Pilgrims of Christ’s Mission

Magis Indonesia

Penjelajahan dengan Orang Muda

Ite Inflammate Omnia!

Rekoleksi Missioning Magis Jakarta 2023-2024 ‘Pergilah dan kobarkanlah seluruh dunia!’ Demikian pesan St. Ignatius Loyola sebelum mengutus sahabatnya, St. Fransiskus Xaverius, untuk menyebarkan Injil ke seluruh penjuru dunia. Ignatius ingin agar Xaverius tidak lupa akan semangat Injil yang mengubah dan mengobarkan hati mereka sebagaimana dua murid Emaus yang berkobar-kobar setelah mereka melek Kitab Suci kala berbincang-bincang dengan Yesus dalam perjalanan (bdk. Luk 24: 13-35). Api semangat yang mereka rasakan itu perlu diwartakan juga kepada yang lain supaya dunia semakin berkobar. Pesan yang sama rupanya ingin dimaknai oleh teman-teman Magis Jakarta untuk menutup rangkaian program Formasi tahun 2023 melalui kegiatan Missioning. Missioning berasal dari akar kata mittere, bahasa Latin, yang berarti mengirim atau mengutus. Kata tersebut kemudian ditafsirkan menjadi missio, yang dalam konteks teologi berarti tugas atau perutusan. Setelah berformasi dan ‘kembali’ pada perutusannya masing-masing, teman-teman Magis Jakarta diharapkan semakin mampu mengobarkan api cinta Allah kepada lingkungan di sekitarnya. Harapannya, terciptalah suatu dunia yang lebih baik dan teman-teman Magis menjadi sebagai salah satu frontliner-nya.    Dari Membangun Disposisi menuju Pembaharuan Hidup Rangkaian kegiatan Missioning Formasi Magis Jakarta 2023 mengambil tempat di Civita Youth Camp, Keuskupan Agung Jakarta. Selama kurang lebih 3 hari 2 malam, teman-teman Formandi dan Pengurus Magis Jakarta 2023 diajak untuk menemukan jejak kasih Allah dan menemukan wajah-Nya melalui pengalaman berformasi selama kurang lebih 9 bulan. Missioning sendiri terdiri dari beberapa sesi yang membantu teman-teman Formandi dan Pengurus Magis Jakarta 2023 mengkristalkan pengalaman formasinya. Sebelum memulai berbagai sesi, Fr. Albertus Alfian Ferry Setiawan, S.J. (Pendamping Magis Jakarta 2023) mengajukan pertanyaan reflektif, “Bagaimana disposisi batinmu sekarang dan rahmat apa yang kamu mohonkan dalam Missioning ini?” Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang penting sebab proses kristalisasi itu tidak dapat berjalan dengan baik dan bermakna kala disposisi batin tidak mendukung. Memang tidak semua dari teman-teman peserta Missioning memiliki disposisi batin yang siap untuk mengikuti kegiatan ini. Ada yang kurang bersemangat. Ada juga yang bertanya-tanya untuk apa. Ada yang setengah hati. Namun, mereka semua mencoba untuk berkomitmen, membangun disposisi untuk ikut masuk ke dalam rangkaian penutup Formasi Magis Jakarta 2023 ini.     Berbagai materi dipaparkan dalam sesi-sesi Missioning untuk membantu teman-teman peserta mengkristalkan pengalaman mereka. Sesi-sesi tersebut antara lain: Collecting Rainbows yang dibawakan oleh Sanita Ayu Burhan (Magis Jakarta 2016), Pendalaman Hidup & Karya Kristus oleh Luisa Catherine (Magis Jakarta 2019), Correctio Fraterna & Reformatio Vitae (Pembaruan Hidup) oleh Pater Alexander Koko Siswijayanto, S.J. (Moderator Magis Indonesia), Contemplatio Ad Amorem yang dibawakan oleh Pater Alexander Koko Siswijayanto, S.J. (Moderator Magis Indonesia), dan ditutup dengan sesi sharing alumni bersama Monica Wibowo (Magis Jakarta 2008), Claudia Rosari Dewi (Magis Yogyakarta 2016), Fr. Ferry, serta dimoderatori Fransiscus Xaverius Siahaan (Magis Jakarta 2015). Di samping berbagai sesi ini, terdapat juga kesempatan untuk melakukan percakapan rohani bersama sahabat rohani (saroh), sharing circle, dan emaus untuk memperkaya proses pendalaman buah-buah pengalaman formasi yang sudah dijalani.   Sesi Collecting Rainbows menjadi saat di mana teman-teman Formandi dan Pengurus Magis Jakarta 2023 diajak untuk melihat buah-buah rahmat formasi yang sudah dijalani. Kegiatan dilanjutkan dengan sesi pendalaman Hidup & Karya Kristus. Pendalaman Hidup & Karya Kristus menjadi hal yang penting sebab Kristus, Sang Pokok Anggur itulah junjungan umat Kristiani. Buah-buah rahmat itu datang karena kemurahan-Nya juga. Maka, untuk dapat membagikan buah-buah rahmat, menjadi garam dan terang bagi orang-orang di sekitar, teman-teman peserta diajak untuk mendalami lagi Kristus, Sang Pokok Anggur. Sesi Correctio Fraterna & Reformatio Vitae juga menjadi salah satu titik penting dalam momen Missioning. Bersama-sama teman seperjalanan dalam terang Roh Kudus, masing-masing menyampaikan apa yang sudah baik dan apa yang masih bisa dikembangkan satu sama lain. Ini menjadi dasar untuk menuliskan Reformatio Vitae, perubahan hidup yang ingin dicapai sebagai salah satu proses on going formation dalam hidup.    Setelah mengumpulkan berbagai rahmat, mendalami Hidup & Karya Kristus, bersama-sama dalam terang Roh Kudus melakukan koreksi diri dan menentukan arah perubahan diri, teman-teman peserta diajak untuk mengkontemplasikan bagaimana cara berbagi kasih yang sudah didapatkan melalui Contemplatio Ad Amorem. Bahwa rahmat dan kasih yang sudah dicecap dan dikristalkan dalam Missioning ini tidak bisa hanya disimpan untuk diri sendiri. Rahmat dan kasih itu perlu dibagikan kepada sesama sehingga berbuah lebih banyak lagi dan Kristus sungguh-sungguh semakin dirasakan kehadiran-Nya melalui teman-teman peserta yang adalah alter Christus, Kristus yang lain. Dengan demikian, pembaharuan hidup merupakan kunci dalam perjalanan teman-teman Magis Jakarta selanjutnya. Untuk semakin memantapkan dan menginspirasi perjalanan panjang proses melatih Spiritualitas Ignasian ini, tidak lupa ada sharing dari teman-teman alumni dan frater. Harapannya, teman-teman peserta terinspirasi untuk dapat berbagi cinta dan rahmat yang sudah dimiliki dalam konteks dan cara masing-masing.     Rekoleksi Missioning juga menjadi kesempatan untuk melakukan regenerasi pengurus Magis lama ke pengurus Magis baru. Berjalanannya formasi Magis selama setahun tentu tak terlepas dari peran-serta para pengurus yang turut belajar mengobarkan apinya dalam proses formasi mereka masing-masing. Pada umumnya para pengurus terdiri dari lintas angkatan formasi. Kepengurusan Magis tahun 2023-2024 yang dinahkodai oleh Hana Putra Wicesa dan Yuyun Dewi Cendana diteruskan oleh Antonius Eko Sunardi dan Editha Mei Indah Banjarnahor sebagai ketua dan wakil ketua pengurus Magis Jakarta tahun 2024-2025. “Nuansa kebersamaan di tengah hujan dalam misa ini merupakan sebuah tanda bahwa Magis tetap bisa terus kompak untuk melangkah ke depan,” ujar Pater Koko, moderator Magis Jakarta. Memang pada saat itu, di tengah-tengah misa, tiba-tiba turun hujan dan membuat seluruh peserta Missioning ini merapat dalam kebersamaan di depan altar Amphitheater Civita Youth Camp.    Kembali ke Hidup Sehari-Hari Missioning diibaratkan sebagai “puncak gunung” dalam perjalanan formasi Magis. Semua peserta pada akhirnya harus kembali ke hidup sehari-hari setelah berformasi. Tak dipungkiri bahwa perjalanan berformasi tidak melulu indah dan menyenangkan. Ada kalanya jatuh dan tersungkur karena jalan yang terjal berbatu-batu. Ada kalanya merasa hilang semangat, bahkan kehilangan arah. Namun kemudian rahmat Tuhan hadir lewat teman-teman seperjalanan yang mendorong dan menolong untuk bangkit kembali. Hadir sebagai sahabat untuk satu sama lain merupakan bagian dari aspek companionship atau persahabatan yang menjadi salah satu pilar Magis. Dalam Missioning, aspek companionship yang telah dibangun dalam circle atau kelompok sharing sejak awal formasi ini kemudian dipadukan dengan aspek spiritualitas. Kedua aspek tersebut memungkinkan para formandi dan pengurus untuk memaknai proses

Penjelajahan dengan Orang Muda

Saling Bersinergi untuk Menemukan yang “Magis” dalam Sebuah Keterbatasan

Ignatian exercise is becoming aware in growing inner freedom of God’s personal design or plan for me.” The Personal Vocation – Herbert Alphonso, S.J. Masih melekat di ingatan kami saat itu, sesi pembekalan terakhir di Kolese Hermanum Unit Johar Baru. Kami dibekali materi panggilan raja, meditasi dua panji, dan tiga golongan orang. Selama berdinamika dalam Formasi Magis 2023, kami menerima banyak bekal berupa latihan doa dasar, meditasi, eksamen maupun doa praktis yang membantu sampai pada perubahan, mengalami konsolasi, dan cinta pada Allah. Melalui Immersion Experiment inilah kami diajak menemukan yang “magis” sebagai sarana mencapai tujuan. Tema To Serve as You Deserve, kami maknai sebagai cara melibatkan diri seutuhnya dalam menjalankan peran sebagai manusia sebagaimana penjelmaan Allah untuk kami. Sebelum memulai segala sesuatu, kami mohonkan rahmat jiwa besar dan hati rela untuk bisa masuk ke dalam MAGIS Immersion Experiment dengan sungguh. Saat itu, secara personal kami memohon rahmat untuk bisa lepas bebas dan tidak terpaku dengan kegelisahan kami sendiri. Memohon rahmat supaya terus menyadari dan percaya bahwa Tuhan akan selalu menuntun langkah dan memegang tangan kami selama berdinamika di Lovely Hands Gardens, Sunter, Jakarta Utara.   Komunitas tempat kami immersion bernama Lovely Hands Gardens. Komunitas ini awalnya didirikan atas inisiatif Ibu Maria Lanneke Alexander bersama suaminya. Mereka terpanggil untuk memberikan pelayanan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, terutama dari keluarga yang kurang mampu. Lovely Hands Gardens melayani tanpa memandang latar belakang agama meskipun berada di tempat yang identik dengan agama Katolik. Tak hanya menangani berbagai kondisi disabilitas, Lovely Hands Gardens juga merupakan ruang untuk belajar dan terapi. Di Lovely Hands Gardens ini para guru, pendamping, dan orang tua saling bersinergi untuk mengupayakan dan mengusahakan yang terbaik bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Di Lovely Hands Gardens, latihan kemandirian diutamakan. Anak-anak diajarkan untuk setara dan berdaya dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti menanam, menyiram, memanen, memasak, membuat kompos, & air lindi. Bu Lanneke mengungkapkan bahwa anak-anak diajarkan untuk bisa menemukan jati diri dan tidak hanya mengandalkan belas kasih. Sebagaimana anak-anak dipersiapkan untuk mampu hidup mandiri dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat, anak-anak sangat ditekankan untuk disiplin dan tidak diperkenankan untuk mendahului antrian karena kondisi fisik atau keterbatasan lainnya. Anak-anak juga diminta untuk bertanggung jawab dengan apa yang mereka lakukan. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah untuk memandang mereka setara, bersikap normal seperti layaknya bertemu anak-anak, memperlakukan seperti biasa dan tidak terlalu berlebihan.     Tibalah hari itu. Hujan cukup lama tak berhenti dari pagi hingga menjelang siang. Kondisi ini tak menghentikan semangat agere contra kami untuk melawan kelekatan dengan perasaan aman dan nyaman berdiam di rumah. Bersamaan dengan harapan dan intensi baik, ternyata kami masih membawa kebingungan masing-masing. Muncul pertanyaan bagaimana memposisikan diri agar bisa masuk ke dalam dunia mereka dan membuat mereka nyaman atas kehadiran kami. Pertanyaan ini pada akhirnya secara tak sadar menghantar pada suatu permenungan singkat, bahwa ternyata hal yang lebih krusial sedang terjadi dalam diri kami. Ya, moment dimana kami dihadapkan dengan diri kami sendiri dan keraguan yang kami bawa dalam diri hingga akhirnya tuntunan Roh Kudus-lah yang memampukan untuk bisa melawan keraguan dan mengubah rasa itu menjadi tindakan nyata dalam bentuk sapaan hangat yang kami berikan.   Dalam immersion ini, kami (Ditha, Herian, Marie, Mary, Rakhas, dan Alexa) menjadi satu kelompok circle. Kami saling bersinergi untuk hadir sepenuhnya, menyediakan diri, dan melawan ragu untuk terus berkomitmen menjaga api semangat tetap menyala. Sebagaimana Spiritualitas Ignasian selalu membawa misi, melakukan sesuatu dengan berkarya, tidak diam dan selalu bergerak atau dinamis, hari ini kami membawa kerelaan hati untuk memberikan waktu dan tenaga yang kami miliki. Menanggapi panggilan Raja Abadi dalam aksi nyata, kami memberanikan diri untuk mengambil bagian dalam karya Allah bagi sesama. Kami menemani Dylan, Dimas, Raka, Ezar, William, Rifki, Marvel, Ansel, Kefas, Chika, Iin, Sasa, Kim, Gracia, dan Fajar. Kami berdinamika dalam beberapa aktivitas yaitu membuat puding, membuat jus timun suri, menanam semaian terong, dan menyiram tanaman di kebun.   Setelah makan siang, kami semua beraktivitas bersama. Kami melukis pohon cinta dan harapan, dimana setiap anak menempelkan sidik jari mereka ke ranting-ranting pohon. Ilustrasi ini mengingatkan kami pada kisah pokok anggur. Kami hanya dapat memberi dari apa yang kami miliki. Kami rasa saat itulah waktu yang paling tepat untuk kami semakin berakar, bertumbuh, dan berbuah dengan berbagi kasih. Kegiatan ini juga mengingatkan kami pada pengalaman Bu Lanneke. Ia bercerita bahwa ia hampir tidak menemukan kendala berarti. Hati tulus yang selalu ia bawa telah mengantarkannya pada banyak sukacita dan keajaiban. Ia tidak merasa terbebani karena melibatkan Tuhan sepenuhnya. Kesaksian Bu Lanneke begitu berkesan dan mengena bagi kami hingga saat ini.   Tanpa kami sadari, dengan terlibat sepenuhnya bersama mereka, segala pikiran dan prasangka negatif yang sempat ada hilang. Kami berhasil memposisikan diri sebagai anak-anak untuk bisa sepenuhnya hadir di sini dan saat ini. Percaya bahwa kami bisa terus bersandar pada-Nya membuat kami semakin yakin untuk mengabaikan bisikan roh jahat yang menggoda. Menyadari bahwa kami dilimpahi begitu banyak rahmat, mengetahui bahwa apapun yang kami lakukan hanya tertuju pada-Nya, melakukan segala sesuatu tidak untuk manusia melainkan untuk-Nya telah menuntun kami untuk bisa lepas bebas. Tanpa ragu dan percaya akan penyelenggaraan-Nya yang menjadi keutamaan pengharapan, kita semua Ia pelihara dan kasihi, begitu juga dengan kami dan anak-anak yang kami jumpai. Kami mengalami perjumpaan personal dengan Tuhan melalui anak-anak yang teramat istimewa ini. Kami “menemukan Tuhan” dalam diri mereka. Perwujudan cinta dalam aksi ini mengantar kami untuk mengalami sendiri menjadi men and women for others, bagaimana cinta Tuhan begitu tidak terbatas dalam keseharian di Lovely Hands. Sepulang dari Lovely Hands, hati kami begitu penuh dan banyak rahmat yang mengalir deras. Kami merasakan bentuk kasih yang begitu nyata dari sorot mata mereka. Rasa-rasanya, seperti ada surga kecil dengan malaikat-Nya hadir di sini. Dalam konsolasi itu, kami semakin percaya akan kehadiran Tuhan yang amat dekat, sebagaimana diungkapkan St. Ignatius sendiri, “You may be sure that the progress you make in spiritual things will be in proportion to the degree of your withdrawal from self-love and concern for your own welfare.”   Kontributor: Alexandra Yovina dan Patricia Editha – Magis Indonesia

Penjelajahan dengan Orang Muda

Faith in Action: Transforming Lives Through Volunteering with LP4Y Indonesia

Magis Immersion Experiment 2024: LP4Y (Life Project for Youth) adalah sebuah lembaga sosial yang bergerak untuk menemani dan melayani teman-teman muda yang memiliki keterbatasan dalam mengakses pendidikan maupun ekonomi. Hari pertama saya mengikuti kegiatan Magis Immersion Experiment ini sudah panik dan bingung, apa yang bisa kami berikan kepada teman-teman muda ini? Begitu celetuk saya kepada beberapa teman circle yang mengambil bagian dalam Magis immersion experiment ini. Pada waktu itu kami ada setengah hari untuk mempersiapkan program apa yang dapat kami berikan kepada teman-teman muda. Kami berdiskusi untuk membuat program dengan tujuan meningkatkan kapasitas teman-teman muda yang menjadi dampingan LP4Y. Akhirnya kami memutuskan untuk memberikan training terkait dengan proses interview bagi teman-teman muda supaya mereka dapat memahami bagaimana proses interview pekerjaan yang baik karena tujuan mereka mengikuti pendampingan di LP4Y adalah menemukan pekerjaan yang lebih baik.           Perjalanan persiapan batin menuju Immersion Experiment akan berbeda bagi kami masing-masing yang berpartisipasi. Namun, malam pembekalan pada 22 Mei 2024 itu menjadi malam yang penuh dengan pergolakan batin bagi kami semua. Saat proses circle-sharing di malam pembekalan, rata-rata dari kami memiliki perasaan dominan yang sama terkait rasa tidak siap dan ketakutan. Lantas, kami bertanya, “Apakah kami akan mampu memberikan yang terbaik dalam waktu yang singkat di LP4Y?”   Perjalanan menuju LP4Y masih diwarnai kekhawatiran, keraguan, dan ketakutan. Ketika memasuki area Kampung Sawah ternyata area itu memiliki gambaran yang cukup bertolak belakang dengan kawasan yang biasa kami lihat setiap hari. Permukiman yang cukup padat di pinggir area jalan tol dengan tumpukan sampah menjadi pemandangan yang biasa. Ada proses pembakaran sampah di beberapa tempat dan menimbulkan bau yang kurang sedap dan juga sungai yang berwarna hitam dengan bau yang khas.   Dalam kondisi lingkungan seperti itu dan keadaan ekonomi yang terbatas membuat kami bertanya-tanya seperti apa youth (sebutan orang muda yang dididik oleh LP4Y) yang akan kami temui. Akan tetapi, sejak awal tiba pertemuan kami dengan satu per satu para youth mengubah segalanya. Sosok demi sosok Youth yang kami temui seakan menampar kami tentang pentingnya mensyukuri apa yang telah kami miliki dan kami jalani. Para Youth memiliki mimpi yang luar biasa di tengah kondisi kehidupan yang mereka jalani. Tidak berhenti hanya dengan memiliki mimpi, tetapi keikutsertaan mereka dalam program LP4Y menggambarkan semangat juang untuk bisa mendapatkan sesuatu yang bermakna yang mereka yakini akan membawa mereka untuk menggapai mimpi yang mereka inginkan.     Pada malam pertama, saya tinggal bersama dengan orang muda yang kedua orangtua sudah berpisah. Dia tinggal sendiri dan dibantu oleh saudara untuk kebutuhan sehari-hari. Saya tinggal berdua dengan orang muda yang tempat tidurnya berukuran 2×2 Meter. Bagi saya, ini adalah tempat pertama saya tidur dengan ukuran kamar kecil. Saya mencoba merefleksikan apa yang Tuhan inginkan dari saya dengan mengikuti kegiatan Magis Immersion Experiment ini. Saya mengambil sikap doa untuk memohon rahmat Tuhan agar Tuhan membantu dan melancarkan semua kegiatan yang esok akan dijalankan. Ada perasaan gelisah dan ketakutan dengan kegiatan ini karena takut saya tidak dapat mengikuti sampai selesai kegiatan Magis Immersion Experiment ini. Hingga tiba waktunya untuk berinteraksi dengan teman-teman muda dan ternyata apa yang saya takutkan di malam sebelumnya sangat berbeda 180° dengan apa yang saya jumpai. Teman-teman muda yang menyenangkan dan sangat antusias mengikuti setiap kegiatan di LP4Y dan kegiatan yang diberikan oleh teman-teman Magis.   Program di hari Jumat adalah Micro Company Support di mana kami ikut terlibat dalam proses aktivitas persiapan dan penjualan galon air mineral serta program citizenship yaitu melakukan survei terhadap masyarakat di area Center LP4Y. Sedangkan untuk program di hari Sabtu adalah mock interview yaitu melakukan simulasi interview kerja sebagai HRD, job discovery yaitu membuat seperti job fair kecil-kecilan di mana para youth akan secara bergantian mengunjungi booth yang memperkenalkan profil singkat perusahaan kami. Proses pembekalan tambahan ini cukup membantu kami untuk memberikan gambaran terkait apa yang akan kami lakukan di LP4Y.   Di akhir sesi, saat mendengar satu per satu dari mereka menyampaikan kesan berproses bersama, sungguh ini menjadi kado yang memberi kehangatan bagi kami di formasi Magis. Ucapan terima kasih dengan raut wajah malu-malu dan mendengar mereka menyampaikan insight yang mereka dapatkan sungguh di luar ekspektasi kami. Sebagian besar dari kami awalnya berpikir bahwa apa yang kami berikan adalah hal yang “biasa saja” atau hanya “sedikit” dari apa yang dimiliki, namun ternyata berbeda untuk teman-teman Youth. Dampak yang diberikan sangat luar biasa karena kami bisa merasakan bahwa mereka yang sangat membutuhkan hal tersebut.   Banyak canda dan tawa selama sesi. Ketakutan dan kegelisahan yang selama ini saya pikirkan sirna begitu saja karena melihat teman-teman muda yang sangat menyenangkan. Tidak terasa waktu cepat berlalu dan kami menuju Kolese Kanisius untuk mengikuti acara selanjutnya yaitu pengendapan pengalaman, perasaan, dan rahmat Tuhan yang ditemukan. Dalam dinamika pengendapan ini kami merasakan bahwa rahmat Tuhan benar-benar hadir dalam peristiwa-peristiwa Magis Immersion Experiment ini. Tuhan menunjukkan kasih-Nya dengan luar biasa dan Ia mengajarkan arti kehidupan yang sesungguhnya.     Dengan pengalaman, pertemuan, penemanan, dan keterikatan dengan teman-teman muda, ada satu kata yang dapat menggambarkan akan pengalaman ini yaitu “hope.” Teman-teman muda itu bersemangat tinggi, antusias, dan mau belajar. Walaupun itu semua ada keterbatasan tetapi di sini hope memiliki pengaruh krusial bagi teman-teman muda, yaitu membuat orang menjadi optimistis, memiliki motivasi untuk untuk melakukan sesuatu, mampu melihat potensi untuk mengejar cita-cita sesuai kata hatinya.   Sebagai pribadi yang masih belajar dan terus belajar, ada harapan-harapan kecil dari hati kami, yaitu bahwa suatu saat kami dapat kembali lagi ke LP4Y untuk memberikan dan berbagi sesuatu kepada teman-teman muda. Kami bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan yang sudah menunjukkan jalan yang baik dan mencecap kata hati. Hanya dengan menjadi pribadi bagi orang lain, maka disaat itulah kita bisa menjadi manusia sejati.   “Bukan tentang berapa lama tetapi tentang seberapa dalam.” Kalimat itu menjadi kalimat yang bisa menggambar-kan Immersion Experiment kami di LP4Y. Ketakutan kami tentang keterbatasan waktu yang berakibat akan tidak bisa memberikan yang terbaik ternyata memberikan makna yang sebaliknya. Rahmat yang kami inginkan di awal memulai Immersion Experiment ini berbeda-beda. Namun, di akhir kami menyadari bahwa kami memperoleh rahmat yang sama untuk bisa lebih bersyukur dengan apa yang kami miliki dan apa

Penjelajahan dengan Orang Muda

Aku Melayani-Mu

Magis Immersion Experiment 2024: Saat berjalan memasuki Kolese Hermanum, tempat pembekalan sebelum terjun ke tempat Immersion, berbagai perasaan muncul dan memenuhi diri. Ada rasa takut, khawatir, tertantang, dan setengah hati karena long weekend ini mestinya bisa dipakai untuk liburan. Wajar apabila berbagai perasaan itu muncul karena ruang bernama zona nyaman harus ditinggalkan untuk melakukan immersion, masuk ke dalam pengalaman orang-orang kecil, lemah, dan miskin di kota Jakarta. Sejenak hiruk-pikuk kehidupan ditinggalkan untuk ikut melihat, merasakan, memahami, dan berpikir seperti orang-orang yang menjadi induk semang (istilah bagi keluarga tempat peserta immersion tinggal). Tidak tahu apakah kami -yang orang-orang asing ini- akan diterima dengan baik atau tidak. Meskipun diliputi berbagai perasaan itu, ada kepercayaan bahwa rahmat-Nya akan bekerja dan menyertai selama perjalanan immersion ini. Beberapa rahmat yang kami mohonkan antara lain: rela berkorban, kerendahan hati, keterbukaan, kesabaran, dan kejujuran.   Immersion kali ini dilaksanakan di beberapa tempat yang merupakan lokasi warga binaan Lembaga Daya Dharma (LDD), yaitu Muara Baru, Muara Angke Blok Eceng, Marunda, dan Muara Angke Blok Empang. Tempat-tempat ini mungkin tidak asing di telinga namun asing untuk dikunjungi. Boleh dikatakan bahwa tempat-tempat ini adalah ‘batas wilayah’ terluar dari Kota Jakarta. Dari tempat kami melakukan immersion, terlihatlah bagaimana kesenjangan yang terjadi di Kota Jakarta: gedung pencakar langit berlomba-lomba ditegakkan, pabrik-pabrik industri yang berdiri kokoh disertai dengan berbagai polusinya, pembangunan rumah layak huni di antara rumah kumuh di sekitarnya. Di tempat ini pula mereka harus berdamai dengan keadaan lingkungan sekitar: tumpukan sampah, bau amis menyengat, tikus-tikus yang berkeliaran, sulitnya akses air bersih, dan kondisi jalanan yang hampir setiap hari banjir bahkan airnya sampai masuk ke dalam rumah. Tidak hanya dari bangunan-bangunan yang berdiri namun juga dari pekerjaan yang dihidupi induk semang kami. Mulai dari penjual kopi keliling, pengupas kerang, nelayan, sopir angkot, jasa antar pemancing, pembersih botol dan gelas plastik, penjual nasi uduk, penjual jajanan pasar, hingga pekerja serabutan. Mereka menjadi figur nyata orang-orang kecil yang mungkin selama ini hanya kami lihat dari kejauhan. Kini kami harus immerse dengan kehidupan mereka dan melayani dengan apa yang kami bisa. Belajar mewujudkan perbuatan kasih untuk meneladan Sang Guru yang terus dikenangkan dalam Ekaristi Kudus.     Induk semang kami memang bukan siapa-siapa. Pekerjaan mereka seringkali dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Kata anak-anak muda, pekerjaan mereka tidak ‘seksi’ sama sekali. Namun mereka yang dianggap kecil, terpinggirkan, dan miskin ini justru yang menguapkan berbagai perasaan negatif kami. Perasaan takut, khawatir, dan tidak nyaman yang muncul akibat sudah berprasangka terlebih dahulu, hilang. Kami yang asing ini justru diterima dengan baik oleh induk semang kami. Bahkan kami justru dianggap sebagai anak sendiri oleh mereka. Kami masih diberi makan dengan cukup, masih bisa tidur di tempat yang aman dan nyaman. Padahal mungkin untuk memenuhi makan sehari-hari anggota keluarganya mereka kesulitan. Akan tetapi, kami dapat makan secara cukup bahkan kadang diada-adakan. Kami tidak pernah bertemu dan tidak pernah melakukan perbuatan baik untuk mereka ini sebelumnya, tetapi kami diberikan sampai sebegitunya. Sungguh makanan yang kami makan selama Immersion itu menjadi makanan yang sangat enak justru karena diberikan dari kesederhanaan yang mereka punya. Merefleksikan hal ini membuat kami merasa malu. Seperti ditampar rasanya. Kadang untuk memberi saja kami masih berpikir-pikir tetapi justru mereka memberikan dari hatinya yang terdalam bagi kami orang asing ini.   Di dalam setiap hal yang kami terima dari induk semang, kami merasakan ketulusan dan keikhlasan mereka. Kami merasa bahwa induk semang kami telah begitu mengasihi kami sehingga hati kami tergerak untuk meneruskan rantai kasih ini kepada sesama yang lainnya, melayani dengan tulus dan ikhlas. Benar kata pepatah bahwa kebaikan itu menular. Ajaibnya ketergerakkan untuk melakukan kebaikan itu tidak hanya kepada orang-orang yang telah terlebih dahulu mengasihi kita tetapi juga kepada orang-orang yang tidak kita kenal sebelumnya.   Tidak hanya itu, kami juga merasa bahwa Allah sedang menyapa kami melalui orang-orang di lingkungan sekitar induk semang kami. Mereka menyapa dan memberikan senyuman yang seolah-olah memberi pesan bahwa semua akan baik-baik saja dan tidak ada yang perlu ditakutkan. Senyum ramah inilah yang menjadi salah satu penyemangat kami dalam menjalani pekerjaan di sana.     Melalui immersion ini, kiranya ada beberapa hal yang layak untuk direfleksikan. Pertama, soal melayani atau dikenal dalam pilar Service dalam Magis. Kiranya hal-hal yang kami lakukan selama immersion ini bukanlah hal-hal besar. Cenderung entah dilarang oleh induk semang karena nanti kami kelelahan atau karena membutuhkan keahlian khusus. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan kecil yang kami lakukan itu kiranya menjadi bentuk pelayanan yang dapat kami berikan. Sebab melayani -yang adalah suatu bentuk perbuatan kasih itu- tidak diukur dari besar dan kecilnya tetapi berawal dari niat dan ketergerakan bahwa aku ingin memberikan dari apa yang aku punya.   Kedua, kami juga merasakan bagaimana Allah itu sungguh hadir dan terus berkarya dalam kehidupan kami. Sosok-Nya itu kami temukan melalui kebaikan orang-orang yang dalam perjalanan pergi-pulang maupun selama immersion kami temui,terutama dari induk semang kami masing-masing. Bagaimana kami diterima, boleh mempunyai tempat berteduh dan tidur, boleh makan secara berkecukupan yang semuanya itu dalam suasana kesederhanaan menjadi bukti cinta-Nya untuk kami. Coba saja kami tidak diterima, mana bisa kami berteduh dan tidur di malam hari ketika badan sudah lelah. Mana bisa kami makan dengan berkecukupan untuk mengisi tenaga lagi. Kehadiran orang-orang ini menjadi wujud kehadiran Allah sendiri yang menyapa dan mengasihi kami.    Menutup kisah perjalanan immersion bersama orang-orang yang miskin, kecil, dan terpinggirkan di Jakarta ini kiranya bisa direfleksikan satu pertanyaan untuk melangkah ke depan: apa yang ingin dan bisa kulakukan untuk mereka yang KLMTD di Jakarta ini? Perbuatan kasih apa yang bisa kubagikan untuk sesamaku itu? Dalam gerak inilah kiranya spiritualitas Ignatian itu justru hidup. Sebab spiritualitas Ignatian tidak pernah berhenti hanya pada doa dan teori saja. Ia harus mewujud dalam tindakan-tindakan kasih bagi sesama.   Kontributor: Ancella Trilegio, Flaviantius Iko Marpaung, Basilius Kevin, Fransisca, Stepanus Igo Kewa – MAGIS Indonesia

Penjelajahan dengan Orang Muda

Teach Us to Serve as You Deserve

Dalam rentang waktu 22-26 Mei 2024, Komunitas Magis Jakarta mengadakan Magis Immersion Experiment, terdiri atas pembekalan (persiapan), pelaksanaan (aksi), dan pengendapan (refleksi). Pada 22-23 Mei 2024, setelah jam pulang kantor, para peserta immersion mengikuti pembekalan di Kolese Hermanum Unit Johar Baru. Selain hal-hal teknis, mereka juga dibekali pendalaman materi mengenai tema utama Immersion “Teach us to serve as you deserve” dan lanjutan materi mengenai Kontemplasi Penjelmaan, Meditasi Dua Panji, dan Tiga Golongan Orang. Pada 23-25 Mei 2024, para peserta disebar per kelompok ke beberapa tempat layanan Lembaga Daya Dharma (LDD) KAJ, antara lain ke Muara Angke Blok Eceng, Muara Angke Blok Empang, Muara Baru, dan Marunda. Selain itu, mereka juga disebar untuk melakukan Immersion di rumah orang-orang muda layanan LP4Y (Life Project for Youth), lembaga sosial yang berdomisili di Cilincing, Jakarta Utara. Immersion ini dilakukan di komunitas Lovely Hands Garden di Sunter, Jakarta Utara. Pada dua hari terakhir, para peserta melakukan pengendapan di Kolese Kanisius Menteng dalam bentuk refleksi personal dan komunal, serta ditutup misa bersama di Kapel Kolese Kanisius itu.     Kegiatan Immersion Experiment ini merupakan salah satu program pokok formasi Magis yang baru kembali diadakan setelah lima tahun vakum karena beragam kendala. Immersion ini merupakan sarana menginternalisasi dan mengintegrasikan Spiritualitas Ignasian bagi anggota Magis Jakarta. Konteks kota Jakarta memperlihatkan dengan kentara jurang kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Hal ini menjadi sebuah konteks refleksi yang bagus bagi Magis Jakarta setelah dibekali dan berlatih dalam enam kali pertemuan bulanan dengan pokok-pokok spiritualitas itu. Pada tahun 2024, immersion diikuti sekitar 33 peserta. Dalam kesempatan ini Komunitas Magis Jakarta berkolaborasi dengan Lembaga Daya Dharma (LDD) KAJ, Life Project for Youth (LP4Y), dan Komunitas Lovely Hands Garden. Selain mempertemukan para anggota Magis dengan mereka yang terpinggirkan, immersion menjadi kesempatan berharga dalam membangun kolaborasi sebagai Gereja yang berjalan bersama dengan mereka semua yang berkehendak baik.    Kontributor: S Alfian Ferry, S.J. – Magis Indonesia

Penjelajahan dengan Orang Muda

F.O.M.O. : Filter Out Masalah dan Obsesimu 

Kolaborasi MAGIS Jakarta dan OMK HSPMTB Tangerang Gaya hidup fancy, seperti fashion terbaru, liburan keluar negeri, gadget termutakhir, pencapaian seseorang, dan lainnya, banyak bermunculan di media sosial. Bagi sebagian orang, hal tersebut menimbulkan tekanan emosional tersendiri, seperti perasaan terobsesi untuk mengikuti tren atau merasa kurang update terhadap sesuatu. Perasaan emosional yang muncul itu merupakan salah satu dampak  penggunaan media sosial. Bagi orang muda khususnya, ketika tidak bisa mengikuti  tren terbaru, muncullah perasaan tertinggal dan tidak percaya diri.  Menghindar dari media sosial mungkin sulit bagi sebagian besar orang muda. Apalagi kini, media sosial menjelma menjadi sarana yang efektif guna mengekspresikan dan membangun citra diri (personal  branding). Tak sedikit orang muda terobsesi dengan media sosial dan menjadikannya sebagai ajang pamer. Di lain sisi, perasaan terobsesi berlebih atau kecenderungan untuk terus membandingkan diri sendiri dengan konten media sosial akan memberikan dampak pada kesehatan mental orang muda.  Berangkat dari fenomena itu, Magis Jakarta berkolaborasi dengan Orang Muda Katolik Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda (HSPMTB) Paroki Tangerang menggelar talkshow tentang penggunaan media sosial yang berpengaruh pada  kesehatan mental, dengan tema ‘’FOMO: Filter Out Masalah & Obsesimu’’. Acara ini diselenggarakan pada Minggu, 4 Februari 2024 di Selasar Gereja HSPMTB Tangerang dan dihadiri oleh 90 orang peserta yang mayoritas adalah orang muda.  Talkshow yang diselenggarakan ini juga merupakan rangkaian kegiatan Ekaristi Kaum Muda yang menjadi ajang kolaborasi MAGIS Jakarta dengan OMK berbagai paroki di Keuskupan Agung Jakarta. Dalam kesempatan ini, Alexander Yosua (MAGIS Jakarta 2021), menggandeng Angelia Juwita dari OMK Paroki HSPMTB menjadi ketua panitia EKM. Persiapan telah dimulai sejak akhir tahun 2023. Pengurus dan alumni MAGIS Jakarta berpartisipasi aktif dalam kepanitiaan EKM dalam kolaborasi dengan teman-teman OMK serta Seksi Kepemudaan (SieKep) Paroki HSPMTB.  Talkshow ini difasilitasi oleh Kak Inca Agustina Arifin, M.Psi dan Fr. Albertus Alfian Ferry Setiawan, SJ. Pembahasan berangkat dari tema “Self-love” dan semakin mengerucut pada tema “FOMO (fear of missing out) yang diasosiasikan perasaan takut terasing karena ketinggalan berita atau tren. Istilah tersebut muncul di kalangan Gen Z yang lekat dengan media sosial. Banyak orang di zaman ini yang seakan tidak bisa lepas dari gawai dan media sosial, selalu haus dengan berbagai update. Kelekatan tersebut memunculkan perasaan fomo, yang kemudian mengganggu kesehatan mental seseorang.  Dalam sesi diskusi, para peserta yang hadir diajak memahami pentingnya kesehatan mental, menyadari fenomena fear of missing out, dan cara pencegahannya. Kak Inca mengawali sesi dengan mendefinisikan fomo sebagai rasa “takut merasa “tertinggal’’ karena tidak mengikuti aktivitas tertentu, sebuah perasaan cemas dan takut yang timbul di dalam diri seseorang akibat ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita, tren, dan lainnya.” Rasa takut ketinggalan ini mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal yang lebih baik, sedangkan dirinya sendiri tertinggal.  Para peserta talkshow juga diajak Kak Inka agar bisa melakukan deteksi mandiri apakah kita sudah terkena dampak fomo, yakni dengan cara menjawab benar atau  tidak pertanyaan-pertanyaan berikut :  Cara mengetahuinya, apabila kita memiliki sebanyak 3 jawaban benar atau lebih  maka bisa dikategorikan kita telah terkena fomo.  Diketahui ternyata fomo tidak hanya berkaitan perasaan terobsesi saja. Fomo juga menimbulkan dampak-dampak negatif, seperti gangguan pola tidur, kesulitan dalam mengambil keputusan yang benar dan bijaksana, gangguan pada hubungan dengan  orang-orang sekitar yang berarti, produktivitas terganggu, dan sulit fokus. Guna  menghindari itu, Kak Inka memberikan tips atau practical steps to overcome fomo,  yakni dengan cara melatih mindfulness, memahami apa yang dapat memicu perasaan negatif, membatasi penggunaan media sosial, menuliskan jurnal rasa  syukur untuk secara rutin menyadari aspek-aspek positif yang dimiliki, terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang berarti dan sesuai dengan tujuan atau nilai kehidupan, serta memelihara hubungan-hubungan yang berarti dalam hidup.  Fr. Ferry juga menawarkan latihan doa ala Ignatian sebagai  cara ampuh “penangkal” fomo, yaitu Examen Conscientiae. Examen dapat menjadi sarana bagi orang muda zaman sekarang untuk menyadari peristiwa yang dialami, beserta pengalaman dan perasaan dominan. Dalam Examen, orang diajak untuk  menemukan hal-hal yang disyukuri dalam sehari, juga berani menyesali perbuatan perbuatan buruk yang mungkin dilakukan, dan diakhiri dengan membuat niat untuk  menjadi pribadi yang lebih baik. Dominasi perasaan syukur diharapkan dapat  membantu orang muda untuk tidak terobsesi atau tidak lekat pada hal tertentu, atau  setidak-tidaknya mampu membedakan mana yang harus dilakukan dan tidak.  Talkshow yang dimulai pada pukul 14.00 WIB itu selesai pada pukul 16.30 WIB dan dilanjutkan dengan Ekaristi Kaum Muda, yang juga di dalamnya menampilkan teater dari OMK Paroki HSPMTB. EKM dipimpin oleh Pater Alexander Koko, SJ,  moderator MAGIS Jakarta. Dalam homilinya, Pater Koko berharap agar umat semakin dapat mengerti  bentuk cinta dari sekitar dan semakin mampu memberikan cinta pada orang-orang terdekatnya. Bisa jadi ada cinta yang tidak saling memberi dan menerima apabila kita, pelaku cinta, tidak memahami bentuk cintanya, seperti contoh bahasa cinta dari orang muda yang tidak dipahami oleh orangtua.  Suasana senang dan bahagia terlihat dari senyuman dan raut wajah para panitia kegiatan ini setelah seluruh rangkaian acara telah terlaksana. Para peserta dan panitia menutup acara dengan mengabadikan momen bersama. Rasanya tidak ingin mengucapkan “sayonara”. Gerimis di malam itu membuat acara perpisahan Magis Jakarta dan OMK HSPMTB menjadi haru. Usailah euforia persiapan dan pelaksanaan  EKM MAGIS Jakarta dan OMK Paroki HSPMTB. Kini yang  harus terus diupayakan adalah keberanian untuk melepaskan kelekatan dan menggenggam harapan. Esok akan bertemu di lain kesempatan. Kontributor: Samuel Rajagukguk dan Monica Yosinayang

Penjelajahan dengan Orang Muda

“Apa yang Tidak Boleh Kita Lewatkan untuk Masa Depan yang Penuh Harapan?”

Dialog Pater Jenderal Arturo Sosa dengan Orang Muda Pada pesta St. Ignatius Loyola, 31 Juli 2023, Pater Arturo Sosa, S.J, melakukan percakapan dengan enam peziarah muda yang mewakili berbagai benua dan latar belakang sosial-ekonomi. Masing-masing dari enam peserta berkesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada Pater Sosa tentang Gereja dan dunia. Elijah, seorang peziarah asal Amerika Serikat, adalah orang pertama yang mengajukan pertanyaan. Dia ingin tahu bagaimana dia bisa menghayati iman Katoliknya sebagai seorang pemuda dan baru saja menjadi seorang Katolik. “Menjadi seorang Katolik berarti memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan—dengan Yesus, ketika mengakui Dia sebagai Tuhan,” jawab Pater Jendral. “Katolik bukanlah sebuah doktrin. Itu adalah sebuah keyakinan. Prinsip satu-satunya adalah mengikuti Yesus. Dan untuk mengikuti Yesus, kita perlu berhubungan dengan Dia. Kita harus menjadi, seperti [St. Ignatius] berkata, dengan akrab; untuk mengembangkan keakraban itu melalui doa, melalui pelayanan kepada orang lain adalah hal yang benar-benar membawamu ke dalam iman Katolik.” Pertanyaan berikutnya yang diajukan kepada Pater Jendral adalah mengenai peran para Jesuit dan preferensi apostolik Serikat Jesus dalam bekerja dengan kaum muda dan mendorong mereka menjadi “pencipta masa depan yang penuh harapan,” seperti yang muncul dalam tema MAGIS 2023. “Saya ingin tahu apakah mereka yang tidak terpanggil pada panggilan religius dapat mengambil peran juga,” kata Sofia, seorang putri dari Portugal, kepada Pater Jendral. “Bagaimana kita bisa memberdayakan kelompok masyarakat ini?” Ia kemudian menambahkan pertanyaan lebih lanjut: “Bagaimana Serikat Jesus dapat menyediakan alat dan pelatihan integral bagi mereka yang ingin menjadi bagian dalam membangun masa depan yang penuh harapan, bahkan jika jalan hidup mereka tidak mengarah pada panggilan religius?” Menanggapi pertanyaan tersebut, Pater Jendral mengambil analogi tubuh Kristus yang digunakan dalam Kitab Suci oleh St. Paulus, mengingatkan para peziarah bahwa gereja, seperti halnya tubuh, memiliki banyak bagian. “Gereja membayangkan kembali dirinya sebagai umat Tuhan yang berjalan bersama,” katanya. “Tetapi panggilan utama umat Kristiani adalah menjadi orang awam—mayoritas umat Tuhan adalah orang awam.” “Bagaimana kita berkontribusi terhadap hal itu?” tanya Pastor Sosa. “Karena panggilan berasal dari Tuhan; Tuhanlah yang memanggil, bukan manusia yang menciptakan. Saya tidak bermaksud melakukan ini atau itu; Tuhan memanggil siapa pun yang Dia inginkan, karena apa yang Dia yakini bisa lebih baik bagi kebahagiaan mereka—demi kebahagiaan kita masing-masing.” Pater Jendral kemudian beralih ke karunia khusus yang dapat diberikan oleh spiritualitas Ignatian untuk membantu orang menemukan panggilan mereka: “Yang harus kita pelajari adalah mendengarkan panggilan Tuhan. Spiritualitas Ignasian adalah cara nyata dalam memahami, mendengarkan panggilan dan mempersiapkan diri untuk mengambil pilihan, karena panggilan itu diberikan oleh Tuhan, tetapi keputusan ada di tangan kita masing-masing.” Yvonne, seorang Katolik dari Malaysia, berkomentar bahwa di beberapa negara Asia, menjadi Katolik mengakibatkan penganiayaan. Dia bertanya kepada Pater Jendral, “Ketika lingkungan kita membatasi kemampuan kita untuk mengekspresikan dan membagikan iman kita, bagaimana kita bisa menjadi mercusuar harapan bagi orang lain?” “Paus Fransiskus mengundang kita tidak hanya untuk menyaksikan Yesus Kristus di kayu salib tetapi juga untuk menyaksikan dari salib,” kata Pater Jendral. “Jika kita benar-benar ingin mengikuti Yesus, kita perlu bangkit dan mengamati dunia serta melihat sejarah dari sudut pandang Kristus di kayu salib—dan itu mengubah segalanya. Saat Anda disalib, Anda terbuka terhadap apa yang Tuhan ingin lakukan bagi dunia.” Paus Fransiskus sering menggambarkan hari ini sebagai momen penganiayaan umat Kristen yang terbesar, kata Pater Jendral. Ia mencontohkan kejadian baru-baru ini di India di mana ratusan gereja dibakar dan banyak yang meninggal. “Sebagai umat Kristiani, kita harus membiasakan diri menghadapi kesulitan. Jalan menuju kehidupan sejati melewati salib. Anda tidak akan sampai pada kebangkitan tanpa mengalami kematian,” katanya. “Yang memberi kita penghiburan adalah bahwa [Yesus] menyertai kita. Dia membuka jalan. Dia berjalan sampai akhir dan itulah sebabnya dia bangkit dan membuka kehidupan kebangkitan kepada kita.” Bia, seorang perempuan asal Brazil, menyampaikan isu ketenagakerjaan bagi kaum muda merupakan hal yang sangat penting. Martabat pekerja menyentuh sejumlah isu, termasuk ras dan gender. Dia bertanya kepada Pater Jendral bagaimana pandangan Gereja dan Serikat Jesus mengenai masalah ini. “Bukan hanya kebijakan neoliberal yang membuat perekonomian tumbuh,” kata Pater Jendral. “Untuk mewujudkan pekerjaan yang bermartabat bagi semua orang, diperlukan keadilan sosial. Selama kemiskinan terus meningkat, berapapun banyaknya pekerjaan yang tersedia, akan terjadi eksploitasi dan pekerjaan yang tidak bermartabat bagi manusia.” Serikat Jesus memahami misinya sebagai “iman kepada Tuhan yang memajukan keadilan sosial bagi semua orang,” katanya. “Pelayanan yang ingin kami tawarkan kepada dunia adalah berkontribusi dalam mengubah struktur sosial untuk mengakhiri kemiskinan sebagai kondisi yang terjadi di sebagian besar dunia, untuk mengakhiri migrasi paksa, untuk mengakhiri pekerjaan yang tidak bermartabat.” Namun perubahan ini, katanya, hanya akan terjadi jika umat Katolik berkomitmen untuk kebaikan bersama seluruh umat manusia. “Selama masih ada masyarakat miskin, tidak ada harkat dan martabat manusia,” ujarnya. Shingirai, seorang remaja putri dari Zimbabwe, mengajukan pertanyaan terakhir kepada Pater Sosa. Dia menyatakan keprihatinannya mengenai dampak agama Kristen terhadap budaya Afrika, khususnya hilangnya akar tradisional. “Apa yang dilakukan gereja untuk membentuk tatanan moral generasi muda?” tanyanya, dengan menyebutkan secara spesifik tentang L.G.B.T.Q. masyarakat. Dia juga menanyakan tentang upaya Gereja untuk melibatkan orang-orang dari Afrika dan Asia dalam membentuk nilai-nilai dan administrasinya. Pastor Sosa menjawab: “Mungkin abad ke-20 dan abad ini, abad ke-21, adalah momen ketika Gereja menjadi Katolik. Sekarang adalah momen dalam sejarah ketika Gereja menjadi benar-benar universal; karena kita sekarang memiliki Gereja Multikultural.” “Setiap kebudayaan harus diubah melalui terang Injil. Menjadi seorang Kristen atau Katolik bukanlah berarti memperoleh budaya baru; itu adalah untuk menginjili budaya tempat Anda berasal. Kekristenan bukanlah sebuah budaya, melainkan keyakinan agama yang menerangi setiap budaya,” ujarnya. “Itulah mengapa tantangan besarnya adalah menjadi antar budaya; dari budaya Anda yang diterangi oleh Injil, Anda berhubungan dengan budaya lain dan Anda memperkaya budaya lain dan Anda diperkaya oleh budaya lain.” Pater Jendral kemudian menanggapi secara lebih lugas kekhawatiran Shingirai tentang dampak Gereja terhadap moralitas seksual di berbagai budaya. Pemikiran moral dan teologis Katolik “selalu dalam proses,” katanya. “Kita perlu mengembangkan dari inspirasi Roh Kudus bagaimana menghadapi berbagai masalah. Dan itulah mengapa kearifan sangat penting,” tambahnya. “Kita perlu mengasihi manusia, karena Tuhan mengasihi semua orang. Tuhan adalah cinta. Dan dia mengambil inisiatif untuk mencintai semua orang; setiap manusia dikasihi oleh Tuhan. Jadi dari situ kita bisa benar-benar memahami dan mengembangkan

Penjelajahan dengan Orang Muda

Maria Bangun dan Bergegas Pergi

Ajakan Sosial Paus Fransiskus bagi Orang Muda Tema WYD (World Youth Day) Lisbon 2023 adalah “Maria bangun dan bergegas pergi” (Lukas 1:39). Tema ini memberikan misi kepada kaum muda dengan mengatakan bahwa sekaranglah waktunya untuk bermimpi dan bekerja demi dunia baru seperti yang dilakukan Maria. Namun bagaimana kita dapat meniru Maria dewasa ini? Orang muda harus berusaha menjadi seperti Maria – orang yang mendengarkan Sabda Allah dan berdiri serta bergegas – bukannya menjadi orang yang tetap duduk di sofa atau melihat sesuatu dari balkon atau jendela. Masa kepausan Paus Fransiskus telah menyajikan beberapa topik yang dekat di hati kaum muda. Tema-tema itu menunjuk pada cara-cara praktis yang konkret bagi kita untuk membangun Gereja yang misioner dalam citra Maria dengan kaum muda bangkit, yaitu ekologi integral (Laudato Si), persahabatan sosial dan persekutuan universal (Fratelli Tutti), dan belas kasih (Misericordia et misera). Tujuan utama dari pembahasan Laudato Si ini adalah untuk mengeksplorasi tema umum WYD dan memperkenalkan generasi muda pada pengalaman dikasihi dan dipanggil oleh Tuhan seperti Maria. Pengalaman ini mendorong orang muda untuk melangkah lebih jauh dan mendekati orang lain, serta berdamai dengan Tuhan, dengan saudara-saudari kita, dan semua ciptaan. Pembahasan mengenai Persahabatan Sosial bertujuan untuk menunjukkan kepada kaum muda cara-cara spesifik untuk mengikuti Yesus dan meniru Maria dan dengan demikian memberikan substansi pada jawaban “ya” mereka. Kaum muda merasa diundang untuk berpartisipasi dalam impian Tuhan bagi umat manusia dan secara aktif berkontribusi dalam mengubah realitas. Kaum muda dan uskup memberikan kesaksian tentang tindakan nyata yang telah dilaksanakan, untuk menunjukkan kepada kaum muda lainnya bahwa komitmen praktis memang mungkin dan pantas dilakukan. Pada WYD ini orang muda juga diperkenalkan dengan pentingnya keheningan dan kontemplasi. Mereka akan didorong untuk mendekat dan menjadi sahabat Yesus, yang disalibkan dan bangkit kembali. Dalam perjumpaan dengan Bapa yang penuh belas kasihan ini, generasi muda akan diajak untuk menelaah kembali perjalanan hidup mereka sambil menghabiskan waktu dalam adorasi, dialog pribadi dan rekonsiliasi dengan Tuhan. Orang Muda juga diajak dekat dengan Bunda Maria dalam WYD kali ini. Kesiapan Maria untuk bangkit dan bergegas menemui Elisabeth (lih. Luk 1:39) merupakan sebuah undangan bagi kaum muda untuk meniru dia sebagai tokoh utama yang aktif dalam “Gereja yang Misioner.” Dinamisme perjalanan Maria menyoroti simbol rumah yang ditinggalkan Maria di Nazaret dan rumah di mana ia tiba, yaitu rumah Elisabeth dan Zakharia. Gagasan tentang sebuah rumah menunjukkan adanya hubungan dengan Rumah Kita Bersama, yang diberikan oleh Tuhan kepada semua orang sebagai tempat tinggal (Ekologi Integral); dimensi relasional, di mana persaudaraan dan kegembiraan hidup dalam persekutuan dipelajari (Persahabatan Sosial); Rumah Bapa, tempat belas kasihan, tempat kita berasal dan ke mana kita akan kembali, berkali-kali seperti anak yang hilang sehingga kehidupan dan kegembiraan dapat ditemukan kembali dan diciptakan kembali (rahmat). Kontributor: P Alexander Koko Siswijayanto, S.J.