Pilgrims of Christ’s Mission

karya pelayanan

Pelayanan Masyarakat

Rumah untuk Kembali

Rumah bagiku adalah tempat ternyaman untuk beristirahat setelah bergelut dengan berbagai kesibukan yang menguras energi. Aku menemukan “rumah” keduaku, tempat menenangkan pikiran sejenak setelah satu minggu berkutat dengan angka serta rumus yang memenuhi memoriku. Realino, itulah rumah keduaku yang aku kenal sejak Februari 2023 lalu. Sebenarnya masih terlalu awal untuk mengatakan Realino sebagai rumah kedua, namun itulah yang aku rasakan selama kurang lebih tiga bulan ini. Bermula dengan postingan feeds Realino saat itu melewati beranda eksplore Instagram pribadiku. Postingan itu menarik mataku dan membuat jariku mulai membuka profil serta menelusurinya lebih dalam. Tanpa berpikir panjang dan hanya bermodal nekat, aku langsung mendaftarkan diri menjadi volunteer. Singkat cerita, aku akhirnya bergabung setelah bertemu dengan Pater Fransiskus Pieter Dolle, S.J. dan Mbak Luci. Pertemuan awal itu saja sudah membuatku yakin bahwa aku akan berada di tempat ini. Hari-hari mengajar selalu berlangsung menyenangkan bagiku. Melihat anak-anak yang menyambut kedatangan para volunteer di tempat mengajar membuatku sumringah. Mereka selalu bersemangat dalam mengikuti kegiatan apa pun. Suatu waktu, salah satu anak bersemangat menghampiriku, memegang lenganku kemudian bertanya “Mbak, hari ini kita mau ngapain? Seru-seruan lagi kan?” Luar biasa, pertanyaan sederhana itu mampu membuat energiku penuh kembali untuk menghadapi berbagai peristiwa yang akan datang. Tingkah laku iseng anak-anak selalu mewarnai Jombor di sore hari. Tanpa mereka, Jombor hanya tempat mengajar biasa yang membosankan. Hal-hal kecil yang dilakukan anak-anak itu membuatku ingin kembali ke sana setiap minggunya, bertemu mereka. Tidak hanya anak-anak yang membuat Realino ini aku tetapkan sebagai rumahku. Realino mempertemukanku dengan orang-orang luar biasa yang sebelumnya tidak aku duga akan dapat bertemu. Orang-orang itu yakni Pater Pieter, Mbak Luci, para volunteer, dan mereka yang mampir untuk berbagi kebahagiaan. Mereka adalah orang yang mampu membuatku semangat meng-upgrade diri karena aku merasa “ditemani” berproses bersama mereka. Dari mereka aku belajar banyak hal tentang hidup secara tidak langsung. Di tempat ini aku bertemu orang-orang yang bersedia meluangkan waktu di sela kesibukan demi memberikan tenaga melayani orang lain dengan penuh kasih. Dalam keadaan apapun; hujan-panas, siang-malam mereka meluangkan waktu berkumpul di Jalan Mataram yang selalu sibuk itu. Terkadang keluh kesah terdengar, namun senyum mereka tetap terkembang di wajah lelah mereka. Mereka yang membuatku semakin yakin bahwa aku memang “berjodoh” dengan Realino dan segala isi di dalamnya. Terima kasih Realino. AMDG! Kontributor: Aurelia Pradhita Nareswari Pangarso

Feature

“To Make Them Happy”

Oscar Wilde adalah penyair asal Irlandia. Salah satu pandangan penting Wilde yang coba saya lakukan dalam pendampingan anak-anak di Jombor dan Bongsuwung adalah tentang cara terbaik membesarkan anak-anak agar menjadi baik. Dia mengatakan, “The best way to make children good is to make them happy.” Artinya cara terbaik membuat anak baik adalah membuat mereka bahagia. Saya menangkap alasan utama di balik pandangan Wilde ini, bahwa anak-anak yang bahagia akan memiliki kecenderungan lebih besar berperilaku positif dan bermanfaat bagi diri mereka dan orang lain. Anak-anak yang merasa senang dan bahagia akan cenderung memiliki rasa percaya diri lebih tinggi, memiliki pengalaman belajar lebih baik, dan memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka. Sejak tahun 2021, saya mulai aktif dalam kegiatan relawan mendampingi anak-anak di Jombor dan Bongsuwung yang dinaungi Yayasan Realino SPM. Saya mendampingi anak-anak dengan latar belakang sosial beragam. Anak-anak yang saya dampingi, terutama di Bongsuwung, merupakan anak-anak dari keluarga kurang mampu. Bukan hanya soal perekonomian, tetapi juga pendampingan kepribadian, pendidikan moral, dan tata krama. Sedangkan, anak-anak di Jombor sedikit lebih baik hidupnya karena sebagian besar mereka menempuh pendidikan formal seperti anak-anak kebanyakan. Sekilas Kegiatan Pendampingan Selama pendampingan setiap hari Sabtu ini, saya dibantu relawan dari berbagai universitas di Jogja. Mereka adalah orang-orang istimewa yang punya hati untuk anak-anak. Di Jombor, materi belajarnya menggunakan bahasa Inggris. Kadang diselingi games atau ice breaking, bernyanyi bersama, kerajinan tangan atau latihan keterampilan. Sedangkan di Bongsuwung, materinya sebagian besar kerajinan atau keterampilan tangan. Anak-anak juga diajar melakukan hal-hal baik yang sederhana, misalnya membereskan barang-barang yang sudah selesai digunakan, mengucapkan terima kasih, maaf, dan minta tolong. Kegiatan diusahakan menyenangkan, seru, dan kreatif supaya mereka tidak bosan. Harapannya, anak-anak senang belajar, mau sekolah dan punya semangat menggapai cita-cita mereka. Belajar Sabar Pengalaman hampir dua tahun menemani anak-anak di Jombor dan Bongsuwung adalah pengalaman berarti dan berharga bagi saya. Saya menemukan banyak kegembiraan, juga pengalaman berkesan dan meneguhkan. Begitu juga banyak hal bisa dipelajari dari anak-anak. Berapa banyak kesabaran yang saya miliki, misalnya. Saya sadari sungguh, dalam dinamika pendampingan anak, kesabaran sangat diperlukan. Suatu ketika, ada seorang anak perempuan berusia kira-kira 10 tahun menangis karena diusili temannya. Pada saat yang sama, sekelompok anak ribut karena berebut pensil warna. Di sudut lain, ada dua anak sedang berkelahi tanpa sebab. Sedangkan anak-anak yang lain hanya melihat teman-temannya. Kebetulan hari itu relawan yang datang sedikit sehingga cukup kewalahan mendampingi anak-anak. Ketika saya tanya apakah mengerti materi apa yang baru saja saya jelaskan, mereka menjawab tidak mengerti. Saya harus sabar menunggu mereka menyelesaikan masalahnya, melerai dan mengatakan sedikit kalimat bijak terlebih dahulu sebelum melanjutkan pembelajaran. Ini hanya satu contoh dari sekian banyak pengalaman saat kesabaran saya diuji. Selama ini saya berusaha sabar sesabar-sabarnya. Namun, ada kalanya saya emosi, kadang menegur mereka dengan nada sedikit keras, atau sekedar menatap mereka dengan kesal. Akhirnya mereka diam, tapi karena takut. Perbedaan sangat terasa ketika saya dengan sabar menegur dan mendampinggi, mengatakan dengan halus apa yang salah dan benar, sedikit lebih lama, tapi mereka akhirnya juga mendengarkan. Mereka mengikuti apa yang saya harapkan. Mereka diam dan mendengarkan karena merasa dicintai. Harapan Setiap kali saya ke Jombor dan Bongsuwung, saya pikir hal terbaik yang bisa saya lakukan untuk anak-anak adalah membiarkan mereka melakukan sesuatu untuk diri mereka sendiri, membiarkan mereka menjadi kuat, membiarkan mereka mengalami hidup dengan caranya sendiri, membiarkan mereka berproses, dan membiarkan mereka menjadi orang yang lebih baik, lebih percaya pada diri sendiri. Selain itu, biarkan mereka merasa didukung dan dicintai, serta biarkan mereka bahagia dengan hidup mereka. Kegiatan-kegiatan pendampingan selama ini, adalah upaya agar anak-anak hidup bahagia karena setiap orang berharga dan layak bahagia. Dengan cara itu, harapannya anak-anak di Jombor dan Bongsuwung menjadi anak-anak yang lebih baik, berperilaku positif, memiliki rasa percaya diri lebih tinggi, pengalaman belajar lebih baik, dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka. Perjalanan mencapai masa depan mereka masih panjang. Masih banyak keringat dan perjuangan yang harus dilakukan. Saya percaya, anak-anak ini punya cita-cita yang ingin mereka kejar. Saya harap seorang anak yang mengatakan ingin menjadi dokter bisa tercapai. Begitu juga yang mengatakan ingin menjadi guru, polisi, tentara, penari, dsb. Sebelum itu, saya hanya ingin mereka merasakan kebahagiaan dimanapun dan bagaimanapun beratnya hidup mereka saat ini. Anak-anak ini adalah harapan dunia. Dunia yang lebih baik ada di tangan mereka. Saya pribadi bahagia bisa menjadi bagian dari hidup mereka, merasakan apa yang mereka rasakan, terguyur hujan bersama-sama, dan mengenal mereka satu persatu selama dua tahun ini. Kontributor: Fr. Hilarius Panji Setiawan, Pr – Keuskupan Ketapang

Feature

Belajar Nilai Hidup Melalui Hidup di Pelabuhan Branta

Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift. That’s why it’s called the present.  Master Oogway Pernahkah saat kalian sedang makan di sebuah restoran yang menyediakan menu-menu seafood, kalian bertanya, “Dari mana ya ikan-ikan ini diambil?” “Bagaimana ya cara menangkap ikan-ikan ini hingga akhirnya bisa diubah menjadi hidangan?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut sempat terlintas di kepala saya. Kesempatan yang diberikan Tuhan mengantar saya pada suatu pengalaman yang membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan live in di daerah pelabuhan Branta, Pamekasan, Madura. Saat tiba di tempat itu, saya teringat akan pertanyaan-pertanyaan yang pernah saya ajukan sambil berkata dalam hati, “Sepertinya Tuhan akan membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini lewat pengalaman di tempat ini.” Kurang lebih lima hari saya tinggal di Pelabuhan Branta. Selama waktu itu, saya sungguh-sungguh memaksimalkan waktu untuk mengamati keadaan dan suasana di tempat itu sekaligus berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sana. Saya mengamati kondisi ekonomi, sosial, budaya, kehidupan beragama, dan kondisi lingkungan di sana. Permukiman di sekitar Pelabuhan Branta cukup padat dan rumah-rumah berjarak sangat dekat. Ada satu akses jalan besar sebagai jalan utama menuju pelabuhan. Jalan utama itu terbentang dari ujung ke ujung dan ramai. Yang menarik perhatian saya ialah alat transportasi di sana yaitu bentor dan odong-odong. Bentor di sana rangkanya lebih panjang dan digunakan untuk mengangkut orang. Namun saat jam pasar, bentor mengangkut ikan dan hasil laut lainnya. Sementara odong-odong, motor yang dimodifikasi menjadi mirip minibus dipakai mengangkut anak sekolah di pagi hari. Pada malam hari odong-odong digunakan sebagai sarana hiburan dengan lampu warna-warni. Banyak ibu-ibu di daerah sekitar situ yang naik odong-odong sambil menggendong anaknya agar anak-anak itu tertidur. Yang lebih menarik bagi saya ialah baik odong-odong maupun bentor di daerah itu selalu memutar lagu dengan pengeras suara. Lagu-lagu khas yang diputar di daerah itu ialah dangdut koplo, remix, lagu cover berbahasa Madura, dan lagu-lagu India. Lagu-lagu itu menjadi menemani percakapan saya dengan teman-teman nongkrong bersantai di depan rumah setelah bekerja sambil membicarakan keacakan tempat kami live in. Sekolah sepertinya menarik minat banyak anak-anak dan remaja di sana. Setiap pagi mulai pukul 06.00, kami melihat banyak anak-anak mulai dari SD sampai SMA berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan permukiman penduduk tidak terlalu jauh dan dilengkapi dengan fasilitas yang cukup lengkap. Perguruan tinggi memang ada tetapi letaknya lebih jauh. Namun ada banyak ibu-ibu muda yang sedang menggendong anak juga ditemui di tempat itu. Rupanya banyak pasangan yang memutuskan untuk menikah dalam usia muda. Terlepas dari ketersediaan fasilitas seperti sekolah dan pendidikan, pada akhirnya kesenjangan ekonomi terlihat dari adanya rumah-rumah besar dan megah dan rumah kecil yang mungkin kurang layak huni. Beberapa rumah terletak di tanah pemerintah yang rentan penggusuran. Mayoritas warga laki-laki bekerja sebagai nelayan, sedangkan yang perempuan berjualan di pasar atau tempat pelelangan ikan. Ada juga yang berjualan di warung-warung kecil. Karena kehidupan sangat dekat dengan laut, banyak anak berpikir bahwa bekerja di kapal adalah kesempatan yang tersedia bagi mereka saat dewasa. Penghasilan nelayan di sana rata-rata sekitar 100-200 ribu sekali melaut. Beban kerja menurut saya sangat berat. Saya berkesempatan untuk ikut melaut selama dua hari. Berangkat dari pelabuhan pukul 02:00 dan sampai di tempat menjaring ikan pukul 05:00–05:30. Kembali ke pelabuhan sekitar pukul 12.00-13.00 dan sampai sana pukul 14:00-15:00. Mereka bekerja menarik jaring sekitar enam jam. Jaring ditebar dengan tali tambang sepanjang satu kilometer. Tali itu juga sangat berat. Nelayan akan melemparkan jaring dan kapal akan berputar di area tertentu. Jaring akan ditarik perlahan menggunakan mesin, tetapi para nelayan harus menggulung tali tersebut. Hasil yang di dapat pun tidak menentu, tergantung rejeki mereka. Mereka juga memiliki tradisi, yaitu ketika mendapatkan penyu, maka akan dilepas kembali. Mereka percaya jika penyu tidak dilepas, maka hasil tangkapan akan sedikit. Orang-orang di Pelabuhan Branta menurut saya sangat religius. Mayoritas beragama Islam dan banyak terdapat masjid di sana. Mereka taat beribadah. Selama di atas kapal, tetap taat sholat. Ada pengajian yang terjadwal. Anak-anak disana juga sudah diajarkan untuk menghafal dan membaca Al-Quran. Bahkan saya juga sempat bertemu dengan seorang nelayan yang melakukan puasa Senin-Kamis. Namanya Pak Mastur. Saya mengobrol dengannya dan ia senang membicarakan tentang Tuhan. Ia berbicara tentang komunikasi yang baik dengan Tuhan, berusaha menyelaraskan hati dan pikiran ketika ingin berkomunikasi dengan-Nya. Di sana gelar haji cukup disegani dan memiliki nama. Kebetulan saya dan beberapa kawan lain memiliki orangtua asuh bernama Haji War yang berpengaruh dan cukup memiliki nama di daerah itu. Ada pengalaman menarik di malam pertama berada di daerah tersebut. Sekitar pukul 22:00, ketika saya dan beberapa teman sudah tidur, tiba-tiba kami dibangunkan oleh salah satu teman saya yang masih nongkrong di depan rumah, “Heh bangun-bangun, kita mau diusir dari sini.” Saya kaget dan segera bangun bertanya mengapa ia berbicara seperti itu. Ternyata di luar ada pak RT yang menegur teman saya dan menanyakan izin tinggal di daerah ini. Kami semua panik karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pada saat itu kami dikira komplotan teroris, mungkin karena berambut gondrong dan membawa trashbag. Untung saja Pak Haji War langsung datang dan menyelesaikan masalah meskipun sempat cukup alot. Bahkan keesokan paginya ada dua polisi datang. Dengan baik, Pak Haji War menjelaskan semuanya kepada polisi dan petugas setempat. Saya sempat diberitahu bahwa di daerah tersebut merupakan daerah yang aman karena orang atau warga setempat biasa menyelesaikan masalah dengan berkomunikasi. Saya juga sempat melihat sendiri warga setempat yang sempat bersitegang karena serempetan bentor. Pemilik bentor tidak terima dan berteriak kepada penyerempet. Mereka bertengkar hebat dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Warga segera menghampiri dan menenangkan mereka. Pada awal datang, saya sempat berpikir bahwa warga setempat sangat cuek karena tidak merespon atau malah judes ketika disapa. Ketika pertama nongkrong di depan rumah, mereka menatap sinis dan tidak ada satupun yang mengajak ngobrol tetapi lama-kelamaan semua itu mulai berubah. Kita mulai membaur dengan lingkungan sekitar. Kita juga mulai diterima dan banyak yang mengajak berbicara. Terutama ketika malam, ada yang datang dan ikut nongkrong bersama. Tidak sedikit pula yang memberi makanan dan minuman. Kesan awal saya terhadap mereka berubah. Awalnya mereka seperti tidak peduli, namun setelah berbaur, mereka menerima saya. Selama lima hari di

Pelayanan Gereja

Rekoleksi Umat: Penyegaran Rohani, Imam Berbau Domba

Gereja St. Yusup, Gedangan mengadakan rekoleksi umat selama bulan Mei dengan mengusung tema “Membawa Damai: Semakin Bersinergi, Semakin Melayani.” Melalui tema ini, umat diharapkan dapat membawa damai, merangkul semua suku, budaya dan strata sosial sehingga menghilangkan sekat-sekat pemisah. Umat diharapkan terlibat dan bersinergi sehingga terjalin komunikasi terbuka dan lancar diantara Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan antar umat di lingkungan. Umat juga diharapkan mampu melayani dengan meniru keteladanan dari St. Yusup dan St. Ignatius Loyola. Gereja St. Yusup, Gedangan memiliki 10 wilayah dan 50 lingkungan. Satu wilayah terdiri atas empat hingga tujuh lingkungan. Kesepuluh wilayah dilayani oleh dua imam yakni Pater Benedictus Cahyo Christanto, S.J. dan Pater Vincentius Suryatma Suryawiyata, S.J. (masing-masing melayani rekoleksi umat untuk lima wilayah). Dalam satu minggu setiap romo melayani satu wilayah sehingga dalam satu bulan semua wilayah dapat terlayani. Wilayah Christophorus, Fransiskus Xaverius, Yohanes Pembaptis, Petrus, dan Vincentius dilayani oleh Pater Cahyo Christanto, S.J. sedangkan Wilayah Andreas, Leonardus, Theresia, Thomas, dan Hati Kudus dilayani oleh Pater Suryatma, S.J. Dalam paham Gereja sebagai umat beriman maka umat Katolik yang berada di lingkungan adalah umat beriman yang sesungguhnya. Mereka hidup bersama dalam satu wilayah teritori tertentu. Dengan demikian, umat beriman adalah warga lingkungan tertentu. Gereja sebagai persekutuan umat beriman adalah cita-cita gereja zaman ini. Jumlah umat yang terbatas, hubungan saling mengenal, terbuka terhadap interaksi dengan masyarakat membuat lingkungan menjadi tempat yang memungkinkan untuk mewujudkan gereja sebagai persekutuan umat beriman. Rekoleksi umat merupakan sebuah bentuk penyegaran rohani bagi umat di lingkungan dan wilayah. Pandemi covid-19 telah melemahkan kehidupan dari berbagai aspek termasuk reksa pastoral paroki dan dinamika umat di lingkungan dan wilayah. Saat ini sungguh diperlukan penyegaran kembali akan pentingnya lingkungan dan wilayah sebagai cara hidup menggereja yang merupakan kekuatan untuk mendewasakan umat paroki. Para imam tidak bekerja seorang diri dalam karya penggembalaan umat paroki. Para imam dibantu oleh DPP dan para pengurus lingkungan dan wilayah. Tanpa keterlibatan aktif DPP dan para pengurus lingkungan dan wilayah, para imam tidak dapat berbuat banyak dalam menggembalakan umat yang dipercayakan kepadanya. Sejalan dengan surat gembala Prapaskah 2023 Keuskupan Agung Semarang dengan tema “Hadirkan Damai Bagi Sesama dan Alam Ciptaan,” maka Gereja St. Yusup, Gedangan berkehendak menyegarkan lagi semangat pertobatan Paskah dan menyapa umat di lingkungan dan wilayah masing-masing dengan mengadakan acara rekoleksi umat. Hal yang paling menarik dari rekoleksi umat ini adalah kegiatan ini diadakan di wilayah masing-masing bukan di gereja. Bukan umat yang mendatangi romo tetapi romo yang mendatangi umat bersama dengan DPP. Mereka bersinergi, bergerak menyentuh ke bawah. Mereka hadir bersatu dan membaur bersama umat. Umat yang ada di lingkungan dan wilayah merasa disapa, ditemani, dan diperhatikan. Rekoleksi umat diisi dengan sarasehan yang meliputi sejarah singkat komunitas basis, hakikat peran dan kegiatan lingkungan, situasi umat lingkungan, dan belajar dari keteladanan St. Yusup dan St. Ignatius Loyola. Para romo di wilayah masing-masing mengajak umat memahami dan merefleksikan komunitas basis dan situasi konkret yang terjadi di setiap lingkungan. Umat diajak memiliki kepekaan melihat sisi-sisi positif dan sisi-sisi yang perlu dikembangkan di wilayah dan lingkungan. Kemudian, umat diajak meneladani nilai-nilai luhur dari St. Yusup dan St. Ignatius Loyola. Dari sarasehan tersebut, umat diberikan panduan pertanyaan refleksi yang harus dijawab dalam kelompok kecil. Satu kelompok terdiri dari 5 sampai 6 umat. Panduan pertanyaan refleksi membuat umat merenungkan dan merepetisi kembali materi sarasehan yang telah diberikan oleh para romo. Jawaban mereka nantinya akan disampaikan dalam pleno sehingga setiap kelompok dapat belajar dari kelompok lainnya. Jawaban-jawaban umat atas pertanyaan refleksi sungguh menarik. Dari jawaban itu dapat diketahui bahwa umat sangat serius mengikuti rekoleksi. Mereka dapat memahami dengan baik komunitas basis, hakikat peran dan kegiatan lingkungan, situasi umat lingkungan, dan belajar dari keteladanan St. Yusup dan St. Ignatius Loyola. Mereka merasa diteguhkan untuk menghidupkan iman dan membangun persekutuan-persekutuan secara teritorial dalam lingkungan masing-masing. Rekoleksi diakhiri dengan berkat penutup dari romo pendamping. Sebelum berkat penutup, umat dipersilahkan untuk menyampaikan pesan dan kesan dari rekoleksi umat ini. Umat menanggapi secara positif adanya rekoleksi umat ke wilayah-wilayah. Mereka merasakan konsolasi. Mereka mengatakan bahwa rekoleksi umat menjadi bentuk dari gereja menyapa. Gereja melalui para romo hadir bergerak ke bawah untuk menyapa umatnya secara langsung. Umat berharap bahwa rekoleksi umat bisa diadakan secara berkala. Rekoleksi umat bukan hanya membawa penyegaran rohani kepada umat tetapi juga menjadi bentuk dari gembala berbau domba. Gembala berbau domba adalah wujud dari Gereja yang bergerak ke luar. Imam yang melayani umat hingga blusukan ke bawah menjadi salah satu cara menghidupi gembala berbau domba. Imamat tidak hanya dihidupi di seputar altar tetapi juga di rumah-rumah warga lingkungan dan wilayah. Dengan menemui umat secara langsung, umat merasakan kedekatan dengan gembalanya. Kontributor: S. Wahyu Mega, S.J. – Gereja St. Yusup Gedangan

Pelayanan Gereja

Pesan Kehidupan di HUT 75 Gereja HSPMTB

Momen 75 tahun Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda (HSPMTB) menjadi pengingat agar mau berbagi untuk kesejahteraan bersama Alkisah ada seorang pemuda datang di sebuah kampung. Ia mendapati suasana di kampung tersebut dingin, terkesan tidak ada interaksi sosial yang hangat. Sang pemuda lantas mengetuk pintu satu rumah untuk meminta makan. Akan tetapi, tuan rumah mengatakan bahwa ia tidak memiliki persediaan makanan. Sang pemuda menjawab, “Baiklah, kalau begitu saya mau meminjam panci, nanti kita makan bersama. Saya memiliki batu ajaib!” Tetangga-tetangga pun berdatangan hendak menyaksikan si pemuda memasak batu ajaib. Saat merebus batu itu, pemuda tadi mengatakan masakan ini akan enak jika ditambahkan daging, lalu seorang penduduk desa bersedia menyumbangkannya. Setelah daging dimasukkannya dalam kuali, pemuda itu kembali berkata, masakan ini akan enak jika ditambahkan sayur-mayur. Kembali seorang penduduk desa datang memberikannya. Begitu seterusnya hingga terkumpul berbagai bahan makanan yang membuat masakan itu lengkap dan banyak. Cerita pemuda dan batu ajaib ini disampaikan Uskup Agung Jakarta, Bapak Uskup Ignatius Kardinal Suharyo dalam homili misa HUT ke-75 Gereja HSPMTB. Beliau mengungkapkan bahwa renungan itu memiliki pesan agar umat Katolik terus menyadari tanggung jawab iman untuk selalu terlibat dalam membangun kesejahteraan bersama. “Dalam sejarah umat manusia, sampai saat ini kesejahteraan bersama belum mampu diwujudkan,” tandas Ketua Konferensi Waligereja Indonesia periode 2012—2022 ini. Bapak Uskup Suharyo memberikan contoh dengan informasi terkait perbandingan dari 84 orang yang paling kaya di dunia ini setara dengan “kekayaan” 3,5 miliar orang yang kurang beruntung. “Silakan membayangkan ketimpangan itu terjadi. Sementara cita-cita kemerdekaan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia juga belum tercapai, masih sangat jauh,” tegasnya. Tentang kesenjangan sosial, Bapak Uskup angkat bicara terkait fenomena flexing. Menurutnya, semakin banyak orang yang suka pamer kekayaan atau kemewahan. “Di sisi lain, jika kita berjalan saat malam hari banyak ditemui saudara-saudari kita yang tidak memiliki rumah. Mereka tidur di gerobak sampah yang pada siang harinya digunakan untuk memulung,” kisahnya. Ia menegaskan agar sebagai umat Katolik, kita mau membiarkan diri dipimpin Roh Kudus dalam setiap langkah hidup. “Salah satu tanda seseorang dipimpin Roh Kudus adalah saat seseorang dengan berani dan selalu berusaha memilih yang baik dan benar dan tidak sekadar memilih yang menyenangkan dan gampang. Sekecil apapun, kita hendaklah menunjukkan keterlibatan membangun kebaikan bersama dan kesejahteraan bersama,” pesannya. Sementara itu, Romo Paroki HSPMTB, Pater Walterus Teguh Santosa, S.J. mengungkapkan bahwa setiap orang memiliki potensi yang tersimpan dan kita semua ditantang untuk merangkainya menjadi gerakan solidaritas yang membawa kesejahteraan bersama. “HSPMTB memiliki banyak pengalaman seputar solidaritas. Mulai dari Dana Sehat dan Kematian Santo Yusuf melalui Iuran Kartu Kuning; Aksi Puasa Pembangunan (APP) untuk mendukung program Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) hingga Program Ayo Sekolah, Ayo Kuliah, Ayo Kerja (ASAK). Inilah salah satu usaha Gereja dalam menciptakan jembatan yang menghubungkan antara si kaya dan si miskin,” ujarnya. “Setiap orang ditantang memainkan perannya masing-masing. Tak harus peran besar, seperti aktif dalam organisasi, tetapi peran yang tidak terlihat pun perlu dilakukan. Misalnya, Gerakan Kartu Kuning itu menjadi peran yang tidak dilihat orang, tetapi itu nyata,” pesan Pater Teguh. Lebih lanjut Pater Teguh menyampaikan bahwa Gereja se-KAJ telah merintis gerakan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Salah satu gerakan yang dilakukan gereja HSPMTB adalah mendampingi dan mendukung UMKM rintisan yang dijalankan Orang Muda Katolik dengan gerakan beli dari umat. Kesejahteraan dan KAJ Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) memiliki program pelayanan pastoral jangka panjang (2016-2026). Program tersebut berlandaskan semboyan “Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Indonesia.” Bapa Uskup Ignatius Kardinal Suharyo menegaskan bahwa seratus persen Katolik merupakan panggilan dari setiap orang Kristiani. “Paus Fransiskus menegaskan bahwa semua orang dalam status dan kedudukan apapun mempunyai panggilan yang sama menuju kesempurnaan Kristiani, kesempurnaan kasih,” ungkapnya. Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa seratus persen Indonesia adalah watak bangsa Indonesia yang cinta akan tanah air. Karenanya, KAJ merumuskannya dalam program pastoralnya. Selama 2016-2021 KAJ memiliki tema pastoral yang bertujuan mendalami sila-sila Pancasila. “Gagasan itu diterjemahkan menjadi gerakan. Salah satu gerakan yang paling dikenal adalah rosario merah putih.” Secara khusus tahun 2022-2026, KAJ memiliki lima tema pastoral terkait aktualisasi watak peduli yang sesuai dengan ajaran sosial gereja. Tema pastoral itu meliputi hormat terhadap martabat manusia (tahun 2022); kebaikan bersama dan kesejahteraan umum (2023); solidaritas (2024); perhatian kepada kaum miskin (2025); dan lingkungan hidup (2026). “Jadi pas sekali kutipan surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus. Roh dianugerahkan kepada masing-masing untuk kepentingan bersama. Diharapkan umat Katolik pernah mendengar istilah ajaran sosial gereja, pernah mencoba mendalami, dan pernah mencoba mengaktualisasikan. Itu disebarluaskan di dalam katekese tiga menit setiap Minggu di paroki-paroki se-KAJ,” tambahnya. Bapak Uskup Suharyo juga mengakui bahwa egoisme merupakan tantangan yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan nilai pelayanan pastoral Gereja. “Gejalanya adalah keserakahan, korupsi, suap, dan manipulasi. Korupsinya lengkap mulai eksekutif, yudikatif, hingga legislatif. Bisnis pun seringkali berselingkuh dengan negara, misalnya dengan undang-undang yang menguntungkan pihak tertentu.” “Mari kita dalami program watak bangsa Indonesia itu melalui inspirasi iman. Kita coba rawat dan kembangkan sikap peduli dan cinta tanah air,” pungkasnya. Dalam kesempatan ini pula, Bapak Uskup mengapresiasi keberhasilan HSPMTB yang secara konsisten menggembalakan umat. Hal ini sebagai bentuk dukungan terhadap upaya KAJ yang terus menggiatkan pelayanan pastoral. Peringatan HUT ke-75 Gereja HSPMTB ini didasarkan pada tonggak peristiwa baptisan pertama 23 Mei 1948. Hingga saat ini Gereja HSPMTB telah melahirkan 13 paroki di Tangerang Raya dan beberapa Paroki di Jakarta Barat. Kontributor: Ario & Redy – Paroki Tangerang

Feature

Mengajari Diri Identitas Sendiri

Identitas diri baik sebagai tanda pengenal maupun dalam arti substansial seperti: kemampuan, bakat, karakter dan pola pikir adalah sebuah peziarahan penemuan hari demi hari. Hal ini saya maknai dalam formasi diri, penemuan identitas. Pengertian ini bisa jadi mengena bagi yang yakin bahwa setiap pengalaman adalah guru yang mengajarkan banyak hal. Saya pun diajak untuk terus menemukan pelajaran berharga dalam setiap pengalaman positif maupun negatif. Salah satu pengalaman positif yang berdampak bagi saya sebagai calon religius sekaligus guru dalam Ordo Scholarum Piarum (Skolapios) adalah menjadi relawan SPM Realino di Jombor. Sebelumnya, antara September-Oktober 2021, tidak ingat persisnya, saya beberapa kali ikut kegiatan SPM Realino di Jombor. Akan tetapi karena kesibukan studi dan kuliah, saya tidak melanjutkannya. Di semester berikutnya, setiap Kamis pukul 14.00-16.00 WIB saya bergiat bersama para relawan SPM Realino di Jombor. Saya menikmati setiap dinamikanya dan bersyukur atas pengalaman ini. Kegiatan di Jombor yang saya ikuti adalah pendampingan anak-anak. Dengan kreativitas relawan, anak-anak didampingi melalui tema-tema yang menarik dan bermanfaat bagi mereka. Menurut pengamatan saya selama beberapa pertemuan (September-November 2022), kegiatan ini sangat bermanfaat bagi perkembangan psikis (mental) maupun kognisi anak-anak dampingan. Dalam perjalanan, saya seringkali merasa kesulitan untuk membagi waktu sebagai mahasiswa sekaligus anggota komunitas Skolapios. Mungkin kesulitan untuk membagi waktu juga dirasakan oleh teman-teman relawan lain, apalagi kegiatan ini tidak berhubungan dengan kampus. Akan tetapi toh para relawan selalu berusaha meluangkan waktu bagi anak-anak di Jombor. Inilah tanda kasih dan perhatian para relawan yang mau berbagi meski ada keterbatasan. Meskipun sibuk dengan urusan kuliah dan komunitas, selalu saja ada hal baru yang saya peroleh dalam setiap perjumpaan. Dalam senyum yang senantiasa mereka berikan, saya merefleksikan waktu yang dilalui tidak sia-sia. Saya justru memperoleh lebih banyak dari yang mampu saya berikan. Dalam beberapa kesempatan saya dipercaya mengisi beberapa pertemuan dan mengajar anak-anak SMP. Dalam proses ini ternyata saya tidak hanya memberi apa yang saya punya tetapi juga menerima apa yang anak-anak punya. Saya juga belajar untuk bersikap santun dan rendah hati. Hal-hal kecil itu jadi pelajaran besar bagi saya. Saya menikmati setiap momen berbagi dalam semangat St. Yosef Calasanz (1557-1648, Pendiri Ordo Scholarum Piarum/ Skolapios). Melalui kegiatan di SPM Realino, saya dibantu untuk lebih mengenal secara mendalam semangat Sang Pendiri: menjadi agen transformasi sosial lewat pendidikan anak-anak dan remaja miskin. Saya belajar untuk menjadi manusia utuh. Walaupun tidak lepas dari kekurangan saya tetap mengupayakan sesuatu yang baik bagi orang-orang di sekitar saya sebagai calon religius Skolapios. Kerelaan memberi adalah pembelajaran paling penting yang saya peroleh. Tidak peduli seberapa banyak yang saya punya, toh dari yang terbatas ini saya masih diperkenankan untuk berbagi. Mengajar anak-anak di Jombor membantu saya untuk melihat lebih jelas identitas masa depan saya. Saya menjadi mengerti dengan lebih baik pengalaman para Skolapios dalam karya misi. Mereka banyak mengajar. Mengajar tidak hanya sebatas mengandung fungsi predikat aktif tetapi juga pasif (kerendahan hati dan keterbukaan belajar). Bukan hanya tentang memberi tetapi juga menerima. Saya belajar banyak dari anak-anak. Jombor. Pertama, kesederhanaan. Mereka datang apa adanya. Tanpa peduli situasi apa yang sedang melanda kebanyakan anak di usia mereka yang sibuk dengan trend-trend medsos, mereka justru tampil apa adanya. Hal tersebut menyadarkan saya melihat lebih jelas kecenderungan diri yang sering hanyut dalam arus trend yang mendistraksi. Kedua, ketaatan. Ketaatan adalah salah satu pilar penting bagi saya. Anak-anak di Jombor memberi saya satu model ketaatan. Ini bukanlah model ketaatan buta. Mereka tahu ada yang baik dan berguna bagi mereka jika dengan rela hati mengikuti arahan relawan SPM Realino. Mereka (anak-anak) mengajarkan saya, segala keputusan dari formator dan pendamping komunitas bukanlah sekadar legitimasi otoritas seperti yang saya pahami. Arahan baik jika ditaati dan dilaksanakan maka akan berdampak positif. Ketiga, kerjasama. Hal ini tergambar dalam banyak aktivitas bersama anak-anak di sana. Mulai dari permainan pembuka kegiatan hingga cara-cara belajar kreatif yang mengkondisikan mereka bekerja sama. Dalam refleksi hidup berkomunitas, saya belajar bahwa berjalan sendiri pasti tidak berhasil. Komunitas memuat bentuk model hidup kolaboratif antar anggota dengan tujuan mewujudkan bonum communae. Jika saya punya kesempatan lagi, dengan senang hati saya akan terus belajar dari dan bersama adik-adik di Jombor. Kontributor: Christiano Kutun Making – Volunteer SPM Realino

Karya Pendidikan

Bakti Alumni PIKA 2023

Pada tanggal 1 Mei 2023 Gereja merayakan Pesta St. Yosef Pekerja yang juga bertepatan dengan hari Buruh Internasional. Pada hari ini pula keluarga besar SMK PIKA yang dimotori oleh para Alumni PIKA merayakannya dengan mengadakan kegiatan BAKTI ALUMNI PIKA. Kegiatan ini bertujuan untuk menjalin tali silaturahmi para alumnus dengan para guru, karyawan, dan juga para pensiunan yang pernah berkarya di PIKA. Jasa para guru dan karyawan tentunya sangat penting bagi sejarah Pendidikan dan kesuksesan yang diraih oleh para alumni PIKA. Acara ini juga dilengkapi dengan Perayaan Ekaristi dalam rangka Pesta Nama St. Yosef yang dipimpin oleh Pater Vincentius Istanto, SJ. Dalam homilinya Pater Istanto menyampaikan nilai-nilai keteladanan yang dapat dicontoh dari St. Yosef, yaitu ketulusan, kemurnian, kejujuran, ketaatan, kecermatan, dan kesederhanaan. Pater Istanto, S.J. berharap semoga kita dapat meneladani nilai-nilai keutamaan yang dimiliki oleh St.Yosef dalam kehidupan sehari-hari melalui pekerjaan, pelayanan, dan panggilan kita masing-masing baik sebagai siswa, guru, karyawan, pensiunan dan tentunya para alumni di dunia kerja. Perayaan Ekaristi dan kegiatan Bakti Alumni ini dihadiri kurang lebih 100 orang yang terdiri dari para guru, karyawan, pensiunan, dan juga para pengurus Keluarga Alumni PIKA (KAPIKA). Gregorius Hans (Angkatan 35) dalam kesempatan ini memberikan sambutannya sebagai ketua panitia pelaksana kegiatan BAKTI ALUMNI PIKA. Ia menyampaikan rasa syukur dan terimakasih atas jasa-jasa para guru dan karyawan yang telah mendidik para alumnus semasa sekolah. Grego juga menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada para donatur baik alumni perorangan maupun perusahaan-perusahaan alumni yang berkenan memberikan sponsorship dalam acara tersebut sehingga acara BAKTI ALUMNI ini dapat berjalan dengan lancar. “Pada momen ini KAPIKA ingin mewujudkan syukur dengan berbagi kebahagiaan bersama dengan orang-orang yang kami sayangi dan yang telah berjasa bagi kami para alumni yaitu para guru dan karyawan PIKA. Bakti Alumni juga menjadi salah satu program KAPIKA yang terus mendorong perkembangan SMK PIKA dan keluarga besarnya. Sekaligus menjadi tali asih antara alumni dengan keluarga SMK PIKA”. – Gregorius Hans (alumni Angkatan 35) Pak Ardian Sugito selaku Ketua Pengurus KAPIKA juga menyampaikan ungkapan terima kasih seraya memohonkan maaf mewakili alumni dengan membungkukkan badan di hadapan para guru dan karyawan apabila semasa sekolah dulu para alumni sering menyusahkan para guru dan karyawan melalui kenakalan-kenakalan yang mungkin menyakiti dan mengecewakan bapak-ibu guru dan karyawan. Pak Ardian juga menyampaikan bahwa melalui didikan dan pengajaran yang diberikan oleh bapak-ibu guru para alumni sekarang ini dapat meraih kesuksesan dan keberhasilan di dunia pekerjaan. Bakti Alumni PIKA 2023 ini juga diisi dengan pelayanan cek darah, konsultasi dokter, pengobatan gratis, dan penyerahan tali asih berupa bingkisan bahan pangan. Dalam penyelenggaraan pemeriksaan kesehatan ini, panitia bekerja sama dengan Klinik Pratama Yayasan Sosial Soegijapranata – Keuskupan Agung Semarang. Kami bersyukur atas antusiasme dan respon positif yang diberikan oleh para guru, karyawan dan pensiunan dalam acara ini. Beberapa pensiunan juga berterimakasih karena merasa terbantu dengan adanya acara BAKTI ALUMNI PIKA ini. Para alumni berharap agar ke depannya acara ini dapat diikuti lebih banyak lagi pensiunan maupun eks guru dan karyawan yang pernah mengajar dan memberikan baktinya kepada para alumni semasa sekolah. Para pengurus juga berharap agar lebih banyak lagi rekan rekan alumni yang dapat terlibat baik secara moril maupun material demi kesuksesan acara BAKTI ALUMNI yang akan datang. Harapannya pada perayaan St.Yosef di tahun yang akan datang acara yang serupa dapat terlaksana dengan lebih baik dan lebih meriah sehingga semakin menjadi wujud nyata cinta almamater yang lebih besar. Ad Maiorem Dei Gloriam “KAPIKA Rumah Kita Bersama” Kontributor: Johanes Chaesario Octavianus – Sekjend KAPIKA 2022 – 2025

Pelayanan Gereja

Bakti Sosial untuk Helen Keller Indonesia dan Pesantren Waria Al-fatah

Minggu, 12 Maret 2023, lektor Gereja Santo Yusup, Gedangan, Semarang mengadakan bakti sosial (baksos). Program baksos merupakan program tahunan. Di tahun ini, baksos dilakukan dengan tidak biasa. Baksos yang out of the box ini dilaksanakan dalam rangka berjalan bersama orang miskin, terbuang dan yang martabatnya teraniaya (UAP 2). Ada dua tempat tujuan baksos, yaitu SLB G-AB Helen Keller Indonesia dan Pesantren Waria Al-fatah. Dalam rangka menggalang dana untuk kegiatan baksos ini, para anggota lektor berjualan makanan di depan gereja. Kami berjualan nasi goreng, siomay, nasi ayam, susu, dan sebagainya. Bahkan, ada anggota yang mengedarkan jualannya di halaman parkir luar gereja dengan bersemangat. Selain itu, kami juga dibantu oleh banyak donatur. Ternyata, tidak mudah mencari donatur untuk baksos edisi spesial ini. Tidak sedikit dari para calon donatur yang tidak setuju jika baksos dilakukan di pesantren dan untuk waria. Syukurlah bahwa pada akhirnya, dengan rahmat Tuhan, kami berhasil mendapatkan donasi yang kami butuhkan bahkan jumlahnya melebihi dari target. Kami dapat membeli barang-barang yang dibutuhkan untuk SLB G-AB Helen Keller Indonesia dan Pesantren Waria Al-fatah. Destinasi pertama baksos adalah SLB G-AB Helen Keller Indonesia. SLB G-AB Helen Keller Indonesia, Yogyakarta berdiri sejak tanggal 25 Juni 1996. SLB ini didirikan oleh para Suster Putri Maria dan Yosef (PMY) dan merupakan pengembangan dari SLB B Dena Upakara Wonosobo. SLB G-AB Helen Keller Indonesia adalah sekolah berasrama yang melayani anak berkebutuhan khusus ganda tunarungu-netra. Baksos di SLB G-AB Helen Keller Indonesia diisi dengan acara bernyanyi, menari, dan bermain games bersama. Dalam segala keterbatasannya, anak-anak tunarungu-netra dibantu oleh para pendamping mengikuti acara yang telah disiapkan oleh anggota lektor. Anak-anak tunarungu-netra ikut hanyut dalam kebahagiaan dan sukacita bersama anggota lektor. Acara ditutup dengan makan siang bersama. Dalam kesempatan ini pula, kami belajar berkomunikasi dengan anak tunarungu-netra dibantu oleh para pendamping. Destinasi kedua adalah Pesantren Waria Al-fatah. Pesantren Waria Al-fatah yang berada di Kotagede, Yogyakarta, berdiri pada 28 Juli 2008. Pesantren ini hadir untuk memberi kesempatan bagi para waria atau yang lebih akrab disapa dengan transpuan untuk beribadah dan memperdalam agama secara nyaman. Para transpuan terkadang merasa tidak nyaman dan seringkali mendapat penolakan dari warga. Acara baksos diisi dengan perkenalan singkat dengan beberapa transpuan, pengenalan profil pesantren, dan diskusi. Kami dapat memahami beberapa keunikan yang ada di Pesantren Waria Al-fatah. Salah satu dari keunikan itu adalah santri tidak tinggal dan menetap seperti pesantren-pesantren pada umumnya. Para santri transpuan tinggal di rumah masing-masing. Mereka datang ke pesantren biasanya pada weekend untuk memperdalam nilai-nilai keagamaan. Dalam acara diskusi singkat, para santri transpuan menceritakan kisah hidupnya, terutama tentang memperdalam agama dan kehidupan hariannya. Ada banyak pertanyaan yang terlontar saat pertemuan dan diskusi dengan para santri. Belajar dari sumber secara langsung membantu pemahaman kami, komunitas lektor, tentang kehidupan para santri transpuan dan terlepas dari prasangka-prasangka. SLB G-AB Helen Keller Indonesia dan Pesantren Waria Al-fatah adalah tempat yang tepat bagi kami, lektor St. Yusup Gedangan, untuk belajar memahami arti dari sesama manusia. Anak-anak tuna rungu-netra dan transpuan adalah orang-orang lemah, terbuang, dan yang martabatnya teraniaya. Anak-anak tersebut memiliki keterbatasan secara fisik. Mereka miskin secara bahasa. Sedangkan transpuan adalah kaum marjinal, mereka ditolak kehadirannya. Secara khusus, transpuan menjadi sasaran empuk bagi banyak orang untuk disingkirkan. Transpuan dianggap berdosa besar, melanggar kodrat, perilaku menyimpang, dilaknat Tuhan, dan sebagainya. Ada begitu banyak hujatan yang ditujukan kepada mereka. Sebagian orang lebih suka menghujat daripada menemani, lebih suka membenci daripada mencintai, dan lebih suka mengucilkan daripada merangkul. Reni, Steven, dan Santi sebagai anggota lektor Gereja Santo Yusup Gedangan mengatakan bahwa pengalaman baksos kali ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Pengalaman berharga yang mampu mengubah sudut pandang terhadap orang-orang miskin, tersingkir dan yang martabatnya teraniaya. Reni secara khusus mengatakan bahwa kaum transpuan butuh dihargai, dihormati, dibantu, terlebih diterima oleh kita sesamanya. Mereka manusia biasa yang juga membutuhkan teman untuk berbagi cerita, teman untuk berkeluh kesah, teman yang mau membantu saat mereka dalam kesulitan. Melalui perjumpaan dengan anak-anak tunarungu-netra dan transpuan, kami belajar bahwa hidup harus diisi dengan rasa syukur dan dijalani dengan gembira. Perjumpaan selalu saja memberikan banyak rahmat. Perjumpaan tersebut adalah undangan pertobatan secara personal. Tidak hanya rasa syukur, kami juga belajar untuk tidak menghujat orang lain dan, yang paling penting, belajar untuk memahami arti menjadi sesama manusia. Menjadi sesama manusia berarti mengasihi dan memperhatikan orang lain tidak hanya terbatas pada hubungan antar anggota sekeluarga, sebangsa, sesuku, segolongan, atau seagama. Kasih bersifat universal, melampaui batas-batas yang ada. Kasih mendekatkan yang jauh, menyembuhkan yang terluka, dan menemani yang kesepian. Dalam dokumen Fratelli Tuti dikatakan bahwa kasih ditujukan kepada semua manusia, tanpa terkecuali. Kasih tidak memanggil kita untuk bertanya siapa yang dekat dengan kita tetapi untuk menjadikan diri kita dekat, menjadi sesama manusia. Kontributor: S. Wahyu Mega, SJ – Pendamping Lektor St. Yusup Gedangan