Yesus itu bukan orang Afrika, kan?” tanya saya pada diri sendiri saat saya melihat gambar Yesus berwajah Afrika di dinding refter Wisma Kandidat, Lahore. Saat itu, tahun 2015, adalah hari pertama saya berada di Wisma Kandidat, untuk memulai tahap awal formasi dalam Serikat Jesus. Tentang pengalaman heran akan Yesus yang berwajah Afrika itu, saya hanya menyimpannya dalam hati. Beberapa tahun kemudian, saya melanjutkan formasi di Sri Lanka, dan sekali lagi saya melihat lukisan Yesus berwajah Tamil dan Sinhala. Saat itu saya mulai menghubung-hubungkan Yesus berwajah Yahudi, Afrika, Tamil, dan Sinhala.
Saya tiba di Indonesia pada 22 April 2022. Di sini, orang-orang tidak memelihara cambang dan janggut. Ketika mereka melihat saya, saya menduga bahwa mereka akan berpikir bahwa saya bukan orang Indonesia karena bercambang lebat, tetapi saya yakin bahwa mereka berbicara tentang Yesus yang sama dengan yang saya imani. Mereka juga mendoakan doa yang sama seperti yang saya daraskan dalam bahasa Pakistan. Mereka memiliki iman, iman yang sama dengan yang saya yakini di Pakistan. Hingga suatu hari saya berkesempatan untuk berkunjung dan melihat Candi Hati Kudus Yesus di Ganjuran. Saya kaget karena Yesusnya berwajah Indonesia. saat itu saya pun mulai berefleksi lagi mengenai pribadi Yesus.
Aneka ragam budaya, satu Yesus, mana mungkin? Aku senang mengingat kontemplasi kelahiran Yesus dalam Latihan Rohani yang pasti pernah dilakukan oleh setiap Jesuit saat di novisiat. Tritunggal Maha Kudus menatap dunia dan melihat semua hal yang sedang terjadi. Ia melihat semua bangsa, semua budaya, ya Pakistan, Afrika, Tamil, Sinhala, Indonesia, dan seterusnya. Tritunggal Maha Kudus memandang penuh belas kasih dan melihat bahwa dunia perlu diselamatkan. Lalu Tritunggal Maha Kudus memutuskan bahwa Kodrat Kedua dari mereka akan menjelma menjadi manusia dan menyelamatkan umat manusia. Dari situlah terjadi inkarnasi! Natal! 25 Desember! Yesus Tuhan menjadi manusia yang sama seperti kita. Kini, Tuhan bukan lagi berada di tempat yang tidak terjangkau melainkan tinggal di antara kita. Saatnya merayakan kegembiraan!
Saya yakin bahwa sebenarnya Yesus sudah nyaman berada di antara Bapa dan Roh Kudus. Menjadi manusia pastilah penuh tantangan. Meskipun demikian, ia menerima tantangan-tantangannya dan tinggal di antara kita. Saya diundang untuk menyatu dengan budaya asing di mana saya diutus saat ini. Kini saya berada di Jakarta dan belajar filsafat dalam bahasa Indonesia. Penuh tantangan. Saya harus belajar bahasa bukan sekadar untuk berkomunikasi tetapi juga untuk memahami filsafat. Saya harus memahami orang-orang di sekitar saya. Saya harus berbaur dan menjadi satu seperti halnya Yesus yang menjadi satu dengan kita. Saya tidak akan memiliki tantangan sebesar ini jika berada di Pakistan dibandingkan dengan ketika di Indonesia. Mungkin sama halnya dengan Yesus yang akan lebih nyaman jika ia tetap berada di surga. Hal ini mengundang saya untuk terus mau berinkarnasi dalam sebuah budaya baru.
Berbaur bersama banyak orang, meskipun sangat menantang, tetapi menjadi pengalaman yang begitu menyenangkan. Sewaktu di Sri Lanka untuk program juniorat, setiap hari Minggu saya pergi ke gereja paroki yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah juniorat dan membantu tugas-tugas pastoral di sana. Umat berbicara dalam bahasa Sinhala, sedangkan saya tidak bisa. Pada minggu-minggu pertama saya merasa sangat terasing. Saya sekadar pergi ke sana, merayakan misa, dan kembali ke rumah juniorat. Saya merasa tidak puas. Saya ingin memiliki pengalaman yang lebih daripada itu. Saya sadar bahwa saya perlu melibatkan diri bersama umat karena saya bertugas membantu pelayanan pastoral. Lalu saya mulai belajar bahasa Sinhala dan berinteraksi dengan umat. Saya terlibat bersama OMK dan mengajar Sekolah Minggu. Dari situ saya merasa bahwa diri saya mulai terhubung dengan Paroki itu hingga tiba waktunya saya harus kembali ke Pakistan. Di hati yang terdalam, saya merasakan kegembiraan dan kepuasan karena telah mengalami semua itu.
Bulan April 2022 saya tiba di Jakarta. Saya berjumpa dengan orang-orang berbahasa Indonesia dan saya tidak mengerti sama sekali apa yang mereka bicarakan. Saya merasa takut ketika membayangkan nantinya saya akan belajar filsafat dalam bahasa Indonesia, sebuah bidang ilmu yang sulit bahkan ketika dipelajari dalam bahasa asal saya, Pakistan! Dalam hati, saya menyadari bahwa itulah tantangannya dan saya harus bisa melaluinya. Saya harus benar-benar menyelami budaya baru ini seperti halnya Yesus yang menyelami budaya, bahasa, dan alam sekitar kita secara penuh. Inilah perutusan saya. Saya mulai belajar bahasa Indonesia, mencari teman baru, dan membiarkan diri saya hadir sepenuhnya di situ. Kini saya merasa sudah betah di Indonesia. Ada banyak teman di Serikat. Saya mulai bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang sederhana dan mulai merasa bukan sebagai orang asing lagi. Seorang Jesuit bercambang lebat yang berada di antara orang-orang tidak bercambang! Aman, seorang Pakistan, Sri Lanka, dan Indonesia.
Kontributor: S. Aman Aslam, S.J. – Skolastik asal Pakistan