Pilgrims of Christ’s Mission

Jesuits

Pelayanan Gereja

Adorasi kepada Sakramen Maha Kudus bagi Calon Komuni Pertama

Ada sebuah tradisi menarik di Gereja St. Yusup Gedangan sebelum misa penerimaan komuni pertama, yaitu tirakatan. Dalam tirakatan ini calon penerima komuni pertama diajak untuk melakukan adorasi kepada Sakramen Mahakudus. “Tirakatan bagi calon penerima komuni pertama sudah ada sejak lama. Ini merupakan kegiatan positif yang menjadi ciri khas dari Gereja Gedangan. Menurut saya, ini baik untuk selalu diteruskan setiap tahunnya, meskipun sempat berhenti di masa pandemi,” ujar Pastor Kepala Benedictus Cahyo Christanto, S.J. Tirakatan atau adorasi ini diselenggarakan sebagai penutup misa Sabtu sore, 10 Juni 2023, sekaligus menjadi persiapan bagi calon penerima komuni pertama keesokkan harinya. Pater Cahyo memimpin tirakatan ini. Setelah misa berkat penutup, Sakramen Maha Kudus dibawa Pater Cahyo dengan penuh khidmat dari Gereja St. Yusup Gedangan menuju Gedung Pertemuan Bintang Laut di lantai 2. Kegiatan ini diperuntukkan secara khusus bagi calon penerima komuni pertama, namun banyak umat yang antusias hadir mengikuti tirakatan ini. Umat ingin merasakan kedekatan secara personal dengan Allah. Musik taize yang mengiringi tirakatan ini, membawa para calon penerima komuni pertama dan umat yang hadir dalam suasana tenang, hening, dan damai. Selama satu jam, calon penerima komuni pertama dan umat diajak menikmati keheningan bersama dengan Allah yang hadir dalam Sakramen Mahakudus serta merenungkan misteri Ekaristi. Semoga dengan tirakatan ini, para calon penerima komuni pertama semakin siap menyambut Ekaristi dan semakin mencintai Allah di dalam Ekaristi. Umat yang hadir juga diharapkan memiliki kegairahan kembali ke gereja dan merayakan Ekaristi mingguan atau harian secara offline, terutama dalam masa pasca pandemi ini. Kontributor: Fr. Wahyu Mega, S.J. – Paroki St. Yusup, Gedangan

Pelayanan Gereja

Peresmian Paroki St. Maria Bunda Allah Botong, Keuskupan Ketapang

Antara Mall Besar dan Kelestarian Alam Daerah Botong dan hutan di sekitarnya mulanya adalah “mall besar” yang menyediakan berbagai macam kebutuhan hidup bagi suku Dayak Kualant. Namun, saat ini “mall besar” tersebut pelan-pelan berubah menjadi daerah yang mengalami kerusakan lingkungan cukup berat. Hutan dan wilayah sekitarnya yang semula menyediakan apa saja yang bisa dinikmati oleh masyarakat, kini menjadi lingkungan yang minim sumber daya alam. Sementara jumlah penduduk terus bertambah, kebutuhan sandang, pangan, dan papan juga terus meningkat. Sumber daya alam yang kini tersisa adalah tambang emas, maka banyak orang Dayak Kualant pun melakukan kegiatan penambangan tersebut. Banyak daerah di sekitar Botong dirambah oleh mesin-mesin “dongfeng” yang digunakan untuk menambang emas. Pada akhirnya, mall besar yang ada pun semakin terancam. Bahkan aliran sungai Kualant yang sebelumnya dialiri air yang sangat jernih, kini menjadi sangat keruh. Persoalan tambang, kerusakan lingkungan, dan dampaknya pada masyarakat di Botong dan sekitarnya bukan tanpa narasi. Sudah ada banyak usaha untuk menanggapi persoalan itu, namun belum banyak perubahan yang terjadi. Bahkan, konflik antara mereka yang pro dan anti tambang pun sudah pernah terjadi dan hingga saat ini belum ada kata sepakat. Dalam homilinya, Bapak Uskup Pius Riana Prapdi, Pr meminta umat menyanyikan lagu Bunda Maria di Tepi Sungai Kualant yang diciptakan oleh Rm. Nugroho Tri Sumartono, Pr. Lagu tersebut mengisahkan tentang janji umat di tepi Sungai Kualant untuk merawat alam. Dalam refleksinya, Mgr. Pius juga menyinggung perjalanannya pada 2 dan 3 Juni 2023 saat mengunjungi Stasi Jangat dan air terjun Siling Ketupak. Pada homili di Stasi Jangat, Mgr. Pius menyinggung soal aliran sungai Kualant ini lima tahun yang lalu sangat jernih dan airnya bisa diminum. Saat ini kondisi airnya tidak lagi sejernih dulu. Kemudian saat berkunjung ke air terjun Siling Ketupak, sembari rekoleksi bersama dengan OMK Botong, Mgr. Pius masih melihat harapan. Aliran air terjun dan sungai masih sangat jernih dan bersih. Ia berharap semoga seluruh umat Botong dapat menjaga dan merawat hutan, sungai, dan tanah yang ada di bawah reksa Paroki Botong. Resmi menjadi Paroki St. Maria Bunda Allah Botong Setelah penantian selama kurang lebih 50 tahun, akhirnya Paroki St. Maria Bunda Allah Botong, Keuskupan Ketapang diresmikan. Dulunya, Wilayah Botong adalah bagian dari stasi di Paroki Balai Berkuak. Telah banyak imam dari macam-macam tarekat berkarya di Botong. Dengan sukacita, setelah Jesuit hadir di stasi Botong, proses peresmian sebagai paroki pun berjalan semakin cepat dan akhirnya pada 4 Juni 2023, Stasi Botong resmi berubah statusnya menjadi Paroki St. Maria Bunda Allah, Botong. Di paroki tersebut sekarang terdapat tiga Jesuit, yaitu Pater Philippus Bagus Widyawan, S.J. sebagai Pastor Kepala Paroki, Pater Albertus Mardi Santosa, S.J. sebagai Pastor Rekan, dan Frater Yosephus Bayu Aji Prasetyo, S.J. sebagai TOK-er. Rangkaian sukacita peresmian paroki diwarnai pula dengan peresmian dua buah kapel, yaitu Kapel Stasi Kemunduk dan Empasi. Selain kapel, diresmikan pula Puskesmas Pembantu di Stasi Jangant yang sekaligus dimanfaatkan tempat doa mingguan. Selain para imam religius, biarawan, dan biarawati, tamu yang hadir dalam peresmian ini berasal dari berbagai paroki dan wilayah. Ada juga umat yang harus menempuh lima jam jalan kaki untuk turut serta menjadi saksi peresmian paroki Botong. Tantangan yang Tersisa Untuk sampai di Paroki Botong, perjalanan dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama dengan bersepeda motor dari Balai Berkuak. Kedua dengan menggunakan mobil hingga stasi Empasi dan dilanjutkan dengan motor. Pada masa lalu Paroki Botong dapat diakses dengan perahu, namun karena debit air sungai yang semakin berkurang dan endapan lumpur yang makin meningkat, akses dengan perahu tidak memungkinkan. Entah sampai kapan akses kendaraan roda empat bisa sampai ke Paroki Botong. Menurut kabar, tahun ini ada rencana pelebaran jalan. Akses jalan yang tidak tersedia ini dengan sendirinya memperlambat proses interaksi umat paroki dengan dunia luar. Akses ke fasilitas-fasilitas lain seperti kesehatan, komunikasi, logistik, dan pendidikan akhirnya akan terpengaruh. Dari cerita para Jesuit dan juga yang saya saksikan sendiri, salah satu tantangan berat yang dihadapi umat di paroki ini adalah soal ketekunan dan kemauan untuk menerapkan hal-hal baru dalam hidup kemasyarakatan. Jesuit yang hadir di sana mencoba untuk memecahkan persoalan tersebut, misalnya dengan ‘mendidik’ orang muda untuk memiliki sikap tekun. Beberapa orang muda telah dikirim untuk belajar pertanian di KPTT Salatiga dan pertukangan di PIKA Semarang untuk melengkapi keterampilan mereka dalam kedua bidang tersebut. Namun, yang kemudian menjadi persoalan adalah bahwa ilmu yang telah dipelajari belum sepenuhnya diterapkan di sana. Harapan tetaplah ada sebab saya menyaksikan beberapa remaja bisa menjadi sangat tekun saat diajari oleh Jesuit yang berada di Pastoran. Ada enam remaja yang secara khusus dididik berdisiplin oleh Pater Mardi, yaitu setiap pukul 06.00 mereka diajari bekerja (menyapu, menanam, menyiram tanaman, membuat tanggul, dan membersihkan area pastoran). Jika mereka memiliki daya tahan, saya yakin soal prinsip ketekunan dapat diasah. Untuk itu, para Jesuit yang ada di sana telah berusaha untuk mencoba memerangi soal tersebut. Cara lain yang dilakukan adalah mengirim anak-anak Dayak Kualant menempuh studi di Jawa, misalnya belajar pada jenjang SMP, SMA, dan SMK di beberapa tempat seperti di Solo, Salatiga, dan Yogyakarta. Harapannya, mereka yang telah selesai belajar mau kembali ke Botong dan mengembangkan daerah mereka.Tantangan lain yang tidak mudah untuk dihadapi adalah memahami budaya setempat dan melakukan inkulturasi, misalnya pesta adat yang disertai minum-minuman beralkohol yang seringkali berujung saling kelahi. Peredaran obat terlarang ternyata sudah sampai juga di tempat ini. Pertanyaan reflektif yang dapat diajukan kemudian adalah bagaimana Paroki Botong dapat mengambil peran positif dan melakukan perubahan. Pastor Paroki telah seringkali mengingatkan dampak negatif ‘poyon’ atau minum alkohol sampai mabuk. Tantangan terakhir yang cukup mendesak adalah kerusakan lingkungan hidup akibat penambangan ilegal. Dampaknya sangat nyata. Misalnya, apa yang terlihat di Sungai Kualant. Akan tetapi, kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan selalu kalah dengan iming-iming keuntungan material hasil tambang. Proses pembangunan kesadaran sudah lama dimulai, paling tidak dari potongan lagu Bunda Maria di Tepi Sungai Kualant yang kita dengar, yaitu janji untuk menjaga alam sekitar. Semoga! Kontributor: F. Antonius Dieng Karnedi, S.J.

JCAP

Pater Primitivo E. Viray Jr., S.J. Presiden JCAP yang Baru

Pater Primitivo “Jun” E Viray Jr., S.J. ditunjuk sebagai Presiden Konferensi Jesuit Asia Pasifik (JCAP) menggantikan Pater Antonio Moreno, S.J. yang telah menjabat sejak tahun 2017. Melalui keputusan tertanggal 13 Juni 2023, Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J. merasa yakin akan integritas dan prinsip kehati-hatian Pater Viray dalam memimpin JCAP. Tanggal definitif serah terima jabatan dari Presiden JCAP sebelumnya memang belum ditentukan. Sebagai Presiden JCAP, Pater Viray akan berkolaborasi dengan para Superior Mayor JCAP untuk mengimplementasikan keputusan-keputusan Kongregasi Jenderal yang terakhir. Selain sebagai Presiden JCAP, Pater Viray juga akan melayani sebagai Superior Regio Pakistan yang merupakan wilayah misi terbaru JCAP. Saat ini Pater Viray adalah Provinsial SJ Filipina. Lahir di Quezon City, Filipina, ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Hati Kudus yang dikelola Jesuit di Cebu. Gelar sarjana (BS) di bidang Ekonomi Bisnis ia dapatkan dari Universitas Filipina sebelum bergabung dengan SJ pada tahun 1984. Gelar MA Studi Pembangunan Perdesaan dan doktorat Studi Pembangungan ia raih dari University of East Anglia, Norwich, Inggris. Pater Viray memiliki banyak pengalaman kerasulan dalam bidang pendidikan, advokasi untuk orang miskin, dan formasi yang akan membantunya melayani sebagai Presiden JCAP. Tahun 1989-1991 ia menjabat sebagai Asisten Direktur dan selanjutnya sebagai Direktur Program Pranovisiat di Haggerty Hall dan dilanjutkan selama dua tahun (1992-1994) di Rumah Arvisu. Setelah ditahbiskan imam pada tahun 1995, ia ditugaskan menjadi Pastor Rekan dan selanjutnya sebagai Pastor Kepala Paroki Ipil, Zamboanga Sibugay. Kemudian selama tiga tahun (2006-2009) ia mengajar Ekonomi di Universitas Ateneo de Zamboanga sambil melayani sebagai Superior Lokal dan Pendamping TOK. Setelah bertugas di Zamboanga, Pater Viray ditugasi menjadi Rektor Loyola House of Studies sekaligus ditunjuk sebagai Delegatus Formationis dan Wakil Rektor Komunitas Frater-frater Teologan. Pada tahun 2011, ia terpilih sebagai Rektor Universitas Ateneo de Naga (AdNU) dan menjadi Superior Lokal di Naga. Sebelum terpilih sebagai Provinsial, Pater Vinay adalah Rektor AdNU dan Koordinator Komisi Pendidikan Tinggi SJ Filipina. Selama menjadi Provinsial, Pater Viray menanggapi permintaan Uskup Pablo Virgilio David dengan mengirim Jesuit ke Wilayah Misi Hati Kudus di Keuskupan Kalookan. Hal ini memberikan kesempatan kepada Jesuit untuk terlibat secara lebih besar dengan mereka yang terpinggirkan, termasuk mereka yang terkena dampak perang melawan narkoba. Selain itu, ia mengepalai Desk Myanmar demi membantu meningkatkan kesadaran tentang konflik yang meningkat di negara itu dan memobilisasi sumber daya untuk memberikan dukungan kemanusiaan yang sangat diperlukan oleh mereka yang terkena dampak konflik. “Saya berterima kasih kepada Pater Jun atas kemurahan hati dan kesiapsediaannya menerima perutusan baru ini. Dengan bakat yang dimilikinya dan melalui rahmat Tuhan, konferensi ini berada di tangan yang tepat. Saya percaya, ia akan menjadi pemimpin yang dibutuhkan JCAP untuk tahun-tahun mendatang,” kata Pater Moreno. Sebagai Presiden JCAP selama enam tahun, Pater Moreno memfasilitasi penguatan gubernasi/tata kelola regio-regio yang sedang berkembang seraya memperhatikan perkembangan karya kerasulan Konferensi di tengah tantangan unik akibat pandemi Covid-19. Dia memimpin diskresi rencana kerasulan JCAP yang menyoroti 10 Prioritas Konferensi hingga tahun 2025. Ia mendorong kolaborasi dan sinergi yang lebih besar di antara para anggota Konferensi dengan menyadari tuntutan misi yang terus berkembang di wilayah Asia Pasifik. Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel “Fr Jun Viray SJ appointed as new President of Jesuit Conference of Asia Pacific” dalam https://jcapsj.org/blog/2023/06/19/fr-jun-viray-sj-appointed-as-new-president-of-jesuit-conference-of-asia-pacific/ Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 26 Juni 2023.

Feature

“To Make Them Happy”

Oscar Wilde adalah penyair asal Irlandia. Salah satu pandangan penting Wilde yang coba saya lakukan dalam pendampingan anak-anak di Jombor dan Bongsuwung adalah tentang cara terbaik membesarkan anak-anak agar menjadi baik. Dia mengatakan, “The best way to make children good is to make them happy.” Artinya cara terbaik membuat anak baik adalah membuat mereka bahagia. Saya menangkap alasan utama di balik pandangan Wilde ini, bahwa anak-anak yang bahagia akan memiliki kecenderungan lebih besar berperilaku positif dan bermanfaat bagi diri mereka dan orang lain. Anak-anak yang merasa senang dan bahagia akan cenderung memiliki rasa percaya diri lebih tinggi, memiliki pengalaman belajar lebih baik, dan memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka. Sejak tahun 2021, saya mulai aktif dalam kegiatan relawan mendampingi anak-anak di Jombor dan Bongsuwung yang dinaungi Yayasan Realino SPM. Saya mendampingi anak-anak dengan latar belakang sosial beragam. Anak-anak yang saya dampingi, terutama di Bongsuwung, merupakan anak-anak dari keluarga kurang mampu. Bukan hanya soal perekonomian, tetapi juga pendampingan kepribadian, pendidikan moral, dan tata krama. Sedangkan, anak-anak di Jombor sedikit lebih baik hidupnya karena sebagian besar mereka menempuh pendidikan formal seperti anak-anak kebanyakan. Sekilas Kegiatan Pendampingan Selama pendampingan setiap hari Sabtu ini, saya dibantu relawan dari berbagai universitas di Jogja. Mereka adalah orang-orang istimewa yang punya hati untuk anak-anak. Di Jombor, materi belajarnya menggunakan bahasa Inggris. Kadang diselingi games atau ice breaking, bernyanyi bersama, kerajinan tangan atau latihan keterampilan. Sedangkan di Bongsuwung, materinya sebagian besar kerajinan atau keterampilan tangan. Anak-anak juga diajar melakukan hal-hal baik yang sederhana, misalnya membereskan barang-barang yang sudah selesai digunakan, mengucapkan terima kasih, maaf, dan minta tolong. Kegiatan diusahakan menyenangkan, seru, dan kreatif supaya mereka tidak bosan. Harapannya, anak-anak senang belajar, mau sekolah dan punya semangat menggapai cita-cita mereka. Belajar Sabar Pengalaman hampir dua tahun menemani anak-anak di Jombor dan Bongsuwung adalah pengalaman berarti dan berharga bagi saya. Saya menemukan banyak kegembiraan, juga pengalaman berkesan dan meneguhkan. Begitu juga banyak hal bisa dipelajari dari anak-anak. Berapa banyak kesabaran yang saya miliki, misalnya. Saya sadari sungguh, dalam dinamika pendampingan anak, kesabaran sangat diperlukan. Suatu ketika, ada seorang anak perempuan berusia kira-kira 10 tahun menangis karena diusili temannya. Pada saat yang sama, sekelompok anak ribut karena berebut pensil warna. Di sudut lain, ada dua anak sedang berkelahi tanpa sebab. Sedangkan anak-anak yang lain hanya melihat teman-temannya. Kebetulan hari itu relawan yang datang sedikit sehingga cukup kewalahan mendampingi anak-anak. Ketika saya tanya apakah mengerti materi apa yang baru saja saya jelaskan, mereka menjawab tidak mengerti. Saya harus sabar menunggu mereka menyelesaikan masalahnya, melerai dan mengatakan sedikit kalimat bijak terlebih dahulu sebelum melanjutkan pembelajaran. Ini hanya satu contoh dari sekian banyak pengalaman saat kesabaran saya diuji. Selama ini saya berusaha sabar sesabar-sabarnya. Namun, ada kalanya saya emosi, kadang menegur mereka dengan nada sedikit keras, atau sekedar menatap mereka dengan kesal. Akhirnya mereka diam, tapi karena takut. Perbedaan sangat terasa ketika saya dengan sabar menegur dan mendampinggi, mengatakan dengan halus apa yang salah dan benar, sedikit lebih lama, tapi mereka akhirnya juga mendengarkan. Mereka mengikuti apa yang saya harapkan. Mereka diam dan mendengarkan karena merasa dicintai. Harapan Setiap kali saya ke Jombor dan Bongsuwung, saya pikir hal terbaik yang bisa saya lakukan untuk anak-anak adalah membiarkan mereka melakukan sesuatu untuk diri mereka sendiri, membiarkan mereka menjadi kuat, membiarkan mereka mengalami hidup dengan caranya sendiri, membiarkan mereka berproses, dan membiarkan mereka menjadi orang yang lebih baik, lebih percaya pada diri sendiri. Selain itu, biarkan mereka merasa didukung dan dicintai, serta biarkan mereka bahagia dengan hidup mereka. Kegiatan-kegiatan pendampingan selama ini, adalah upaya agar anak-anak hidup bahagia karena setiap orang berharga dan layak bahagia. Dengan cara itu, harapannya anak-anak di Jombor dan Bongsuwung menjadi anak-anak yang lebih baik, berperilaku positif, memiliki rasa percaya diri lebih tinggi, pengalaman belajar lebih baik, dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka. Perjalanan mencapai masa depan mereka masih panjang. Masih banyak keringat dan perjuangan yang harus dilakukan. Saya percaya, anak-anak ini punya cita-cita yang ingin mereka kejar. Saya harap seorang anak yang mengatakan ingin menjadi dokter bisa tercapai. Begitu juga yang mengatakan ingin menjadi guru, polisi, tentara, penari, dsb. Sebelum itu, saya hanya ingin mereka merasakan kebahagiaan dimanapun dan bagaimanapun beratnya hidup mereka saat ini. Anak-anak ini adalah harapan dunia. Dunia yang lebih baik ada di tangan mereka. Saya pribadi bahagia bisa menjadi bagian dari hidup mereka, merasakan apa yang mereka rasakan, terguyur hujan bersama-sama, dan mengenal mereka satu persatu selama dua tahun ini. Kontributor: Fr. Hilarius Panji Setiawan, Pr – Keuskupan Ketapang

Feature

Belajar Nilai Hidup Melalui Hidup di Pelabuhan Branta

Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift. That’s why it’s called the present.  Master Oogway Pernahkah saat kalian sedang makan di sebuah restoran yang menyediakan menu-menu seafood, kalian bertanya, “Dari mana ya ikan-ikan ini diambil?” “Bagaimana ya cara menangkap ikan-ikan ini hingga akhirnya bisa diubah menjadi hidangan?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut sempat terlintas di kepala saya. Kesempatan yang diberikan Tuhan mengantar saya pada suatu pengalaman yang membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan live in di daerah pelabuhan Branta, Pamekasan, Madura. Saat tiba di tempat itu, saya teringat akan pertanyaan-pertanyaan yang pernah saya ajukan sambil berkata dalam hati, “Sepertinya Tuhan akan membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini lewat pengalaman di tempat ini.” Kurang lebih lima hari saya tinggal di Pelabuhan Branta. Selama waktu itu, saya sungguh-sungguh memaksimalkan waktu untuk mengamati keadaan dan suasana di tempat itu sekaligus berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sana. Saya mengamati kondisi ekonomi, sosial, budaya, kehidupan beragama, dan kondisi lingkungan di sana. Permukiman di sekitar Pelabuhan Branta cukup padat dan rumah-rumah berjarak sangat dekat. Ada satu akses jalan besar sebagai jalan utama menuju pelabuhan. Jalan utama itu terbentang dari ujung ke ujung dan ramai. Yang menarik perhatian saya ialah alat transportasi di sana yaitu bentor dan odong-odong. Bentor di sana rangkanya lebih panjang dan digunakan untuk mengangkut orang. Namun saat jam pasar, bentor mengangkut ikan dan hasil laut lainnya. Sementara odong-odong, motor yang dimodifikasi menjadi mirip minibus dipakai mengangkut anak sekolah di pagi hari. Pada malam hari odong-odong digunakan sebagai sarana hiburan dengan lampu warna-warni. Banyak ibu-ibu di daerah sekitar situ yang naik odong-odong sambil menggendong anaknya agar anak-anak itu tertidur. Yang lebih menarik bagi saya ialah baik odong-odong maupun bentor di daerah itu selalu memutar lagu dengan pengeras suara. Lagu-lagu khas yang diputar di daerah itu ialah dangdut koplo, remix, lagu cover berbahasa Madura, dan lagu-lagu India. Lagu-lagu itu menjadi menemani percakapan saya dengan teman-teman nongkrong bersantai di depan rumah setelah bekerja sambil membicarakan keacakan tempat kami live in. Sekolah sepertinya menarik minat banyak anak-anak dan remaja di sana. Setiap pagi mulai pukul 06.00, kami melihat banyak anak-anak mulai dari SD sampai SMA berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan permukiman penduduk tidak terlalu jauh dan dilengkapi dengan fasilitas yang cukup lengkap. Perguruan tinggi memang ada tetapi letaknya lebih jauh. Namun ada banyak ibu-ibu muda yang sedang menggendong anak juga ditemui di tempat itu. Rupanya banyak pasangan yang memutuskan untuk menikah dalam usia muda. Terlepas dari ketersediaan fasilitas seperti sekolah dan pendidikan, pada akhirnya kesenjangan ekonomi terlihat dari adanya rumah-rumah besar dan megah dan rumah kecil yang mungkin kurang layak huni. Beberapa rumah terletak di tanah pemerintah yang rentan penggusuran. Mayoritas warga laki-laki bekerja sebagai nelayan, sedangkan yang perempuan berjualan di pasar atau tempat pelelangan ikan. Ada juga yang berjualan di warung-warung kecil. Karena kehidupan sangat dekat dengan laut, banyak anak berpikir bahwa bekerja di kapal adalah kesempatan yang tersedia bagi mereka saat dewasa. Penghasilan nelayan di sana rata-rata sekitar 100-200 ribu sekali melaut. Beban kerja menurut saya sangat berat. Saya berkesempatan untuk ikut melaut selama dua hari. Berangkat dari pelabuhan pukul 02:00 dan sampai di tempat menjaring ikan pukul 05:00–05:30. Kembali ke pelabuhan sekitar pukul 12.00-13.00 dan sampai sana pukul 14:00-15:00. Mereka bekerja menarik jaring sekitar enam jam. Jaring ditebar dengan tali tambang sepanjang satu kilometer. Tali itu juga sangat berat. Nelayan akan melemparkan jaring dan kapal akan berputar di area tertentu. Jaring akan ditarik perlahan menggunakan mesin, tetapi para nelayan harus menggulung tali tersebut. Hasil yang di dapat pun tidak menentu, tergantung rejeki mereka. Mereka juga memiliki tradisi, yaitu ketika mendapatkan penyu, maka akan dilepas kembali. Mereka percaya jika penyu tidak dilepas, maka hasil tangkapan akan sedikit. Orang-orang di Pelabuhan Branta menurut saya sangat religius. Mayoritas beragama Islam dan banyak terdapat masjid di sana. Mereka taat beribadah. Selama di atas kapal, tetap taat sholat. Ada pengajian yang terjadwal. Anak-anak disana juga sudah diajarkan untuk menghafal dan membaca Al-Quran. Bahkan saya juga sempat bertemu dengan seorang nelayan yang melakukan puasa Senin-Kamis. Namanya Pak Mastur. Saya mengobrol dengannya dan ia senang membicarakan tentang Tuhan. Ia berbicara tentang komunikasi yang baik dengan Tuhan, berusaha menyelaraskan hati dan pikiran ketika ingin berkomunikasi dengan-Nya. Di sana gelar haji cukup disegani dan memiliki nama. Kebetulan saya dan beberapa kawan lain memiliki orangtua asuh bernama Haji War yang berpengaruh dan cukup memiliki nama di daerah itu. Ada pengalaman menarik di malam pertama berada di daerah tersebut. Sekitar pukul 22:00, ketika saya dan beberapa teman sudah tidur, tiba-tiba kami dibangunkan oleh salah satu teman saya yang masih nongkrong di depan rumah, “Heh bangun-bangun, kita mau diusir dari sini.” Saya kaget dan segera bangun bertanya mengapa ia berbicara seperti itu. Ternyata di luar ada pak RT yang menegur teman saya dan menanyakan izin tinggal di daerah ini. Kami semua panik karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pada saat itu kami dikira komplotan teroris, mungkin karena berambut gondrong dan membawa trashbag. Untung saja Pak Haji War langsung datang dan menyelesaikan masalah meskipun sempat cukup alot. Bahkan keesokan paginya ada dua polisi datang. Dengan baik, Pak Haji War menjelaskan semuanya kepada polisi dan petugas setempat. Saya sempat diberitahu bahwa di daerah tersebut merupakan daerah yang aman karena orang atau warga setempat biasa menyelesaikan masalah dengan berkomunikasi. Saya juga sempat melihat sendiri warga setempat yang sempat bersitegang karena serempetan bentor. Pemilik bentor tidak terima dan berteriak kepada penyerempet. Mereka bertengkar hebat dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Warga segera menghampiri dan menenangkan mereka. Pada awal datang, saya sempat berpikir bahwa warga setempat sangat cuek karena tidak merespon atau malah judes ketika disapa. Ketika pertama nongkrong di depan rumah, mereka menatap sinis dan tidak ada satupun yang mengajak ngobrol tetapi lama-kelamaan semua itu mulai berubah. Kita mulai membaur dengan lingkungan sekitar. Kita juga mulai diterima dan banyak yang mengajak berbicara. Terutama ketika malam, ada yang datang dan ikut nongkrong bersama. Tidak sedikit pula yang memberi makanan dan minuman. Kesan awal saya terhadap mereka berubah. Awalnya mereka seperti tidak peduli, namun setelah berbaur, mereka menerima saya. Selama lima hari di

Karya Pendidikan

Keterbukaan Hati, Pintu Menuju Kasih

Perbedaan di zaman ini dipandang sebagai salah satu masalah besar untuk mencapai suatu persatuan terutama di Indonesia. Kurangnya minat generasi milenial dalam memahami dengan lebih mendalam mengenai perbedaan yang ada di sekitar sering menjadi faktor penghambat kesatuan Bangsa Indonesia. Padahal sebenarnya, generasi muda berpotensi besar membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan. Akan tetapi, ekspektasi tidaklah semulus realita. Banyak konflik terjadi di sekitar kita hanya karena perbedaan pendapat dan cara pandang. Sebagai siswa SMA Kolese De Britto, saya bersyukur karena bisa belajar dan memahami perbedaan melalui pengalaman nyata. Beberapa waktu yang lalu ada salah satu sekolah yang saya anggap berbeda dengan sekolah kami datang dan berkunjung ke tempat kami. Sekolah itu adalah SMA Bumi Cendekia. SMA Bumi Cendekia merupakan SMA yang berbasis boarding house atau pesantren berbasis asrama yang ada di Sleman. Pada awalnya kami para murid SMA Kolese De Britto diajak oleh salah satu guru sejarah, Pak Nova, untuk ikut bertemu, berkenalan, dan berproses dalam perjumpaan bersama teman-teman dari SMA Bumi Cendekia. Kami merasa sangat senang dengan kegiatan ini karena kami sebagai siswa diberikan fasilitas oleh sekolah untuk menambah relasi sekaligus diberikan kesempatan untuk berproses dengan teman – teman santri dari SMA Bumi Cendekia. Pada awalnya, saya merasa sedikit ragu untuk mengikuti acara ini. Saya takut jika terjadi suasana canggung dan aneh dalam perjumpaan ini. Namun saya tetap mau mencoba dan berdinamika bersama teman-teman santri SMA Cendekia. Saya menyadari bahwa sebenarnya perbedaan adalah realita yang harus dihadapi hingga akhirnya harus diterima dan dihidupi. Saat menyambut mereka di ruang AV 2, suasana menjadi sunyi dan canggung. Saya dan teman-teman merasa kaget karena kami hanya mengenakan kemeja dan kaos berkerah yang biasa kami gunakan untuk belajar di sekolah sementara teman-teman dari SMA Bumi Cendekia terlihat sangat rapi dengan jas berwarna biru. Bapak F.X. Catur Supatmono, M.Pd. selaku Kepala Sekolah SMA Kolese De Britto turut hadir dan menyambut para tamu. Dalam sambutannya, Bapak Ubaidillah Fatawi, M.Pd. selaku Kepala Sekolah SMA Bumi Cendekia, mengungkapkan bahwa tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mempererat tali persaudaraan antar sekolah sekaligus acara ini menjadi sarana bagi para siswa baik dari SMA Kolese De Britto maupun SMA Bumi Cendekia untuk saling mengenal dan menghargai perbedaan yang ada di antara kami. Setelah sambutan singkat, acara dilanjutkan dengan perkenalan yang dikemas dengan mini games yang asik dan menarik. Kami semua dipaksa untuk mengenal dan mengingat nama-nama kami. Pada awalnya mungkin kami sedikit kesulitan untuk mengingat nama dari teman-teman santri karena nama mereka terdengar sedikit asing bagi kami namun pada akhirnya kami dapat saling berkenalan dengan baik sehingga suasana menjadi cair. Kami pun mulai tertawa satu sama lain hingga tanpa disadari waktu untuk salat Ashar pun tiba. Acara terjeda sejenak. Setelah teman – teman santri selesai menunaikan ibadah salat, acara dilanjutkan dengan board games. Dalam sesi games ini ada tiga board games yang dihadirkan. Salah satu yang menarik bagi saya adalah games yang menguji pengetahuan kita tentang agama-agama lain yang ada di dunia ini. Pada awal game kami diajak untuk memilih pion yang ada dan menaruhnya di papan lalu terdapat kartu-kartu yang disusun dengan keadaan tertutup. Di balik kartu-kartu itu terdapat banyak sekali simbol dari berbagai agama yang ada di dunia. Secara bergantian kami harus menebak dan membuka dua kartu. Kedua kartu tersebut harus sama simbolnya (mirip seperti memo games). Setelah menemukan kartu yang sama, contohnya kartu dengan simbol Shinto, pion kita dapat maju satu langkah. Setelah itu narator akan memberikan pertanyaan umum terkait agama Shinto dan ketika kita berhasil menjawab maka pion kita akan maju sebanyak satu langkah lagi. Game yang diberikan ini selain melatih ingatan, juga dapat menambah pengetahuan umum kita mengenai agama-agama yang ada di dunia. Dalam kesempatan ini, saya senang bisa berkenalan dengan salah satu santri yang bernama Hebba. Hebba adalah salah satu murid kelas X SMA Bumi Cendekia. Pada awalnya kami merasa canggung, namun seiring berjalannya waktu, kami saling mengobrol dan bertukar informasi mengenai budaya serta keunikan yang ada di sekolah kami masing-masing. Saya menjadi akrab tidak hanya dengan Hebba tetapi juga dengan teman-teman santri yang lain. Tak terasa waktu cepat berlalu. Acara pun diakhiri dengan berfoto bersama di depan patung Santo Yohanes De Britto yang terletak di tengah halaman SMA Kolese De Britto. Setelah menjalani dinamika bersama teman-teman santri SMA Bumi Cendekia, kami sadar dan paham betul bahwa sebenarnya kata “perbedaan” tidaklah cocok untuk menggambarkan realitas masyarakat saat ini. Kata yang lebih cocok adalah “keberagaman” atau “diversity”. Kami menyadari bahwa keberagaman itu adalah realitas kehidupan. Sebesar apapun usaha atau kehendak kita untuk membuat dunia sama, tidak akan pernah mungkin tercapai. Kami sadar bahwa Tuhan terlalu kreatif. Ia tidak akan pernah menciptakan manusia yang sama persis. Semua memiliki perbedaan baik kelebihan maupun kekurangannya masing-masing. Akan tetapi sebagai manusia, terkadang kita tidak siap untuk melihat dan menerima realitas tersebut. Santo Ignatius dari Loyola mengajak kita untuk “Finding God in all things“. Tuhan pasti dapat ditemukan dalam setiap hal yang ada di sekitar kita. Bahkan dalam hal yang awalnya tampak buruk sekalipun asalkan kita dapat merefleksikannya dengan saksama, kita pasti akan mendapatkan hal baik di dalamnya. Sebagai siswa SMA Kolese De Britto, saya mencoba untuk memahami bahwa perbedaan latar belakang yang ada di sekitar kita bukanlah menjadi suatu masalah lagi. Keberagaman justru menjadi jalan kasih untuk menghargai satu sama lain. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan hati dan pikiran agar perbedaan yang menjadi masalah sebelumnya justru menjadi pintu untuk saling menyebarkan kasih kepada semua orang tanpa terkecuali. AMDG. Kontributor: Oddie Christian Tamzil – SMA Kolese de Britto

Karya Pendidikan

Bakti Alumni PIKA 2023

Pada tanggal 1 Mei 2023 Gereja merayakan Pesta St. Yosef Pekerja yang juga bertepatan dengan hari Buruh Internasional. Pada hari ini pula keluarga besar SMK PIKA yang dimotori oleh para Alumni PIKA merayakannya dengan mengadakan kegiatan BAKTI ALUMNI PIKA. Kegiatan ini bertujuan untuk menjalin tali silaturahmi para alumnus dengan para guru, karyawan, dan juga para pensiunan yang pernah berkarya di PIKA. Jasa para guru dan karyawan tentunya sangat penting bagi sejarah Pendidikan dan kesuksesan yang diraih oleh para alumni PIKA. Acara ini juga dilengkapi dengan Perayaan Ekaristi dalam rangka Pesta Nama St. Yosef yang dipimpin oleh Pater Vincentius Istanto, SJ. Dalam homilinya Pater Istanto menyampaikan nilai-nilai keteladanan yang dapat dicontoh dari St. Yosef, yaitu ketulusan, kemurnian, kejujuran, ketaatan, kecermatan, dan kesederhanaan. Pater Istanto, S.J. berharap semoga kita dapat meneladani nilai-nilai keutamaan yang dimiliki oleh St.Yosef dalam kehidupan sehari-hari melalui pekerjaan, pelayanan, dan panggilan kita masing-masing baik sebagai siswa, guru, karyawan, pensiunan dan tentunya para alumni di dunia kerja. Perayaan Ekaristi dan kegiatan Bakti Alumni ini dihadiri kurang lebih 100 orang yang terdiri dari para guru, karyawan, pensiunan, dan juga para pengurus Keluarga Alumni PIKA (KAPIKA). Gregorius Hans (Angkatan 35) dalam kesempatan ini memberikan sambutannya sebagai ketua panitia pelaksana kegiatan BAKTI ALUMNI PIKA. Ia menyampaikan rasa syukur dan terimakasih atas jasa-jasa para guru dan karyawan yang telah mendidik para alumnus semasa sekolah. Grego juga menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada para donatur baik alumni perorangan maupun perusahaan-perusahaan alumni yang berkenan memberikan sponsorship dalam acara tersebut sehingga acara BAKTI ALUMNI ini dapat berjalan dengan lancar. “Pada momen ini KAPIKA ingin mewujudkan syukur dengan berbagi kebahagiaan bersama dengan orang-orang yang kami sayangi dan yang telah berjasa bagi kami para alumni yaitu para guru dan karyawan PIKA. Bakti Alumni juga menjadi salah satu program KAPIKA yang terus mendorong perkembangan SMK PIKA dan keluarga besarnya. Sekaligus menjadi tali asih antara alumni dengan keluarga SMK PIKA”. – Gregorius Hans (alumni Angkatan 35) Pak Ardian Sugito selaku Ketua Pengurus KAPIKA juga menyampaikan ungkapan terima kasih seraya memohonkan maaf mewakili alumni dengan membungkukkan badan di hadapan para guru dan karyawan apabila semasa sekolah dulu para alumni sering menyusahkan para guru dan karyawan melalui kenakalan-kenakalan yang mungkin menyakiti dan mengecewakan bapak-ibu guru dan karyawan. Pak Ardian juga menyampaikan bahwa melalui didikan dan pengajaran yang diberikan oleh bapak-ibu guru para alumni sekarang ini dapat meraih kesuksesan dan keberhasilan di dunia pekerjaan. Bakti Alumni PIKA 2023 ini juga diisi dengan pelayanan cek darah, konsultasi dokter, pengobatan gratis, dan penyerahan tali asih berupa bingkisan bahan pangan. Dalam penyelenggaraan pemeriksaan kesehatan ini, panitia bekerja sama dengan Klinik Pratama Yayasan Sosial Soegijapranata – Keuskupan Agung Semarang. Kami bersyukur atas antusiasme dan respon positif yang diberikan oleh para guru, karyawan dan pensiunan dalam acara ini. Beberapa pensiunan juga berterimakasih karena merasa terbantu dengan adanya acara BAKTI ALUMNI PIKA ini. Para alumni berharap agar ke depannya acara ini dapat diikuti lebih banyak lagi pensiunan maupun eks guru dan karyawan yang pernah mengajar dan memberikan baktinya kepada para alumni semasa sekolah. Para pengurus juga berharap agar lebih banyak lagi rekan rekan alumni yang dapat terlibat baik secara moril maupun material demi kesuksesan acara BAKTI ALUMNI yang akan datang. Harapannya pada perayaan St.Yosef di tahun yang akan datang acara yang serupa dapat terlaksana dengan lebih baik dan lebih meriah sehingga semakin menjadi wujud nyata cinta almamater yang lebih besar. Ad Maiorem Dei Gloriam “KAPIKA Rumah Kita Bersama” Kontributor: Johanes Chaesario Octavianus – Sekjend KAPIKA 2022 – 2025

Karya Pendidikan

Gelar Budaya Kanisius Yogyakarta sebagai Pijakan Think Globally, Act Locally

Istilah think globally, act locally sering kita dengar sebagai ungkapan untuk menunjukkan eksistensi kelompok yang mau terlibat dan mengambil peran di dunia yang semakin terkoneksi ini. Pemikiran ini tidak lepas dari pesatnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi dalam perkembangan zaman yang mau tidak mau harus dipeluk oleh karya-karya Serikat Jesus terutama dalam lingkup pendidikan. Bukan berarti meninggalkan identitas lokalnya tetapi menunjukkan kepada dunia bahwa identitas budaya terutama konteks kelokalan Yogyakarta hendak dilestarikan, dikenalkan, dan ditempatkan pada konteks yang lebih luas. Pesta nama Santo Petrus Kanisius menjadi inspirasi bagi Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta untuk terus berbenah dan menunjukkan diri. Yayasan yang tahun ini berusia 105 tahun pada Oktober nanti menyadari bahwa perkembangan zaman harus dikejar dan terus berusaha menyesuaikan diri dalam seluk beluk dunia pendidikan di masa kini dan masa depan. Pada peringatan pesta nama Santo Petrus Kanisius, Yayasan Kanisius Yogyakarta menyelenggarakan Gelar Budaya di Titik Nol Kilometer atau tepatnya di pelataran Monumen Serangan Umum 1 Maret Yogyakarta. Kegiatan ini diselenggarakan pada hari Sabtu, 29 April 2023 bersamaan dengan libur panjang hari raya Idul Fitri. Banyak pengunjung menikmati gelaran yang disajikan secara apik oleh putra-putri Sekolah Kanisius Cabang Yogyakarta. Gelaran ini dimulai pukul 08.00 WIB dengan pembukaan yang dihadiri oleh pejabat di jajaran pemerintahan provinsi DIY, Yayasan Kanisius, dan unsur Gereja yang diwakili Kevikepan Yogyakarta (Yogyakarta Barat dan Timur). Cuaca yang cukup mendukung, tidak terlalu panas dan tidak terlalu mendung, menambah antusias putra-putri Kanisius dalam menampilkan hasil terbaik identitas budaya mereka. Penampilan dibagi dalam dua sesi yang terdiri dari Gelar Budaya yang dimulai pada pukul 08.00 WIB (sesi pertama) dan pementasan wayang kulit dengan dalang putra-putri Kanisius dari enam komunitas Sekolah Kanisius Yogyakarta pada sesi kedua. Gelar Budaya pada sesi pertama menampilkan banyak tarian dan teater khas Yogyakarta. Sajian ini mengundang gelak tawa karena peran serta anak-anak Taman Kanak-Kanak yang otentik membawakan lakon mereka masing-masing. Enam Komunitas Sekolah Kanisius menampilkan teater kepatriotan Nyi Ageng Serang, cerita bajak laut, serta tarian-tarian. Pada sesi kedua pementasan wayang kulit dengan berbagai macam lakon dibawakan oleh dalang-dalang cilik dari enam komunitas Sekolah Kanisius Yogyakarta. Walau diiringi gerimis saat pementasan wayang kulit di sore hari, antusias penonton terus mengalir demi menonton pementasan ini. Turis domestik dan luar negeri turut menikmati pementasan yang berakhir pada pukul 21.30 WIB. Kegiatan ini terlaksana tidak lepas dari peran Ketua Panitia Bapak Yohanes Nugroho, S.Pd (selaku Kepala Sekolah SD Kanisius Pugeran), Yayasan Kanisius Yogyakarta, kolaborasi guru dan karyawan dari enam Komunitas Sekolah Yogyakarta, dan Pemprov DIY. Tidak lupa dukungan dari pemerhati, orang tua, dan Gereja mengalir sebagai pendukung utama, tidak hanya dalam kegiatan seremonial saja melainkan juga dalam keberlangsungan kegiatan belajar mengajar. Semoga momen ini kembali mengingatkan pada jati diri dan identitas pendidikan Kanisius yang hadir menjawab tantangan lokal dan perlu terlibat menanggapi tantangan global. Perayaan pesta nama Santo Petrus Kanisius ini diakhiri dengan perayaan Ekaristi bersama di Gereja St Antonius Padua Kotabaru pada 2 Mei 2023 bersamaan dengan Hari Pendidikan Nasional. Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Pater Yohanes Heru Hendarto, S.J. dengan konselebran Pater Mahar, S.J. dan Pater Paul Suparno, S.J. Dalam homilinya Pater Heru, S.J. memberikan penekanan pada keteladanan Santo Petrus Kanisius dalam tiga aspek. Teladan Kanisius yang diutus menjadi manusia rohani yang tidak hanya menitik beratkan pada pengetahuan semata namun juga pada kedalaman untuk memiliki sikap bela rasa. Keteladanan yang kedua adalah menjadi manusia gerejawi. Sebagaimana keteladanan St Petrus Kanisius hadir dalam pergolakan Gereja saat itu dan menjadi penopang bagi pembaharuan terutama dalam formasi iman dan pendidikan. Terakhir adalah manusia dalam perutusan. Sebagai lembaga yang dibawah perlindungan Santo Petrus Kanisius, ketersediaan diri dan dengan rendah hati mengikuti perutusan yang akan diberikan. Perayaan ekaristi ini cukup meriah karena dihadiri oleh bapak ibu kepala sekolah serta para murid SD Kanisius Kota baru dan SD Kanisius Gayam. Tagline Kanisius “Where are leader are made” menjadi harapan dan perwujudan bagi perjalanan layar kapal Kanisius mengarungi luasnya samudra. Kristus sang mercusuar akan mendampingi dan memberikan tanda bagi perjalanan Kanisius. Dari titik 0 monumen Serangan Umum 1 Maret semoga layar Kanisius terkembang untuk semakin berani mengobarkan dunia. Ad Maiorem Dei Gloriam Kontributor: Sch. P Craver Swandono, SJ – Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta