Santai, senang mengobrol dan bercanda, suka makan dan olah fisik, serta mencintai musik dan tarian. Itulah orang-orang Micronesia, khususnya orang-orang Chuuk atau Chuukese. Sayangnya, sifat, perilaku, dan kebiasaan yang menyatu dengan budaya mereka itu tidak selalu cocok dengan atmosfer dunia pendidikan.
Cobalah Anda sesekali mengunjungi Chuuk, terutama sekolah Jesuit yang berada di sana, Xavier High School. Sapalah orang-orang lokal yang Anda temui di jalan dan mereka akan tersenyum serta membalas sapaan Anda. Tidak jadi soal bahwa mereka dan Anda tidak saling kenal.
Jika Anda ingin mengobrol, mereka bahkan bisa melayani sampai berjam-jam. Kalau beruntung, obrolan itu akan ditemani seporsi kelapa muda yang langsung dipetik dari pohonnya. Segar. Atau, jika berkenan, Anda bisa mencicipi sakaw, minuman tradisional dari akar tanaman yang bisa membuat Anda rileks, walaupun rasanya sedikit masih bercampur dengan tanah. Sementara itu, mereka yang menemani Anda akan mengunyah pu’u alias buah pinang. Senyum lebar dan tawa berhiaskan gigi berwarna merah, akibat terlalu sering nginang, sangat mungkin Anda jumpai dalam obrolan itu.
Menginjakkan kaki di Xavier High School, jika sedang tidak dalam masa liburan, sangat mungkin Anda akan menjumpai beberapa siswa yang sedang beraktivitas fisik. Mulai dari saling berkejaran di lapangan, sampai bekerja bakti membersihkan lingkungan sekolah. Bergerak ke lapangan, Anda akan melihat sekelompok anak laki-laki yang kulitnya memerah dan basah kuyup karena keringat, tanda bahwa mereka sudah lama bermain basket. Bergeser sedikit ke gym, Anda akan bertemu beberapa anak lainnya yang sedang mengangkat barbel.
Tidak perlu heran pula jika Anda bertemu dengan anak-anak yang ke mana-mana membawa ukulele, gitar mungil bersenar tiga itu. Mereka biasanya sedang mencari tempat yang nyaman untuk memainkannya sambil bernyanyi. Jika berada dalam kelompok, mereka akan membawakan nyanyian yang merdu di telinga. Kadang dalam bahasa Inggris, kadang dalam bahasa Chuukese. Perpaduan suara yang harmonis tercipta secara alami, bahkan tanpa mereka terlebih dulu diajari teknik kor. Alunan nan merdu itu pula yang akan Anda nikmati ketika siswa-siswi menyambut Anda dengan nyanyian Xavier Welcome Song.
Kalau datang bertepatan dengan Cultural Day atau hari apresiasi budaya lokal, Anda akan melihat siswa-siswi Xavier High School yang begitu bersemangat menari. Bukan hanya siswa-siswi Chuukese, melainkan juga yang berasal dari suku atau negara Pasifik lainnya. Sementara itu, yang menonton mereka tampil bisa jadi sedang sambil menikmati seporsi besar nasi atau sukun lengkap dengan lauk pauknya. Akan tetapi, untuk melihat mereka menari pada dasarnya memang tidak perlu menunggu Cultural Day. Cobalah Anda menyetel musik disko atau bertempo cepat, maka secara otomatis akan ada anak-anak yang bergoyang.
Mencermati dan mengalami semua hal itu, bisa jadi Anda akan mengira bahwa Chuuk sungguh merupakan tempat yang tepat untuk berlibur dan bersantai. Suasana yang cocok untuk berlibur itu juga tercipta di Xavier High School. Tidak salah jika Anda memang berpikir seperti itu. Budaya dan alam Chuuk tampaknya memang saling berkolaborasi untuk membentuk atmosfer liburan dan santai itu. Deburan ombak laut di kejauhan, desiran angin sepoy-sepoy di tengah sengatan panas matahari, serta rindangnya kelapa dan pohon sukun turut menemani obrolan, nyanyian, dan tarian orang-orang Chuuk.
Akan tetapi, tidaklah mungkin jika anak-anak Chuuk dan bangsa Pasifik lainnya semata-mata dididik dalam suasana santai seperti itu. Untuk mengembangkan daya ingat, misalnya, mereka harus dilatih menghafal. Supaya bisa cermat berpikir dan berpendapat, mereka harus membaca soal dengan duduk dan diam, serta belajar merangkai argumen secara logis. Ketika duduk diam dan suasana yang cenderung kaku itu terasa membosankan dan menimbulkan kantuk, mereka harus dididik untuk dapat bertahan dan berusaha fokus.
Perutusan sebagai frater Tahun Orientasi Kerasulan (TOK) di Xavier High School saat itu lalu menjadi masa penuh tegangan bagi saya. Ada saatnya saya harus menciptakan suasana santai di dalam dan luar kelas. Ada kalanya mengkondisikan siswa-siswi untuk tetap fokus dalam suasana yang agak kaku dan cenderung membosankan. Ketika menghidupi tegangan itu pun ada masanya saya menjadi terbawa suasana santai dan kendor, kadangkala juga menjadi keras pada anak-anak di Xavier High School.
Saya pun jadi turut belajar menghidupi tegangan. Ada waktunya mengajari mereka agar diam dan mendengarkan. Ada pula saatnya memberi kesempatan bagi mereka untuk bebas berekspresi dan berpendapat. Ada saatnya saya bisa mengobrol, tertawa, bercanda, bernyanyi dan menari bersama mereka, tapi juga belajar mengingatkan dengan tegas dan taat aturan saat mereka salah. Ada momen saya membagikan metode pendidikan yang saya alami di Indonesia Ada pula kesempatan untuk menyesuaikan metode dengan kebiasaan dan budaya setempat. Akhirnya, pada saat yang sama siswa-siswi turut belajar menghidupi tegangan yang saya hayati ini.
Metode pendampingan saya susun sehingga ada kalanya anak-anak dapat belajar di luar kelas, selain juga duduk di dalam kelas. Karena metode ini, memang pernah juga saya tidak sependapat dengan salah seorang pendidik yang mengatakan, “Belajar itu ya harus di dalam kelas, bukan dibawa keluar layaknya sedang bermain!” Tentu saja, bukan berarti saya lalu tidak belajar dari sang pendidik. Saat “berkunjung” ke kelas beliau, saya mengakui kehebatannya dalam mengajar dan maklum akan prinsip yang beliau pegang itu.
Akan tetapi, saya sendiri memang tidak mau kehilangan kesempatan untuk belajar, bereksplorasi, dan bereksperimen. Metode itu tetap saya jalankan dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, disertai kesadaran terus-menerus akan keinginan untuk mendampingi anak-anak dengan baik. Penilaian setiap hari tetap dilakukan lewat refleksi dan evaluasi diri, serta masukan dari siswa-siswi dan sesama pendidik. Dinamikanya tidak selalu mudah dilalui, tapi kemurahan hati dan penerimaan orang-orang di sekitar saya itulah yang meneguhkan.
Saya pun belajar dari teladan Yesus semasa berproses di Xavier High School. Sebagai Allah yang berinkarnasi, Yesus tidak menolak identitas kemanusiaan-Nya sebagai orang Yahudi. Demikian pula, saat mendidik, Ia meminta para murid-Nya untuk tetap setia pada jati diri ke-Yahudi-an mereka dengan segala kebiasaannya. Akan tetapi, Ia juga mendorong para murid untuk terbuka pada berbagai pembaruan. Semua pembaruan itu turut menjadikan mereka pribadi yang lebih baik dan berwawasan luas, tanpa menolak kenyataan diri sebagai orang Yahudi. Inilah yang menurut saya menjadi semangat inkarnasi.
Oleh karena itu, siswa-siswi Xavier High School tetap dapat menjadi orang-orang Chuuk, Micronesia, atau apapun jati diri mereka. Saya tidak pernah ingin menjadikan mereka orang yang menolak identitas atau budaya yang membentuk mereka. Namun, saya berharap, hal-hal yang saya coba bagikan kepada mereka selama TOK membantu mereka untuk terbuka pada nilai-nilai baru. Melalui proses bersama itu, semoga mereka dan saya sendiri dapat berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.
Kontributor: Rafael Mathando Hinganaday, S.J. – TOK di Xavier High School, the Federated States of Micronesia, 2014-2016