Pilgrims of Christ’s Mission

serikat yesus

Penjelajahan dengan Orang Muda

Membersamai “Si Muda” Menemukan Tuhan melalui Dunia Digital

Tiga tahun ini saya banyak berdinamika dan berproses bersama orang muda di Paroki Santa Theresia Bongsari Semarang melalui layanan digital di gereja, khususnya multimedia. Mulai dari membuat jadwal tugas, mendampingi anggota baru, hingga mengolah teks misa agar dapat ditampilkan dengan baik dan nyaman di perangkat multimedia gereja kami. Melayani Orang Muda bersama Para Jesuit Berproses bersama Jesuit membuat saya merasa tertantang karena beberapa Jesuit yang saya kenal adalah pribadi yang inovatif meski kadang ide-ide kreatif itu muncul di menit-menit akhir. Dengan perubahan ide-ide yang datang “mendadak” seringkali membuat saya harus memikirkan cara untuk menyampaikannya kepada si muda tanpa mengecilkan apa yang sudah mereka lakukan. Menemani, berproses, dan saling bekerja sama mewujudkan ide-ide tersebut yang dibumbui “sambat” menjadi pengalaman yang menantang sekaligus mengembangkan. Melihat bagaimana para Jesuit bersemangat dan bersukacita dalam melayani umat juga menjadi motivasi tersendiri. Ketika orang mampu melayani dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati maka orang di sekitarnya pun merasakan buah sukacita. Dari pengalaman melihat itu, saya menyimpulkan bahwa ternyata pelayanan membuahkan sukacita baik bagi yang dilayani maupun yang melayani. Terang dan Rahmat Percaya atau tidak, membersamai si muda yang berdinamika dalam iman pun membawa berkat tersendiri bagi kehidupan. Saya dibawa pada ingatan ketika saat-saat pertama saya menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup saya. Misalnya, menemukan Tuhan dalam hal paling sederhana seperti bisa mengerjakan ujian di saat kondisi otak sudah buntu. Menjadi bagian dari kehidupan mereka dalam era digital membuat saya tersadar bahwa menyebarkan sukacita itu bisa sesederhana membuat IG story ‘By His wounds you have been healed. #GoodFriday.’ See! Tuhan berkarya dalam siapa saja bahkan dalam si muda yang belum banyak usianya. Saya tersentil dengan cara yang kadang kocak dan sederhana. Hal ini mengingatkan saya bahwa di dalam diri saya terdapat jiwa muda yang dipelihara oleh Tuhan untuk terus percaya pada-Nya. Tantangan Terbesar Orang Muda Saat ini Siapa itu orang muda? Apakah yang dikelompokkan menurut usia tertentu? Atau orang-orang yang memiliki jiwa muda di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelitik di dalam pikiran. Terkadang saya menjumpai seorang yang bahkan belum mencapai umur 17 tahun tapi didewasakan oleh perjalanan hidup yang tidak mudah. Kalau di reels Instagram biasanya ditulis “dipaksa dewasa oleh keadaan.” Dia kehilangan binar dan senyum masa muda yang tetap menunjukkan wibawanya. Menjadi muda di era saat ini sangatlah berat terutama berhadapan dengan kondisi dan tuntutan masyarakat. Belum lagi harus menghadapi fase krisis mempertanyakan eksistensi diri, mencari jati diri. Sebetulnya kita diminta jadi apa? Seharusnya langkah apa yang diambil? Apakah ini yang diharapkan untuk memenuhi standar khalayak umum. Menjadi muda saat ini adalah BEBAN! Bergaya dibilang flexing (padahal itu satu-satunya yang dimiliki). Ketika menulis caption “butuh healing” dicap tidak tahu bersyukur atas semua yang diberi. Bikin story Instagram “lelah” pun jadi perkara. ‘Kamu belum tahu zaman kita, dek. Lebih berat! Ini mah belum seberapa!’ Membuat checklist “misa mingguan check” pun dianggap sebagai pamer. Menjadi muda saat ini menguras mental. Jadi, bila kesehatan mental akhir-akhir ini digaungkan pun tidak salah karena menjadi muda yang berbeda, harus memenuhi ekspektasi yang luar biasa dari lingkungan sekitar. Sisi positifnya ialah orang-orang muda ini masih memberi tempat bagi Tuhan. Mereka tahu di bawah sadarnya bahwa mereka harus mengadu ke sana. Itu pula yang menjadi salah satu alasan si muda tidak konsisten dan tidak menindaklanjuti sesuatu yang sudah dipelajari. Mereka cenderung mempelajari sesuatu karena penasaran dan lekas bosan. Beberapa yang bergabung dan telah berlatih untuk bertugas, hanya muncul sebentar lalu menghilang. Mereka hanya penasaran namun kesadaran untuk melakukan pelayanan masih kurang. Mereka lebih memilih untuk bertemu dengan teman daripada harus bertugas sesuai jadwal. Kurangnya motivasi dari diri mereka sendiri membuat pelayanan menjadi tidak menarik dan terasa membosankan. Agaknya bagi mereka pasang IG Story dengan background komputer gereja masih kalah menarik dari background cafe lengkap dengan caption “senja, kopi, dan kamu.” Latar belakang keluarga juga menjadi salah satu faktor yang mendukung anak dalam mengembangkan talenta mereka di gereja. Tidak bisa dimungkiri, keluarga, dalam hal ini orang tua, yang tidak aktif dalam kegiatan menggereja cenderung sulit untuk mendorong anak mereka untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di gereja. Hubungan keluarga yang kurang terbuka juga menjadi hambatan dalam pelayanan di gereja. Beberapa orang muda menggunakan alasan minim dukungan orang tua saat tidak dapat bertugas sesuai jadwal. Usaha dan Suka Duka dalam Menemani Orang Muda Sebagai kolaborator yang juga sedang belajar “lebih dewasa”, menemani orang muda dalam menemukan jalan perutusan melalui pelayanan multimedia di gereja, saya berusaha memberikan pengertian bahwa pelayanan tidak selalu yang “serius” seperti memimpin doa. Saya belajar memberi tanggungjawab dan kepercayaan kepada mereka. Cara pandang bahwa kegiatan gereja akan berjalan lebih baik dan lancar dengan keterlibatan mereka, juga coba saya tularkan kepada mereka. Bahkan memastikan kabel tidak terbakar karena overheat pun termasuk di dalamnya. Saya memberi lebih banyak ruang bagi mereka untuk berdinamika dalam ‘mencari Tuhan’ melalui langkah digital. Membuat konten untuk media sosial, menyiapkan slideshow misa, merekam jalannya tuguran atau mungkin sekadar memastikan bahwa pesan tentang sabda hari ini tersampaikan dengan baik adalah ruang keterlibatan bagi sang muda. Harus kembali ditekankan bahwa melayani Tuhan itu beragam rupanya. Panggilan itu beragam caranya. Bagi saya kolaborator yang menemani si muda dalam ‘mencari Tuhan’ pun diharapkan selalu mengimani dan mendampingi. Si muda adalah energi bukan gulma yang harus dibabat habis. Menemani si muda sebagai kawan perjalanan dalam melayani Tuhan dengan cara yang kreatif tidak lagi harus kaku dan menghakimi. Gereja sebagai wadah pertumbuhan dan perkembangan iman membutuhkan partisipasi mereka sebagai upaya regenerasi. Pada akhirnya masa depan Gereja berada di tangan si muda. Mereka sebetulnya sudah memiliki jawaban dalam diri mereka, mereka hanya butuh waktu untuk menemukannya. Dan tugas kita, menemani. Kontributor: Eugenia Agustina – Koordinator Multimedia Paroki Santa Theresia Bongsari Semarang

Penjelajahan dengan Orang Muda

Be a Blessing for Others

Menjadi berkat bagi orang lain… Ya, itulah yang ada di pikiran saya selama beberapa tahun belakangan ini. Mungkin ini bukanlah suatu hal yang umum bagi teman-teman seangkatan saya di Polin ATMI Cikarang saat ini. Bagaimana caranya saya bisa memberi dampak positif bagi orang lain? Apa yang bisa saya lakukan supaya hidup orang lain terbantu? Apa sebenarnya tujuan hidup saya di dunia ini? Sampai saat ini saya masih belum menemukan jawabannya. Yang terpikir di benak saya adalah saya harus menjadi mapan secara finansial terlebih dahulu untuk bisa membantu orang lain karena menurut saya, banyak hal akan menjadi lebih mudah apabila kita punya uang. Namun, benarkah begitu…? Adakah sesuatu yang bisa saya lakukan saat ini di usia muda untuk dapat menjadi berkat bagi orang lain? Setelah beberapa hari merefleksikan hal ini, saya mendapatkan pencerahan bahwa ternyata ada banyak hal yang dapat saya lakukan sebagai kaum muda untuk bisa menjadi berkat bagi orang lain. Dimulai dari hal kecil seperti membantu teman dalam melakukan cleaning (membereskan perlengkapan pembelajaran dan praktek), membantu teman memahami materi perkuliahan, dan sebagainya. Saya merasa kesadaran seperti ini perlu dibiasakan sejak usia muda supaya kesadaran diri terlatih dan siap untuk menghadapi zaman yang terus berubah. Karena menurut saya, masa muda adalah masa yang menentukan arah tujuan hidup seseorang ke depan. Akan menjadi apakah seseorang di masa depan dan karakter seperti apa yang akan dimilikinya, ditentukan oleh masa muda. Masa muda merupakan masa di mana kita harus banyak belajar terutama belajar dari pengalaman diri sendiri dan dari pengalaman orang lain. Namun permasalahannya adalah banyak dari kaum muda yang masih malas untuk belajar. Tantangan terbesar yang kami hadapi adalah diri kami sendiri. Seringkali kami teralihkan pada hal-hal atau kebiasaan negatif yang menguras waktu dan energi sehingga hilang fokus dalam mencapai tujuan. Seperti misalnya nongkrong hingga larut malam bersama teman-teman, menunda pekerjaan, menonton film biru, dan sebagainya. Bahkan banyak di antara kaum muda yang masih belum tahu arah hidupnya mau ke mana. Hal seperti ini yang harus dijadikan perhatian utama agar para kaum muda dapat lebih terarahkan hidupnya. Saya bersyukur karena jawaban dari problema tersebut perlahan-lahan mulai saya temukan setelah saya masuk ke Polin ATMI Cikarang, salah satu politeknik yang dinaungi oleh Serikat Jesus (Jesuit). Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada banyak orang baik yang sudah membantu proses kuliah saya di sini. Sungguh, tanpa campur tangan Tuhan dan orang-orang baik tersebut, mungkin saat ini saya masih bekerja sebagai staff audit di salah satu perusahaan smartphone di Jakarta dengan kegiatan yang monoton dan melelahkan. Saya merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Saya berasal dari keluarga yang tidak utuh (broken home) dan saat ini tinggal bersama Ibu dan kedua adik saya. Latar belakang khusus ini membuat saya tumbuh menjadi pribadi yang khas pula. Dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya tentu bukanlah hal yang mudah untuk saya. Pikiran untuk mengakhiri hidup pun sempat menghampiri tetapi untungnya saya bisa mengusirnya. Itu semua berkat dukungan dan semangat dari orang-orang yang saya cintai serta keyakinan bahwa broken home bukan berarti broken future. Saya juga bersyukur dapat menjadi bagian keluarga besar ATMI. Saya mendapatkan banyak sudut pandang baru dari civitas ATMI, terutama Pater Kristiono Puspo, S.J. yang mengajarkan betapa pentingnya melakukan refleksi diri setiap hari. Beliau mengatakan bahwa hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalankan (begitu kira-kira pernyataan beliau). Maka dari itu, selama enam bulan pertama para mahasiswa tingkat satu diwajibkan untuk menulis refleksi di sebuah buku setiap hari. Tujuannya sederhana, yaitu agar dapat mengevaluasi kembali aktivitas hari ini, melihat kejadian-kejadian yang memberikan pelajaran berharga pada hari tersebut, dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan sebelumnya. Sejauh ini, pengalaman refleksi ini merupakan pengalaman yang paling berkesan selama berdinamika dengan para Jesuit. Kelihatannya sepele, namun dengan melakukan refleksi setiap hari, kita bisa tahu berapa banyak waktu yang kita hemat untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dan menjadi lebih kenal dengan diri sendiri. Sayangnya, banyak di antara kami yang masih malas untuk melakukan hal tersebut karena masih menganggap sepele kekuatan refleksi. Saya berharap para Jesuit dapat menemukan cara yang semakin kreatif dan tepat dengan perkembangan zaman sekarang dalam mengajarkan betapa pentingnya refleksi harian. Saya juga berharap para Jesuit terus membantu para mahasiswa dalam menemukan arah hidup atau passion masing-masing karena banyak di antara teman-teman (termasuk saya) yang belum sadar apa passion-nya. Dengan mengetahui passion kami, kami akan menjadi lebih terarah dalam melangkah ke depan karena sudah tahu ke mana arah yang dituju dan tentu saja, akan merasa lebih senang dalam menjalani prosesnya. Yang terakhir, sebagai orang muda saya berharap agar 5-10 tahun ke depan Jesuit dapat menjadi berkat yang lebih banyak bagi orang lain melalui karya-karyanya, terutama di bidang pendidikan. Kontributor: Theodorus Nino Alfianto – Mahasiswa Polin ATMI Cikarang

Penjelajahan dengan Orang Muda

Yang Muda Yang Terlibat

Sebagai seorang muda jika ditanya bagaimana pandangan saya tentang masa muda, saya akan mengatakan bahwa masa ini merupakan masa krusial namun potensial. Sependek pengetahuan dan pengalaman saya, masa muda adalah masa di mana kita sedang mengalami banyak perjumpaan dengan hal baru dan masa di mana kita sedang senang mengeksplorasi serta mempelajari banyak hal. Masa itu merupakan saat di mana seseorang secara fisik, mental, emosional, sosial, moral dan, iman sedang berkembangan menuju pendewasaan. Jika menilik pada Kitab Hukum Kanonik Kanon 97 ayat 1-2, seseorang dapat dianggap dewasa ketika berusia genap delapan belas tahun karena dianggap telah mampu menggunakan akal budinya untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Dalam masa ini, begitu banyak impian dan harapan yang dirasakan. Tidak hanya impian dan harapan pribadi tetapi juga menjadi harapan besar bagi bangsa dan Gereja karena orang muda memiliki banyak potensi besar dalam dirinya. Maka dari itu, jika potensi yang dimiliki orang muda mampu dikembangkan secara maksimal, baik potensi fisik maupun kognitif, saya yakin bahwa orang muda mampu menjadi pilar penerus yang kokoh. Namun, untuk menjadi pilar yang kokoh, orang muda tentunya masih membutuhkan bimbingan, arahan, dan pendampingan terlebih dalam perkembangan iman. Sebagai lingkup terkecil dan terdekat, Gereja mengharapkan keluarga mampu mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan menjadi seorang Katolik yang setia sebagaimana kesediaan yang telah dinyatakan dalam pernikahan. Melibatkan anak sejak dini dalam kehidupan menggereja bisa membantu anak mengidentifikasi dirinya. Gereja pun sebenarnya telah memberikan wadah yang variatif bagi setiap jenjang tumbuh kembang anak, seperti PIA (Pendampingan Iman Anak), PIR (Pendampingan Iman Remaja), misdinar, komsos, lektor, pemazmur, OMK (Orang Muda Katolik), dll. Melalui keterlibatannya, meskipun dalam hal-hal sederhana, orang muda akan mempunyai kesempatan untuk belajar dan melatih diri dalam mengusahakan rasa tanggung jawab, disiplin, mampu berempati, percaya diri, ikhlas, berintegritas, tetap mengandalkan, dan semakin mampu menghadirkan kasih Allah dalam hidup sesuai dengan iman Katolik. Tentunya terlibat dalam hidup menggereja tidaklah mudah. Begitu banyak tantangan yang harus dihadapi oleh orang muda. Beberapa tahun ini, saya memberanikan diri untuk terlibat dalam bidang liturgi di Paroki St. Theresia Bongsari sebagai lektor dan OMK. Sebagai orang muda, tantangan yang terasa pada generasi muda Gereja saat ini terlihat begitu beragam. Sering kali saya bersama teman-teman muda antartim pelayanan nongkrong sembari berbagi perasaan dan pengalaman selama berdinamika sebagai pelayan Tuhan. Sayangnya, terkadang keterlibatan orang muda justru dipandang sebelah mata, dianggap tidak mampu, dan diragukan. Orang muda sering dianggap belum berpengalaman terutama oleh generasi pendahulunya. Hal ini juga menjadi salah satu alasan yang sering saya temukan pada teman-teman muda yang merasa enggan untuk menyampaikan argumennya. Mereka merasa tidak didengarkan sehingga pada akhirnya hanya mengikuti saja apa yang telah diinstruksikan oleh yang lebih senior. Usaha awal kami untuk terlibat dalam pelayanan seringkali dibuat maju-mundur, entah karena takut tidak mendapat penerimaan atau takut karena merasa diri kurang qualified ketika mengikuti tim pelayanan. Adanya kemajuan teknologi memang membawa dampak positif bagi perkembangan Gereja. Pelbagai bentuk pelayanan dalam kehidupan menggereja terus meng-upgrade diri demi tetap bisa memberi pelayanan terbaik bagi umat. Misalnya melalui live streaming perayaan Ekaristi sebagai salah satu bentuk usaha Gereja dalam pemenuhan kebutuhan rohani umatnya. Namun perjuangan selama kurang lebih dua tahun menghadapi pandemi, telah membuat kaum muda semakin nyaman dan terbiasa melakukan berbagai hal secara daring termasuk dalam hal bersosialisasi. Orang muda dengan mudahnya dapat membangun relasi secara daring, tetapi kesulitan membangun komunikasi ketika dihadapkan dalam situasi riil. Tidak sedikit orang muda mulai lebih senang berlindung di zona nyamannya seperti mengikuti berbagai kegiatan daring sehingga saat ini, butuh pendekatan yang lebih personal untuk “menjemput bola”. Padahal sesungguhnya, banyak sumber daya muda yang kreatif dan penuh talenta. Berbagai tantangan dalam pelayanan yang saya dan teman-teman muda rasakan akhirnya membawa saya berjumpa dan berdinamika bersama dengan banyak pihak, terlebih dengan para Jesuit. Memang pada dasarnya konflik adalah hal yang wajar terjadi. Namun, jika konflik secara berkelanjutan tidak disikapi secara bijaksana, yang dikhawatirkan adalah hal ini justru akan menjadi bom waktu yang dapat meledak dan menimbulkan ketidakharmonisan sewaktu-waktu dalam Gereja. Dukungan dari para Jesuit terhadap kami kaum mudalah yang meyakinkan kami untuk tetap tampil percaya diri mengemban tugas pelayanan kami. Kami selalu dipercaya dalam banyak kegiatan oleh para Jesuit. Seperti tidak mengenal bosan, para Jesuit meyakinkan umat untuk percaya pada kemampuan kami. Berulang kali Jesuit menekankan pada umat pentingnya peran kami, orang muda, bagi kehidupan gereja sebagaimana dalam Kitab Suci, Tuhan pun memakai orang-orang muda bahkan dalam karya-karya besar-Nya. Contohnya: Samuel, Daud, dan Paulus. Semangat Jesuit yang memperjuangkan eksistensi orang muda, membuat kami terpacu untuk juga memberikan yang terbaik dalam setiap kepercayaan yang diberikan kepada kami. Tidak mudah dan butuh waktu. Akan tetapi, kepercayaan umat yang semakin tumbuh dari tahun ke tahun membuat kami lebih banyak mendapat kesempatan terlibat dan belajar. Semakin banyak pula wajah orang muda yang muncul dalam karya pelayanan, meskipun tentunya masih banyak lagi orang muda yang perlu dirangkul. Saya bersyukur karena ada banyak pengalaman penemanan para Jesuit yang begitu mengesan bagi kami. Bagi saya pribadi, saya mendapat banyak hal yang bisa saya terapkan dalam hidup bermasyarakat, tidak hanya dalam hidup menggereja. Saya belajar bagaimana caranya berefleksi agar dapat menemukan kasih Allah sekalipun dalam hal kecil dan tidak menyenangkan. Ada sebuah kalimat yang pernah dikatakan oleh seorang Jesuit kepada saya dan masih selalu saya ingat: “Hal baik belum tentu yang terbaik, apalagi jika hal baik itu membuatmu menjauh dari tujuan awalmu.” Berdiskresi, membedakan dorongan roh baik dan roh jahat, tidaklah mudah. Apalagi yang jahat pun dapat menyerupai yang baik agar dapat mengecoh kita. Terlebih dalam pelayanan, terkadang kita perlu lebih dalam menelisik hati kita, “Apakah pelayanan yang kita lakukan sungguh benar untuk kemuliaan Tuhan, atau hanya untuk kemuliaan diri kita sendiri?” Sebagai orang muda, banyak hal yang perlu dipelajari dan dipahami menuju kedewasaan. Terkadang kita mungkin melakukan kesalahan tetapi “it’s okay, people make mistakes sometimes, we should regret it then learn from them.” “Jangan takut, sebab Ia mendahului kamu ke Galilea.” Tuhan sudah berdiri di depan kita, di jalan yang kita lalui dan selalu memastikan semua akan baik-baik saja. Kita hanya perlu melakukan bagian kita dan selalu berpegang pada tangan-Nya. Sebagai orang muda, kami membutuhkan kepercayaan, dukungan, dan ruang untuk mengembangkan potensi

Karya Pendidikan

Tanah Abang, Universitas Kehidupan

“Kalian besar nanti, carilah perguruan tinggi yang bisa bantu belajar tentang kehidupan, yang rektornya mengajarkan tentang kemanusiaan,” kata Bang Dillah, sebutan akrab Abdillah, nama induk semang kami di Tanah Abang. Selama lima hari itu, mulai dari 16-20 Januari 2023, aku dan kelompokku melaksanakan live in sosial di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, tepatnya di Kelurahan Kebon Kacang. *** Waktunya berangkat pun tiba, namun ketidakjelasan masih kuat menghantui. Minggu malam kami memulai perjalanan dengan bus ke Jakarta dan sempat diputar-putarkan di sebuah ruas jalan besar. Akhirnya, kami berhenti di pinggir jalan, persis di depan ruko dengan gang kecil di sebelahnya. Bu Nita, guru pendamping, memberi instruksi untuk turun dan membawa barang-barang kami yang dikemas dalam sebuah trash bag. Tibalah kami di sebuah tempat yang tak lazim. Halamannya luas, dengan dua buah pohon yang membuatnya rindang. “Sanggar Anak Akar,” tertulis di sebuah ambulans yang terparkir di halaman. “Pasti nanti mengajar anak-anak,” pikirku. Di sanggar tersebut, yang kelak akan menjadi basecamp kami, kami sarapan sejenak sebelum mendengar arahan dari Mbak Yuse, salah seorang anggota sanggar. Kami dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan lokasi, yaitu TPA Bantar Gebang, Sentiong (kawasan kuburan Cina), dan Tanah Abang, tempatku live in. Tempat dengan pasar yang besar, terkenal akan preman dan prostitusi, menjadi “universitas kehidupanku.” Di sana kami diminta membantu pekerjaan warga sekitar. Ada yang menjadi tukang bubur, pemilah sampah, atau pedagang karung. Aku sendiri membantu seorang pedagang soto betawi yang sekaligus guru ngaji, Bang Wahyu. Di Tanah Abang, kami tidak menginap di sebuah rumah atau toko, melainkan sebuah tempat pengajian yang dikelola oleh Yayasan Hurin’in, sebuah yayasan yang boleh dikatakan mempunyai tujuan yang sangat mulia dan kontekstual. Yayasan ini berdiri untuk memutus rantai prostitusi yang mengikat sebagian perempuan di sana. Sebagian anak yang dididik dan diasuh adalah anak-anak PSK melalui pembinaan iman dan akhlak (etika) agar mereka tidak terjerumus ke dalam jebakan yang dialami oleh orang tua mereka. Anak TK hingga SD di sini bagaikan perwujudan dari realitas “pasar” yang keras. Mereka sudah mengerti dan lihai menggunakan umpatan-umpatan seperti dongo, goblok, dan lain sebagainya. Berbicara dengan kawannya pun menggunakan logat Betawi disertai nada yang tinggi dan keras, hampir menyerupai gaya berbicara orang tua mereka. Tanah Abang memang punya dua muka. Ia bisa tampak seperti kawasan permukiman kumuh yang penuh preman dan kriminalitas, namun ia juga bisa tampak seperti perkampungan dengan warga yang rukun dan teguh dalam penghayatan iman. Mushola di dekat tempat kami menginap selalu ramai dengan warga waktu Maghrib dan Isya’. Para muadzin berlomba-lomba menyerukan dengan lantang panggilan untuk beribadah dan warga menyambutnya dengan antusias. Selama empat hari itu, setelah shalat subuh, aku berangkat ke pasar bersama Bang Wahyu, seorang Ustadz dan penjual soto betawi. Saat tiba, Bang Wahyu langsung bergegas membersihkan lapak dan aku membantu membersihkan meja, melepas terpal, mengambil air di tempat yang cukup jauh, memotong kol, tomat, dan mencuci beras. Fase yang paling membosankan adalah menunggu pelanggan berdatangan. Pada saat demikian itu, aku sering duduk menganggur sambil sesekali menyeruput kopi. Pelanggan banyak berdatangan ketika menjelang makan siang. Saat pagi, hanya ada satu atau dua pembeli saja. Karena sepi dan tidak tahu harus melakukan apa, serta didukung angin semilir, maka selama empat hari itu yang datang bukanlah manusia, melainkan rasa kantuk. Namun, sekalinya pelanggan membludak, rasanya seperti gelombang lautan yang tak berakhir. Pekerjaanku, yakni membantu mencuci piring dan menyiapkan nasi, serasa abadi di waktu menjelang makan siang. Satu tumpukan piring selesai dicuci, tumpukan lain datang menyusul. Satu piring nasi disiapkan, yang lain juga menunggu antrian. Satu piring kecil acar disajikan, yang lain menunggu diisi. Ada kalanya para pelanggan mengiyakan saja apa yang disajikan, namun ada kalanya mereka mengajukan permintaan tersendiri. Bahkan pernah satu kali, sebuah rombongan mengajukan banyak sekali permintaan kepada Bang Wahyu, seperti kikil dipotong di bagian tertentu, dan sebagainya. Di situ ada Aril, pegawai yang membantu bang Wahyu menjual soto betawi. Ia bercerita bahwa ia hanya bersekolah sampai SMP. Setamat SMP, ia memutuskan membantu orang tuanya dengan banting tulang mengais rezeki, hingga akhirnya, ia tiba di Tanah Abang. Aril tak menganggapnya sebagai hal yang perlu disesali. Aril seolah-olah menganggap tak melanjutkan pendidikan hanyalah bagian dari realita yang ia harus hadapi. Memang, di kawasan Tanah Abang, tak banyak orang yang menempuh pendidikan tinggi, terutama karena alasan ekonomi. Namun orang-orang seperti mereka membuktikan bahwa hidup tak melulu soal pendidikan saja dan bahwa tak mengenyam pendidikan tinggi bukan berarti akhir dari segalanya. Pada hari kedua, aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri bukti nyata praktik prostitusi di Tanah Abang. Malam itu, oleh Bang Dillah, aku dan kelompokku diajak melewati sebuah gang tempat ia tinggal. Di sana, aku melihat bilik-bilik persis di sebelah kiri jalanan gang. Selain bilik, juga terdapat semacam klub malam sederhana di sisi jalan yang sama. Realita sosial di Tanah Abang memang jauh dari kata ideal. Berada di sana hanya selama lima hari, mungkin terasa nyaman saja, tetapi jika tinggal di sana hingga waktu yang tak dapat ditentukan adalah perkara yang membuatku bertanya-tanya, “Apakah kehidupan ini adil?” Namun, tentu ada sisi positif yang terdapat di Tanah Abang, seperti yang kami rasakan di malam terakhir live in. Setidaknya, kedekatan Tanah Abang dengan Bundaran HI memberi sebuah hiburan tersendiri bagi kami yang kami kunjungi pada malam kedua. Mengetahui bahwa kami akan kembali ke Yogyakarta pada hari Jumat, Bang Wahyu berinisiatif untuk mengadakan perpisahan bersamaan dengan acara sholawatan yang rutin diadakan di balai pengajian setiap Kamis malam. Setelah sholawatan selesai dan hidangan telah disiapkan oleh kami, dibantu oleh Bang Dillah dan istrinya, kami semua makan bersama-sama dan mengucapkan salam perpisahan dengan anak-anak pengajian serta guru mereka. Dari live in yang kuikuti, banyak pelajaran yang dapat aku petik. Dari Aril, aku belajar bahwa setiap orang mampu melayani sesamanya dengan kemampuan masing-masing. Kenyataan bahwa Aril tak sempat mengenyam bangku SMA tidak menghalanginya untuk menyalurkan tenaga dan kemampuannya untuk membantu sesama, dalam hal ini dengan menjadi karyawan Bang Wahyu. Bagaimana orang-orang seperti Aril mencoba untuk bersyukur dan menikmati hidup, sekalipun tidak dalam kondisi yang ideal, selalu membuatku terpukau. Aku juga belajar secara langsung bagaimana rasanya bekerja bersama dengan orang lain dan betapa bosannya menunggu datangnya pelanggan saat berjualan.

Penjelajahan dengan Orang Muda

Welcoming New Members OMK Santa Theresia Jakarta

Orang Muda Katolik (OMK) Santa Theresia Jakarta menggelar acara Welcoming New Members di Ruangan Yakobus dan Yohanes pada Sabtu 11 Maret 2023 yang dilanjutkan dengan perayaan Ekaristi bersama pada pukul 18.00 WIB. Ketua seksi Acara Welcoming New Members OMK 2023 Gereja Santa Theresia, Michael Bima Radhitia, mengungkapkan bahwa pelaksanaan kegiatan ini sebagai bagian pengenalan serta pembekalan kepada anggota yang baru bergabung di OMK Santa Theresia Jakarta. “Anggota OMK yang baru bergabung adalah para Misdinar dari PPA Santa Theresia dan umum, ada sekitar 50 orang anggota baru,” ujar Bima di sela-sela pelaksanaan Welcoming New Member. Lebih lanjut, Bima menjelaskan acara Welcoming New Members OMK ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Mareike Widjaja sebagai Dewan Pendamping OMK dan Christina Ayu Novia (Opi) sebagai Ketua OMK Santa Theresia Jakarta periode 2022-2025. Mareike dan Opi berharap para anggota baru OMK dapat berperan aktif dalam kegiatan Kepemudaan Gereja. Opi juga menambahkan usia anggota OMK Santa Theresia berkisar antara 13-35 tahun. Sementara itu, Dewan Pendamping OMK, Mareike Widjaja dalam acara ini memaparkan tentang kegiatan-kegiatan anak muda menjadi sarana supaya kembali ke gereja. Selain itu, agar mereka dapat aktif bersama sebagai kaum muda, menjadi semangat baru untuk gereja, serta menjadi support system dalam menjalani masa muda yang penuh tantangan. OMK Santa Theresia juga mempunyai berbagai kegiatan seru baik yang sedang berjalan maupun yang akan datang. Kegiatan yang sedang berjalan antara lain: T-Pod (Theresia Podcast) yang tayang di YouTube KomSos Theresia setiap sebulan sekali dengan topik-topik seputar OMK masa kini. Ada juga Persiapan Tablo 2023 untuk Ibadat Jumat Agung 7 April 2023 pukul 08.00 WIB dengan latihan yang dilakukan satu minggu tiga kali (Kamis malam, Sabtu sore, dan Minggu pagi). Adapun kegiatan OMK Santa Theresia yang akan diadakan sepanjang tahun ini antara lain: olahraga badminton bersama, menjaga ketertiban dan keamanan pada Pekan Suci, Harmonisasi Lintas Agama, dan Misa Inkulturasi. Setelah pemaparan kegiatan OMK, acara dilanjutkan dengan nonton bareng (nobar) “A Man Called Otto”. Tentunya juga disuguhkan makanan dan minuman dari UMKM yang dikelola oleh beberapa anggota OMK Santa Theresia sejalan dengan himbauan dari Tim Sinergi Bidang Prioritas Keuskupan Agung Jakarta (TSBP 2 KAJ) untuk mendukung UMKM setempat. Bagi teman-teman yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya, apabila ingin bergabung di OMK Santa Theresia Jakarta, bisa menghubungi Calvin 082299553295 atau daftar melalui link bit.ly/kepoinomktheresia sekarang ya. Semoga kita dapat bertumbuh menjadi benih baru bagi Gereja di masa yang akan datang. AMDG. Kontributor: Gregorius Vincent Raka Pratama – Humas OMK St Theresia

Feature

Saluran Rahmat-Nya

Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) sedang gencar-gencarnya menjalankan Arah Dasar Keuskupan periode 2022-2026 dengan tema “Tidak Jemu-jemu Mengusahakan Kebaikan Bersama.” Demi mewujudkan cita-cita tersebut, tahun ini KAJ mengangkat tema “Kesejahteraan Bersama” yang bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia dengan cara lebih memperhatikan yang tersisihkan dan berkekurangan. Lebih lanjut, hal ini selaras dengan salah satu poin dalam UAP (Universal Apostolic Preferences) yaitu “Berjalan bersama yang Tersingkir.” Ini juga menjadi tema UAP yang sedang dicoba didalami dan direfleksikan oleh para Skolastik Kolese Hermanum pada tahun 2023 ini. Dalam rangka mewujudkan sekaligus terlibat sebagai pribadi yang berjalan bersama yang tersingkir, Para Skolastik Kolese Hermanum di Unit Pulo Nangka mengusahakan sebuah gerakan. Bekerja sama dengan Bu Fifi, seorang sahabat awam yang begitu murah hati menyumbangkan sebagian dari miliknya, para frater Pulo Nangka membagi-bagikan kupon makanan setiap minggunya. Kupon dengan nilai Rp 10.000 sebanyak 30 buah ini dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar frateran Pulo Nangka. Kupon tersebut dapat ditukarkan dengan seporsi makan siang seharga Rp 12.000, sehingga penerima kupon cukup mengeluarkan uang Rp 2.000 untuk seporsi makan siang mereka. Menghargai hakekat kerja mereka Pada tahap awal perencanaan program ini, kami menemui Bu Nurhayati yang merupakan rekan dari Bu Fifi. Beliau menjalankan program yang sama di daerah sekitar tempat tinggal Bu Fifi. Dalam perbincangan dengannya, para frater mengetahui alasan mengapa para penerima kupon tetap perlu membayar Rp 2.000, yaitu menghargai penerima kupon sebagai manusia yang setara. Keinginan untuk nguwongke dan membuat penerima bantuan tetap memiliki harga diri adalah tujuan dari program ini. Bu Nurhayati bercerita awalnya dia sempat bertemu orang yang tersinggung ketika diberi kupon makan seharga Rp 12.000. Orang tersebut tersinggung karena disangka tidak mampu membeli makanan dan menolak kupon yang diberikan. Dengan penolakan tersebut, Bu Fifi tersadar bahwa yang dibutuhkan orang-orang tersebut bukan hanya makanan, namun juga pengakuan harga diri. Mereka ingin dihargai sebagai manusia yang bekerja dan berpenghasilkan demi kebutuhan harian mereka. Maka dari itu, mereka tetap diberi kesempatan untuk membayar makanan yang mereka makan. Dengan membayar Rp 2000 mereka tidak menjadi “peminta-minta” yang begitu saja mendapatkan makanan, tetapi menjadi seorang yang tetap mampu membeli makanan untuk mereka. Tema “Berjalan Bersama” dalam hal ini terwujud nyata dalam bagaimana menghargai orang-orang ini sebagai manusia biasa yang mampu bekerja dan membeli makanan dari hasil jerih payah mereka. Program ini telah berjalan sejak bulan Oktober 2022 hingga sekarang. Jumlah total kupon makanan yang telah dibagikan sudah lebih dari 270 buah. Sasaran utamanya adalah para pemungut dan pemilah barang bekas, petugas keamanan, pedagang asongan, penyapu jalanan, penjual buah, penjual mainan, dan orang-orang lain yang melintas di sekitar frateran Pulo Nangka. Menjadi Saluran Rahmat-Nya Ketika merefleksikan kegiatan ini, kami menyadari bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan sederhana yang berahmat. Para penerima kupon setidaknya bisa terbantu dalam biaya satu kali makan. Kami juga melihat pancaran sinar harapan ketika berjumpa dan mendengarkan kisah mereka yang merasa diperhatikan. Di lain sisi, melalui senyuman para penerima kupon, kami semakin bisa bisa bersyukur karena tindakan sederhana ini menjadi perpanjangan tangan dan saluran rahmat-Nya. Kegiatan membagikan kupon semakin membuat kami sadar bahwa sumber rahmat dan kebaikan adalah Allah sendiri yang kerap hadir dalam pribadi-pribadi baik di sekitar kita. Perjumpaan dengan sesama yang lebih membutuhkan juga mengasah kepedulian dan aksi nyata untuk mereka. Rasa syukur ini sekaligus memupuk harapan agar semakin diberi rahmat memiliki rasa merasa Kristus yang begitu mencintai dunia ini sehingga lebih bisa meneladan cara-Nya dalam mengasihi sesama kami. Maukah Anda juga menjadi saluran rahmat Allah bagi sesama di sekitar Anda? Kontributor: Fr. Petrus Guntur Supradana, S.J. – Skolastik Filosofan di Kolese Hermanum Jakarta

Kuria Roma

Paus Fransiskus dan 10 Tahun Perjalanannya bersama Para Pengungsi (Bag. 1)

“Saudara-saudara yang terkasih, masing-masing dari anda mempunyai kisah hidup yang bertutur tentang tragedi perang dan konflik yang amat sering terkait dengan politik internasional. Namun, di atas segalanya, masing-masing dari anda memiliki kekayaan kemanusiaan dan makna religius daripada rasa takut. Kedua hal itu merupakan harta karun yang perlu disyukuri. Banyak dari anda adalah kaum Muslim atau orang-orang beragama lain. Anda berasal dari komunitas yang beragam dan dari situasi yang berbeda-beda. Kita tidak harus takut pada perbedaan. Persaudaraan membuat kita mampu menemukan bahwa perbedaan adalah kekayaan dan menjadi berkat bagi banyak orang. Marilah kita hidup dalam persaudaraan!”1 Kata-kata ini dipakai Paus Fransiskus untuk menyapa para pengungsi di dapur umum tempat pembagian makan bernama Centro Astalli pada tahun 2013. Centro Astalli adalah salah satu tempat yang dikelola oleh Jesuit Refugee Service di Italia dan merupakan salah satu proyek pertama yang didirikan oleh P Pedro Arrupe, S.J. pada awal tahun 1980-an. Pada acara itu, Carol, seorang pengungsi perempuan dari Syria yang baru saja tiba di Italia menjelaskan, “Orang-orang Syria di Eropa ingin bertanggung jawab akan hidupnya sehingga tidak menjadi beban. Kami ingin aktif terlibat dalam masyarakat. Kami ingin menawarkan bantuan, keahlian dan pengetahuan yang kami bawa, termasuk budaya kami dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan ramah terhadap orang-orang yang lari menghindari perang dan penganiayaan seperti kami. Kami orang-orang dewasa masih bisa menanggung penderitaan, jika penderitaan ini membantu menjamin masa depan yang damai bagi anak-anak kami. Kami mohon agar mereka dapat pergi ke sekolah dan bertumbuh dalam lingkungan yang damai.” Sepanjang masa kepemimpinannya sebagai Paus, Fransiskus menunjukkan teladan dan berbicara tentang Allah yang penuh keadilan dan belas kasih. Dia menjadikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi para migran dan pengungsi di seluruh dunia sebagai kunci utama bukan menjadi sekadar kata-kata tetapi mewujud dalam tindakannya. Contoh terbaru ialah kunjungannya ke Sudan dan Republik Demokratik Kongo pada bulan Februari 2023, di mana ia bertemu para pemimpin komunitas dan pengungsi. Pesan yang disampaikannya pada Hari Perdamaian Sedunia 2018 ialah “Migran dan pengungsi: laki-laki dan perempuan yang mencari kedamaian.” Dengan gayanya yang khas dan tanpa tedeng aling-aling, dia bertanya “Mengapa banyak sekali pengungsi dan migran?” Bahkan beberapa tahun sebelumnya, Paus Yohanes Paulus II telah menunjukkan ‘rentetan tanpa akhir dan mengerikan dari perang, konflik, pembunuhan massal, dan pembersihan etnis’.”2 Paus Fransiskus juga mengenali bahwa manusia memiliki keinginan alamiah untuk mencari penghidupan yang lebih baik dan melihat bahwa kerusakan alam dan lingkungan juga menjadi faktor penyebab migrasi. Tekanan pada keadilan sosial ini sangat dalam terpusat pada Kristus. Fransiskus sama sekali tidak mengabaikan karya teologis dari para pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II dan Benedictus XVI, yang memberikan sumbangan penting dan berkelanjutan teologi Katolik selama masa kepemimpinannya, khususnya ajaran sosial. Bahkan, mereka memberi dasar teologis yang menjadi tempat Paus Fransiskus terus membangun ajaran sosial Katolik. Contohnya, Pesan Paus Fransiskus pada Hari Perdamaian Dunia 2018, sebagaimana disebutkan di atas, terinspirasi dari kata-kata Santo Yohanes Paulus II: “Jika ‘mimpi’ akan dunia yang damai dimiliki oleh semua orang, jika sumbangan pengungsi dan migran dievaluasi secara tepat, maka kemanusiaan bisa menjadi sebuah keluarga yang makin universal dan bumi kita menjadi ‘rumah milik bersama’ yang sesungguhnya’.”3 Yang menyedihkan ialah beberapa tahun belakangan ini karena meningkatnya konflik dan faktor-faktor kerusakan berat lainnya seperti perubahan iklim sehingga banyak bangsa dan negara disibukkan dengan urusan orang-orang yang masuk ke wilayah mereka untuk mencari kedamaian dan rasa aman. Kadang-kadang, keinginan untuk mempertahankan diri yang tidak pada tempatnya berakibat pada obsesi untuk menghalangi para migran melewati perbatasan negara. Sikap ini menutup hati dan budi atas realitas harapan, ketakutan dan aspirasi dari sebagian kelompok masyarakat dunia yang sangat membutuhkan. Paus Fransiskus mengusulkan agar kita yang hidup dalam rasa nyaman dan rasa aman untuk mendengarkan kisah mereka dan menghargai gambaran utuh perjalanan mereka. Paus Fransiskus, sepanjang masa kepemimpinannya, secara konsisten telah mempertahankan keikutsertaannya dan mengarahkan sebuah visi radikal dan jelas bagi sebuah pendekatan alternatif dan lebih manusiawi atas tantangan migrasi paksa. Lampedusa, bulan Juli 2013: Globalisasi Ketidakpedulian Di Lampedusa, Fransiskus berkata, “’Kaum migran sekarat di laut. Kapal-kapal yang membawa mereka telah berubah dari kendaraan harapan menjadi kendaraan kematian.’ Demikianlah berita utama yang saya baca. Ketika saya pertama kali mendengar tragedi ini beberapa minggu lalu, dan menyadari bahwa hal ini terlalu sering terjadi, situasi ini terus-menerus kembali ke dalam pikiran saya seperti duri tajam yang menyakitkan menusuk jantung.”4 Pada bulan Juli 2013, yang menjadi perjalanan pertama dalam kepemimpinannya, Bapa Suci dengan kapal mengunjungi Pulau Lampedusa, yang terletak di luar pantai selatan Sisilia. Waktu dan konteks kunjungannya sangat penting. Libya sedang dilanda situasi kekerasan dan ketidakstabilan. Negara-negara Afrika yang lebih miskin, yang sebelumnya tertarik dengan ekspansi ekonomi yang ada di bawah kepemimpinan Gaddafi sekarang mencari tempat-tempat lain, khususnya di seberang Laut Tengah. Sewaktu di Lampedusa, Fransiskus merayakan misa untuk mengenang ribuan migran yang mati dalam upaya menyeberangi Laut Tengah. Dia juga menyampaikan homilinya yang sekarang terkenal di mana dia merasa dipaksa untuk datang “berdoa dan menawarkan tanda kedekatan, tapi juga mengusik suara hati kami sehingga tragedi ini tidak terulang lagi. Tolongkah, agar hal ini tidak terulang!” Dia kemudian merefleksikan dua pertanyaan pertama yang diajukan Allah dalam Kitab Suci kepada manusia. “Ini adalah pertanyaan pertama yang diajukan Allah kepada manusia setelah dia berdosa. ‘Adam dimanakah engkau?’ Adam kehilangan arah, kehilangan tempatnya dalam penciptaan karena dia menyangka dia sangat berkuasa, bisa mengendalikan segala sesuatu, bisa menjadi Allah. Harmoni hilang; dan manusia melakukan kesalahan. Dan kesalahan ini terjadi terus-menerus termasuk dalam relasi dengan sesama. ‘Yang lain bukan lagi menjadi saudara dan saudari untuk dicintai tetapi hanya seseorang yang mengganggu kehidupanku dan rasa nyamanku.” Paus Fransiskus beberapa kali menggunakan narasi Adam dan Kain sebagai analogi termasuk dalam cara dia melihat ekologi secara integral dalam ensikliknya tahun 2015 Laudato Si (LS). “Berapa banyak dari kita,” tanya Paus Fransiskus di hadapan migran di Lampedusa, “telah kehilangan arah. Kita tidak lagi memberi perhatian terhadap dunia tempat kita hidup; kita tidak lagi peduli; kita tidak lagi melindungi apa yang telah diciptakan Allah bagi semua orang, dan kita berakhir dengan ketidakmampuan untuk peduli satu sama lain!” Bagi Paus, “ketika kemanusiaan secara keseluruhan kehilangan arah, akibatnya ialah tragedi seperti yang kita saksikan. […] Kita jatuh dalam kemunafikan imam

Kuria Roma, Uncategorized

Paus dari Belahan Selatan

Paus pertama dalam sejarah yang berasal dari Amerika Latin, Fransiskus, dalam sepuluh tahun masa pontifikalnya di Takhta St. Petrus, telah membantu menggeser pendulum keseimbangan dalam Gereja Katolik. “Apakah Paus Fransiskus benar-benar telah mengubah Gereja?” Puluhan ribu orang berbondong-bondong membanjiri Lapangan St. Petrus. Satu jam sebelumnya, mereka telah melihat kepulan asap putih di atas Kapel Sistina. Paus baru telah terpilih! Saat cuaca yang dingin dan disertai hujan, pada 13 Maret 2013 malam, seorang pria muncul di balkon Basilika St. Petrus. Kebanyakan orang yang berkerumun di bawah balkon, di lapangan Basilika, tidak mengenal pria yang muncul itu. Pria itu adalah Jorge Mario Bergoglio, kardinal Jesuit dari Buenos Aires yang memilih nama Fransiskus sebagai nama panggilannya sebagai Paus. “Seperti Saudara sekalian ketahui bahwa tugas konklaf ialah memilih Uskup Roma,” menjadi kata-kata pertamanya sebagai seorang Paus. “Tampaknya para kardinal telah mengangkat seseorang dari ujung bumi,” tambahnya. Ujung bumi, jelas merujuk tanah kelahirannya Argentina, di Amerika Selatan. Paus baru ini memang sungguh orang asing atau orang luar – dalam tiga arti yang berbeda. Pertama, ia tidak berasal dari Eropa. Kedua, ia bukan orang Italia. Ketiga, ia adalah seorang yang asing dengan budaya Curia Roma, sesuatu yang tidak ia sukai dan ia tidak pernah menyembunyikan ketidaksukaannya pada budaya birokrasi ini sebagai uskup-kardinal di ibukota Argentina. Bahkan, begitu kenalnya orang akan perasaan Bergoglio terhadap birokrasi Vatikan, beberapa orang berharap – dan beberapa yang lain takut – bahwa ia akan menjadi pembawa pergeseran besar Gereja Katolik dari Utara ke Selatan. Eropa Si Anak Manja Sejatinya, hubungan Paus Fransiskus dengan Eropa telah menjadi topik diskusi yang tanpa henti sepanjang sepuluh tahun terakhir ini. “Dia melihat Eropa sebagai anak yang manja,” ungkap salah seorang temannya. Fransiskus selalu merujuk Eropa seperti seorang “perempuan tua” tempat tanpa masa depan yang cerah bagi Gereja. Paus Jesuit ini tidak berusaha menutup-nutupinya: dia takut dengan penutupan besar-besaran Gereja di Barat. Bagi Fransiskus, Gereja di Barat tidak lagi memperlihatkan adanya dinamisme. Karena dia melihat Benua Tua ini telah menjadi “manja” di masa lalu, khususnya karena begitu banyak kunjungan yang dilakukan selama masa para pendahulu-pendahulunya. Fransiskus memilih melakukan kunjungan pastoralnya ke negara-negara di pinggiran seperti Albania atau Siprus. Dia menjaga jarak dari negara-negara dengan tradisi Katolik lama, seperti Spanyol dan Perancis. Memang dia akan mengunjungi Marseilles selama beberapa jam di bulan September 2023 tetapi Fransiskus juga jelas menyatakan bahwa kunjungan di kota pelabuhan bagian selatan Perancis ini bukanlah perjalanan kunjungan yang sesungguhnya. Kunjungan itu lebih sebagai persinggahan yang memberi dia kemungkinan bergabung dengan para uskup Eropa sebelum meneruskan perjalanan ke Mongolia. “Tidak diragukan lagi bahwa Fransiskus merasa bahwa perannya bukanlah untuk mengorganisasi kunjungan-kunjungan di Eropa demi mengisi kurangnya inisiatif dari pihak Gereja Eropa,” kata salah seorang pembantu terdekat Paus. Sebuah Pergeseran Paradigma Bertolak belakang dengan Gereja Eropa, makin banyak kantor-kantor kuria, ordo, dan tarekat religius dunia melakukan pergeseran kepemimpinan kepada orang-orang dari dunia Belahan Selatan. Jenderal Serikat Jesus, ordo religius Paus Fransiskus, saat ini adalah seorang imam dari Venezuela bernama Arturo Sosa. Master Ordo Pengkhotbah (Dominikan) adalah P. Gerard Timoner dari Filipina. Kongregasi-kongregasi misionaris besar juga telah beralih seperti tampak pada tahun 2010 dengan terpilihnya Richard Baawobr dari Ghana, orang Afrika pertama, sebagai superior jenderal White Fathers. Di universitas-universitas kepausan, “pergeseran paradigma” yang diakibatkan oleh kedatangan Fransiskus sebagai tampuk pimpinan Gereja Katolik tidak luput dari perhatian. “Fakta bahwa ia berasal dari Belahan Selatan merupakan sebuah ujian bagi Gereja, khususnya karena hal ini memunculkan pertanyaan mengenai relasi antara Gereja Katolik di Barat dengan Gereja Katolik Non-Barat,” demikian catatan dari Paul Béré, seorang ahli kitab suci dari Burkina Faso. Béré adalah penerima hadiah Ratzinger tahun 2019, semacam “Hadiah Nobel Teologi.” Béré sendiri lama mengalami dirinya dikritik oleh sejawatnya yang berasal dari Eropa sebagai “teolog kelas dua.” “Ketika saya mendengar kritik dari kardinal-kardinal tertentu yang berasal dari Barat tentang Paus, saya mengenali diri saya di dalamnya,” kata Jesuit Afrika ini. “Saya menjadi bagian dari kritik yang sama selama bertahun-tahun. Mereka sering melihat saya dengan rasa kasihan, membuat saya mengerti anggapan mereka bahwa tak ada sesuatu yang baik atau yang serius berasal dari Afrika karena teologi di sana tidak berdasar pada kanon-kanon Barat,” kenangnya. Akibat Mengerikan dari Kolonisasi Terlepas dari pendekatan teologi yang klasik, Fransiskus juga memfokuskan tema dan isu baru. Ekologi jelas salah satunya seperti ditunjukkan dengan ensiklik yang dikeluarkannya tahun 2015 yang kita kenal dengan Laudato si. “Dia memperluas batas-batas otoritas tugas seorang paus,” kata seorang pengamat veteran di Vatikan. “Sejak sekarang, orang tidak bisa lagi mengatakan bahwa peran paus hanya terbatas pada liturgi dan moralitas.” Hal yang sama terjadi dengan perhatian yang ia berikan dan sebelumnya tak pernah terjadi kepada penduduk pribumi dan bangsa pertama, khususnya di Amazon dan Kanada. Ia beberapa kali menemui perwakilan-perwakilan kelompok ini di Roma. Fransiskus berkeliling ke Kota Quebec, Edmonton, dan Iqaluit di ujung jauh Kanada bulan Juli tahun lalu untuk meminta maaf atas pelecehan dan kejahatan yang terjadi di sekolah-sekolah berasrama milik Gereja Katolik pada abad kesembilan belas. Mengutuk “akibat mengerikan dari penjajahan,” menjadi pukulan bagi mereka di tempat tinggalnya sekarang di Eropa bahwa Gereja universal bukanlah Gereja Eropa. Atas prinsip yang sama, terkait perang di Ukraina, sejak awal ia menolak godaan untuk dilihat sebagai “pendamping Barat.” Tidak Ada yang Tersisa Kecuali Orang-orang Argentina Ketidakpercayaan Fransiskus terhadap Amerika Serikat juga menjadi bahan bakar bagi gagasan bahwa posisinya lebih banyak disebabkan karena sejarah negara kelahirannya. Argentina memiliki hubungan yang tidak setara dengan raksasa Amerika Utara itu, dan paus sebagian menyalahkan Amerika Serikat atas situasi Argentina di awal tahun 2000 yang hampir bangkrut. “Tidak ada yang tersisa kecuali orang-orang Argentina,” demikian keluhan salah seorang penjaga tradisi lama di Vatikan. Faktanya, Fransiskus memang mengangkat sejumlah besar orang-orang dari negaranya menjadi pejabat utama di Curia Roma atau menjadi anggota-anggota di lingkaran dalam para penasihatnya. Termasuk di dalam lingkaran dalam itu ialah Emilce Cuda, seorang perempuan berusia 57 tahun yang menjadi sekretaris Komisi Kepausan untuk Amerika Latin, di Roma. Demikian juga Victor Manuel Fernandez, uskup agung La Plata yang berumur 60 tahun dan menjadi penulis bayangan dokumen-dokumen penting Paus. Ada juga mantan imam Lefebvrist, P Pablo Enrique Suárez (anggota Serikat St. Pius X-SSPX hingga tahun 2019),