Tujuh tahun yang lalu, saat sedang melaksanakan tugas Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Wilhelmus Arare, Keuskupan Agung Merauke (KAMe), saya menyaksikan sendiri kondisi medan dan fasilitas pastoral yang serba terbatas. Meskipun saya anak asli Papua, situasi keterbatasan di pedalaman Kabupaten Mappi ini sungguh mengganggu nurani. Peristiwa yang paling terasa kuat dalam kenangan adalah situasi pendidikan di wilayah pelayanan paroki ini. Paroki Wilhelmus Arare memiliki dua puluh stasi yang saling terhubung dengan sungai Yuliana. Di setiap stasi, terdapat bangunan sekolah dasar dan rumah guru tetapi bangunan-bangunan itu kosong tanpa ada aktivitas belajar dan dibiarkan lapuk tanpa guru. Setiap kali berkunjung, saya berjumpa dengan anak-anak usia sekolah yang bersemangat untuk belajar di sekolah. Mereka selalu antusias untuk diajak belajar dan bermain bersama. Perjumpaan tersebut menjadi situasi berahmat di mana hati saya tergerak untuk melakukan sesuatu demi pengembangan sumber daya manusia anak-anak di pedalaman.
Pengalaman pastoral di pedalaman memupuk kerinduan untuk menemami anak-anak Papua, belajar dengan penuh semangat menuju masa depan yang lebih baik daripada hari ini. Tantangan selama di medan pastoral justru menjadi kesempatan berahmat yang mendorong saya untuk memohon pertolongan dari Allah.
Setelah menyelesaikan Tahun Orientasi Pastoral (TOP), Mgr. Nicholaus Adi Saputra MSC (sekarang Uskup Emeritus KAMe) mengutus saya untuk melanjutkan studi S2 di Universitas Sanata Dharma (USD) – Yogyakarta dan akan tinggal di rumah studi Jesuit, Kolese St. Ignatius – Kotabaru. Memasuki tahun ajaran 2018/2019, secara resmi saya diterima sebagai mahasiswa Universitas Sanata Dharma dan sebagai anggota komunitas Kolese St. Ignatius (Kolsani). Saya tidak pernah membayangkan akan diutus untuk belajar dan tinggal bersama para Jesuit yang saya kenal sebagai perintis misi di Indonesia Timur dan model pedagoginya terkenal hebat. Perlahan-lahan saya mulai menyadari bahwa pergumulan selama masa TOP kini sedang dijawab oleh Allah. Hal itu terlihat semakin jelas, para formator Kolsani memberi kesempatan bagi saya untuk melaksanakan ad extra bersama kelompok mahasiswa/i dari Kab. Mappi – Papua yang dipersiapkan untuk menjadi guru yang bermutu. Kegelisahan yang tertumpuk sebelumnya dapat saya luapkan saat ikut mendampingi mereka di Student Residence USD, Paingan.
Pengalaman studi selama di kampus, di Kolsani, maupun di lapangan, selalu saling berkaitan dan memberikan peluang seluas-luasnya bagi saya untuk memikirkan model pedagogi yang kontekstual bagi generasi muda Papua. Dengan berdiskusi bersama teman-teman skolastik, para romo, dan pemerhati pendidikan, saya akhirnya memberanikan diri untuk mengaplikasikan pergumulan TOP dalam tesis S2.
Meski terlihat mulus dan menyenangkan, itu tidak berarti bahwa selama studi saya tidak mengalami kegagalan. Saya pernah gagal dalam ujian Universum dan ujian Ad Audiendas. Pengalaman gagal tersebut saya syukuri sebagai cannonball moment. Patut saya akui bahwa selama ini saya belum pernah mengalami kegagalan dalam hal akademik dan selalu berusaha mendapat nilai yang baik. Akan tetapi ketika saya mengalami kegagalan itu, apalagi setiap kali mendaraskan doa Tahun Ignasian dalam Ekaristi, Allah menunjukkan kepada saya bahwa selama ini saya sedang membangun “menara kesombongan.” Sebagai seorang calon imam diosesan yang dididik oleh Jesuit, saya menampilkan diri sebagai teologan yang kerap memamerkan kesombongan intelektual, kesombongan apostolis, dan kesombongan rohani. Saya merasa diri sebagai yang “mahal” karena dididik oleh Jesuit. Sebagaimana yang dialami St. Ignatius, kegagalan yang saya alami telah merobohkan semua kebanggaan diri yang tidak saya sadari selama ini. Meskipun hancur berkeping-keping, Allah tidak membiarkan saya larut dalam perasaan malu dan bersalah yang berlebihan. Diriku kembali dibentuk oleh Allah menjadi pribadi yang lebih dewasa dalam hidup doa, studi, komunitas, dan kerasulan.
Atas seluruh pengalaman itu, saya tidak henti-hentinya bersyukur kepada Allah. Dia telah memanggilku untuk mengikuti-Nya, Dia pula yang akan menunjukkan jalan untuk tetap ada di jalan panggilan ini. Melalui pergulatan dan pengalaman di Kolsani, Allah telah mendidik saya menjadi pribadi yang mencintai Dia dan mengabdi-Nya dengan lepas bebas. Saya bersyukur atas persahabatan dan pengalaman di Kolsani.
Kontributor: Diakon Steve Mahuse, Pr, adalah seorang calon imam dari Keuskupan Agung Merauke yang ditahbiskan diakon pada tanggal 5 Mei 2022 dan sekarang berdomisili di Keuskupan Agung Merauke.