Pada tanggal 23 Desember 2021 yang lalu, aku berkesempatan pergi ke Waghete untuk mengunjungi salah satu karya Jesuit di Papua. Bagiku, ini adalah kesempatan berharga karena aku dapat melihat kehidupan masyarakat atau Orang Asli Papua (OAP) yang tinggal jauh dari keramaian kota. Dalam taraf tertentu, aku sudah melihat dan mengalami kehidupan bersama OAP selama kurang lebih setengah tahun berada di Nabire. Namun, Nabire adalah kota pesisir. Di sana sudah terdapat banyak pendatang yang hidup berdampingan dengan OAP. Kondisi dan dinamika kehidupan di Nabire sudah lebih “maju” dan modern. Saat akan pergi ke Waghete, aku berharap akan berjumpa dengan corak kehidupan OAP yang berbeda daripada yang aku temui di Nabire.
Perjalanan dari Nabire menuju Waghete membutuhkan waktu kurang lebih 6 jam melalui jalan darat melintasi tiga kabupaten, yaitu Nabire, Dogiyai, dan Deiyai. Waghete sendiri adalah ibukota Kabupaten Paniai. Aku berangkat ke Waghete pukul 7.00 WIT menggunakan mobil sewaan dan ditemani oleh dua orang relawan. Sepanjang perjalanan, kami menikmati pemandangan yang indah dan lebatnya hutan yang masih belum banyak terjamah. Jalanan berkelok-kelok karena kontur tanah yang berbukit-bukit. Untungnya, jalanan dari Nabire menuju Waghete sudah beraspal sehingga akses menjadi lebih mudah. Aku tidak bisa membayangkan betapa sulitnya perjalanan tanpa aspal yang membelah hutan tersebut. Setelah 2 jam perjalanan, kami singgah di Kilometer 100 untuk sarapan. Konon inilah tempat terakhir untuk dapat membeli makanan atau minuman. Empat jam perjalanan selanjutnya, sudah tidak ada lagi kios-kios atau warung makan yang tersedia sepanjang perjalanan.
Salah satu hal berkesan yang aku dan teman-teman relawan alami selama perjalanan adalah terkena palang. Ketika ada babi atau anjing yang mati di jalanan, masyarakat biasanya memalang jalan untuk meminta uang kepada mobil-mobil yang lewat sepanjang jalan. Biasanya mereka akan meminta uang sebesar Rp 100.000,00. Dalam perjalanan, kami sempat terkena palang beberapa kali. Kami sempat merasa was-was. Untunglah sopir yang mengantar kami sudah berpengalaman menghadapi situasi seperti ini sehingga bisa bernegosiasi dengan masyarakat setempat.
Kami sampai di Pastoran Waghete sekitar pukul 13.00 WIT. Udara dingin langsung terasa menusuk. Kami berpindah dari daerah pesisir yang panas ke pegunungan yang dingin. Aku pun harus tidur dengan menggunakan jaket dan 2 selimut di malam pertama menginap di sana. Meski demikian, aku disambut hangat oleh Rm. Adri, Fr. Wahyu, dan empat volunteer di sana. Kami diajak berkeliling pastoran dan gereja paroki serta mengenal beberapa pengurus paroki.
Selain untuk menikmati jeda akhir semester, aku juga diminta untuk ikut membantu melayani dalam perayaan Natal di sana. Karena di Paroki Waghete hanya ada 1 pastor paroki, maka perayaan Natal di stasi-stasi hanya akan dipimpin oleh frater, suster, dan para gembala. Aku sendiri mendapat bagian untuk melayani di Stasi Mugouda. Stasi ini adalah stasi yang paling dekat dengan gereja paroki, namun akses menuju stasi ini hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Untuk menuju ke stasi ini, aku dan teman-teman relawan harus menaiki bukit yang cukup curam dan terjal.
Perayaan Natal di Stasi Mugouda dirayakan dengan sederhana. Hal yang menarik adalah beberapa umat mempertahankan kebiasaan untuk menggunakan pakaian adat setempat. Bacaan-bacaan, lagu, dan kotbah pun disampaikan dengan Bahasa Mee. Ketika pertama kali mendengar paduan suara mereka, aku sangat kagum pada keindahan paduan suara mereka. Untuk kotbah, aku pun perlu didampingi oleh penerjemah. Pengalaman memimpin ibadat bersama orang asli tersebut sungguh menjadi pengalaman yang unik dan berharga. Setelah ibadat perayaan Natal selesai, masyarakat biasanya berkumpul untuk acara bakar batu. Mereka menimbun beberapa ekor babi yang telah dipotong-potong dan sayur-sayuran bersama dengan batu yang sudah dibakar terlebih dahulu, tanpa bumbu tambahan.
Selain melayani perayaan Natal, kesempatan pergi ke Waghete ini juga menjadi kesempatan untuk mengunjungi beberapa rumah siswa-siswi SMA Adhi Luhur yang berasal dari sekitar sana. Tidak semuanya bisa kami kunjungi karena ada beberapa anak yang rumahnya sangat jauh di perbukitan dan tidak bisa ditempuh dengan kendaraan. Kami hanya berhasil mengunjungi siswa-siswi yang rumahnya ada di sekitar Paroki Waghete saja. Akan tetapi, suatu hari ketika kami sedang berjalan-jalan ke pasar di tepi Danau Paniai, secara tidak sengaja kami justru bertemu dengan beberapa siswa SMA Adhi Luhur yang sedang nongkrong di pasar. Awalnya kami hendak mengunjungi rumah mereka, tetapi jaraknya amat jauh. Untuk mencapai rumah mereka, kami harus menyeberangi danau dengan perahu motor. Kami pun mengurungkan niat kami. Selain untuk jalan-jalan, ternyata mereka pergi ke pasar untuk mengisi daya HP karena di tempat tinggal mereka belum ada listrik.
Pada 29 Desember 2021, kami mengakhiri petualangan kami di Waghete. Kami kembali ke Nabire dengan menggunakan pesawat karena lebih murah dan waktu tempuh yang lebih singkat. Pesawat yang kami naiki adalah Cessna Caravan. Aku sempat merasa was-was apakah pesawat kecil ini bisa mengangkut kami beserta penumpang-penumpang lain. Dari dalam pesawat, aku bisa menikmati pemandangan pedalaman Papua yang begitu indah. Aku sempat melihat pemandangan yang tampaknya seperti penambangan emas milik warga lokal. Dari ketinggian langit, kami sungguh disuguhi keindahan dan kekayaan Tanah Papua. Kami mendarat dengan selamat di Nabire dan segera disambut oleh panasnya terik matahari daerah pesisir.
Aku bersyukur dapat menyaksikan dan berjumpa dengan masyarakat Papua di Waghete Dari perjalanan singkat ini, aku seperti diingatkan kembali tentang salah satu Preferensi Kerasulan Universal, khususnya berjalan bersama mereka yang tersingkir. Problematika kompleks yang melingkupi Tanah Papua membuat masyarakat di tempat seperti Waghete, dalam hal ini Suku Mee, harus berjuang untuk tetap hidup di tengah gempuran kebudayaan lain, kencangnya laju pembangunan, dan derasnya arus informasi, dan tuntutan modernitas di zaman ini. Preferensi Kerasulan Universal mengingatkanku bahwa kepada atau untuk merekalah pandangan dan hati Serikat seharusnya tetap tertuju. Koyao!
Kontributor: Frater Arnold Lintang Yanviero, SJ
Dokumentasi: Pribadi