Pilgrims of Christ’s Mission

Universal Apostolik Preferences

Karya Pendidikan

UAP dalam Konteks Formatio Iman Berjenjang dan Berkelanjutan

Michael College Ministry (MCM) Surakarta pada Minggu, 15 September 2024 menyelenggarakan kegiatan Bincang Santai Spiritualitas Ignatian: UAP dalam Konteks Formatio Iman Berjenjang dan Berkelanjutan. Ini merupakan rangkaian kegiatan Ignatian Day di Aula Politeknik ATMI Surakarta. Kegiatan ini dihadiri  48 orang, yang terdiri atas para guru agama Katolik dari SMP/SMA/SMK yang dikelola Lembaga Pendidikan  Katolik dan para katekis dari paroki-paroki yang berada di Kota Surakarta dan sekitarnya. Hadir pula beberapa kepala sekolah SMA dan SMK dari sekolah yayasan Katolik serta biarawan dan biarawati. Tema yang diangkat dalam kegiatan ini Memupuk Iman dalam Kegalauan Sehari-hari dengan narasumber Pater Albertus Bagus Laksana, S.J. Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.   Tahun Peziarahan Harapan  Dewasa ini, salah satu tantangan iman yang dihadapi Gereja adalah hilangnya harapan. Harapan merupakan dasar dalam menjalani hidup. Seorang peziarah yang tanpa harapan sama artinya dengan peziarahan tanpa tujuan. Itulah mengapa harapan begitu penting, terutama bagi kaum muda. Hal inilah yang menjadi dasar Paus Fransiskus menetapkan tahun 2025 sebagai tahun peziarahan harapan.   Banyak orang tua yang hidup sendirian kehilangan harapan akan hari tuanya. Keluarga muda yang harus menanggung beban ekonomi atau menjadi sandwich generation kehilangan harapannya untuk menabung demi masa depan. Anak-anak yang sejak dini sudah terpapar banjir informasi yang tidak bisa dikelola sesuai dengan usianya mengalami keputusasaan dengan situasi saat ini. Para pendidik, pembimbing, guru, dan katekis dipanggil untuk melakukan pendampingan yang sesuai bagi kaum muda agar tidak kehilangan harapan, selaras dengan salah satu tema UAP (Universal Apostolic Preferences) yaitu menemani kaum muda menemukan masa depan yang penuh harapan. Para pendidik, pembimbing, guru, dan katekis diajak mengenal spiritualitas Ignatian untuk mendampingi kaum muda.   “Apakah pendampingan kita cukup kuat untuk memberikan pengharapan bagi anak-anak dan kaum muda?” tanya Pater Bagus Laksana. Ini menjadi pertanyaan reflektif bagi seluruh peserta.    Kasus-kasus terkini Akhir-akhir ini sering terdengar kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri. Banyak orang menderita, depresi, dan mengalami tekanan. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain tekanan hidup, kematangan otak yang belum tercapai, banjir arus informasi serta faktor biologis, psikologis dan sosial.   Usaha pencegahan dan mengatasi depresi Remaja sekarang sudah terpapar begitu banyak arus informasi bahkan sejak mereka kecil. Banyaknya arus informasi ini tidak sepadan dengan kematangan otak mereka dalam memproses informasi yang ada. Sedangkan kematangan otak manusia baru terjadi pada usia 25 tahun. Itulah mengapa banyak remaja yang ditemukan mengidap depresi. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI 2023) angka tertinggi pengidap depresi terjadi di usia 15-24 tahun. Depresi yang tidak tertangani bisa memicu seseorang untuk melakukan percobaan bunuh diri. Bunuh diri adalah puncak dari masalah kesehatan mental masyarakat dan menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di dunia.    Dalam masyarakat orang yang mengalami depresi atau melakukan percobaan bunuh diri dicap tidak beriman kuat. Lalu, bagaimana dengan formatio iman? Sebagai pendamping orang muda, kita melakukan perjumpaan fisik (hadir secara langsung), memberikan perhatian serta dukungan dan mendengarkan serta memberi ruang bagi mereka. Stop menghakimi permasalahan yang sedang mereka hadapi. Selain itu juga dengan menaikkan citra diri, perlunya kehadiran orang tua dalam mendampingi dan meningkatkan resiliensi mental.   Membendung banjir arus informasi harus dilakukan di sekolah-sekolah agar anak tidak menerima informasi-informasi palsu dan memberikan tekanan pada otak yang mestinya tidak perlu dipikirkan. Ponsel bisa tidak digunakan ketika kegiatan belajar-mengajar sekolah. Hal ini sudah dilakukan di negara Amerika. Mereka dipaksa untuk tidak memakai ponsel sehingga sekolah menyediakan laptop atau PC untuk pembelajaran.     Apa peran spiritualitas Ignatian?  Spiritualitas Ignatian mengajak pembimbing mendampingi anak muda untuk melakukan latihan rohani sehingga menumbuhkan motivasi melalui pembedaan roh dan juga diskresi. Orang muda diajak untuk tidak memikirkan hal-hal traumatik, kegagalan masa lalu, dan memandang masa depan dengan suram. sebaliknya, mereka diajak untuk memiliki pengharapan.    Dalam menumbuhkan pengharapan, kita bisa dengan mengajak orang muda untuk terlibat dan ikut pelayanan untuk melatih bela rasa, contohnya membantu menjaga lansia. Tak jarang sebagai manusia kita mengalami kebosanan iman dan ini dapat diatasi dengan membangkitkan selera iman. Selera iman adalah mencari cara-cara agar kaum muda bisa bertumbuh dalam iman. Misalnya untuk Ignatian, melakukan perjalanan ziarah dari Puri Loyola sampa Manresa dengan jalan kaki.    Pater Bagus Laksana mengajak peserta untuk menyadari tujuan manusia diciptakan, yakni memuji, menghormati, dan mengabdi Allah dalam Spiritualitas Ignatian. Hal ini juga digunakan dalam mendampingi orang muda yang sedang galau untuk mengingat tujuan utama hidup dan mampu memilih hal mana yang terpenting bagi hidup mereka. Pater Bagus Laksana juga menjelaskan sedikit mengenai pembedaan Roh, desolasi dan konsolasi, dan mengenal roh baik dan roh jahat.   Keterbatasan pembimbing atau pendamping kaum muda Pada pertemuan ini muncul tanggapan bahwa di  “lapangan,” baik itu di sekolah negeri maupun swasta dan juga di paroki, pembimbing yang mendampingi anak dengan spiritualitas Ignatian masih sedikit, bahkan bisa dibilang tidak ada. Pendamping kaum muda itu kebanyakan sukarelawan yang sering kali tidak menerima pembekalan apapun. Menanggapi hal tersebut Pater Bagus Laksana mengungkapkan bahwa spiritualitas Ignatian memang perlu menjadi  gerakan dan jaringan yang menyentuh orang dalam hidup sehari-hari. Perlu keterlibatan banyak orang, perlu alokasi sumber daya dari Gereja, dan perlu pendampingan berjenjang. Pelajaran agama di sekolah dilakukan sebagai bagian formatio iman dan pendampingan iman.    Kontributor: F.X. Juli Pramana – YKC Surakarta

Penjelajahan dengan Orang Muda

Medicine Relationship

Setiap Jumat Podcast season 3 Di dunia yang berjalan serba cepat dan instan seperti saat ini, banyak orang muda yang kesulitan untuk menemukan makna dan kedalaman hidup. Sebagai sebuah siniar (podcast) yang hadir dalam bentuk audio, Setiap Jumat Podcast (SJP) hadir sebagai platform (sarana) berbagi obrolan ringan tentang kedalaman refleksi, pengalaman doa, dan pergulatan orang muda dalam kacamata Spiritualitas Ignasian. Program SJP, melalui tagline-nya, mengajak para pendengarnya untuk masuk ke kedalaman hidup dengan cara “rehat sejenak, ngobrol bersama supaya hidup tidak terlewat begitu saja”. Tahun 2023 ini, SJP memasuki season ke-3 dengan tema utama “Orang Muda Ignatian Ngobrol tentang UAP”. Tema ini berbicara tentang orang muda dan peran mereka dalam mewujudkan empat preferensi kerasulan apostolik yang mendasari karya dan pelayanan Serikat Jesus atau sering disebut UAP (Universal Apostolic Preferences); (e-book UAP dapat diunduh di https://jesuits.id/download/e-book-uap/). Empat poin dalam UAP diturunkan menjadi tema-tema yang berkaitan dengan anak muda diantaranya Orang Muda dan Spiritualitas, Orang Muda dan Orang yang terpinggirkan, Orang Muda dan Persahabatan, serta Orang Muda dan Lingkungan. Pada SJP Season 3 kali ini, Tim Komunikator SJ Indonesia membentuk program kolaborasi model baru dengan melibatkan Komunitas Magis Indonesia dengan monolog sharing refleksinya, PT Kanisius dengan renungan dari buku-buku terbitannya, dan OMK Ignasian Semarang dengan dialognya bersama para Jesuit. Setiap poin dari UAP dibahas bergantian selama sebulan dengan episode tayang setiap Jumat selama empat bulan. Total tercipta 17 episode. SJP Season 3 ini juga disemarakkan Proses kolaborasi di SJP Season 3 ini sepenuhnya berjalan secara daring selama enam bulan dan puncaknya pada 7-8 Oktober 2023 para kolaborator Tim SJP season 3 berkumpul secara tatap muka dalam acara Evaluasi dan Malam Keakraban (Makrab) di Refter Shakuntala, Gunung Kidul, Yogyakarta. Akhirnya setelah sekian waktu bekerja bersama hanya melalui layar gawai (gadget), masing-masing tim dapat bertemu langsung dan tanpa menunggu lama, kehangatan pun tercipta dan dengan giveaway buku dari PT Kanisius di setiap akhir tema UAP. Harapannya, hal ini juga dapat meningkatkan minat membaca dari para pendengar. Proses kolaborasi di SJP Season 3 ini sepenuhnya berjalan secara online selama enam bulan dan puncaknya pada 7-8 Oktober 2023 para kolaborator Tim SJP season 3 berkumpul secara tatap muka dalam acara Evaluasi dan Malam Keakraban (Makrab) di Refter Shakuntala, Gunung Kidul, Yogyakarta. Akhirnya setelah sekian waktu bekerja bersama hanya melalui layar gawai (gadget), masing-masing tim dapat bertemu langsung dan tanpa menunggu lama, kehangatan pun tercipta dan melebur dalam tim. Tim berangkat bersama ke Gunung Kidul dari Taman Komunikasi Kanisius. Kegiatan langsung dibuka dengan bermain ke Pantai Slili dan dilanjutkan dengan makan malam serta evaluasi. Dikarenakan ada beberapa personil yang berhalangan hadir, maka evaluasi berlangsung secara hybrid, luring dan juga daring melalui Zoom. Selama makan malam dan evaluasi, Tim SJP season 3 membagikan kesan masing-masing mengenai pengalaman mereka selama terlibat dalam program ini. Teman-teman dari PT Kanisius bercerita bahwa karena produk yang dihasilkan hanya audio saja maka tim Kanisius tertantang untuk mengemas konten sedemikian rupa agar bisa membuat pendengar tertarik dengan episode yang dihasilkan PT Kanisius. Menurut Mas Danang, akhir-akhir ini platform yang berkualitas untuk didengarkan oleh orang muda cukup sedikit. Kehadiran SJP sangat berarti karena bisa membahas isu-isu berat, terutama dengan kacamata rohani, serta mampu dibuat menjadi lebih santai dan relate dengan anak muda zaman sekarang. Selain itu, Mas Widi bercerita bahwa dengan berpartisipasi di SJP Season 3 ini, dirinya menemukan tantangan-tantangan yang membuatnya belajar banyak hal, terutama terkait bagaimana mengembangkan skrip dan menemukan talent pengisi suara yang cocok. Perwakilan OMK Ignasian dari Semarang juga berbagi kisah suka duka yang dirasakan. Menurut Haryadi (Didi), melalui SJP season 3 ini dirinya bisa bertemu orang-orang hebat, baik itu para Imam Jesuit yang menjadi narasumber maupun tim SJP Season 3 secara keseluruhan yang bekerja sama dengan baik hingga akhir. Didi berkata bahwa SJP season 3 ini memberikan kesempatan bagi dirinya untuk bisa mengobrolkan topik-topik yang merangsang imajinasi untuk berpikir maju. Harapannya, “Semoga temen-temen yang terlibat di SJP bisa terus kontak, terus solid, syukur-syukur kita bisa kembali berkarya bersama lewat SJP karena jelas pengalaman terlibat di SJP ini once in a lifetime experience yang bermanfaat banget buat diri kita.” Pada malam evaluasi, hampir seluruh kolaborator tim SJP season 3 merasa bahwa SJP perlu untuk terus dilanjutkan dan harapannya semakin bisa menjangkau lebih banyak pendengar. Rasa syukur atas perjumpaan ini membuat semua merasa bahwa program ini diharapkan dapat membuka kesempatan dan melibatkan lebih banyak orang-orang baru yang mau secara sukarela berkembang bersama. Seusai evaluasi, malam hari sebelum tidur dan istirahat, tim melanjutkan dengan acara barbeque dan ngobrol santai bersama. Di pagi hari kedua, tim SJP Season 3 menyempatkan diri untuk menikmati matahari terbit di Pantai Krakal sembari mensyukuri rahmat kehidupan dan kebersamaan yang diberikan Tuhan dari awal program hingga selesai. Seusai sarapan, tim SJP Season 3 menghabiskan waktu untuk bermain di Pantai Sadranan sambil snorkeling melihat terumbu karang dan ikan. Jeje, Designer Tim Sosial Media SJP Season 2 hingga Season 3, merasa sangat senang memiliki ruang belajar desain grafis di SJP, bertemu teman-teman baru dengan latar belakang yang berbeda-beda tapi bisa kompak dalam satu tim. Walau ada duka yang dirasakannya karena selama proses pengerjaan hampir tidak pernah bertemu tatap muka langsung, hampir seluruh koordinasi berlangsung daring. Jeje mengungkapkan dirinya juga bersyukur karena di setiap akhir Season bisa refleksi dan refreshing bersama seluruh tim. Dalam evaluasi kali ini, sesi ngobrol dan sharing serta snorkeling menjadi bagian terfavorit Jeje. Acara hari kedua ditutup dengan Misa Syukur yang dipimpin oleh Pater Hendricus Satya selaku Koordinator Tim Komunikator SJ Indonesia. Membuka misa, Pater Hendric mengajak setiap anggota tim untuk memikirkan satu kata tentang kebersamaan Tim SJP Season 3 selama enam bulan terakhir. ‘Sukacita, kolaborasi, syukur, senang, bahagia, kebersamaan’ menjadi beberapa kata-kata yang diungkapkan dalam misa. Pater menyampaikan tiga pesan dalam homilinya. Pertama, bagaimana sekarang ini manusia membutuhkan relasi yang dapat menjadikan diri mereka lebih baik dan menyembuhkan mereka bagaikan obat, atau bisa dikatakan sebagai Medicine Relationship. Hubungan ini adalah lawan dari tren Toxic Relationship yang marak di situasi sekarang. Dukungan hubungan yang positif ini dapat dimulai dari dukungan teman sebaya atau peer support. Satu sama lain saling memberikan dan menerima bantuan, menghormati dan saling memberdayakan

Pelayanan Gereja

Bakti Sosial untuk Helen Keller Indonesia dan Pesantren Waria Al-fatah

Minggu, 12 Maret 2023, lektor Gereja Santo Yusup, Gedangan, Semarang mengadakan bakti sosial (baksos). Program baksos merupakan program tahunan. Di tahun ini, baksos dilakukan dengan tidak biasa. Baksos yang out of the box ini dilaksanakan dalam rangka berjalan bersama orang miskin, terbuang dan yang martabatnya teraniaya (UAP 2). Ada dua tempat tujuan baksos, yaitu SLB G-AB Helen Keller Indonesia dan Pesantren Waria Al-fatah. Dalam rangka menggalang dana untuk kegiatan baksos ini, para anggota lektor berjualan makanan di depan gereja. Kami berjualan nasi goreng, siomay, nasi ayam, susu, dan sebagainya. Bahkan, ada anggota yang mengedarkan jualannya di halaman parkir luar gereja dengan bersemangat. Selain itu, kami juga dibantu oleh banyak donatur. Ternyata, tidak mudah mencari donatur untuk baksos edisi spesial ini. Tidak sedikit dari para calon donatur yang tidak setuju jika baksos dilakukan di pesantren dan untuk waria. Syukurlah bahwa pada akhirnya, dengan rahmat Tuhan, kami berhasil mendapatkan donasi yang kami butuhkan bahkan jumlahnya melebihi dari target. Kami dapat membeli barang-barang yang dibutuhkan untuk SLB G-AB Helen Keller Indonesia dan Pesantren Waria Al-fatah. Destinasi pertama baksos adalah SLB G-AB Helen Keller Indonesia. SLB G-AB Helen Keller Indonesia, Yogyakarta berdiri sejak tanggal 25 Juni 1996. SLB ini didirikan oleh para Suster Putri Maria dan Yosef (PMY) dan merupakan pengembangan dari SLB B Dena Upakara Wonosobo. SLB G-AB Helen Keller Indonesia adalah sekolah berasrama yang melayani anak berkebutuhan khusus ganda tunarungu-netra. Baksos di SLB G-AB Helen Keller Indonesia diisi dengan acara bernyanyi, menari, dan bermain games bersama. Dalam segala keterbatasannya, anak-anak tunarungu-netra dibantu oleh para pendamping mengikuti acara yang telah disiapkan oleh anggota lektor. Anak-anak tunarungu-netra ikut hanyut dalam kebahagiaan dan sukacita bersama anggota lektor. Acara ditutup dengan makan siang bersama. Dalam kesempatan ini pula, kami belajar berkomunikasi dengan anak tunarungu-netra dibantu oleh para pendamping. Destinasi kedua adalah Pesantren Waria Al-fatah. Pesantren Waria Al-fatah yang berada di Kotagede, Yogyakarta, berdiri pada 28 Juli 2008. Pesantren ini hadir untuk memberi kesempatan bagi para waria atau yang lebih akrab disapa dengan transpuan untuk beribadah dan memperdalam agama secara nyaman. Para transpuan terkadang merasa tidak nyaman dan seringkali mendapat penolakan dari warga. Acara baksos diisi dengan perkenalan singkat dengan beberapa transpuan, pengenalan profil pesantren, dan diskusi. Kami dapat memahami beberapa keunikan yang ada di Pesantren Waria Al-fatah. Salah satu dari keunikan itu adalah santri tidak tinggal dan menetap seperti pesantren-pesantren pada umumnya. Para santri transpuan tinggal di rumah masing-masing. Mereka datang ke pesantren biasanya pada weekend untuk memperdalam nilai-nilai keagamaan. Dalam acara diskusi singkat, para santri transpuan menceritakan kisah hidupnya, terutama tentang memperdalam agama dan kehidupan hariannya. Ada banyak pertanyaan yang terlontar saat pertemuan dan diskusi dengan para santri. Belajar dari sumber secara langsung membantu pemahaman kami, komunitas lektor, tentang kehidupan para santri transpuan dan terlepas dari prasangka-prasangka. SLB G-AB Helen Keller Indonesia dan Pesantren Waria Al-fatah adalah tempat yang tepat bagi kami, lektor St. Yusup Gedangan, untuk belajar memahami arti dari sesama manusia. Anak-anak tuna rungu-netra dan transpuan adalah orang-orang lemah, terbuang, dan yang martabatnya teraniaya. Anak-anak tersebut memiliki keterbatasan secara fisik. Mereka miskin secara bahasa. Sedangkan transpuan adalah kaum marjinal, mereka ditolak kehadirannya. Secara khusus, transpuan menjadi sasaran empuk bagi banyak orang untuk disingkirkan. Transpuan dianggap berdosa besar, melanggar kodrat, perilaku menyimpang, dilaknat Tuhan, dan sebagainya. Ada begitu banyak hujatan yang ditujukan kepada mereka. Sebagian orang lebih suka menghujat daripada menemani, lebih suka membenci daripada mencintai, dan lebih suka mengucilkan daripada merangkul. Reni, Steven, dan Santi sebagai anggota lektor Gereja Santo Yusup Gedangan mengatakan bahwa pengalaman baksos kali ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Pengalaman berharga yang mampu mengubah sudut pandang terhadap orang-orang miskin, tersingkir dan yang martabatnya teraniaya. Reni secara khusus mengatakan bahwa kaum transpuan butuh dihargai, dihormati, dibantu, terlebih diterima oleh kita sesamanya. Mereka manusia biasa yang juga membutuhkan teman untuk berbagi cerita, teman untuk berkeluh kesah, teman yang mau membantu saat mereka dalam kesulitan. Melalui perjumpaan dengan anak-anak tunarungu-netra dan transpuan, kami belajar bahwa hidup harus diisi dengan rasa syukur dan dijalani dengan gembira. Perjumpaan selalu saja memberikan banyak rahmat. Perjumpaan tersebut adalah undangan pertobatan secara personal. Tidak hanya rasa syukur, kami juga belajar untuk tidak menghujat orang lain dan, yang paling penting, belajar untuk memahami arti menjadi sesama manusia. Menjadi sesama manusia berarti mengasihi dan memperhatikan orang lain tidak hanya terbatas pada hubungan antar anggota sekeluarga, sebangsa, sesuku, segolongan, atau seagama. Kasih bersifat universal, melampaui batas-batas yang ada. Kasih mendekatkan yang jauh, menyembuhkan yang terluka, dan menemani yang kesepian. Dalam dokumen Fratelli Tuti dikatakan bahwa kasih ditujukan kepada semua manusia, tanpa terkecuali. Kasih tidak memanggil kita untuk bertanya siapa yang dekat dengan kita tetapi untuk menjadikan diri kita dekat, menjadi sesama manusia. Kontributor: S. Wahyu Mega, SJ – Pendamping Lektor St. Yusup Gedangan

Feature

Saluran Rahmat-Nya

Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) sedang gencar-gencarnya menjalankan Arah Dasar Keuskupan periode 2022-2026 dengan tema “Tidak Jemu-jemu Mengusahakan Kebaikan Bersama.” Demi mewujudkan cita-cita tersebut, tahun ini KAJ mengangkat tema “Kesejahteraan Bersama” yang bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia dengan cara lebih memperhatikan yang tersisihkan dan berkekurangan. Lebih lanjut, hal ini selaras dengan salah satu poin dalam UAP (Universal Apostolic Preferences) yaitu “Berjalan bersama yang Tersingkir.” Ini juga menjadi tema UAP yang sedang dicoba didalami dan direfleksikan oleh para Skolastik Kolese Hermanum pada tahun 2023 ini. Dalam rangka mewujudkan sekaligus terlibat sebagai pribadi yang berjalan bersama yang tersingkir, Para Skolastik Kolese Hermanum di Unit Pulo Nangka mengusahakan sebuah gerakan. Bekerja sama dengan Bu Fifi, seorang sahabat awam yang begitu murah hati menyumbangkan sebagian dari miliknya, para frater Pulo Nangka membagi-bagikan kupon makanan setiap minggunya. Kupon dengan nilai Rp 10.000 sebanyak 30 buah ini dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar frateran Pulo Nangka. Kupon tersebut dapat ditukarkan dengan seporsi makan siang seharga Rp 12.000, sehingga penerima kupon cukup mengeluarkan uang Rp 2.000 untuk seporsi makan siang mereka. Menghargai hakekat kerja mereka Pada tahap awal perencanaan program ini, kami menemui Bu Nurhayati yang merupakan rekan dari Bu Fifi. Beliau menjalankan program yang sama di daerah sekitar tempat tinggal Bu Fifi. Dalam perbincangan dengannya, para frater mengetahui alasan mengapa para penerima kupon tetap perlu membayar Rp 2.000, yaitu menghargai penerima kupon sebagai manusia yang setara. Keinginan untuk nguwongke dan membuat penerima bantuan tetap memiliki harga diri adalah tujuan dari program ini. Bu Nurhayati bercerita awalnya dia sempat bertemu orang yang tersinggung ketika diberi kupon makan seharga Rp 12.000. Orang tersebut tersinggung karena disangka tidak mampu membeli makanan dan menolak kupon yang diberikan. Dengan penolakan tersebut, Bu Fifi tersadar bahwa yang dibutuhkan orang-orang tersebut bukan hanya makanan, namun juga pengakuan harga diri. Mereka ingin dihargai sebagai manusia yang bekerja dan berpenghasilkan demi kebutuhan harian mereka. Maka dari itu, mereka tetap diberi kesempatan untuk membayar makanan yang mereka makan. Dengan membayar Rp 2000 mereka tidak menjadi “peminta-minta” yang begitu saja mendapatkan makanan, tetapi menjadi seorang yang tetap mampu membeli makanan untuk mereka. Tema “Berjalan Bersama” dalam hal ini terwujud nyata dalam bagaimana menghargai orang-orang ini sebagai manusia biasa yang mampu bekerja dan membeli makanan dari hasil jerih payah mereka. Program ini telah berjalan sejak bulan Oktober 2022 hingga sekarang. Jumlah total kupon makanan yang telah dibagikan sudah lebih dari 270 buah. Sasaran utamanya adalah para pemungut dan pemilah barang bekas, petugas keamanan, pedagang asongan, penyapu jalanan, penjual buah, penjual mainan, dan orang-orang lain yang melintas di sekitar frateran Pulo Nangka. Menjadi Saluran Rahmat-Nya Ketika merefleksikan kegiatan ini, kami menyadari bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan sederhana yang berahmat. Para penerima kupon setidaknya bisa terbantu dalam biaya satu kali makan. Kami juga melihat pancaran sinar harapan ketika berjumpa dan mendengarkan kisah mereka yang merasa diperhatikan. Di lain sisi, melalui senyuman para penerima kupon, kami semakin bisa bisa bersyukur karena tindakan sederhana ini menjadi perpanjangan tangan dan saluran rahmat-Nya. Kegiatan membagikan kupon semakin membuat kami sadar bahwa sumber rahmat dan kebaikan adalah Allah sendiri yang kerap hadir dalam pribadi-pribadi baik di sekitar kita. Perjumpaan dengan sesama yang lebih membutuhkan juga mengasah kepedulian dan aksi nyata untuk mereka. Rasa syukur ini sekaligus memupuk harapan agar semakin diberi rahmat memiliki rasa merasa Kristus yang begitu mencintai dunia ini sehingga lebih bisa meneladan cara-Nya dalam mengasihi sesama kami. Maukah Anda juga menjadi saluran rahmat Allah bagi sesama di sekitar Anda? Kontributor: Fr. Petrus Guntur Supradana, S.J. – Skolastik Filosofan di Kolese Hermanum Jakarta

Kuria Roma

Empat Tahun UAP: Dua Pembelajaran yang Tidak Terduga

Pada Februari 2019, Paus Fransiskus mengutus Serikat Jesus dengan Universal Apostolik Preferences (UAP). Apa yang telah kita pelajari setelah menghidupi UAP selama empat tahun ini? Berikut adalah refleksi mengenai empat tahun UAP oleh Pater John Dardis, Asisten Pater Jenderal bidang Perencanaan Apostolik. Saudara yang terkasih, saya hendak berbagi tentang Universal Apostolic Preferences (UAP) yang bulan ini memasuki tahun keempat. Oleh Bapa Suci Fransiskus, pada tahun 2019 lalu, UAP diserahkan kepada kita sebagai sebuah perutusan. Ini sungguh menjadi hal yang begitu penting. Bapa Suci menekankan Preferensi pertama, menunjukkan jalan menuju Allah, sebagai yang terpenting karena menjadi preferensi kunci dari tiga preferensi lainnya. Saya membayangkan beberapa perubahan yang mungkin telah kita lakukan dan hal-hal yang telah kita petik selama empat tahun terakhir ini. Saya ingin menyampaikan beberapa hal terkait dengan itu. Pertama, menurut saya, kita telah belajar tentang kerendahan hati melalui percakapan rohani, doa, dan diskresi. Kita sadari bahwa kita bukanlah satu-satunya yang bertanggung jawab atas perutusan dari Allah tadi. Kita harus senantiasa mendengarkan Allah, Yesus, dan menangkap Roh lalu memutuskan untuk bertindak. Itulah saat-saat kunci. “Mendengarkan” memberikan kita kerendahan hati yang sesungguhnya. Rapat, aneka pertemuan, atau menulis dokumen, semuanya itu memanglah penting bagi kita. Namun yang terpenting adalah mendengarkan Roh yang memampukan kita siap berbenah dan bergerak serta memperdalam hasrat kita. Itulah hal pertama yang dapat saya petik selama empat tahun ini. Saya telah melihat hal tersebut melalui aneka kesempatan kunjungan ke berbagai Provinsi, ketika membaca rencana-rencana yang telah disusun, dan ketika memberi asistensi kepada para Provinsial dan Provinsi, termasuk rekan berkarya Serikat, ketika membantu mereka mendiskresikan jalan untuk bergerak maju. Jadi, yang pertama adalah kerendahan hati. Kedua, kita seperti kembali menemukan hasrat untuk hidup sebagai Jesuit. Kita kembali antusias dan berani bermimpi, penuh daya untuk menunjukkan jalan menuju Allah dan memperhatikan mereka yang terbuang dan disingkirkan, serta membantu orang muda. Banyak orang muda di berbagai belahan dunia hidup miskin. Lantas bagaimana kita bisa membantu mereka menemukan masa depan yang penuh harapan di dunia yang dilingkupi kegelapan ini. Terakhir, tentang rumah kita bersama. Mungkin ini preferensi yang mengejutkan tetapi memberi banyak konsolasi. Kita tahu bahwa ini menjadi isu penting di seluruh dunia dan planet bumi kita. Kita memang tidak begitu paham bagaimana melakukannya, namun menjadikannya sebagai salah satu preferensi justru mendorong kita untuk memikirkan tentang rumah kita bersama, untuk mendoakannya, dan bertanya pada diri sendiri apa yang sebenarnya istimewa dalam panggilan Jesuit dan tradisi Ignasian sehingga mampu mendorong kita untuk berani bergerak maju. Jadi, merangkum apa yang telah kita petik bersama selama empat tahun ini, sekali lagi, kita telah belajar bagaimana berdiskresi secara rendah hati, mendengarkan, dan menggunakan percakapan rohani untuk dapat melaksanakan isi UAP. Kerendahan hati dan hasrat. Kita telah menemukan kembali semangat kita untuk melayani begitu banyak karya Serikat beserta inisiatif-inisiatifnya. Hasrat dan keberanian untuk mewujudkan impian Tuhan bagi dunia ini. Sungguh pelajaran besar yang dapat kita petik dari UAP. Masih ada enam tahun lagi dan semua itu akan menjadi petualangan kita. Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel UAPs After 4 Years: 2 Unexpected Lessons dalam https://www.jesuits.global/2023/02/17/uaps-after-4-years-2-unexpected-lessons/ Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo, pada tanggal 28 Februari 2023