Pilgrims of Christ’s Mission

Feature

Feature

Memaknai Inkarnasi di antara Alunan Ukulele dan Kekakuan Ruang Kelas

Santai, senang mengobrol dan bercanda, suka makan dan olah fisik, serta mencintai musik dan tarian. Itulah orang-orang Micronesia, khususnya orang-orang Chuuk atau Chuukese. Sayangnya, sifat, perilaku, dan kebiasaan yang menyatu dengan budaya mereka itu tidak selalu cocok dengan atmosfer dunia pendidikan. Cobalah Anda sesekali mengunjungi Chuuk, terutama sekolah Jesuit yang berada di sana, Xavier High School. Sapalah orang-orang lokal yang Anda temui di jalan dan mereka akan tersenyum serta membalas sapaan Anda. Tidak jadi soal bahwa mereka dan Anda tidak saling kenal.  Jika Anda ingin mengobrol, mereka bahkan bisa melayani sampai berjam-jam. Kalau beruntung, obrolan itu akan ditemani seporsi kelapa muda yang langsung dipetik dari pohonnya. Segar. Atau, jika berkenan, Anda bisa mencicipi sakaw, minuman tradisional dari akar tanaman yang bisa membuat Anda rileks, walaupun rasanya sedikit masih bercampur dengan tanah. Sementara itu, mereka yang menemani Anda akan mengunyah pu’u alias buah pinang. Senyum lebar dan tawa berhiaskan gigi berwarna merah, akibat terlalu sering nginang, sangat mungkin Anda jumpai dalam obrolan itu. Menginjakkan kaki di Xavier High School, jika sedang tidak dalam masa liburan, sangat mungkin Anda akan menjumpai beberapa siswa yang sedang beraktivitas fisik. Mulai dari saling berkejaran di lapangan, sampai bekerja bakti membersihkan lingkungan sekolah. Bergerak ke lapangan, Anda akan melihat sekelompok anak laki-laki yang kulitnya memerah dan basah kuyup karena keringat, tanda bahwa mereka sudah lama bermain basket. Bergeser sedikit ke gym, Anda akan bertemu beberapa anak lainnya yang sedang mengangkat barbel. Tidak perlu heran pula jika Anda bertemu dengan anak-anak yang ke mana-mana membawa ukulele, gitar mungil bersenar tiga itu. Mereka biasanya sedang mencari tempat yang nyaman untuk memainkannya sambil bernyanyi. Jika berada dalam kelompok, mereka akan membawakan nyanyian yang merdu di telinga. Kadang dalam bahasa Inggris, kadang dalam bahasa Chuukese. Perpaduan suara yang harmonis tercipta secara alami, bahkan tanpa mereka terlebih dulu diajari teknik kor. Alunan nan merdu itu pula yang akan Anda nikmati ketika siswa-siswi menyambut Anda dengan nyanyian Xavier Welcome Song. Kalau datang bertepatan dengan Cultural Day atau hari apresiasi budaya lokal, Anda akan melihat siswa-siswi Xavier High School yang begitu bersemangat menari. Bukan hanya siswa-siswi Chuukese, melainkan juga yang berasal dari suku atau negara Pasifik lainnya. Sementara itu, yang menonton mereka tampil bisa jadi sedang sambil menikmati seporsi besar nasi atau sukun lengkap dengan lauk pauknya. Akan tetapi, untuk melihat mereka menari pada dasarnya memang tidak perlu menunggu Cultural Day. Cobalah Anda menyetel musik disko atau bertempo cepat, maka secara otomatis akan ada anak-anak yang bergoyang. Mencermati dan mengalami semua hal itu, bisa jadi Anda akan mengira bahwa Chuuk sungguh merupakan tempat yang tepat untuk berlibur dan bersantai. Suasana yang cocok untuk berlibur itu juga tercipta di Xavier High School. Tidak salah jika Anda memang berpikir seperti itu. Budaya dan alam Chuuk tampaknya memang saling berkolaborasi untuk membentuk atmosfer liburan dan santai itu. Deburan ombak laut di kejauhan, desiran angin sepoy-sepoy di tengah sengatan panas matahari, serta rindangnya kelapa dan pohon sukun turut menemani obrolan, nyanyian, dan tarian orang-orang Chuuk.  Akan tetapi, tidaklah mungkin jika anak-anak Chuuk dan bangsa Pasifik lainnya semata-mata dididik dalam suasana santai seperti itu. Untuk mengembangkan daya ingat, misalnya, mereka harus dilatih menghafal. Supaya bisa cermat berpikir dan berpendapat, mereka harus membaca soal dengan duduk dan diam, serta belajar merangkai argumen secara logis. Ketika duduk diam dan suasana yang cenderung kaku itu terasa membosankan dan menimbulkan kantuk, mereka harus dididik untuk dapat bertahan dan berusaha fokus. Perutusan sebagai frater Tahun Orientasi Kerasulan (TOK) di Xavier High School saat itu lalu menjadi masa penuh tegangan bagi saya. Ada saatnya saya harus menciptakan suasana santai di dalam dan luar kelas. Ada kalanya mengkondisikan siswa-siswi untuk tetap fokus dalam suasana yang agak kaku dan cenderung membosankan. Ketika menghidupi tegangan itu pun ada masanya saya menjadi terbawa suasana santai dan kendor, kadangkala juga menjadi keras pada anak-anak di Xavier High School.  Saya pun jadi turut belajar menghidupi tegangan. Ada waktunya mengajari mereka agar diam dan mendengarkan. Ada pula saatnya memberi kesempatan bagi mereka untuk bebas berekspresi dan berpendapat. Ada saatnya saya bisa mengobrol, tertawa, bercanda, bernyanyi dan menari bersama mereka, tapi juga belajar mengingatkan dengan tegas dan taat aturan saat mereka salah. Ada momen saya membagikan metode pendidikan yang saya alami di Indonesia Ada pula kesempatan untuk menyesuaikan metode dengan kebiasaan dan budaya setempat. Akhirnya, pada saat yang sama siswa-siswi turut belajar menghidupi tegangan yang saya hayati ini. Metode pendampingan saya susun sehingga ada kalanya anak-anak dapat belajar di luar kelas, selain juga duduk di dalam kelas. Karena metode ini, memang pernah juga saya tidak sependapat dengan salah seorang pendidik yang mengatakan, “Belajar itu ya harus di dalam kelas, bukan dibawa keluar layaknya sedang bermain!” Tentu saja, bukan berarti saya lalu tidak belajar dari sang pendidik. Saat “berkunjung” ke kelas beliau, saya mengakui kehebatannya dalam mengajar dan maklum akan prinsip yang beliau pegang itu.  Akan tetapi, saya sendiri memang tidak mau kehilangan kesempatan untuk belajar, bereksplorasi, dan bereksperimen. Metode itu tetap saya jalankan dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, disertai kesadaran terus-menerus akan keinginan untuk mendampingi anak-anak dengan baik. Penilaian setiap hari tetap dilakukan lewat refleksi dan evaluasi diri, serta masukan dari siswa-siswi dan sesama pendidik. Dinamikanya tidak selalu mudah dilalui, tapi kemurahan hati dan penerimaan orang-orang di sekitar saya itulah yang meneguhkan. Saya pun belajar dari teladan Yesus semasa berproses di Xavier High School. Sebagai Allah yang berinkarnasi, Yesus tidak menolak identitas kemanusiaan-Nya sebagai orang Yahudi. Demikian pula, saat mendidik, Ia meminta para murid-Nya untuk tetap setia pada jati diri ke-Yahudi-an mereka dengan segala kebiasaannya. Akan tetapi, Ia juga mendorong para murid untuk terbuka pada berbagai pembaruan. Semua pembaruan itu turut menjadikan mereka pribadi yang lebih baik dan berwawasan luas, tanpa menolak kenyataan diri sebagai orang Yahudi. Inilah yang menurut saya menjadi semangat inkarnasi. Oleh karena itu, siswa-siswi Xavier High School tetap dapat menjadi orang-orang Chuuk, Micronesia, atau apapun jati diri mereka. Saya tidak pernah ingin menjadikan mereka orang yang menolak identitas atau budaya yang membentuk mereka. Namun, saya berharap, hal-hal yang saya coba bagikan kepada mereka selama TOK membantu mereka untuk terbuka pada nilai-nilai baru. Melalui proses bersama itu, semoga

Feature

Mendengarkan dengan Hati

Pada suatu siang yang cerah di Jakarta tahun 2012, beberapa teman skolastik dari Indonesia mengajak saya untuk mengunjungi sebuah rumah di luar kota. Saat kami tiba, seorang pria berpeci dan berpakaian tradisional warna-warni datang menyambut. Ketika ia menyapa dengan senyum lebarnya, saya tiba-tiba mengenali wajahnya yang tidak asing; ia adalah salah satu staf senior di Skolastikat Johar Baru, rumah studi tempat saya tinggal dahulu. Kami diajak masuk ke dalam rumah di mana aneka camilan dan kue tertata rapi dan disediakan bagi para tamu yang datang. Saya merasa sangat tersentuh dan merasa sangat senang karena momen istimewa Idul Fitri yang dirayakan oleh beberapa karyawan bersama keluarga mereka. Idul Fitri menjadi salah satu perayaan terbesar bagi saudara-saudara Muslim setelah Ramadhan. Selama hampir empat tahun berada di Indonesia, saya merasa bahwa perlahan-lahan saya mampu menikmati dan merasa nyaman berada di antara orang-orang yang berbeda agama dan budaya. Saya juga menjadi paham bahwa siapapun kita, kita dapat hidup berdampingan dengan penuh cinta dan rasa hormat satu sama lain. Saya kembali ingat peristiwa beberapa tahun lalu sebelum tiba di Indonesia. Waktu itu saya sudah hampir menyelesaikan masa novisiat saya di Taunggyi, sebuah daerah di bagian utara Myanmar. Suatu hari ketika udara begitu dingin, Pater Paul Pollock, S.J., Superior Regio yang secara rutin berkunjung, memanggil kami, sepuluh novis dari Myanmar dan Thailand, untuk datang menghadapnya di ruang pertemuan. Saya sangat terkejut ketika ia memberi tahu bahwa kami semua diberi tugas untuk menempuh studi filsafat di Jakarta. Selama beberapa hari saya merasa sangat cemas dan kebingungan. Waktu itu saya tidak tahu apa-apa mengenai Indonesia. Yang hanya saya tahu Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Dalam hati saya, ada dua hal yang saya khawatirkan. Bagaimana caranya hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda agama dan budaya? Yang kedua, apakah mungkin saya mempelajari bahasa baru untuk berkomunikasi dan studi filsafat? Sebagai seorang Jesuit muda yang penuh semangat serta kesiapsediaan untuk melanjutkan perjalanan dalam Serikat, saya tidak pernah berpikir bahwa kaul ketaatan akan diuji dalam tahap sedini ini. Setelah melalui proses aplikasi visa yang bisa dikatakan ribet, akhirnya kami berangkat ke Yogyakarta, sebuah kota dengan warisan tradisi dan budaya Jawa yang kentald untuk belajar Bahasa Indonesia selama tiga bulan. Dalam masa ini, di samping banyaknya tantangan dan pertanyaan, saya merasakan kehangatan dan dukungan dari banyak orang. Ada Pater Priyo Poedjiono, S.J. yang setia menemani kami hingga kursus selesai. Pada saat hari libur, Pater Priyo mengajak kami mengunjungi situs-situs budaya dan juga komunitas atau sekolah Jesuit. Ada juga Bu Sophia Wahyu Widiati yang biasa kami panggil “Ibu”. Dia adalah seorang perempuan yang murah senyum dan selalu ceria. Ruang kerjanya tidak jauh dari tempat kami tinggal dan oleh karenanya, setelah kelas selesai kami sering menyapanya di kantor. Ia juga sering menanyakan apakah kami menikmati kelas hari itu atau tidak. Selama tiga bulan itu, yang menarik adalah ketika saya mulai lelah bertanya mengapa Pater Superior mengirim kami ke Indonesia. Karena keterbatasan bahasa, saya sering menemui kesulitan untuk mengungkapkan perasaan saya kepada orang lain. Anehnya, ketika merasa lelah dan tidak bisa berbicara, justru saya menjadi terbiasa menggunakan hati untuk melihat dan memahami hal-hal di sekitar saya. Pada saat itu, secara perlahan saya menjadi terbuka untuk membiarkan keindahan orang, budaya, dan agama baru berbicara sendiri. Saya menemukan kebebasan di dalam lubuk terdalam diri saya! Salah satu pelajaran besar yang saya petik dari situ adalah bahwa dialog dengan orang yang berbeda tidak diawali dengan pengendalian pikiran dan ucapan melainkan dengan keterbukaan hati kita untuk mendengarkan! Satu pengalaman yang paling saya sukai adalah bagaimana kami sering mengeksplorasi cara kreatif untuk belajar bahasa Indonesia. Salah satu guru menyarankan agar kami sering berbicara dengan orang lain. Teknik ini kami praktekkan di waktu luang kami. Salah satu keuntungan tinggal di dalam kompleks Universitas Sanata Dharma adalah terdapat beberapa gerbang. Kami membagi diri menjadi beberapa kelompok kecil, dan setiap kelompok berbicara dengan penjaga keamanan di pintu masuk yang berbeda. Karena penjaga ini tahu bahwa kami adalah skolastik Jesuit, mereka memanggil kami frater, dan kami belajar memanggil mereka dalam Bahasa Jawa, Mas. Kami biasanya memulai percakapan dengan sesuatu yang sederhana, seperti basa basi atau salam atau pertanyaan umum yang biasa diucapkan oleh orang Indonesia dan sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut tersebut tidak selalu mengharapkan tanggapan apa pun (pada awalnya saya tidak menyadari hal itu dan merasa malu kalau ingat saya selalu berusaha memberi jawaban yang serius dan panjang). Setelah itu, biasanya kami melanjutkan sharing tentang kegiatan sehari-hari kami.  Ketika mulai bisa berbahasa Indonesia, percakapan kami dengan teman-teman baru di gerbang universitas ini menjadi lebih mendalam dan akrab. Mereka bercerita tentang hidup keluarga, impian, harapan, dan bahkan kesulitan. Kemudian saya tahu bahwa beberapa penjaga ini beragama Islam. Secara terbuka mereka bercerita bahwa iman dan agama mereka memupuk kehidupan spiritual mereka dan mengajarkan hidup berdampingan secara damai bersama orang lain. Yang mengejutkan saya adalah bahwa saya bukan saja belajar bahasa baru tetapi juga mengalami perjumpaan bermakna dengan orang lain yang berbeda budaya dan agama. Terlepas dari perbedaan itu, kami berbagi beberapa nilai, yaitu bahwa siapapun kita, kita selalu bisa mencintai, menghormati, dan mendukung satu sama lain sebagai saudara dan saudari! Untuk melakukannya, hanya perlu membuka hati untuk mendengarkan agar tercipta saling pengertian dan dialog! Pengalaman saya di Indonesia barangkali mengajak saya untuk merenungkan lebih dalam tentang inkarnasi Tuhan di dunia. Menelusuri kembali lebih dari 2.000 tahun yang lalu, ketika Raja Herodes, seperti raja lainnya, menggunakan segala cara (kekerasan) untuk mempertahankan kekuatan politiknya di Yerusalem, Tuhan memilih untuk dilahirkan dengan rendah hati dan diam-diam jauh di kota kecil Betlehem. Meskipun bayi yang baru lahir tidak dapat mengatakan sepatah kata pun, di malam yang sunyi itu, ketika Sabda menjadi manusia, Tuhan mempersatukan kita manusia dengan Dia. Melalui Yesus, kita semua menjadi anak-anak Allah, dan karena itu kita bukan lagi orang asing melainkan saudara dan saudari (Efesus 2:19-22). Ini mungkin mengingatkan kita pada dunia kita saat ini. Kebanyakan orang berjuang demi kekuasaan dan kendali atas orang lain, kita justru diundang untuk melihat bagaimana Tuhan hadir dalam segala hal dan mempersatukan semua orang. Itu mungkin bukan dimulai dari pikiran dan kata-kata kita, yang seringkali berdasarkan prasangka dan

Feature

Aneka Ragam Budaya, Satu Yesus

  Yesus itu bukan orang Afrika, kan?” tanya saya pada diri sendiri saat saya melihat gambar Yesus berwajah Afrika di dinding refter Wisma Kandidat, Lahore. Saat itu, tahun 2015, adalah hari pertama saya berada di Wisma Kandidat, untuk memulai tahap awal formasi dalam Serikat Jesus. Tentang pengalaman heran akan Yesus yang berwajah Afrika itu, saya hanya menyimpannya dalam hati. Beberapa tahun kemudian, saya melanjutkan formasi di Sri Lanka, dan sekali lagi saya melihat lukisan Yesus berwajah Tamil dan Sinhala. Saat itu saya mulai menghubung-hubungkan Yesus berwajah Yahudi, Afrika, Tamil, dan Sinhala. Saya tiba di Indonesia pada 22 April 2022. Di sini, orang-orang tidak memelihara cambang dan janggut. Ketika mereka melihat saya, saya menduga bahwa mereka akan berpikir bahwa saya bukan orang Indonesia karena bercambang lebat, tetapi saya yakin bahwa mereka berbicara tentang Yesus yang sama dengan yang saya imani. Mereka juga mendoakan doa yang sama seperti yang saya daraskan dalam bahasa Pakistan. Mereka memiliki iman, iman yang sama dengan yang saya yakini di Pakistan. Hingga suatu hari saya berkesempatan untuk berkunjung dan melihat Candi Hati Kudus Yesus di Ganjuran. Saya kaget karena Yesusnya berwajah Indonesia. saat itu saya pun mulai berefleksi lagi mengenai pribadi Yesus. Aneka ragam budaya, satu Yesus, mana mungkin? Aku senang mengingat kontemplasi kelahiran Yesus dalam Latihan Rohani yang pasti pernah dilakukan oleh setiap Jesuit saat di novisiat. Tritunggal Maha Kudus menatap dunia dan melihat semua hal yang sedang terjadi. Ia melihat semua bangsa, semua budaya, ya Pakistan, Afrika, Tamil, Sinhala, Indonesia, dan seterusnya. Tritunggal Maha Kudus memandang penuh belas kasih dan melihat bahwa dunia perlu diselamatkan. Lalu Tritunggal Maha Kudus memutuskan bahwa Kodrat Kedua dari mereka akan menjelma menjadi manusia dan menyelamatkan umat manusia. Dari situlah terjadi inkarnasi! Natal! 25 Desember! Yesus Tuhan menjadi manusia yang sama seperti kita. Kini, Tuhan bukan lagi berada di tempat yang tidak terjangkau melainkan tinggal di antara kita. Saatnya merayakan kegembiraan! Saya yakin bahwa sebenarnya Yesus sudah nyaman berada di antara Bapa dan Roh Kudus. Menjadi manusia pastilah penuh tantangan. Meskipun demikian, ia menerima tantangan-tantangannya dan tinggal di antara kita. Saya diundang untuk menyatu dengan budaya asing di mana saya diutus saat ini. Kini saya berada di Jakarta dan belajar filsafat dalam bahasa Indonesia. Penuh tantangan. Saya harus belajar bahasa bukan sekadar untuk berkomunikasi tetapi juga untuk memahami filsafat. Saya harus memahami orang-orang di sekitar saya. Saya harus berbaur dan menjadi satu seperti halnya Yesus yang menjadi satu dengan kita. Saya tidak akan memiliki tantangan sebesar ini jika berada di Pakistan dibandingkan dengan ketika di Indonesia. Mungkin sama halnya dengan Yesus yang akan lebih nyaman jika ia tetap berada di surga. Hal ini mengundang saya untuk terus mau berinkarnasi dalam sebuah budaya baru. Berbaur bersama banyak orang, meskipun sangat menantang, tetapi menjadi pengalaman yang begitu menyenangkan. Sewaktu di Sri Lanka untuk program juniorat, setiap hari Minggu saya pergi ke gereja paroki yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah juniorat dan membantu tugas-tugas pastoral di sana. Umat berbicara dalam bahasa Sinhala, sedangkan saya tidak bisa. Pada minggu-minggu pertama saya merasa sangat terasing. Saya sekadar pergi ke sana, merayakan misa, dan kembali ke rumah juniorat. Saya merasa tidak puas. Saya ingin memiliki pengalaman yang lebih daripada itu. Saya sadar bahwa saya perlu melibatkan diri bersama umat karena saya bertugas membantu pelayanan pastoral. Lalu saya mulai belajar bahasa Sinhala dan berinteraksi dengan umat. Saya terlibat bersama OMK dan mengajar Sekolah Minggu. Dari situ saya merasa bahwa diri saya mulai terhubung dengan Paroki itu hingga tiba waktunya saya harus kembali ke Pakistan. Di hati yang terdalam, saya merasakan kegembiraan dan kepuasan karena telah mengalami semua itu. Bulan April 2022 saya tiba di Jakarta. Saya berjumpa dengan orang-orang berbahasa Indonesia dan saya tidak mengerti sama sekali apa yang mereka bicarakan. Saya merasa takut ketika membayangkan nantinya saya akan belajar filsafat dalam bahasa Indonesia, sebuah bidang ilmu yang sulit bahkan ketika dipelajari dalam bahasa asal saya, Pakistan! Dalam hati, saya menyadari bahwa itulah tantangannya dan saya harus bisa melaluinya. Saya harus benar-benar menyelami budaya baru ini seperti halnya Yesus yang menyelami budaya, bahasa, dan alam sekitar kita secara penuh. Inilah perutusan saya. Saya mulai belajar bahasa Indonesia, mencari teman baru, dan membiarkan diri saya hadir sepenuhnya di situ. Kini saya merasa sudah betah di Indonesia. Ada banyak teman di Serikat. Saya mulai bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang sederhana dan mulai merasa bukan sebagai orang asing lagi. Seorang Jesuit bercambang lebat yang berada di antara orang-orang tidak bercambang! Aman, seorang Pakistan, Sri Lanka, dan Indonesia. Kontributor: S. Aman Aslam, S.J. – Skolastik asal Pakistan

Feature

Di Manakah Dia?

Tulisan ini dimaksudkan untuk menghantar kita dalam memaknai perjumpaan lintas budaya, dari perspektif penginjil Matius. Titik pijaknya adalah pengalaman transformatif orang-orang Majus yang meninggalkan negeri asal, demi menemukan jawaban atas pertanyaan yang mereka kejar (Mat 2:1-12). Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang dilahirkan itu? Bermula dari ketidaktahuan, mereka beralih ke aksi pencarian. Lewat menafsir konstelasi bintang, mereka  mendapatkan arahan. Mereka jelajahi tanah Yudea, negeri asing yang tak terpikirkan sebelumnya. Berbekal keyakinan dan perhitungan matang, mereka terus berjalan sampai jawaban didapatkan.  Pengembaraan ini mengubah hidup mereka. Akan kita ulas tiga tahapan transformatif yang mereka alami. Yang pertama adalah fase pengembaraan diri di tataran pikiran. Mereka bersedia digelisahkan dengan macam-macam pertanyaan. Yang kedua adalah terjun berinteraksi  menjumpai realitas yang beragam. Perjumpaan lintas budaya bertambah kompleks karena mereka tidak diam menetap. Mereka maju dan fokus mengikuti bintang. Di fase yang ketiga, mereka pulang melalui jalan lain. Mereka kembali ke realitas hidup harian tetapi kini dengan kebaruan cara pandang. Pengalaman inkarnatoris bersama Sang Bayi Agung telah meneguhkan visi mereka untuk pulang membangun negeri lewat kebijaksanaan hidup yang didapat selama perjalanan.  Fase Pertama: Orang Majus Bertanya-tanya  Berikut ini adalah cara si Matius dalam mendeskripsikan aktivitas utama orang-orang Majus. Dengan gamblang, mereka digambarkan sebagai figur yang “bertanya-tanya” mengenai di manakah Dia (ay.2). Lihatlah, aktivitas mereka ini bukan sekedar “bertanya”, melainkan “bertanya-tanya”. Ada bedanya tentu. “Bertanya” itu berarti meminta keterangan atau penjelasan. Entah informasi kemudian didapat atau tidak, usailah sudah aktivitas tersebut saat itu juga. Sedangkan, orang yang “bertanya-tanya” adalah orang yang mencari jawab “kemana-mana”. “Kemana-mana” bukan hanya menyisir lokasi, tetapi juga dalam artian terus membuka diri terhadap bermacam-macam sumber informasi. Dapat dibayangkan bagaimana orang-orang Majus tidak hanya berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri yang lain. Mereka juga tak henti-hentinya beralih meneliti dari satu referensi, entah yang berupa pustaka ataupun prasasti, ke referensi yang lain, hanya demi menemukan sebuah petunjuk. Dengan kata lain, mereka sungguh bereksplorasi.  Aktivitas “bertanya-tanya” juga dapat dimengerti bahwa mereka ini berulang kali harus merevisi temuan sebelumnya.  Ada sebuah proses panjang dan mendalam yang mesti dilewati. Mereka setiap kali harus mempertanyakan ulang apa yang sudah  dirumuskan, demi mendapatkan ketepatan jawaban. Untuk itu, mereka berdiskusi, berdebat, dan memverifikasi temuan mereka dengan temuan rekan sejawat lainnya. Kesahihan penelitian semakin bisa didekati ketika mereka bekerja sebagai satu tim. Deskripsi di atas dapat kita mengerti dengan mengenali siapa sesungguhnya yang disebut sebagai orang “Majus” itu. Tidak seperti yang umumnya kita bayangkan, mereka ini bukanlah raja. Posisi mereka lebih tepat disebut sebagai para penasihat raja. Kedudukan tersebut diperoleh atas dasar kecakapan. Ibarat PNS tempo dulu, mereka adalah kaum terdidik yang lulus ujian seleksi dan naik jabatan karena pelbagai macam kompetensi unggul yang mereka kuasai. Dengan kata lain, mereka adalah para pakar, kaum profesional, orang-orang bijak.  Sebagai penasihat, tugas mereka hanya satu. Mereka diminta menggali sumber pengetahuan sedalam-dalamnya, dan dengan demikian, sang raja akan terbantu dalam memutuskan persoalan atas dasar terang budi mereka. Mereka adalah orang-orang yang mendedikasikan diri demi kemajuan ilmu pengetahuan. Artinya bahwa, sejak awal, mereka memang disiapkan dan dilatih untuk menghadapi bermacam-macam pertanyaan. Mereka membekali diri dengan penguasaan atas pelbagai metode pengerjaan. Mereka suka berpikir. Mereka tidak alergi ketika dijejali dengan aneka kerumitan. Mereka tetap nyaman dalam keresahan. Mereka mampu fokus di tengah keramaian.  Nah, kemahiran mereka dalam menafsir kompleksitas konstelasi bintang dapat dimengerti sebagai berikut. Di ayat 2, Matius memakai kata “en te anatole (di timur)” ketika menceritakan bagaimana orang-orang Majus tersebut bisa sampai di Yudea. Di dalam dunia hellenis, “en te anatole” adalah istilah teknis yang lazim dipakai oleh para astrolog-matematikawan dalam menggambarkan pergerakan sebuah benda langit yang akan terbit di atas ufuk timur tepat sebelum matahari terbit. Benda tersebut pelan-pelan tidak lagi nampak karena terhalang oleh sinar mentari pagi yang mulai menyilaukan. Boleh jadi, Matius secara sengaja memakai istilah tersebut untuk semakin mempertegas identitas orang-orang Majus tersebut, yakni bahwa mereka adalah kaum terpelajar. Mereka cermat mengukur. Mereka berpangkal pada hitungan akal budi dalam membuat penilaian dan keputusan.  Berbekal panduan bintang di timur, mereka dipertemukan satu sama lain. Atas bintang yang sama pula, para majus saling bekerja sama di dalam pencarian. Akhirnya, tibalah mereka di tanah Yudea. Fase Kedua: Orang Majus Berinteraksi Di fase yang kedua ini, pergumulan orang-orang Majus bertambah kompleks. Mereka berjumpa dan berinteraksi dengan Raja Herodes yang digambarkan oleh Matius sebagai sosok yang licik. Di balik wajah keramahannya, terpendam akal busuk untuk memberangus siapapun yang mengancam kedudukannya sebagai raja. Gelar “raja orang Yahudi” sesungguhnya adalah sebutan kehormatan yang dianugerahkan oleh para senatus Romawi kepada Herodes atas jasa-jasanya. Di mata penguasa Romawi, Herodes dinilai berhasil dalam mengintegrasikan daerah Yudea ke dalam kekaisaran Romawi. Ia mendorong semua warganya  untuk mematuhi adat istiadat Romawi. Ia membangun kuil untuk Kaisar Agustus dan berpartisipasi dalam pelbagai even olahraga kekaisaran. Oleh karenanya, Herodes merasa terkejut manakala orang-orang Majus mendiskusikan tentang pencarian lokasi kelahiran “raja orang Yahudi” (ay.3). Di tengah keterkejutannya, Herodes  bermain licik. Ia sengaja mengikuti alur diskusinya orang-orang Majus tersebut. Herodes tidak lekas terpancing amarahnya karena ia masih ingin memanfaatkan mereka. Demi meraih simpati, ia bahkan memanggil orang-orangnya, yakni para imam kepala dan ahli taurat untuk memperoleh keterangan lebih lanjut tentang di mana Mesias akan dilahirkan (ay.4). Sesudahnya, Herodes memberitahukan orang-orang Majus untuk pergi ke Betlehem. Bersamaan dengan itu semua, ia menyelipkan pesan agar mereka menyelidiki secara teliti apapun tentang si Anak tersebut dan segera mengabarkan itu semua ke Herodes (ay.8). Apakah orang-orang Majus ini terjebak masuk dalam perangkap Herodes? Memang si Matius tidak menceritakan secara detail bagaimana interaksi pelik yang terjadi di antara mereka. Namun dapat dibayangkan berikut ini. Orang-orang Majus bukanlah orang naif. Mereka tentu peka dengan maksud terselubung si Herodes. Sebagai penasihat para raja, mereka sudah terbiasa menerka-nerka apa yang ada dalam benak pikiran seorang penguasa. Mereka tanggap terhadap gerak-gerik Herodes yang mencurigakan, yang mulai bereaksi berlebih-lebihan lewat permintaan ini itu. Demi keselamatan diri, orang-orang Majus memainkan peran yang tak kalah cerdik. Gaya mereka cukup diplomatis. Mereka dengan tenang mendengarkan kata-kata Herodes, dan tanpa harus merespon berlebihan, segera saja mereka berangkat (ay.9).  Lewat perjumpaan dengan Herodes, dapat dicermati bahwa dalam interaksi interkultural tidak tertutup kemungkinan terjadinya interaksi politis. Akan selalu ada orang-orang

Feature

Perjumpaan dengan Allah yang Hidup

Ya, mungkin itu adalah judul yang tepat untuk perjumpaan yang saya rasakan saat bertemu dengan teman-teman volunteer di Seksi Pengabdian Masyarakat (SPM) Realino. Selama ini saya banyak menjumpai sahabat yang tidak ingin terlibat dan kurangnya keinginan untuk bangkit. Orang muda itu memang “ruwet“, selalu bertahan pada ideologi masing-masing serta susah untuk dapat berani “menjadi” dan berkontribusi. Acuh tak acuh terhadap sesama di dunia dewasa ini seolah menjadi hal yang biasa. Ketakutan saya adalah hal acuh tak acuh yang menjadi normal life di masa sekarang. Padahal, peran orang muda di masa sekarang ini sangat dibutuhkan. Seperti yang dikatakan Bung Karno “Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.” Di mana kalimat tersebut memiliki isyarat bahwa orang muda akan selalu menjadi ujung tombak keberhasilan di setiap proses. Namun, di masa sekarang keadaannya berkebalikan dengan hal ini. Saya bersyukur masih diperbolehkan Tuhan untuk bertemu dengan sahabat yang hebat di SPM Realino. Sebab, di tengah pergulatan duniawi mereka tetap mau menjadi terang dan garam untuk memanusiakan manusia (kata-kata Rm. Driyarkara ini menjadi yang paling ciamik untuk digaungkan di masa kini). Menyadari setiap proses dan jeli melihat setiap kemungkinan yang ada. Mungkin anak-anak dampingan Bongsuwung dan Jombor merupakan 10% dari anak-anak di Indonesia yang membutuhkan pendampingan dan kasih kita.Harapku tertanam kala menatap wajah nan rupawan para volunteer, jangan berhenti mengasihi mereka yang membutuhkan. Luka paling dalam adalah saat kita melihat senyum mereka pudar karena kehilangan harapan. Tanpa kata kau bercerita Goresan penuh kisah Warnamu membawa rasa Menguak asa yang tersisa Sapuan warna sarat makna Penuh kata yang tak terucap Tuk kudengar dalam senyap Berprakarsalah, dan letakkan hatimu untuk mulai berproses. Salam, Be friend, Collaborate, Empower. Kontributor: Agatha Umifriska Ariyani – Volunteer SPM Realino

Feature

Saat Allah Meruntuhkan Menara Babel Pribadi

Tujuh tahun yang lalu, saat sedang melaksanakan tugas Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Wilhelmus Arare, Keuskupan Agung Merauke (KAMe), saya menyaksikan sendiri kondisi medan dan fasilitas pastoral yang serba terbatas. Meskipun saya anak asli Papua, situasi keterbatasan di pedalaman Kabupaten Mappi ini sungguh mengganggu nurani. Peristiwa yang paling terasa kuat dalam kenangan adalah situasi pendidikan di wilayah pelayanan paroki ini. Paroki Wilhelmus Arare memiliki dua puluh stasi yang saling terhubung dengan sungai Yuliana. Di setiap stasi, terdapat bangunan sekolah dasar dan rumah guru tetapi bangunan-bangunan itu kosong tanpa ada aktivitas belajar dan dibiarkan lapuk tanpa guru. Setiap kali berkunjung, saya berjumpa dengan anak-anak usia sekolah yang bersemangat untuk belajar di sekolah. Mereka selalu antusias untuk diajak belajar dan bermain bersama. Perjumpaan tersebut menjadi situasi berahmat di mana hati saya tergerak untuk melakukan sesuatu demi pengembangan sumber daya manusia anak-anak di pedalaman. Pengalaman pastoral di pedalaman memupuk kerinduan untuk menemami anak-anak Papua, belajar dengan penuh semangat menuju masa depan yang lebih baik daripada hari ini. Tantangan selama di medan pastoral justru menjadi kesempatan berahmat yang mendorong saya untuk memohon pertolongan dari Allah. Setelah menyelesaikan Tahun Orientasi Pastoral (TOP), Mgr. Nicholaus Adi Saputra MSC (sekarang Uskup Emeritus KAMe) mengutus saya untuk melanjutkan studi S2 di Universitas Sanata Dharma (USD) – Yogyakarta dan akan tinggal di rumah studi Jesuit, Kolese St. Ignatius – Kotabaru. Memasuki tahun ajaran 2018/2019, secara resmi saya diterima sebagai mahasiswa Universitas Sanata Dharma dan sebagai anggota komunitas Kolese St. Ignatius (Kolsani). Saya tidak pernah membayangkan akan diutus untuk belajar dan tinggal bersama para Jesuit yang saya kenal sebagai perintis misi di Indonesia Timur dan model pedagoginya terkenal hebat. Perlahan-lahan saya mulai menyadari bahwa pergumulan selama masa TOP kini sedang dijawab oleh Allah. Hal itu terlihat semakin jelas, para formator Kolsani memberi kesempatan bagi saya untuk melaksanakan ad extra bersama kelompok mahasiswa/i dari Kab. Mappi – Papua yang dipersiapkan untuk menjadi guru yang bermutu. Kegelisahan yang tertumpuk sebelumnya dapat saya luapkan saat ikut mendampingi mereka di Student Residence USD, Paingan. Pengalaman studi selama di kampus, di Kolsani, maupun di lapangan, selalu saling berkaitan dan memberikan peluang seluas-luasnya bagi saya untuk memikirkan model pedagogi yang kontekstual bagi generasi muda Papua. Dengan berdiskusi bersama teman-teman skolastik, para romo, dan pemerhati pendidikan, saya akhirnya memberanikan diri untuk mengaplikasikan pergumulan TOP dalam tesis S2. Meski terlihat mulus dan menyenangkan, itu tidak berarti bahwa selama studi saya tidak mengalami kegagalan. Saya pernah gagal dalam ujian Universum dan ujian Ad Audiendas. Pengalaman gagal tersebut saya syukuri sebagai cannonball moment. Patut saya akui bahwa selama ini saya belum pernah mengalami kegagalan dalam hal akademik dan selalu berusaha mendapat nilai yang baik. Akan tetapi ketika saya mengalami kegagalan itu, apalagi setiap kali mendaraskan doa Tahun Ignasian dalam Ekaristi, Allah menunjukkan kepada saya bahwa selama ini saya sedang membangun “menara kesombongan.” Sebagai seorang calon imam diosesan yang dididik oleh Jesuit, saya menampilkan diri sebagai teologan yang kerap memamerkan kesombongan intelektual, kesombongan apostolis, dan kesombongan rohani. Saya merasa diri sebagai yang “mahal” karena dididik oleh Jesuit. Sebagaimana yang dialami St. Ignatius, kegagalan yang saya alami telah merobohkan semua kebanggaan diri yang tidak saya sadari selama ini. Meskipun hancur berkeping-keping, Allah tidak membiarkan saya larut dalam perasaan malu dan bersalah yang berlebihan. Diriku kembali dibentuk oleh Allah menjadi pribadi yang lebih dewasa dalam hidup doa, studi, komunitas, dan kerasulan. Atas seluruh pengalaman itu, saya tidak henti-hentinya bersyukur kepada Allah. Dia telah memanggilku untuk mengikuti-Nya, Dia pula yang akan menunjukkan jalan untuk tetap ada di jalan panggilan ini. Melalui pergulatan dan pengalaman di Kolsani, Allah telah mendidik saya menjadi pribadi yang mencintai Dia dan mengabdi-Nya dengan lepas bebas. Saya bersyukur atas persahabatan dan pengalaman di Kolsani. Kontributor: Diakon Steve Mahuse, Pr, adalah seorang calon imam dari Keuskupan Agung Merauke yang ditahbiskan diakon pada tanggal 5 Mei 2022 dan sekarang berdomisili di Keuskupan Agung Merauke.

Feature

Seratus Tahun Novisiat Serikat Yesus di Yogyakarta 1922

Dari ‘Lembah Maria’ ke ‘Lembah Code’ Pada bulan Mei 1922 tiga bruder Yesuit tiba di Jawa. Bruder Cornelius Groot pulang dari cuti dan mendapat tugas baru di Ambarawa, sedangkan dua bruder lain, Petrus van der Voort dan Jacobus van Zon, bertugas di Yogyakarta. Mereka berdua sebelumnya bekerja di Novisiat Belanda. Kini, di Yogyakarta mereka mendapat tugas untuk menyiapkan rumah yang akan menjadi novisiat, untuk sementara menempati satu rumah sewa milik P.J. Perquin, seorang pakar pada Dinas Kepurbakalaan. Beberapa bulan kemudian, Pater H. Koch, socius magister, dan beberapa frater novis tahun kedua akan tiba di Yogyakarta. Mereka berpindah dari ‘Novisiat Lembah Maria’ (Domus Probationis Vallis Beatae Mariae Virginis-Mariëndaal) ke Novisiat ‘Lembah Code’ Yogyakarta (Domus Probationis Djokjakartensis). Dua Keputusan Penting Pada tahun 1921, Serikat Yesus Provinsi Nederland membuat dua keputusan sangat penting. Pertama, akan didirikan novisiat di Hindia-Belanda; dan kedua, setiap tahun dua novis Belanda akan dikirim untuk menjalani tahun kedua di novisiat tersebut. Yogyakarta dipilih menjadi tempat pendidikan awal para calon Yesuit. Selain sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, menurut pengamatan P H. Koch, Yogyakarta sudah dikenal sebagai ‘kota dengan banyak sekolah.’ Perlu dicatat pula bahwa sejak tahun 1918 Yogyakarta telah menjadi pusat baru aktivitas misi Yesuit di kalangan orang Jawa, selain — tentu saja — Muntilan. Salah satu pertimbangan pendirian novisiat di Jawa adalah karena beberapa calon yang menjalani pendidikan di Belanda jatuh sakit dan bahkan dua orang meninggal di sana. Pertimbangan lain adalah supaya para calon mendapat pendidikan awal di alam dan budaya yang kelak akan mereka geluti. Dalam catatan Pater Koch, “Jadi, sudah sejak di novisiat mereka, para novis ini mengenal negara, adat istiadat, dan bahasa yang digunakan oleh penduduk, sementara pada saat yang sama mereka dengan mudah membiasakan diri dengan iklim” (1923). Salah satu yang mengusulkan pengiriman novis Belanda ke Indonesia ini adalah Rama van Lith. Dalam surat kepada superior misi pada tahun 1921 ia menulis “untuk itu kiranya baik kalau novis-novis Belanda dikirim ke Jawa supaya mereka dapat mengalami awal masa pembinaan mereka bersama dengan calon rekan-rekan kerja mereka di masa depan” (lih. F. Hasto Rosariyanto 2009, 199). Perlu dicatat bahwa sejak tahun 1922, para Jesuit sudah berkonsentrasi untuk berkarya semata-mata di pulau Jawa. Novisiat Yogyakarta dibuka pada 18 Agustus 1922. Pater Fransiskus Straeter ditunjuk sebagai magister, sekaligus sebagai superior pertama. Ia dibantu oleh Pater H. Koch, bruder van Zon dan bruder van der Voort. Pada tanggal 7 September 1922 dua orang novis (C. Poespadihardja dan C. Soeryasoetedja) memulai pendidikan mereka. Sementara itu novis secundi yang datang dari Belanda terdiri atas empat orang Indonesia (B. Soemarna, D. Hardjasoewanda, M. Reksaatmadja, dan C. Tjiptakoesoema) dan dua novis Belanda (Gerardus Vriens dan Hermanus Caminada). Suatu keputusan prematur? Betapapun pentingnya pendirian novisiat di Yogyakarta dalam sejarah misi Serikat Yesus di Indonesia, usaha tersebut pernah terancam gagal. Menjelang didirikannya novisiat tahun 1922, terdapat empat calon yang ingin bergabung. Akan tetapi dua orang berhenti sebelum kursus persiapan berakhir. Dua orang kandidat akhirnya masuk novisiat sebagai angkatan pertama di Novisiat Yogyakarta, tetapi satu orang hanya bertahan selama satu bulan. Akibatnya, pada tahun 1922 hanya ada satu novis primi dan enam novis sekundi pindahan dari Belanda. Tahun berikutnya hanya ada satu novis dan bahkan pada tahun 1924 tidak ada satu kandidat pun yang bergabung di novisiat. Melihat kecilnya jumlah kandidat, beberapa orang beranggapan bahwa pendirian novisiat di Yogyakarta adalah suatu keputusan yang terlalu dini, maka lebih baik ditutup saja dan para novisnya dikirim kembali ke Belanda. Keadaan menjadi semakin buruk karena novisiat di Belanda juga hanya menerima sedikit calon pada tahun 1921 dan 1922, sehingga menjadi pertanyaan besar apakah masih bisa mengirim dua novis setiap tahunnya ke Yogyakarta. Superior misi, P J. Hoeberechts, yang sangat yakin akan pentingnya pendirian novisiat, berusaha mempertahankan novisiat meskipun mengalami banyak kesulitan yang harus dihadapi. Ia mendapat dukungan penuh dari Roma. Rama Jenderal Ledochowski menulis kepada provinsial Belanda, mendorong agar provinsi Belanda, meskipun jumlah novisnya sendiri sedikit, tetap berkurban dengan murah hati dan tetap menyumbangkan dari yang sedikit untuk misi. Sementara itu mengenai gagasan untuk menutup novisiat, Rama Jenderal berpendapat, dengan merujuk pada contoh-contoh dari sejarah Serikat, bahwa dari pengalaman akan sangat sulit membuka kembali novisiat setelah ditutup. Oleh karena itu, mempertahankan novisiat adalah suatu berkah tersendiri meskipun jumlah panggilan untuk sementara masih sangat kecil. Akhirnya diputuskan bahwa Novisiat di Yogyakarta tetap dipertahankan. Pembukaan Novisiat Jawa-Belanda di Yogyakarta pada tahun 1922 adalah suatu tonggak amat penting bagi perjalanan Serikat Yesus di Indonesia. Adanya novisiat mau tidak mau menuntut dibukanya formasi yuniorat dan diselenggarakannya kursus filsafat. Pada tahun 1923 novisiat menempati rumah baru di Kolese Ignatius, di mana diselenggarakan yuniorat dan kursus filsafat bagi para skolastik. Bahwa kelak di kemudian hari Yogyakarta akan menjadi salah satu pusat pendidikan calon imam dan religius kiranya tidak bisa dilepaskan dari pendirian novisiat pada tahun 1922. Novisiat Serikat Yesus di Yogyakarta juga memiliki peran penting bagi perkembangan gereja di wilayah Yogyakarta. Sejak sangat dini para Jesuit muda ini masuk dan terlibat langsung dalam dua sayap kerasulan Rama Straeter, yakni pendidikan anak-anak di sekolah-sekolah Kanisius dan reksa pastoral di desa-desa pinggiran Yogyakarta. Sentuhan orang-orang muda ini kiranya memberi warna khas bagi pesatnya perkembangan kekatolikan di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Kontributor: Pater F. Suryanto Hadi, S.J. Pustaka Haryono, Anton. 2009. Awal Mulanya adalah Muntilan. Yogyakarta: Kanisius. Hasto Rosariyanto, F. 2009. Van Lith. Pembuka Pendidikan Guru di Jawa. Yogyakarta: Penerbit USD Press. Koch, “Djokja en het Javaansche Noviciaat Aldaar”, St.-Claverbond, 1923, 65-72. Vriens, G. 1959. Honderd jaar Jezuïeten Missie in Indonesië. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Feature

Pengalaman Baru Penuh Cinta 

Refleksi ini saya awali dengan ungkapan syukur kepada Tuhan karena boleh dipercaya untuk mewakili SMA Kolese de Britto dalam menjalin hubungan internasional melalui program live in pegawai de Britto di sekolah luar negeri. Perasaan dominan saya sebelum berangkat adalah tertantang, sedangkan setelah pulang adalah senang. Sebagai pegawai di Yayasan de Britto, saya pernah mendengar cerita dan menyaksikan para guru dikirim ke luar negeri untuk acara-acara tertentu. Dengan kecintaan saya dalam mempelajari Bahasa Inggris, tentu saya berharap mendapat kesempatan untuk bertugas ke luar negeri. Saya merasa tertantang, saat Pak Catur selaku kepala sekolah memanggil saya dan menyampaikan bahwa saya adalah salah satu guru yang ditunjuk menjadi peserta live in di luar negeri. Persiapan demi persiapan saya lalui dengan antusias. Kurang lebih enam bulan diliputi dengan perasaan yang tak menentu karena situasi pandemi yang membuat syarat-syarat perjalanan bisa berubah-ubah kapan saja tergantung kondisi. Ada kemungkinan bisa berangkat dan tidak berangkat yang sangat tipis. Saya kerap kali membawanya dalam doa. Apalagi H-1 menjelang keberangkatan tiba-tiba mendapat kabar bahwa kami harus menjalani PCR sebagai syarat keberangkatan. Walaupun akhirnya puji Tuhan kami semua dinyatakan negatif covid, sehingga kami bisa berangkat. Senin siang, 20 Juni 2022 sekitar pukul 12.00 WIB akhirnya kami berangkat ke negara tujuan. Saya adalah salah satu dari tiga rekan yang ditugaskan ke Joseph Upatham School (JS) Thailand. Sesampainya di tujuan, kami langsung disambut hangat, seolah-olah kami telah lama saling kenal, oleh Ibu Rorik. Beliau adalah guru di JS yang berasal dari Jogja. Hal ini membawa ketenangan tersendiri bagi saya karena walaupun di negara asing namun kami bisa berkomunikasi dengan bahasa ibu kami. Penyambutan hangat dimulai. Ibu Rorik langsung memberikan pengalaman mencoba makanan khas Thailand dengan mengajak kami makan malam di sebuah foodcourt di salah satu swalayan besar di sana. Kami pun mulai menyesuaikan dengan rasa makanan di sana. Selanjutnya kami diajak untuk berbelanja kebutuhan karena esoknya kami diminta untuk melakukan karantina mandiri sebelum berkegiatan di lingkungan sekolah JS. Kami beruntung karena mendapat fasilitas penginapan khusus tamu sekolah yang letaknya berada di dalam kompleks sekolah. Kami sangat terkejut melihat infrastruktur JS yang sangat luas dan banyak gedung-gedung tinggi. Sayangnya, saat itu kami disambut dengan hujan yang sangat lebat. Di awal masa karantina, beberapa orang dari JS mendatangi kami untuk menjelaskan proses distribusi makanan kami sehari-hari nantinya. Pada saat karantina ini kami mendapat jadwal kegiatan selama satu minggu ke depan secara detail. Di hari pertama tertulis bahwa kami akan diberi waktu untuk memperkenalkan diri dan institusi. Kami mencoba menyusun bahan untuk presentasi di acara penyambutan di hari pertama tersebut. Kami memutuskan untuk banyak bercerita tentang kegiatan formasi di de Britto. Rabu, 22 Juni 2022, kami bersiap berangkat menuju ke sekolah. Kami kembali tertegun saat memasuki lingkungan sekolah dengan kantin yang sangat luas dan pembayaran secara cashless. Kami sarapan di kantin dengan diberi fasilitas kartu sebagai alat pembayaran. Pada acara penyambutan ini, kami disambut oleh para romo dan para guru yang merupakan direksi dari berbagai unit sekolah di JS. Kami senang ketika pihak JS sudah membuatkan kartu anggota JS bagi kami masing-masing yang bisa dipakai selama program ini. Sungguh saya merasa benar-benar diterima dan tidak merasa sebagai orang asing ketika berada di lingkungan JS. Setelah penyambutan selesai, kami pun langsung diberi waktu untuk refreshing dengan mengunjungi sebuah tempat wisata yang tidak jauh dari lokasi JS yaitu Elephant Ground and Zoo. Beberapa guru pun bersedia menemani kami. Di hari kedua, kami mulai berkegiatan di kelas untuk melakukan observasi. Saya berkesempatan untuk masuk ke kelas Matematika di kelas gifted (siswa dengan kemampuan akademik excellent), kelas English Program (EP), dan JS-girls (sekolah khusus untuk perempuan). Setiap pagi, biasanya akan ada upacara bendera di setiap unit. Pada kesempatan itulah kami diminta untuk memperkenalkan diri kepada warga sekolah. Saya mendapatkan banyak pengalaman berharga setiap melakukan observasi di kelas. Kelas pertama yang saya kunjungi adalah kelas gifted, tidak heran jika guru mengajar dengan ritme cepat dan soal-soal dengan tingkat kesulitan sukar. Para siswa terlihat sangat memperhatikan pembelajaran. Guru mengakhiri pembelajaran dengan memberikan kuis singkat. Segera setelah siswa selesai mengerjakan guru langsung berkeliling dan memberikan feedback. Di kelas ini para guru mengajar dalam bahasa Thai, maka saya didampingi oleh Mr. Ta yang membantu saya untuk menjelaskannya dalam Bahasa Inggris. Selanjutnya saya masuk kelas di program EP, di sini para guru menjelaskan dalam Bahasa Inggris. Kami berkesempatan masuk ke kelas Science bersama guru dari luar Thailand. Pembelajaran Science itu sangat menarik, para siswa langsung bereksperimen dan guru telah memberikan beberapa kata kunci yang akan dibahas sambil menekankan kosakata istilah tersebut juga dalam Bahasa Inggris. Di program ini, saya mendapati para guru menanyakan hal yang sama selama pembelajaran, “Apakah anda mengikuti saya?” Ini semacam pertanyaan untuk memastikan apakah para siswa masih fokus dalam pembelajaran. Hari Senin kami berkesempatan masuk ke kelas di JS-girls. Berbeda dengan hari sebelumnya di mana kami banyak berinteraksi dengan guru, di unit ini sekolah meminta beberapa siswinya untuk menemani kami saat melakukan observasi. Para siswi ini menunjukkan sikap sangat antusias ketika bersama kami. Saya berkesempatan menanyakan banyak hal kepada para siswi ini, dari hal sederhana mengapa nama panggilan mereka tidak mesti diambil dari nama panjangnya, sampai pertanyaan bagaimana para guru di JS mengajar mereka. Para siswi ini bercerita layaknya kita saling kenal dan rupa-rupanya mereka mengatakan bahwa ini memang kultur mereka. Saya merasa mereka adalah siswi-siswi saya. Di unit JS-girls, saya mencoba berkomunikasi dengan salah satu guru di sana. Saya menanyakan tentang projek di kelas matematika. Guru tersebut langsung mengarahkan ke Ruang Matematika (Math Room) atau seperti Laboratorium Matematika. Di sana saya ditunjukkan hasil proyek dari siswa yang mengikuti “Math Camp.” Guru tersebut menyampaikan hanya siswa yang memiliki ketertarikan pada Matematika saja yang bergabung dalam pembuatan proyek matematika. Saya tertarik untuk mencoba salah satu proyek yaitu Math Art. Guru tersebut dengan senang hati menyiapkan bahannya dan meminta saya untuk kembali lagi setelah istirahat. Singkatnya, saya bersama guru matematika tersebut berkolaborasi membuat pola kurva dengan media kertas, benang, dan jarum. Proyek yang sederhana namun mampu menunjukkan bahwa matematika dekat dengan kehidupan kita. Para guru dan siswa di sana sangat “low profile“. Saya melihat pribadi-pribadi yang rendah hati dan itu tampak