatik’, Juan Rof Carballo yang memberikan pandangan bahwa Inigo kecil mempunyai kekurangan pengalaman afektif dalam jiwanya yang terdalam. Ada kekurangan (defisit) kehadiran ibu yang melindungi, membebaskan, dan menumbuhkan dalam pribadi Ignatius. Idigoras menambahkan bahwa defisit figur ibu seperti bisa memunculkan kebiasaan depresi dalam kehidupan nantinya. Selain itu, defisiti ini juga mendorong bayangan perasaan-perasaan bersalah. Idigoras lebih jauh mempertanyakan apakah jiwa petualangan Ignatius yang menjelajahi satu tempat ke tempat lain itu merupakan kerinduan akan kehadiran ibu yang penuh kehangatan. Meissner (1992, hal.9-12) menyatakan bahwa kehilangan figur ibu di masa bayi, dan pengalaman masa remaja ‘dibuang’ dan kehilangan sosok ayah, ‘bisa menciptakan bayang-bayang hitam atau depresi dalam seluruh hidupnya. Seperti kita tahu Ignatius keluar dari kemelut ini dengan prinsip utama “Melihat segala sesuatu baru dalam Kristus” (Auto.30). Dengan bekal pengalaman tersebut Ignatius berjalan terus dan menapaki hari demi hari dengan bantuan terang Ilahi tersebut. Kerapuhan dalam dirinya yang diwarisi dari keluarga tidak berlaku bagi Allah. Kelemahan-kelemahannya dipersembahkan kepada Allah. Dia menjadi seorang santo besar dan pendiri Serikat Jesus, meski dia sendiri tidak mengakui bahwa dia pendirinya, melainkan Yesus sendiri. Di artikel lain, Meissner menyebut bahwa dalam soal rahmat, iman mempunyai peran yang penting dalam rangka memahami pribadi Ignatius. Hal ini ditambah dengan latar belakang keluarga yang terpandang dan suci. Kakaknya seorang rohaniwan di kotanya dan keluarga ibunya para Fransiskan. Sejak kecil dia dilatih berdoa oleh Maria Gorin, pengasuhnya. (2). Br Alfonso Rodriguez si Tragis sekaligus Magis; Si Rapuh yang Tangguh Ayahnya seorang pedagang wool yang kaya, meninggal dunia ketika Rodriguez berusia 14 tahun. Sebenarnya dia ingin menjadi imam Jesuit, karena itu ia pergi bersekolah di Kolese Jesuit di Alcala. Di sana, dia menerima pelajaran persiapan komunitas pertama tentang keutamaan-keutamaan dari Pater Petrus Faber, salah seorang teman-teman pertama Ignatius. Kematian ayahnya membuat dia kemudian dipanggil pulang untuk mengambil alih pekerjaan ayahnya. Ia lalu menikah dan mempunyai tiga







