Tulisan ini dimaksudkan untuk menghantar kita dalam memaknai perjumpaan lintas budaya, dari perspektif penginjil Matius. Titik pijaknya adalah pengalaman transformatif orang-orang Majus yang meninggalkan negeri asal, demi menemukan jawaban atas pertanyaan yang mereka kejar (Mat 2:1-12). Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang dilahirkan itu? Bermula dari ketidaktahuan, mereka beralih ke aksi pencarian. Lewat menafsir konstelasi bintang, mereka mendapatkan arahan. Mereka jelajahi tanah Yudea, negeri asing yang tak terpikirkan sebelumnya. Berbekal keyakinan dan perhitungan matang, mereka terus berjalan sampai jawaban didapatkan.
Pengembaraan ini mengubah hidup mereka. Akan kita ulas tiga tahapan transformatif yang mereka alami. Yang pertama adalah fase pengembaraan diri di tataran pikiran. Mereka bersedia digelisahkan dengan macam-macam pertanyaan. Yang kedua adalah terjun berinteraksi menjumpai realitas yang beragam. Perjumpaan lintas budaya bertambah kompleks karena mereka tidak diam menetap. Mereka maju dan fokus mengikuti bintang. Di fase yang ketiga, mereka pulang melalui jalan lain. Mereka kembali ke realitas hidup harian tetapi kini dengan kebaruan cara pandang. Pengalaman inkarnatoris bersama Sang Bayi Agung telah meneguhkan visi mereka untuk pulang membangun negeri lewat kebijaksanaan hidup yang didapat selama perjalanan.
Fase Pertama: Orang Majus Bertanya-tanya
Berikut ini adalah cara si Matius dalam mendeskripsikan aktivitas utama orang-orang Majus. Dengan gamblang, mereka digambarkan sebagai figur yang “bertanya-tanya” mengenai di manakah Dia (ay.2). Lihatlah, aktivitas mereka ini bukan sekedar “bertanya”, melainkan “bertanya-tanya”. Ada bedanya tentu. “Bertanya” itu berarti meminta keterangan atau penjelasan. Entah informasi kemudian didapat atau tidak, usailah sudah aktivitas tersebut saat itu juga.
Sedangkan, orang yang “bertanya-tanya” adalah orang yang mencari jawab “kemana-mana”. “Kemana-mana” bukan hanya menyisir lokasi, tetapi juga dalam artian terus membuka diri terhadap bermacam-macam sumber informasi. Dapat dibayangkan bagaimana orang-orang Majus tidak hanya berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri yang lain. Mereka juga tak henti-hentinya beralih meneliti dari satu referensi, entah yang berupa pustaka ataupun prasasti, ke referensi yang lain, hanya demi menemukan sebuah petunjuk. Dengan kata lain, mereka sungguh bereksplorasi.
Aktivitas “bertanya-tanya” juga dapat dimengerti bahwa mereka ini berulang kali harus merevisi temuan sebelumnya. Ada sebuah proses panjang dan mendalam yang mesti dilewati. Mereka setiap kali harus mempertanyakan ulang apa yang sudah dirumuskan, demi mendapatkan ketepatan jawaban. Untuk itu, mereka berdiskusi, berdebat, dan memverifikasi temuan mereka dengan temuan rekan sejawat lainnya. Kesahihan penelitian semakin bisa didekati ketika mereka bekerja sebagai satu tim.
Deskripsi di atas dapat kita mengerti dengan mengenali siapa sesungguhnya yang disebut sebagai orang “Majus” itu. Tidak seperti yang umumnya kita bayangkan, mereka ini bukanlah raja. Posisi mereka lebih tepat disebut sebagai para penasihat raja. Kedudukan tersebut diperoleh atas dasar kecakapan. Ibarat PNS tempo dulu, mereka adalah kaum terdidik yang lulus ujian seleksi dan naik jabatan karena pelbagai macam kompetensi unggul yang mereka kuasai. Dengan kata lain, mereka adalah para pakar, kaum profesional, orang-orang bijak.
Sebagai penasihat, tugas mereka hanya satu. Mereka diminta menggali sumber pengetahuan sedalam-dalamnya, dan dengan demikian, sang raja akan terbantu dalam memutuskan persoalan atas dasar terang budi mereka. Mereka adalah orang-orang yang mendedikasikan diri demi kemajuan ilmu pengetahuan. Artinya bahwa, sejak awal, mereka memang disiapkan dan dilatih untuk menghadapi bermacam-macam pertanyaan. Mereka membekali diri dengan penguasaan atas pelbagai metode pengerjaan. Mereka suka berpikir. Mereka tidak alergi ketika dijejali dengan aneka kerumitan. Mereka tetap nyaman dalam keresahan. Mereka mampu fokus di tengah keramaian.
Nah, kemahiran mereka dalam menafsir kompleksitas konstelasi bintang dapat dimengerti sebagai berikut. Di ayat 2, Matius memakai kata “en te anatole (di timur)” ketika menceritakan bagaimana orang-orang Majus tersebut bisa sampai di Yudea. Di dalam dunia hellenis, “en te anatole” adalah istilah teknis yang lazim dipakai oleh para astrolog-matematikawan dalam menggambarkan pergerakan sebuah benda langit yang akan terbit di atas ufuk timur tepat sebelum matahari terbit. Benda tersebut pelan-pelan tidak lagi nampak karena terhalang oleh sinar mentari pagi yang mulai menyilaukan. Boleh jadi, Matius secara sengaja memakai istilah tersebut untuk semakin mempertegas identitas orang-orang Majus tersebut, yakni bahwa mereka adalah kaum terpelajar. Mereka cermat mengukur. Mereka berpangkal pada hitungan akal budi dalam membuat penilaian dan keputusan.
Berbekal panduan bintang di timur, mereka dipertemukan satu sama lain. Atas bintang yang sama pula, para majus saling bekerja sama di dalam pencarian. Akhirnya, tibalah mereka di tanah Yudea.
Fase Kedua: Orang Majus Berinteraksi
Di fase yang kedua ini, pergumulan orang-orang Majus bertambah kompleks. Mereka berjumpa dan berinteraksi dengan Raja Herodes yang digambarkan oleh Matius sebagai sosok yang licik. Di balik wajah keramahannya, terpendam akal busuk untuk memberangus siapapun yang mengancam kedudukannya sebagai raja. Gelar “raja orang Yahudi” sesungguhnya adalah sebutan kehormatan yang dianugerahkan oleh para senatus Romawi kepada Herodes atas jasa-jasanya. Di mata penguasa Romawi, Herodes dinilai berhasil dalam mengintegrasikan daerah Yudea ke dalam kekaisaran Romawi. Ia mendorong semua warganya untuk mematuhi adat istiadat Romawi. Ia membangun kuil untuk Kaisar Agustus dan berpartisipasi dalam pelbagai even olahraga kekaisaran. Oleh karenanya, Herodes merasa terkejut manakala orang-orang Majus mendiskusikan tentang pencarian lokasi kelahiran “raja orang Yahudi” (ay.3).
Di tengah keterkejutannya, Herodes bermain licik. Ia sengaja mengikuti alur diskusinya orang-orang Majus tersebut. Herodes tidak lekas terpancing amarahnya karena ia masih ingin memanfaatkan mereka. Demi meraih simpati, ia bahkan memanggil orang-orangnya, yakni para imam kepala dan ahli taurat untuk memperoleh keterangan lebih lanjut tentang di mana Mesias akan dilahirkan (ay.4). Sesudahnya, Herodes memberitahukan orang-orang Majus untuk pergi ke Betlehem. Bersamaan dengan itu semua, ia menyelipkan pesan agar mereka menyelidiki secara teliti apapun tentang si Anak tersebut dan segera mengabarkan itu semua ke Herodes (ay.8). Apakah orang-orang Majus ini terjebak masuk dalam perangkap Herodes? Memang si Matius tidak menceritakan secara detail bagaimana interaksi pelik yang terjadi di antara mereka. Namun dapat dibayangkan berikut ini. Orang-orang Majus bukanlah orang naif. Mereka tentu peka dengan maksud terselubung si Herodes. Sebagai penasihat para raja, mereka sudah terbiasa menerka-nerka apa yang ada dalam benak pikiran seorang penguasa. Mereka tanggap terhadap gerak-gerik Herodes yang mencurigakan, yang mulai bereaksi berlebih-lebihan lewat permintaan ini itu. Demi keselamatan diri, orang-orang Majus memainkan peran yang tak kalah cerdik. Gaya mereka cukup diplomatis. Mereka dengan tenang mendengarkan kata-kata Herodes, dan tanpa harus merespon berlebihan, segera saja mereka berangkat (ay.9).
Lewat perjumpaan dengan Herodes, dapat dicermati bahwa dalam interaksi interkultural tidak tertutup kemungkinan terjadinya interaksi politis. Akan selalu ada orang-orang yang sengaja mendekat karena mereka punya kepentingan tertentu. Oleh karenanya, sikap naif perlu diperangi supaya orang terlepas dari malapetaka. Integritas diri wajib dijaga agar tidak tercemar oleh pelbagai kepentingan, dan tetap bebas dari tekanan pihak tertentu. Bahkan, kemampuan adaptif dalam membaca situasi maupun “micro-expression” dari si lawan bicara perlu dikuasai sehingga lekas terdeteksi maksud-maksud terselubung yang tengah dimainkan di situ.
Fase Ketiga: Orang Majus Pulang melalui Jalan Lain
Tidak selang berapa lama, bintang yang mereka lihat di timur terdeteksi kembali dan mendahului mereka hingga berhenti di suatu tempat (ay. 9). Diceritakan pula oleh Matius tentang sukacita besar yang dirasakan oleh orang-orang Majus ini ketika melihat bintang tersebut (ay.10). Di ayat tersebut, jelas-jelas dinyatakan bahwa kegembiraan mereka adalah karena faktor bintang yang dilihat dan bukan yang lain. Dalam arti apa? Orang-orang majus bersukaria karena merasa betul-betul lega bahwa penelitian yang mereka kerjakan selama ini, yang mengerucut ke amatan terhadap gerak bintang, pada akhirnya membuahkan hasil. Jerih payah mereka terbayarkan. Hidup mereka telah diubah lewat pengalaman jatuh-bangun sepanjang perjalanan demi mengikuti bintang. Luapan kegembiraan semacam inilah yang kemudian turut mereka bawa masuk ke rumah dan di situ dijumpailah si Anak itu bersama Maria, ibu-Nya (ay.11). Dengan demikian, perjumpaan langsung dengan Sang Bayi Agung lebih merupakan peristiwa peneguhan atas pergumulan hidup dan sukacita yang telah diraih. Apa yang utama adalah keseluruhan proses perjalanan yang mentransformasi hidup mereka tersebut. Melalui beragam tempaan pengalaman, kebijaksanaan hidup didapatkan.
Si Matius kemudian mengakhiri kisah itu dengan menyebutkan bahwa orang-orang Majus pulang ke negeri masing-masing melalui jalan lain karena mendapatkan peringatan dalam mimpi (ay.12). Inilah salah satu kekhasan gaya si Matius. Istilah “diperingatkan dalam mimpi” dipakainya untuk mengungkapkan terjadinya sebuah dialog batin. Dalam kisah Yusuf pun dijumpai pola yang sama. Bagi Matius, “mimpi” mengakomodasi ruang perjumpaan yang menghubungkan antara si tokoh dengan yang Ilahi, manakala sebuah keputusan penting akan diambil. Dengan kata lain, “mimpi” adalah cara Matius untuk memberikan kode kepada para pembaca bahwa si tokoh tengah berdiskresi. Melalui keputusannyalah, sebuah peristiwa besar dapat terlaksana.
Keputusan orang-orang Majus sesudah perjumpaan dengan bayi Yesus adalah “pulang melalui jalan lain”. Rumusan tersebut dapat dimaknai bahwa mereka pulang tetapi bukan mengarah ke gaya hidup yang lama. Mereka kembali ke realitas hidup harian tetapi kini dengan cara pandang yang baru, yang disegarkan. Pelbagai macam pengalaman eksploratif dan interaksi budaya telah mendewasakan mereka. Hidup mereka sungguh diubah. Kebijaksanaan hidup yang didapat selama perjalanan pun mereka bawa pulang guna membangun negeri secara lebih baik lagi.
Simpulan
Melalui kisah perjalanan orang-orang Majus, tulisan ini menegaskan bahwa pengalaman inkarnatoris itu sungguh berdaya transformatif. Nubuat kedatangan Yesus ke dunia ditanggapi oleh orang-orang Majus dengan cara luar biasa. Mereka bereksplorasi. Pertanyaan “di manakah Dia?” memotivasi mereka untuk pergi meneliti kemana-mana. Mereka membuka diri dan siap bekerja sama dengan siapa saja. Manakala kerumitan ada, mereka pun tidak kehilangan asa. Mereka malah mengoptimalkan usaha dengan terjun berinteraksi lintas budaya. Di sinilah rupanya, perjumpaan dengan pelbagai suasana semakin menjadikan diri mereka tambah bijaksana.
Kontributor: Pater Bernadus Dirgaprimawan, S.J.