Pilgrims of Christ’s Mission

serikat yesus

Provindo

See, Judge, Act

Temu Kolese 2023 Tahun ini menjadi kesempatan yang istimewa bagi siswa-siswi kolese. Temu Kolese (Tekol) diadakan lagi dengan peserta dari Kolese Kanisius, Kolese Gonzaga, Kolese Loyola, Kolese PIKA, Kolese Mikael, Seminari Mertoyudan, Kolese De Britto, dan Kolese Le Cocq D’armandville. Meskipun berasal dari berbagai macam daerah di Indonesia, kehangatan dan keseruan sebagai anak kolese begitu terasa. Tekol ini diadakan pada 16-20 Oktober 2023 di Kolese De Britto dengan mengangkat tema To Be Friend With The Poor: menjadi teman bagi mereka yang tersingkir. Dinamika dan kegiatan disiapkan sedemikian baik oleh panitia dengan harapan mampu membawa peserta pada pengalaman dan pendalaman nilai bahwa anak muda harus mau terlibat untuk menjadi teman bagi yang tersingkir. Acara ini melibatkan kolaborasi panitia siswa, guru, hingga pamong atau moderator antarkolese. Tekol 2023 merupakan Temu Kolese pertama setelah jeda lima tahun karena pandemi. Ada suatu kerinduan terpendam akan perjumpaan yang dibawa oleh masing-masing Kolese. Banyak peserta dari masing-masing kontingen merasa sangat antusias dan ingin ambil bagian dalam kegiatan Tekol 2023 ini. Oleh karena itu banyak acara di Tekol tahun ini yang dirancang sedemikian rupa dengan harapan bisa memberikan kenangan dan momen berharga bagi setiap kolese terutama panitia dan peserta yang terlibat langsung. Dalam perencanaannya, panitia mulai membahas konsep dan model kegiatan sejak awal tahun 2023. Pertemuan demi pertemuan akhirnya membuahkan konsep rangkaian kegiatan Tekol 2023 dengan berbagai modifikasi dari Tekol sebelumnya. Secara khusus dalam Tekol kali ini, panitia juga mencoba untuk memadukan audio-visual dalam setiap kegiatannya. Sehari sebelum kontingen tiba, panitia sudah sampai di lokasi Tekol 2023 untuk memastikan segala sesuatunya siap. Hari Minggu itu SMA Kolese De Britto menjadi ramai dengan segala kesibukan panitia yang melakukan persiapan. Berbagai penyesuaian dan adaptasi harus dilakukan dalam waktu singkat agar acara dapat berjalan dengan baik dan lancar. Pada hari pertama Tekol 2023, upacara pembukaan dilakukan oleh Pater Baskoro selaku Delegat Pendidikan Serikat Jesus, Pater Kuntoro selaku rektor SMA Kolese De Britto, dan Pater Hugo sebagai ketua panitia. Rangkaian pembukaan diawali dengan sambutan, pemukulan gong oleh sejumlah perwakilan kolese Jesuit di Indonesia, perarakan bendera, menyanyikan mars setiap kolese, menyanyikan mars Tekol 2023, dan defile. Berangkat dari harapan dan antusiasme Jesuit serta panitia perancang acara, Tekol dirancang dengan memodifikasi beberapa tradisi menjadi kegiatan yang lebih inovatif. Salah satu contohnya adalah defile pembukaan Tekol 2023. Pada kegiatan Tekol sebelumnya defile diadakan dengan perarakan kontingen yang diiringi mars masing-masing Kolese. Kali ini defile dibungkus dengan pertunjukan teater gabungan kolese. Teater ini mengusung kisah hidup Inigo di masa modern yang menceritakan perjalanan hidupnya kepada dua orang sahabatnya yaitu Xavier dan Faber. Perjalanan Inigo dipilih karena memuat unsur-unsur khusus immersion Tekol 2023 sesuai dengan tema “To be Friend with The Poor”. Ada tiga narator utama dalam kisah ini yang berperan sebagai Ignatius Loyola, Xavier, dan Faber. Cerita diawali dengan kisah hidup Inigo kecil yang ditampilkan oleh Kolese Kanisius. Kolese PIKA melanjutkan dengan pola asuh orang tua Inigo. Ternyata, lingkungan di sekitar Inigo tidak baik. Inigo tercebur dalam pergaulan yang buruk. Bagian ini divisualisasikan oleh Kolese Loyola dan Gonzaga. Kolese De Britto melanjutkan hidup Inigo yang harus bekerja sebagai kuli demi memenuhi kebutuhan hidupnya hingga mengalami kecelakaan yang membuatnya cacat. Ia juga diringkus oleh pihak berwenang yang menangkap basah ketika ia sedang melakukan transaksi. Penggambaran hidup Inigo dalam sel divisualisasikan oleh Kolese Mikael. Kemudian Kolese Le Cocq D’armandville melanjutkan dengan adegan Inigo menjadi pengemis. Kisah hidup Inigo ditutup dengan visualisasi pertobatan Inigo oleh Seminari Mertoyudan. Pada hari kedua, peserta dan panitia siswa dísebar ke beberapa wilayah di Jogja hingga Muntilan untuk melakukan immersion. Immersion ini mengajak para peserta untuk merasakan dan terlibat dalam keseharian mereka yang kecil dan tersingkir. Bentuk immersion yang dilakukan meliputi kunjungan ke panti jompo, panti asuhan, pasar, TPA, kuli pasir, bersih kota, dan berdialog dengan PSK. Selama immersion, peserta dapat melihat dan merasakan langsung kondisi sebenarnya tanpa terpengaruh stigma yang berkembang di masyarakat. Setiap lokasi immersion memiliki keunikan dan tantangannya masing-masing. Mereka yang pergi ke lokasi kuli pasir harus berangkat sejak pukul dua pagi dan baru kembali pada siang hari. Perjalanan menuju ke lokasi cukup panjang dan memakan banyak waktu. Belum lagi mereka harus belajar untuk menambang pasir dalam waktu singkat. Lokasi TPA juga menyambut dengan bau yang tidak sedap, ditambah lagi panas terik mentari yang kuat. Begitu pula dengan lokasi lainnya, mereka juga memberikan kekayaan ilmu hidup yang mengesan bagi setiap peserta. Sekembalinya ke De Britto, peserta diperbolehkan untuk beristirahat hingga acara talkshow dan pengendapan bersama di malam harinya. Talkshow dibawakan oleh Pater Pieter Dolle bersama dengan relawan dari SPM Realino. Mereka membagikan sepak terjang mereka untuk menjadi teman bagi mereka yang tersingkir. Mereka mengatakan bahwa membantu sesama membuahkan suatu kebahagiaan tersendiri meskipun tidak jarang kesabaran mereka juga diuji khususnya ketika berhadapan dengan anak-anak. Setelah talkshow, para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok untuk sharing dan menuliskan apa yang didapat pada selembar kertas A2. Kertas tersebut kemudian dipajang dan menjadi reminder berharga bagi semua. Seluruh kegiatan di hari itu ditutup dengan adorasi pada Sakramen Mahakudus. Hari ketiga merupakan hari pertandingan olahraga dan non-olahraga. Ada pertandingan olah raga kolaboratif dan ada pula antarkolese. Basket putra, sepak bola, basket putri, dan futsal putri bersifat kolaboratif. Sedangkan voli, lari estafet, atletik lari 2,4 km, tenis meja, dan badminton dipertandingkan antarkolese. Adapun perlombaan non-olahraga meliputi debat Bahasa Inggris, musikalisasi puisi, mendongeng, Tekol Got Talent, stand up comedy, fotografi, dan film pendek. Beberapa pertandingan olahraga juga dimeriahkan oleh pertandingan para Pater/Frater dan beberapa guru. Pertandingan berlangsung dengan penuh semangat dan berjalan dengan baik. Seluruh peserta bersemangat untuk memberikan performa terbaiknya demi tim dan kemenangan. Sejak pagi hari, para peserta telah mempersiapkan diri dengan mengenakan jersey Tekol. Mereka berkumpul di sisi-sisi lokasi pertandingan untuk menonton dan menunggu giliran bermain. Tidak hanya dipenuhi oleh antusiasme para peserta, panitia juga bekerja keras dalam memeriahkan pertandingan. Dentuman serta sorakan khas dari suporter Kolese Mikael dan Kolese De Britto menambah kemeriahan pertandingan di hari itu. Pada Kamis malam diadakan Malam Kesenian yang dibalut dalam kisah perjalanan punakawan saat berjalan-jalan di Jogja. Malam Kesenian ini menyuguhkan lanjutan pesan moral yang diberikan saat defile. Setiap penokohan dan pementasan yang dilakukan berjalan dengan baik.

Penjelajahan dengan Orang Muda

Berjalan Kaki Sejauh 30 KM, Tuhan Memberikan “Tumpangan” pada 5 KM Terakhir

Pengalaman OMK Ignatius Magelang Peregrinasi ke Sendangsono Setelah sebulan lebih mengenal Santo Ignatius Loyola dan mencoba mempraktikkan latihan rohani, kami sepakat dan memantapkan diri untuk melakukan peregrinasi. Kata “peregrinasi” sendiri sering kami dengar dari romo, frater, dan juga seminaris. Mereka berkisah mengenai pengalaman berjalan jauh ke suatu tempat tertentu tanpa membawa bekal apa pun selain kartu identitas, baju, dan alas kaki yang dikenakan. Kedengarannya, sih, seru. Akan tetapi, begitu kami yang mengalami sendiri pengalaman berjalan kaki sejauh 30 km (dikorting lima kilometer) ya tetap seru, sih… tapi sambil mijit-mijit kaki yang nyerinya minta ampun. Apalagi bagi kebanyakan peserta, pengalaman berjalan jauh menjadi pengalaman peregrinasi yang pertama. Entah bisa disebut dengan peregrinasi atau tidak, dari judul tulisan ini sudah bisa ditebak bahwa kami tidak benar-benar sampai ke Sendangsono dengan berjalan kaki. Ya, sebelum lima kilometer dari lokasi tujuan kami mendapat “tumpangan” dari Tuhan. Perjalanan dimulai dari paroki kami tercinta pada Sabtu, 16 September 2023 pukul 16.00 WIB. Sebelum berangkat, kami mendapat peneguhan dan berkat dari Romo Hartono, Pr. dan Romo Alip, Pr. Dari total 24 OMK, peserta dibagi dalam 3 kelompok kecil. Pada satu dua jam pertama perjalanan kami lewati dengan cukup antusias. Masih belum terasa capek karena kami sambil mengobrol santai dan berbagi snack. Berlanjut 3 – 4 jam kemudian mulai terasa lapar dan lelah. Setelah beristirahat sejenak di Lapangan Drh. Soepardi, Mungkid, perjalanan dilanjut dengan tiga kelompok kecil dilebur jadi satu kelompok besar. Kami berjalan beriringan dengan mengurangi intensitas ngobrol. Selain berdoa dalam hati, kami juga diberi arahan untuk merefleksikan perjalanan yang sudah kami tempuh sejauh 15 km saat itu. Waktu sudah menunjukkan sekira pukul 22.30 WIB saat meninggalkan area Mungkid dan berjalan menuju Srowol. Sepanjang jalan terasa sepi dan gelap. Kami sudah merasa kelelahan, lapar, dan mengantuk. Beberapa dari kami sudah ada yang mulai lecet-lecet kakinya, pucat air mukanya, dan bahkan ada yang sudah tidak kuat berjalan lagi. Sekitar 15-an OMK yang masih sanggup berjalan saling memotivasi dan mem-back up satu sama lain. “Piye, aman ta? Nek wis ra kuat ngomong wae.” Begitulah berkali-kali kami saling menanyakan kondisi satu sama lain. Perjalanan menuju Sendangsono kurang sekitar 5 km lagi. Daerah sekeliling kami sudah benar-benar gelap. Kanan kiri hanyalah sawah, hutan, dan juga sungai. Tempo berjalan mulai melambat. Tampaknya memang sudah benar-benar kelelahan. Hingga akhirnya, ketika kami sudah sampai di Slanden, bala bantuan datang. Mobil paroki yang dipinjam sebagai mobil rescue menjemput. Kami transit di paroki Promasan tepat pada pukul 00.00 WIB untuk meluruskan kaki dan makan malam. Betapa nikmatnya sego bakar sambal tongkol dan jamur. Semua kami santap dengan lahap sembari bertukar keluh kesah. “Wis bariki lanjut meneh tekan ndhuwur, kurang setengah jam meneh kok iki” ujar Romo Tri, Pr. menggoda kami. Kami hanya tersenyum lesu, tak sanggup membayangkan medan jalanan menuju Sendangsono yang berkelok-kelok naik turun itu.“Rapapa ra kudu mlaku tekan ndhuwur. Wis isa sejauh iki, kalian wis keren banget!” Ya, bukan semata-mata memuaskan ambisi untuk bisa sampai di puncak. Ini soal kebersamaan dengan di puncak. Ini soal kebersamaan dengan teman-teman seperjuangan dan bagaimana kasih Allah hadir secara nyata melalui hal apa saja yang sudah kami alami selama perjalanan. Di tengah kegelapan, di tengah rasa sakit dan lelah, di tengah perjalanan yang tiada ujung Tuhan hadir menemani kami, membersamai perjalanan kami. Betapa bersyukurnya kami mendapat kesempatan berjalan jauh seperti ini. Kami jadi belajar menyadari bahwa Tuhan hadir menguatkan ketika kami merasa lelah dan ingin menyerah. Tuhan juga merasakan betapa perihnya lecet di kaki dan memahami betapa lapar dan hausnya kami. Tuhan memeluk diri kita ketika berada di kegelapan yang mencekam, memberikan “tumpangan” gratis kepada kita untuk sampai di tempat tujuan dengan selamat. Tuhan selalu dekat dengan kita melalui kasih yang kita terima melalui orang-orang di sekitar. Seperti malam ini, bersama dinginnya udara dan gemericik air di pendopo bawah Gua Maria Sendangsono, kami terlelap dengan suasana yang begitu syahdu. Meskipun sekujur badan terasa nyeri dan pegal, hati kami terasa ringan dan penuh oleh cinta kasih Allah. Cinta kasih Allah yang nyata, yang memberikan kekuatan untuk menjadi Orang Muda Katolik yang militan dan memberikan karya nyata pula. Karya-karya yang akan kami lakukan kelak entah di keluarga, Gereja, tempat kerja, di kampus atau sekolah, maupun di lingkungan sekitar di manapun kami berada. Tentu saja semua itu akan kami lakukan dengan kesadaran dan kerendahan hati. Kesadaran bahwa apa pun yang kami lakukan semata-mata demi kemuliaan nama Tuhan yang lebih besar. Amin. Those who carry God in their hearts bear Heaven with them wherever they go.. Ignatius of Loyola Kontributor: Angela Merrici Basilika Rain Restuwardani

Feature

Pelajaran dari Bengkel Realino

Bengkel kayu dan las Realino SPM (Seksi Pengabdian Masyarakat) adalah tempat olah, reparasi, dan membuat karya-karya kayu dan las besi. Ini adalah bagian pelayanan Realino yang beralamat di Jl. Mataram No. 66, Yogyakarta. Bagiku, bengkel kayu tidak hanya tempat atau bangunan semata, melainkan juga mereka yang berkarya di dalamnya, yaitu Mas Eko, Mas Hendro, Todi, Petra, dan terlebih lagi Bruder V. Kirja Utama. Beliaulah yang mendirikan bengkel ini pada tahun 2008. Banyak hal bisa diteladani dari Br. Kirja, terutama semangat kerja, ketekunan, ketelatenan, ketaatan, kerendahan hati, perhatian, kasih sayang, dan kesabarannya. Ada banyak karya yang beliau hasilkan, tempat-tempat yang beliau bangun, orang-orang yang beliau bantu tanpa memandang agama. Waktu pertama kali datang ke bengkel, aku berkenalan dengan Mas Eko, Mas Hendro, dan Petra. Saat itu ada Fr. Evan yang sedang bekerja di bengkel. Aku diarahkan bertanya kepada Bruder Kirja apa yang sekiranya bisa aku bantu. Setelah bertanya kepada Bruder Kirja, beliau menyarankanku melihat-lihat saja dahulu sambil mengamati bagaimana mereka bekerja di bengkel kayu. Mulanya aku mengamati mereka yang sedang membuat kursi, sambil berkenalan lebih lanjut dan bertanya-tanya mengenai alat yang digunakan dan proses yang sedang dikerjakan. Selanjutnya, aku mulai bekerja pada hari Sabtu. Bruder Kirja mengarahkanku untuk menghaluskan kaki kursi dengan gerinda. Itulah pertama kalinya aku mulai bekerja dengan alat yang ada di bengkel. Sering kali aku kelupaan menggunakan masker saat bekerja di bengkel. Padahal saat menghaluskan kayu menggunakan gerinda, banyak serbuk-serbuk kayu beterbangan. Karena kelalaianku tidak menggunakan masker, serbuk bisa masuk mulut atau bahkan terhirup ketika bernapas. Bruder Kirja sering mengingatkanku untuk memakai masker. Menghaluskan kaki kursi dengan gerinda ternyata tidak mudah untuk pertama kalinya. Kalau tidak mengamplas dengan rata, nanti permukaannya menjadi cekung atau ketinggian permukaannya berbeda. Saat bekerja aku ditemani Petra yang awalnya memulai percakapan dengan menanyakan seputar kehidupan kuliahku ataupun alasanku ingin menjadi romo. Petra membantu memberikan arahan kepadaku sewaktu kesusahan menyamaratakan ketinggian permukaan kursi yang sedang kuhaluskan. Percakapan mengalir sambil aku juga menanyakan soal pengalamannya sebelum bekerja di sini dan ketika dia masih duduk di bangku sekolah. Hari Sabtu aku habiskan dengan menghaluskan kaki kursi-kursi sambil bercerita dengan Petra. Suatu hari, ketika sedang makan bersama, Bruder Kirja memberitahuku bahwa beliau akan mengajarkanku membuat kursi dan meja. Harapannya, supaya aku dapat memberikannya untuk keluargaku, sebagai hadiah dari beliau. Sungguh aku sangat senang waktu itu, karena akan diberi hadiah kursi, meja, dan yang terpenting lagi, skill membuatnya. Beliau mengajariku dengan penuh perhatian. Karena faktor usia dan kesehatan, Bruder Kirja kadang harus beristirahat. Namun beliau selalu menyempatkan diri mengajariku yang kerap kali membuat kesalahan karena baru pertama kali belajar membuat kursi dan meja. Aku juga dibantu Bruder Jumeno, Mas Eko, Mas Hendro, dan Petra yang juga berpengalaman dan pekerja keras. Dari situ aku belajar banyak hal, seperti menggunakan bor, klem, mesin serut, gergaji, mesin bobok kayu, dan masih banyak lagi. Tidak hanya itu, aku memperoleh pelajaran sangat berharga tentang bengkel kayu. Aku melihat langsung bengkel kayu dan las besi bisa menjadi sarana menghidupi banyak orang, mengajarkan keterampilan yang berguna untuk bekerja, dan meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan hidup orang banyak. Di kesempatan lain, saat proses pengecatan dan clearing meja yang sedang kubuat, aku diajari Petra membuat salib dari balok kayu. Ivan dan Dimus (anggota asrama) juga membantu bekerja di bengkel kayu ketika selesai sekolah atau saat tidak sekolah. Mereka kadang membuat salib atau karya-karya lain dari kayu. Karya-karya yang dihasilkan bengkel kayu dan las besi ini sangat bagus dan memiliki nilai. Aku sampai insecure ketika melihat hasil meja dan kursi yang kubuat, tapi ya gimana lagi toh namanya juga baru pertama kali belajar. Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan telah diberi kesempatan mencecap pengalaman bekerja di bengkel kayu dan las besi ini. Aku bertemu dan berkenalan dengan orang-orang hebat, pekerja keras, dan terampil yang bekerja di sini, seperti Bruder Kirja, Bruder Jum, Mas Eko, Mas Hendro, Petra, dan Todi. Aku berharap semoga bengkel kayu dan las besi ini bisa terus hidup, berkembang, dan merengkuh lebih banyak orang terutama mereka yang lemah, miskin, tersingkir. Dengan demikian, mereka bisa memiliki keterampilan yang berguna bagi hidup mereka dan masyarakat. Sesuai semangat pendiri bengkel, Bruder Kirja, semoga bengkel ini bisa menjadi sarana untuk lebih memanusiakan manusia yang terampil, mandiri, dan siap bekerja. Ad maiorem Dei gloriam! Kontributor: Albert Hosea Santoso, nS.J.

Karya Pendidikan

Amor in Diversitate 

Keberagaman Indonesia Berkunjung ke pondok pesantren Roudhotus Sholihin adalah pengalaman pertama bagi kami KKL (Keluarga Kolese Loyola, sebutan untuk siswa/siswi Loyola) dalam melihat konteks keberagaman yang ada di Indonesia. Kami dapat melihat secara personal bagaimana kebiasaan dan kebudayaan yang terbangun di luar realitas yang dihadapi di komunitas Loyola. Dalam kunjungan ini ada 15 orang KKL yang didampingi oleh Pater Martinus Juprianto Bulu Toding., S.J., Bapak Antonius Novianto, dan Ibu Wening Putri Pertiwi. Kami juga mendapatkan bantuan dari Fr. Wahyu Mega S.J. dalam berkomunikasi dan berdiskusi dengan pihak pondok pesantren. Kunjungan ini semakin istimewa karena menjadi salah satu rangkaian dalam pendistribusian Gerakan Seratus Perak III. Gerakan ini merupakan upaya dari Dewan Keluarga Kolese Loyola (DKKL) dalam mewujudkan semangat berbela rasa dan compassion bagi masyarakat. Kegiatan ini memang masih baru dalam komunitas kami, sehingga masih ditemui banyak rintangan dalam mewujudkannya, baik dalam lingkup internal maupun eksternal. Namun secara perlahan kami mencoba membantu dengan menggalang donasi dalam rentang waktu yang ada. Situasi Komunitas Loyola saat ini sudah semakin majemuk dan heterogen dibanding situasi sebelumnya. Beberapa upaya telah dilakukan untuk memberikan hak yang sama kepada setiap KKL. Kami sadar bahwa setiap suku, budaya, dan kepercayaan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang telah menjadi salah satu fokus yang terus diperjuangkan. Meskipun dalam praktiknya masih banyak evaluasi dan masukan yang diperlukan untuk pengembangan hal tersebut, namun usaha untuk terlibat dalam dialog antaragama menjadi momen penting dalam mempererat kebhinekaan. Sungguh dalam kunjungan kali ini kami kembali disadarkan bagaimana memaknai keberagaman ini. Keberagaman bukan tentang mayoritas dan minoritas, tetapi tentang mencipta rasa dan makna. Apa yang diajarkan dalam setiap perbedaan pada dasarnya adalah sama, tetapi berbeda dari segi pengaplikasiannya. Kami sebagai Komunitas Ignatian menyadari tentang sikap lepas bebas, sebuah sikap di mana kita memiliki kebebasan dalam memilih keputusan atas diri kita namun memiliki tanggung jawab moral untuk memilih apa yang sesuai dengan kehendak-Nya. Hal serupa secara praktis diterapkan di Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin yang hadir di tengah-tengah pemukiman masyarakat. Kehadiran di tengah masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi para santri untuk memilih dan menimbang (discretio) bagaimana harus bersikap di tengah masyarakat. Sebagai manusia yang utuh bersama dengan perbedaan yang ada, kita harus saling merangkul dan memahami untuk menciptakan toleransi, saling menghargai dan kolaborasi dalam memajukan kehidupan bersama. Salah satunya melalui sarana dialog bersama. Dialog ini bertujuan untuk mengasah wiraga, wirama, wirasa, dan wirupa dalam setiap orang yang masih mencintai Tuhan serta tanah airnya. Pada kunjungan ini pula kami disambut dengan sedemikian hangatnya sebagai satu keluarga hingga diundang ikut serta dalam Mauludan. Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin adalah salah satu pioner pendidikan dalam menciptakan pribadi yang religius, beradab, dan berintelektual. Visi inklusivisme juga terwujud dari kesempatan yang diberikan Gus Abdul Kodir, pimpinan pondok pesantren, kepada kami saat berkunjung dan menerima para frater-frater Jesuit yang sedang menjalani Tahap Orientasi Kerasulan. Selain itu kami juga menemukan sesuatu yang berbeda di pondok pesantren ini, sebuah keberhasilan pendidikan karakter yang sangat baik. Generasi muda perlu terus menerus mendapat bimbingan untuk menjadi generasi masa depan yang humanis. Metode pembelajaran ini menjadi sebuah masukan yang berharga bagi kami di Komunitas Loyola dalam membimbing KKL. Kami berharap dengan kunjungan ini terbangun kesadaran dan relasi kolaborasi antara SMA Kolese Loyola dan Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin dalam pengembangan para siswanya. Bersama-sama mencetak pribadi yang kompeten dan memiliki hati nurani untuk membangun bangsa ini. Kami, Komunitas Loyola, akan terus membangun diri menjadi komunitas yang sungguh mewujudkan men and women for others tanpa melihat perbedaan yang ada. Komitmen untuk saling menghormati dan upaya-upaya kolaboratif menjadi potensi yang sangat berpengaruh dalam menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia. Ad Maiorem Dei Gloriam.  Kontributor: Michael Bryan Ardhitama – KKL Angkatan 72 SMA Kolese Loyola

Pelayanan Gereja

Global Peace Youth Indonesia – Semarang di Gereja St. Yusup Gedangan

Global Peace Youth Indonesia Semarang (GPYI Semarang) adalah kegiatan berkumpulnya pemuda dan pemudi lintas iman untuk bersilaturahmi, mengenal, dan memahami sesuatu hal di luar komunitasnya seperti agama, suku, budaya, dan rumah ibadah. GPYI – Semarang secara umum memiliki tiga nilai yang nantinya akan diimplementasikan dalam setiap kegiatan. Nilai-nilai tersebut adalah kolaborasi lintas agama, penguatan kekeluargaan, dan budaya melayani. GPYI Semarang menamakan kegiatan ini dengan sebutan Peace Project. Peace Project akan dilakukan secara berkesinambungan di berbagai tempat. Gereja St. Yusup Gedangan menjadi tempat pertama yang dipilih oleh GPYI Semarang untuk melaksanakan kegiatan tersebut. GPYI Semarang ingin bersilaturahmi dan mengenal Gereja Katolik pertama di Keuskupan Agung Semarang. Para peserta Peace Project hadir dari bermacam komunitas, antara lain GPYI Semarang, SMA Kolese Loyola, Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin, dan Misdinar St. Yusup, Gedangan. Total peserta berjumlah 48 orang. Para peserta didominasi para pelajar SMA dan mahasiswa. Namun ada juga beberapa peserta yang masih duduk di bangku SMP dan yang sudah bekerja. Peace project yang dilaksanakan pada Sabtu, 23 September 2023, dikemas secara menyenangkan, hangat, dan penuh semangat kekeluargaan. Peace project diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya lalu sambutan oleh Pastor Kepala Gereja Santo Yusup, Gedangan, Pater Benedictus Cahyo Christanto, S.J. Pater Cahyo sangat mendukung diadakannya kegiatan ini. “Melalui Peace Project kaum muda akan belajar mengembangkan toleransi dan menjalin persaudaraan dengan sesama manusia,” ujarnya. Jingga dari misdinar St. Yusup, Gedangan dan Sri dari GPYI Semarang memandu acara dengan sangat baik. Mereka memberikan aneka games menarik yang membuat peserta tertawa, bersemangat, dan saling mengenal satu dengan lainnya. Para pemandu acara ini mampu membuat acara semakin hidup dan meriah dan tentu saja, hal ini sudah menjadi bentuk nyata dialog lintas iman. Acara inti Peace Project adalah mengenal sejarah singkat Gereja St. Yusup, Gedangan. Frater Wahyu Mega, S.J. memaparkan secara singkat sejarah Gereja St. Yusup, Gedangan. Setelah presentasi selesai lalu diadakan tanya jawab. Sejarah Gereja Gedangan ternyata menarik perhatian peserta. Ketertarikan mereka ditandai dengan banyaknya peserta yang bertanya mengenai Gereja Gedangan dan seputar kekatolikan. Sesi tanya jawab menjadi sesi yang sangat penting karena peserta di luar agama Katolik dapat mengenal katolisisme secara lebih dekat. Para peserta juga diajak masuk ke dalam gereja dan melakukan tour. Ternyata masuk ke dalam gereja menjadi sesuatu yang wow banget bagi peserta. Mereka dapat melihat secara langsung dan berfoto dengan benda-benda antik misalnya organ pipa dan batu nisan Mgr. Lijnen. Namun ada juga peserta yang belum pernah masuk Gereja Katolik manapun dan Gereja St. Yusup, Gedangan menjadi gereja perdana yang mereka kunjungi. Setelah tour gereja, acara dilanjutkan dengan makan siang bersama yang dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas maksimal enam peserta. Mereka makan sambil memberikan kesan dan pesan di dalam kelompok. Yoga, koordinator GPYI Semarang mengungkapkan rasa senangnya karena bisa melaksanakan Peace Project pertama di gereja tertua di Jawa Tengah. “Banyak sekali hal yang saya peroleh ketika berkunjung ke tempat ini, mulai dari sejarah, arsitektur, ilmu, jejaring, pengalaman, dan sebagainya. Saya berharap, ke depan Gereja St. Yusup, Gedangan bisa menjadi salah satu pelopor perdamaian dan toleransi di Jawa Tengah. Gereja St. Yusup, Gedangan dengan sejarahnya yang menarik sangat cocok menjadi tempat generasi muda lintas iman untuk srawung (bersosialisasi) dan saling mengenal,” tegasnya. Peace Project ditutup dengan doa lintas agama kaum muda. Kaum muda dari Katolik, Kristen, Islam, Budha, Konghucu, dan aliran kepercayaan Kabudayaan Jawi Tunggul Sabda Jati berdoa bersama untuk perdamaian dan persaudaraan bagi sesama. Mereka merupakan generasi penerus toleransi dan perdamaian bagi agamanya masing-masing dan negaranya. Mereka akan menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk menyebarkan cinta kepada sesama tanpa perlu membeda-bedakan latar belakang agamanya. Jalaluddin Rumi, mistikus sufisme abad XIII dari Iran, mengatakan bahwa cintalah yang mengubah pahit menjadi manis, tanah menjadi biji emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, dan penjara menjadi taman. Cinta pula yang melunakkan besi dan menghancurkan batu, yang menghidupkan, dan menggairahkan kehidupan. Kontributor: S. Yohanes Crissostomus Wahyu Mega, S.J. – Gereja St. Yusup, Gedangan

Pelayanan Masyarakat

Menjadi Manusia Ekologis dan Mapan

Ulang Tahun KPTT ke-58 Pada 1 September 2023 kemarin, Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga berusia genap 58 tahun. Perayaan HUT KPTT Salatiga tahun ini mengangkat tema “Menjadi Manusia Ekologis dan Mapan.” Serangkaian acara dilaksanakan untuk memeriahkan ulang tahun KPTT ini, mulai dari diskusi bertema lingkungan dengan para pegiat lingkungan di Salatiga dan dinas terkait, seminar untuk meningkatkan kompetensi karyawan, perayaan syukur, edufair, jobfair, dan eco camp untuk kaum muda. Perayaan syukur ulang tahun KPTT dilaksanakan pada 2 September 2023. Hadir dalam acara tersebut antara lain Bapak Drs. Sinoeng Noegroho Rachmadi, M.M. (Pj. Walikota Salatiga), Bapak Dance Ishak Palit, M.Si. (Ketua DPRD Kota Salatiga), perwakilan Jesuit Provinsi Indonesia, Forkompincam, para pegiat lingkungan Salatiga, sekolah, universitas rekanan, perusahaan rekanan, dan para tamu undangan. Dalam sambutannya, Ketua DPRD mengapresiasi peran KPTT di Salatiga pada khususnya selama 58 tahun ini. “Saya mengapresiasi sumbangsih KPTT terhadap masyarakat tentang cara bertani dengan cerdas, dengan teknologi. Sudah banyak hal yang sudah dikerjakan oleh KPTT, bukan hanya khotbah. Semoga dengan adanya KPTT kita lebih menghayati kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita”, ungkap Pak Dance. Penjabat Walikota Salatiga, Drs. Sinoeng Noegroho Rachmadi, M.M. juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas kontribusi KPTT yang tiada henti dan ternyata menembus batas. “Tidak lagi pada sekat-sekat yang sifatnya eksklusif, tapi pada menghidupi kata migunani. Kalau kata anak millennial, tidak peduli dari mana kamu berasal, yang penting ke arah mana kamu menuju. Harapannya jangan pernah berhenti menyebarkan virus kebaikan dan migunani ini,” ujar beliau. Sejenak kilas balik, berdirinya KPTT Salatiga diprakarsai oleh Ikatan Petani Pancasila (badan sosial), IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (lembaga Pendidikan), dan Panitia Waligereja Indonesia (badan sosial keagamaan). KPTT Salatiga didirikan pada 1 September 1965 dan bernaung di bawah Yayasan Taman Tani. Tujuan awal berdirinya KPTT adalah memajukan perkembangan sosio-ekonomi khususnya di bidang agraria dengan menyelenggarakan kursus pertanian untuk membantu para petani dengan cara baru serta menjadikan petani-petani tersebut menjadi kader yang kompeten, mandiri, peduli, dan berhati nurani. Sampai saat ini, KPTT Salatiga menjadi salah satu rujukan untuk belajar modern farming, tidak hanya di bidang pertanian namun juga peternakan. KPTT menerapkan budidaya organik dan kembali ke alam. Salah satu contoh penerapannya adalah KPTT membuat sendiri dan menggunakan pupuk yang diperkaya dengan trichoderma untuk mengatasi bencana fusarium yang melanda tanaman-tanaman di KPTT. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Yayasan Taman Tani, Pater Petrus Sunu Hardiyanta, S.J. dalam sambutannya. Kala tahun 2017, KPTT dibuat pusing karena bencana fusarium ini. Pisang dibelah, dalamnya hitam. Bahkan jika membelah pohon pisang yang terkena fusarium, maka akan kita temukan bagian dalam batang yang juga menghitam. Lalu KPTT mencoba mencari teknologi tepat guna untuk melawan bencana fusarium ini. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa fusarium bisa dilawan dengan jamur juga, yakni trichoderma. Sejak saat itu, KPTT mulai belajar mengekstrak jamur trichoderma dari bahan alami kemudian ditambahkan ke dalam pupuk untuk merawat tanaman. KPTT terus belajar dan beradaptasi dengan tuntutan zaman. Direktur KPTT, Pater F.A. Sugiarta, S.J., mengajak kita semua untuk mendengar dan menanggapi seruan ciptaan. Sesuai dengan ajakan pemerintah Indonesia menuju Indonesia Maju 2045, saat ini KPTT sedang merancang profil manusia ekologis untuk mengembangkan sumber daya manusia Indonesia. Sesuai dengan tema ulang tahun saat ini, KPTT mengajak kita untuk menjadi manusia ekologis. Apa itu manusia ekologis? Manusia ekologis adalah manusia yang mempunyai hubungan harmonis dengan Tuhan, lingkungan alam, dan sesama. Diharapkan KPTT bisa menjadi salah satu pusat pendidikan ekologis, secara khusus di Salatiga dan Indonesia pada umumnya. Semoga Tuhan memberkati niat baik ini. Kontributor: Rosalia Devi – Boemi Svarga

Feature

Antara Kesetiaan dan Harapan

Menemani Orang Muda Thailand Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan bertemu dengan para misionaris Indonesia yang berkarya di Thailand. Regio Dependen Thailand merupakan bagian dari Serikat Jesus Provinsi Indonesia. Dua nostri Indonesia yang pertama kali dikirim ke Thailand yaitu Pater Macarius Maharsono Probho, S.J. dan seorang skolastik lain ketika mereka masih dalam formasi TOK (Tahap Orientasi Kerasulan) pada tahun 1985. Hal ini dilakukan karena jumlah SDM di Thailand masih sedikit. Ada dua nostri Indonesia yang hingga saat ini masih berkarya di Thailand, yaitu Pater Beda Yassao, S.J. dan Pater Yohanes Sigit Setyo Wibowo, S.J. Pater Beda Yassao, S.J. atau biasa dipanggil Pater Beda sudah berkarya sejak tahun 2000 dan saat ini tinggal di The Seven Fountains Retreat House, Chiang Mai sebagai pembimbing retret. Sebelumnya, selama sembilan tahun Pater Beda bertugas sebagai Pastor Mahasiswa dan Pastor Pembantu sebuah paroki di Provinsi Chon Buri, Thailand. Pater Yohanes Sigit Setyo Wibowo, S.J. atau biasa dipanggil Pater Bowo, sudah berkarya di Thailand semenjak ia masih sebagai skolastik/frater TOK (Tahap Orientasi Kerasulan) tahun 2007 hingga sekarang sebagai Socius Regional Superior Thailand. Saat ini ia tinggal di Xavier Hall Jesuit Residence. Ia juga bertugas sebagai Direktur Christian Ministry, Jesuit Social Services (JESS), dan anggota tim Safeguarding sambil menyelesaikan studi doktoral bidang Filsafat dan Agama di Assumption University, Bangkok. Umat Katolik di Thailand merupakan minoritas. Hanya terdapat kurang lebih 300.000 orang dari 75 juta penduduk dan dengan jumlah stagnan. Mengapa demikian? Penduduk di sana masih menganggap agama Katolik sebagai ibu tiri karena berasal dari penjajah Eropa dan agama Buddha merupakan agama ibu. Selain itu, ada tradisi di sana bahwa jika kakek atau nenek meninggal maka cucu laki-lakinya diminta menjadi biksu sementara selama 3-4 hari. Apabila cucu laki-lakinya sudah dibaptis maka tidak bisa lagi melakukan tradisi ini. Dengan kata lain, menjadi katolik memerlukan keberanian untuk “keluar” dari tradisi yang ada. Pendidikan atau sekolah Katolik di Thailand begitu diakui dan terkenal, bahkan sering menjadi incaran untuk mengenyam pendidikan yang baik. Pater Beda dan Pater Bowo mendampingi para mahasiswa Katolik yang tersebar di 150 kampus Thailand. Ternyata mendampingi mahasiswa Katolik di sana bukan hal yang mudah karena biasanya mereka sudah merasa jenuh dengan kegiatan keagamaan yang sedari SMP/SMA Katolik diwajibkan. Pater Beda dan Pater Bowo pun memahami bagaimana kondisi mahasiswa yang sudah jenuh oleh beragam kegiatan Katolik dan diperlukan usaha lebih untuk menarik minat para mahasiswa. Pantang menyerah. Kegiatan-kegiatan yang tidak melulu liturgis namun juga sosial (work camp, live in) dan spiritualitas terus diusahakan. Uniknya, tidak hanya mahasiswa Katolik, namun juga para mahasiswa beragama Buddha dan Islam yang tertarik dengan aneka kegiatan yang diadakan dalam perkumpulan mahasiswa Katolik ini. Karakter orang muda di Thailand sangat berbeda dengan di Indonesia. Para mahasiswa Thailand sangat bergantung dengan orang yang mereka kenal. Ketika ada kegiatan, biasanya mereka bukan tertarik karena kegiatannya itu sendiri namun lebih kepada siapa saja teman-teman yang ikut bergabung. Oleh karena itu, pendekatan personal dan relasi (jejaring) menjadi kunci untuk menarik mereka mengikuti kegiatan-kegiatan ini. Selain itu, jaringan para pastor paroki juga menjadi kunci karena para mahasiswa ini juga masih menjadi bagian dari orang muda katolik di paroki tertentu. Di balik semua tantangan yang dihadapi, Pater Beda merasa senang bisa menemani para mahasiswa karena dapat memotivasi dan melibatkan mereka dalam proses pendampingan. Para mahasiswa diajak untuk memikirkan pengalaman apa yang sebenarnya mereka butuhkan, salah satunya ketika akan live in. Mereka memilih, yang merupakan ide mereka sendiri, untuk melakukan live in di tempat yang minim listrik dan sinyal. Pater Beda memberikan ruang kebebasan untuk berekspresi dan mengungkapkan ide sambil mengajak mereka mempertanggungjawabkan pilihan yang telah ditetapkan. Hal yang kurang lebih sama diungkapkan oleh Pater Bowo ketika menemani orang muda. Bekerja dengan orang muda membuatnya semakin aktif dan kreatif dalam memenuhi apa yang mereka inginkan walaupun butuh tenaga ekstra. Para mahasiswa diajak untuk mengalami perjumpaan dengan orang miskin, misalnya melalui work camp. Kegiatan ini dilaksanakan di pedesaan. Setiap mahasiswa diajak untuk membantu masyarakat di desa itu, misalnya dengan memperbaiki rumah penduduk atau bekerja di ladang. Pengalaman perjumpaan ini penting agar mereka bisa lebih memahami tujuan menjadi men or women for others. Di Thailand saat ini banyak orang muda yang mengalami depresi karena berbagai faktor. Banyak mahasiswa bunuh diri dan dosen mengalami depresi. Pendampingan mahasiswa dengan aneka kegiatan yang diselenggarakan ini adalah upaya untuk menemani mereka dalam masa kering atau desolasi. Bagi Pater Beda dan Pater Bowo, menemani orang muda adalah menemani mereka yang bersemangat muda untuk mampu menentukan identitas dirinya sendiri sehingga kelak mereka dapat berdiri sendiri dengan kreativitasnya dan mampu menjadi men or women for others. Kontributor: Margareta Revita – Tim Komunikator

Penjelajahan dengan Orang Muda

Maria Bangun dan Bergegas Pergi

Ajakan Sosial Paus Fransiskus bagi Orang Muda Tema WYD (World Youth Day) Lisbon 2023 adalah “Maria bangun dan bergegas pergi” (Lukas 1:39). Tema ini memberikan misi kepada kaum muda dengan mengatakan bahwa sekaranglah waktunya untuk bermimpi dan bekerja demi dunia baru seperti yang dilakukan Maria. Namun bagaimana kita dapat meniru Maria dewasa ini? Orang muda harus berusaha menjadi seperti Maria – orang yang mendengarkan Sabda Allah dan berdiri serta bergegas – bukannya menjadi orang yang tetap duduk di sofa atau melihat sesuatu dari balkon atau jendela. Masa kepausan Paus Fransiskus telah menyajikan beberapa topik yang dekat di hati kaum muda. Tema-tema itu menunjuk pada cara-cara praktis yang konkret bagi kita untuk membangun Gereja yang misioner dalam citra Maria dengan kaum muda bangkit, yaitu ekologi integral (Laudato Si), persahabatan sosial dan persekutuan universal (Fratelli Tutti), dan belas kasih (Misericordia et misera). Tujuan utama dari pembahasan Laudato Si ini adalah untuk mengeksplorasi tema umum WYD dan memperkenalkan generasi muda pada pengalaman dikasihi dan dipanggil oleh Tuhan seperti Maria. Pengalaman ini mendorong orang muda untuk melangkah lebih jauh dan mendekati orang lain, serta berdamai dengan Tuhan, dengan saudara-saudari kita, dan semua ciptaan. Pembahasan mengenai Persahabatan Sosial bertujuan untuk menunjukkan kepada kaum muda cara-cara spesifik untuk mengikuti Yesus dan meniru Maria dan dengan demikian memberikan substansi pada jawaban “ya” mereka. Kaum muda merasa diundang untuk berpartisipasi dalam impian Tuhan bagi umat manusia dan secara aktif berkontribusi dalam mengubah realitas. Kaum muda dan uskup memberikan kesaksian tentang tindakan nyata yang telah dilaksanakan, untuk menunjukkan kepada kaum muda lainnya bahwa komitmen praktis memang mungkin dan pantas dilakukan. Pada WYD ini orang muda juga diperkenalkan dengan pentingnya keheningan dan kontemplasi. Mereka akan didorong untuk mendekat dan menjadi sahabat Yesus, yang disalibkan dan bangkit kembali. Dalam perjumpaan dengan Bapa yang penuh belas kasihan ini, generasi muda akan diajak untuk menelaah kembali perjalanan hidup mereka sambil menghabiskan waktu dalam adorasi, dialog pribadi dan rekonsiliasi dengan Tuhan. Orang Muda juga diajak dekat dengan Bunda Maria dalam WYD kali ini. Kesiapan Maria untuk bangkit dan bergegas menemui Elisabeth (lih. Luk 1:39) merupakan sebuah undangan bagi kaum muda untuk meniru dia sebagai tokoh utama yang aktif dalam “Gereja yang Misioner.” Dinamisme perjalanan Maria menyoroti simbol rumah yang ditinggalkan Maria di Nazaret dan rumah di mana ia tiba, yaitu rumah Elisabeth dan Zakharia. Gagasan tentang sebuah rumah menunjukkan adanya hubungan dengan Rumah Kita Bersama, yang diberikan oleh Tuhan kepada semua orang sebagai tempat tinggal (Ekologi Integral); dimensi relasional, di mana persaudaraan dan kegembiraan hidup dalam persekutuan dipelajari (Persahabatan Sosial); Rumah Bapa, tempat belas kasihan, tempat kita berasal dan ke mana kita akan kembali, berkali-kali seperti anak yang hilang sehingga kehidupan dan kegembiraan dapat ditemukan kembali dan diciptakan kembali (rahmat). Kontributor: P Alexander Koko Siswijayanto, S.J.