Pilgrims of Christ’s Mission

Jesuits

Karya Pendidikan

Amor in Diversitate 

Keberagaman Indonesia Berkunjung ke pondok pesantren Roudhotus Sholihin adalah pengalaman pertama bagi kami KKL (Keluarga Kolese Loyola, sebutan untuk siswa/siswi Loyola) dalam melihat konteks keberagaman yang ada di Indonesia. Kami dapat melihat secara personal bagaimana kebiasaan dan kebudayaan yang terbangun di luar realitas yang dihadapi di komunitas Loyola. Dalam kunjungan ini ada 15 orang KKL yang didampingi oleh Pater Martinus Juprianto Bulu Toding., S.J., Bapak Antonius Novianto, dan Ibu Wening Putri Pertiwi. Kami juga mendapatkan bantuan dari Fr. Wahyu Mega S.J. dalam berkomunikasi dan berdiskusi dengan pihak pondok pesantren. Kunjungan ini semakin istimewa karena menjadi salah satu rangkaian dalam pendistribusian Gerakan Seratus Perak III. Gerakan ini merupakan upaya dari Dewan Keluarga Kolese Loyola (DKKL) dalam mewujudkan semangat berbela rasa dan compassion bagi masyarakat. Kegiatan ini memang masih baru dalam komunitas kami, sehingga masih ditemui banyak rintangan dalam mewujudkannya, baik dalam lingkup internal maupun eksternal. Namun secara perlahan kami mencoba membantu dengan menggalang donasi dalam rentang waktu yang ada. Situasi Komunitas Loyola saat ini sudah semakin majemuk dan heterogen dibanding situasi sebelumnya. Beberapa upaya telah dilakukan untuk memberikan hak yang sama kepada setiap KKL. Kami sadar bahwa setiap suku, budaya, dan kepercayaan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang telah menjadi salah satu fokus yang terus diperjuangkan. Meskipun dalam praktiknya masih banyak evaluasi dan masukan yang diperlukan untuk pengembangan hal tersebut, namun usaha untuk terlibat dalam dialog antaragama menjadi momen penting dalam mempererat kebhinekaan. Sungguh dalam kunjungan kali ini kami kembali disadarkan bagaimana memaknai keberagaman ini. Keberagaman bukan tentang mayoritas dan minoritas, tetapi tentang mencipta rasa dan makna. Apa yang diajarkan dalam setiap perbedaan pada dasarnya adalah sama, tetapi berbeda dari segi pengaplikasiannya. Kami sebagai Komunitas Ignatian menyadari tentang sikap lepas bebas, sebuah sikap di mana kita memiliki kebebasan dalam memilih keputusan atas diri kita namun memiliki tanggung jawab moral untuk memilih apa yang sesuai dengan kehendak-Nya. Hal serupa secara praktis diterapkan di Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin yang hadir di tengah-tengah pemukiman masyarakat. Kehadiran di tengah masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi para santri untuk memilih dan menimbang (discretio) bagaimana harus bersikap di tengah masyarakat. Sebagai manusia yang utuh bersama dengan perbedaan yang ada, kita harus saling merangkul dan memahami untuk menciptakan toleransi, saling menghargai dan kolaborasi dalam memajukan kehidupan bersama. Salah satunya melalui sarana dialog bersama. Dialog ini bertujuan untuk mengasah wiraga, wirama, wirasa, dan wirupa dalam setiap orang yang masih mencintai Tuhan serta tanah airnya. Pada kunjungan ini pula kami disambut dengan sedemikian hangatnya sebagai satu keluarga hingga diundang ikut serta dalam Mauludan. Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin adalah salah satu pioner pendidikan dalam menciptakan pribadi yang religius, beradab, dan berintelektual. Visi inklusivisme juga terwujud dari kesempatan yang diberikan Gus Abdul Kodir, pimpinan pondok pesantren, kepada kami saat berkunjung dan menerima para frater-frater Jesuit yang sedang menjalani Tahap Orientasi Kerasulan. Selain itu kami juga menemukan sesuatu yang berbeda di pondok pesantren ini, sebuah keberhasilan pendidikan karakter yang sangat baik. Generasi muda perlu terus menerus mendapat bimbingan untuk menjadi generasi masa depan yang humanis. Metode pembelajaran ini menjadi sebuah masukan yang berharga bagi kami di Komunitas Loyola dalam membimbing KKL. Kami berharap dengan kunjungan ini terbangun kesadaran dan relasi kolaborasi antara SMA Kolese Loyola dan Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin dalam pengembangan para siswanya. Bersama-sama mencetak pribadi yang kompeten dan memiliki hati nurani untuk membangun bangsa ini. Kami, Komunitas Loyola, akan terus membangun diri menjadi komunitas yang sungguh mewujudkan men and women for others tanpa melihat perbedaan yang ada. Komitmen untuk saling menghormati dan upaya-upaya kolaboratif menjadi potensi yang sangat berpengaruh dalam menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia. Ad Maiorem Dei Gloriam.  Kontributor: Michael Bryan Ardhitama – KKL Angkatan 72 SMA Kolese Loyola

Pelayanan Gereja

Global Peace Youth Indonesia – Semarang di Gereja St. Yusup Gedangan

Global Peace Youth Indonesia Semarang (GPYI Semarang) adalah kegiatan berkumpulnya pemuda dan pemudi lintas iman untuk bersilaturahmi, mengenal, dan memahami sesuatu hal di luar komunitasnya seperti agama, suku, budaya, dan rumah ibadah. GPYI – Semarang secara umum memiliki tiga nilai yang nantinya akan diimplementasikan dalam setiap kegiatan. Nilai-nilai tersebut adalah kolaborasi lintas agama, penguatan kekeluargaan, dan budaya melayani. GPYI Semarang menamakan kegiatan ini dengan sebutan Peace Project. Peace Project akan dilakukan secara berkesinambungan di berbagai tempat. Gereja St. Yusup Gedangan menjadi tempat pertama yang dipilih oleh GPYI Semarang untuk melaksanakan kegiatan tersebut. GPYI Semarang ingin bersilaturahmi dan mengenal Gereja Katolik pertama di Keuskupan Agung Semarang. Para peserta Peace Project hadir dari bermacam komunitas, antara lain GPYI Semarang, SMA Kolese Loyola, Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin, dan Misdinar St. Yusup, Gedangan. Total peserta berjumlah 48 orang. Para peserta didominasi para pelajar SMA dan mahasiswa. Namun ada juga beberapa peserta yang masih duduk di bangku SMP dan yang sudah bekerja. Peace project yang dilaksanakan pada Sabtu, 23 September 2023, dikemas secara menyenangkan, hangat, dan penuh semangat kekeluargaan. Peace project diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya lalu sambutan oleh Pastor Kepala Gereja Santo Yusup, Gedangan, Pater Benedictus Cahyo Christanto, S.J. Pater Cahyo sangat mendukung diadakannya kegiatan ini. “Melalui Peace Project kaum muda akan belajar mengembangkan toleransi dan menjalin persaudaraan dengan sesama manusia,” ujarnya. Jingga dari misdinar St. Yusup, Gedangan dan Sri dari GPYI Semarang memandu acara dengan sangat baik. Mereka memberikan aneka games menarik yang membuat peserta tertawa, bersemangat, dan saling mengenal satu dengan lainnya. Para pemandu acara ini mampu membuat acara semakin hidup dan meriah dan tentu saja, hal ini sudah menjadi bentuk nyata dialog lintas iman. Acara inti Peace Project adalah mengenal sejarah singkat Gereja St. Yusup, Gedangan. Frater Wahyu Mega, S.J. memaparkan secara singkat sejarah Gereja St. Yusup, Gedangan. Setelah presentasi selesai lalu diadakan tanya jawab. Sejarah Gereja Gedangan ternyata menarik perhatian peserta. Ketertarikan mereka ditandai dengan banyaknya peserta yang bertanya mengenai Gereja Gedangan dan seputar kekatolikan. Sesi tanya jawab menjadi sesi yang sangat penting karena peserta di luar agama Katolik dapat mengenal katolisisme secara lebih dekat. Para peserta juga diajak masuk ke dalam gereja dan melakukan tour. Ternyata masuk ke dalam gereja menjadi sesuatu yang wow banget bagi peserta. Mereka dapat melihat secara langsung dan berfoto dengan benda-benda antik misalnya organ pipa dan batu nisan Mgr. Lijnen. Namun ada juga peserta yang belum pernah masuk Gereja Katolik manapun dan Gereja St. Yusup, Gedangan menjadi gereja perdana yang mereka kunjungi. Setelah tour gereja, acara dilanjutkan dengan makan siang bersama yang dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas maksimal enam peserta. Mereka makan sambil memberikan kesan dan pesan di dalam kelompok. Yoga, koordinator GPYI Semarang mengungkapkan rasa senangnya karena bisa melaksanakan Peace Project pertama di gereja tertua di Jawa Tengah. “Banyak sekali hal yang saya peroleh ketika berkunjung ke tempat ini, mulai dari sejarah, arsitektur, ilmu, jejaring, pengalaman, dan sebagainya. Saya berharap, ke depan Gereja St. Yusup, Gedangan bisa menjadi salah satu pelopor perdamaian dan toleransi di Jawa Tengah. Gereja St. Yusup, Gedangan dengan sejarahnya yang menarik sangat cocok menjadi tempat generasi muda lintas iman untuk srawung (bersosialisasi) dan saling mengenal,” tegasnya. Peace Project ditutup dengan doa lintas agama kaum muda. Kaum muda dari Katolik, Kristen, Islam, Budha, Konghucu, dan aliran kepercayaan Kabudayaan Jawi Tunggul Sabda Jati berdoa bersama untuk perdamaian dan persaudaraan bagi sesama. Mereka merupakan generasi penerus toleransi dan perdamaian bagi agamanya masing-masing dan negaranya. Mereka akan menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk menyebarkan cinta kepada sesama tanpa perlu membeda-bedakan latar belakang agamanya. Jalaluddin Rumi, mistikus sufisme abad XIII dari Iran, mengatakan bahwa cintalah yang mengubah pahit menjadi manis, tanah menjadi biji emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, dan penjara menjadi taman. Cinta pula yang melunakkan besi dan menghancurkan batu, yang menghidupkan, dan menggairahkan kehidupan. Kontributor: S. Yohanes Crissostomus Wahyu Mega, S.J. – Gereja St. Yusup, Gedangan

Pelayanan Masyarakat

Menjadi Manusia Ekologis dan Mapan

Ulang Tahun KPTT ke-58 Pada 1 September 2023 kemarin, Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga berusia genap 58 tahun. Perayaan HUT KPTT Salatiga tahun ini mengangkat tema “Menjadi Manusia Ekologis dan Mapan.” Serangkaian acara dilaksanakan untuk memeriahkan ulang tahun KPTT ini, mulai dari diskusi bertema lingkungan dengan para pegiat lingkungan di Salatiga dan dinas terkait, seminar untuk meningkatkan kompetensi karyawan, perayaan syukur, edufair, jobfair, dan eco camp untuk kaum muda. Perayaan syukur ulang tahun KPTT dilaksanakan pada 2 September 2023. Hadir dalam acara tersebut antara lain Bapak Drs. Sinoeng Noegroho Rachmadi, M.M. (Pj. Walikota Salatiga), Bapak Dance Ishak Palit, M.Si. (Ketua DPRD Kota Salatiga), perwakilan Jesuit Provinsi Indonesia, Forkompincam, para pegiat lingkungan Salatiga, sekolah, universitas rekanan, perusahaan rekanan, dan para tamu undangan. Dalam sambutannya, Ketua DPRD mengapresiasi peran KPTT di Salatiga pada khususnya selama 58 tahun ini. “Saya mengapresiasi sumbangsih KPTT terhadap masyarakat tentang cara bertani dengan cerdas, dengan teknologi. Sudah banyak hal yang sudah dikerjakan oleh KPTT, bukan hanya khotbah. Semoga dengan adanya KPTT kita lebih menghayati kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita”, ungkap Pak Dance. Penjabat Walikota Salatiga, Drs. Sinoeng Noegroho Rachmadi, M.M. juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas kontribusi KPTT yang tiada henti dan ternyata menembus batas. “Tidak lagi pada sekat-sekat yang sifatnya eksklusif, tapi pada menghidupi kata migunani. Kalau kata anak millennial, tidak peduli dari mana kamu berasal, yang penting ke arah mana kamu menuju. Harapannya jangan pernah berhenti menyebarkan virus kebaikan dan migunani ini,” ujar beliau. Sejenak kilas balik, berdirinya KPTT Salatiga diprakarsai oleh Ikatan Petani Pancasila (badan sosial), IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (lembaga Pendidikan), dan Panitia Waligereja Indonesia (badan sosial keagamaan). KPTT Salatiga didirikan pada 1 September 1965 dan bernaung di bawah Yayasan Taman Tani. Tujuan awal berdirinya KPTT adalah memajukan perkembangan sosio-ekonomi khususnya di bidang agraria dengan menyelenggarakan kursus pertanian untuk membantu para petani dengan cara baru serta menjadikan petani-petani tersebut menjadi kader yang kompeten, mandiri, peduli, dan berhati nurani. Sampai saat ini, KPTT Salatiga menjadi salah satu rujukan untuk belajar modern farming, tidak hanya di bidang pertanian namun juga peternakan. KPTT menerapkan budidaya organik dan kembali ke alam. Salah satu contoh penerapannya adalah KPTT membuat sendiri dan menggunakan pupuk yang diperkaya dengan trichoderma untuk mengatasi bencana fusarium yang melanda tanaman-tanaman di KPTT. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Yayasan Taman Tani, Pater Petrus Sunu Hardiyanta, S.J. dalam sambutannya. Kala tahun 2017, KPTT dibuat pusing karena bencana fusarium ini. Pisang dibelah, dalamnya hitam. Bahkan jika membelah pohon pisang yang terkena fusarium, maka akan kita temukan bagian dalam batang yang juga menghitam. Lalu KPTT mencoba mencari teknologi tepat guna untuk melawan bencana fusarium ini. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa fusarium bisa dilawan dengan jamur juga, yakni trichoderma. Sejak saat itu, KPTT mulai belajar mengekstrak jamur trichoderma dari bahan alami kemudian ditambahkan ke dalam pupuk untuk merawat tanaman. KPTT terus belajar dan beradaptasi dengan tuntutan zaman. Direktur KPTT, Pater F.A. Sugiarta, S.J., mengajak kita semua untuk mendengar dan menanggapi seruan ciptaan. Sesuai dengan ajakan pemerintah Indonesia menuju Indonesia Maju 2045, saat ini KPTT sedang merancang profil manusia ekologis untuk mengembangkan sumber daya manusia Indonesia. Sesuai dengan tema ulang tahun saat ini, KPTT mengajak kita untuk menjadi manusia ekologis. Apa itu manusia ekologis? Manusia ekologis adalah manusia yang mempunyai hubungan harmonis dengan Tuhan, lingkungan alam, dan sesama. Diharapkan KPTT bisa menjadi salah satu pusat pendidikan ekologis, secara khusus di Salatiga dan Indonesia pada umumnya. Semoga Tuhan memberkati niat baik ini. Kontributor: Rosalia Devi – Boemi Svarga

Feature

Antara Kesetiaan dan Harapan

Menemani Orang Muda Thailand Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan bertemu dengan para misionaris Indonesia yang berkarya di Thailand. Regio Dependen Thailand merupakan bagian dari Serikat Jesus Provinsi Indonesia. Dua nostri Indonesia yang pertama kali dikirim ke Thailand yaitu Pater Macarius Maharsono Probho, S.J. dan seorang skolastik lain ketika mereka masih dalam formasi TOK (Tahap Orientasi Kerasulan) pada tahun 1985. Hal ini dilakukan karena jumlah SDM di Thailand masih sedikit. Ada dua nostri Indonesia yang hingga saat ini masih berkarya di Thailand, yaitu Pater Beda Yassao, S.J. dan Pater Yohanes Sigit Setyo Wibowo, S.J. Pater Beda Yassao, S.J. atau biasa dipanggil Pater Beda sudah berkarya sejak tahun 2000 dan saat ini tinggal di The Seven Fountains Retreat House, Chiang Mai sebagai pembimbing retret. Sebelumnya, selama sembilan tahun Pater Beda bertugas sebagai Pastor Mahasiswa dan Pastor Pembantu sebuah paroki di Provinsi Chon Buri, Thailand. Pater Yohanes Sigit Setyo Wibowo, S.J. atau biasa dipanggil Pater Bowo, sudah berkarya di Thailand semenjak ia masih sebagai skolastik/frater TOK (Tahap Orientasi Kerasulan) tahun 2007 hingga sekarang sebagai Socius Regional Superior Thailand. Saat ini ia tinggal di Xavier Hall Jesuit Residence. Ia juga bertugas sebagai Direktur Christian Ministry, Jesuit Social Services (JESS), dan anggota tim Safeguarding sambil menyelesaikan studi doktoral bidang Filsafat dan Agama di Assumption University, Bangkok. Umat Katolik di Thailand merupakan minoritas. Hanya terdapat kurang lebih 300.000 orang dari 75 juta penduduk dan dengan jumlah stagnan. Mengapa demikian? Penduduk di sana masih menganggap agama Katolik sebagai ibu tiri karena berasal dari penjajah Eropa dan agama Buddha merupakan agama ibu. Selain itu, ada tradisi di sana bahwa jika kakek atau nenek meninggal maka cucu laki-lakinya diminta menjadi biksu sementara selama 3-4 hari. Apabila cucu laki-lakinya sudah dibaptis maka tidak bisa lagi melakukan tradisi ini. Dengan kata lain, menjadi katolik memerlukan keberanian untuk “keluar” dari tradisi yang ada. Pendidikan atau sekolah Katolik di Thailand begitu diakui dan terkenal, bahkan sering menjadi incaran untuk mengenyam pendidikan yang baik. Pater Beda dan Pater Bowo mendampingi para mahasiswa Katolik yang tersebar di 150 kampus Thailand. Ternyata mendampingi mahasiswa Katolik di sana bukan hal yang mudah karena biasanya mereka sudah merasa jenuh dengan kegiatan keagamaan yang sedari SMP/SMA Katolik diwajibkan. Pater Beda dan Pater Bowo pun memahami bagaimana kondisi mahasiswa yang sudah jenuh oleh beragam kegiatan Katolik dan diperlukan usaha lebih untuk menarik minat para mahasiswa. Pantang menyerah. Kegiatan-kegiatan yang tidak melulu liturgis namun juga sosial (work camp, live in) dan spiritualitas terus diusahakan. Uniknya, tidak hanya mahasiswa Katolik, namun juga para mahasiswa beragama Buddha dan Islam yang tertarik dengan aneka kegiatan yang diadakan dalam perkumpulan mahasiswa Katolik ini. Karakter orang muda di Thailand sangat berbeda dengan di Indonesia. Para mahasiswa Thailand sangat bergantung dengan orang yang mereka kenal. Ketika ada kegiatan, biasanya mereka bukan tertarik karena kegiatannya itu sendiri namun lebih kepada siapa saja teman-teman yang ikut bergabung. Oleh karena itu, pendekatan personal dan relasi (jejaring) menjadi kunci untuk menarik mereka mengikuti kegiatan-kegiatan ini. Selain itu, jaringan para pastor paroki juga menjadi kunci karena para mahasiswa ini juga masih menjadi bagian dari orang muda katolik di paroki tertentu. Di balik semua tantangan yang dihadapi, Pater Beda merasa senang bisa menemani para mahasiswa karena dapat memotivasi dan melibatkan mereka dalam proses pendampingan. Para mahasiswa diajak untuk memikirkan pengalaman apa yang sebenarnya mereka butuhkan, salah satunya ketika akan live in. Mereka memilih, yang merupakan ide mereka sendiri, untuk melakukan live in di tempat yang minim listrik dan sinyal. Pater Beda memberikan ruang kebebasan untuk berekspresi dan mengungkapkan ide sambil mengajak mereka mempertanggungjawabkan pilihan yang telah ditetapkan. Hal yang kurang lebih sama diungkapkan oleh Pater Bowo ketika menemani orang muda. Bekerja dengan orang muda membuatnya semakin aktif dan kreatif dalam memenuhi apa yang mereka inginkan walaupun butuh tenaga ekstra. Para mahasiswa diajak untuk mengalami perjumpaan dengan orang miskin, misalnya melalui work camp. Kegiatan ini dilaksanakan di pedesaan. Setiap mahasiswa diajak untuk membantu masyarakat di desa itu, misalnya dengan memperbaiki rumah penduduk atau bekerja di ladang. Pengalaman perjumpaan ini penting agar mereka bisa lebih memahami tujuan menjadi men or women for others. Di Thailand saat ini banyak orang muda yang mengalami depresi karena berbagai faktor. Banyak mahasiswa bunuh diri dan dosen mengalami depresi. Pendampingan mahasiswa dengan aneka kegiatan yang diselenggarakan ini adalah upaya untuk menemani mereka dalam masa kering atau desolasi. Bagi Pater Beda dan Pater Bowo, menemani orang muda adalah menemani mereka yang bersemangat muda untuk mampu menentukan identitas dirinya sendiri sehingga kelak mereka dapat berdiri sendiri dengan kreativitasnya dan mampu menjadi men or women for others. Kontributor: Margareta Revita – Tim Komunikator

Penjelajahan dengan Orang Muda

Maria Bangun dan Bergegas Pergi

Ajakan Sosial Paus Fransiskus bagi Orang Muda Tema WYD (World Youth Day) Lisbon 2023 adalah “Maria bangun dan bergegas pergi” (Lukas 1:39). Tema ini memberikan misi kepada kaum muda dengan mengatakan bahwa sekaranglah waktunya untuk bermimpi dan bekerja demi dunia baru seperti yang dilakukan Maria. Namun bagaimana kita dapat meniru Maria dewasa ini? Orang muda harus berusaha menjadi seperti Maria – orang yang mendengarkan Sabda Allah dan berdiri serta bergegas – bukannya menjadi orang yang tetap duduk di sofa atau melihat sesuatu dari balkon atau jendela. Masa kepausan Paus Fransiskus telah menyajikan beberapa topik yang dekat di hati kaum muda. Tema-tema itu menunjuk pada cara-cara praktis yang konkret bagi kita untuk membangun Gereja yang misioner dalam citra Maria dengan kaum muda bangkit, yaitu ekologi integral (Laudato Si), persahabatan sosial dan persekutuan universal (Fratelli Tutti), dan belas kasih (Misericordia et misera). Tujuan utama dari pembahasan Laudato Si ini adalah untuk mengeksplorasi tema umum WYD dan memperkenalkan generasi muda pada pengalaman dikasihi dan dipanggil oleh Tuhan seperti Maria. Pengalaman ini mendorong orang muda untuk melangkah lebih jauh dan mendekati orang lain, serta berdamai dengan Tuhan, dengan saudara-saudari kita, dan semua ciptaan. Pembahasan mengenai Persahabatan Sosial bertujuan untuk menunjukkan kepada kaum muda cara-cara spesifik untuk mengikuti Yesus dan meniru Maria dan dengan demikian memberikan substansi pada jawaban “ya” mereka. Kaum muda merasa diundang untuk berpartisipasi dalam impian Tuhan bagi umat manusia dan secara aktif berkontribusi dalam mengubah realitas. Kaum muda dan uskup memberikan kesaksian tentang tindakan nyata yang telah dilaksanakan, untuk menunjukkan kepada kaum muda lainnya bahwa komitmen praktis memang mungkin dan pantas dilakukan. Pada WYD ini orang muda juga diperkenalkan dengan pentingnya keheningan dan kontemplasi. Mereka akan didorong untuk mendekat dan menjadi sahabat Yesus, yang disalibkan dan bangkit kembali. Dalam perjumpaan dengan Bapa yang penuh belas kasihan ini, generasi muda akan diajak untuk menelaah kembali perjalanan hidup mereka sambil menghabiskan waktu dalam adorasi, dialog pribadi dan rekonsiliasi dengan Tuhan. Orang Muda juga diajak dekat dengan Bunda Maria dalam WYD kali ini. Kesiapan Maria untuk bangkit dan bergegas menemui Elisabeth (lih. Luk 1:39) merupakan sebuah undangan bagi kaum muda untuk meniru dia sebagai tokoh utama yang aktif dalam “Gereja yang Misioner.” Dinamisme perjalanan Maria menyoroti simbol rumah yang ditinggalkan Maria di Nazaret dan rumah di mana ia tiba, yaitu rumah Elisabeth dan Zakharia. Gagasan tentang sebuah rumah menunjukkan adanya hubungan dengan Rumah Kita Bersama, yang diberikan oleh Tuhan kepada semua orang sebagai tempat tinggal (Ekologi Integral); dimensi relasional, di mana persaudaraan dan kegembiraan hidup dalam persekutuan dipelajari (Persahabatan Sosial); Rumah Bapa, tempat belas kasihan, tempat kita berasal dan ke mana kita akan kembali, berkali-kali seperti anak yang hilang sehingga kehidupan dan kegembiraan dapat ditemukan kembali dan diciptakan kembali (rahmat). Kontributor: P Alexander Koko Siswijayanto, S.J.

Prompang

Asa Panggilan di Tengah Tawaran Dunia

Kamu mau jadi dokter? Akuntan? Arsitek? Pengacara? Atau lainnya? Ada banyak tawaran cita-cita pekerjaan yang dimiliki oleh anak muda. Untuk mencapai cita-cita itu, seorang anak harus melalui tahapan pendidikan khusus, seperti pendidikan sarjana. Kolese Kanisius dan Kolese Gonzaga berupaya menjembatani anak-anak didiknya untuk mendapatkan informasi lebih lengkap mengenai kampus-kampus terbaik beserta jurusannya dengan menggelar edufair. Edufair di Kolese Kanisius berlangsung pada 2-3 September, sedangkan di Kolese Gonzaga berlangsung pada 15-16 September 2023. Prompang SJ turut berpartisipasi pada kegiatan edufair di kedua kolese tersebut. Pada kesempatan ini, Prompang SJ mencoba menawarkan pilihan lain yang ditawarkan kampus-kampus lain yang juga ikut berpartisipasi, yaitu pilihan untuk menjadi seorang Jesuit. Pilihan ini terkesan aneh bagi sebagian orang. Di tengah hiruk-pikuk dunia dengan berbagai tawarannya, masih adakah anak muda yang tertarik menjadi seorang biarawan atau religius? Jawabannya adalah “ada.” Edufair di Kolese Kanisius dan Gonzaga memiliki buktinya. Pada gelaran edufair ini, para siswa Kolese Kanisius yang semuanya laki-laki dan para siswa Kolese Gonzaga, khususnya yang laki-laki, sangat antusias mengunjungi booth Prompang SJ. Seperti biasa, Prompang SJ menggelar acara Ngopi Bareng Jesuit di booth-nya. Melalui acara Ngopi Bareng Jesuit itu, para siswa yang berkunjung dapat minum kopi gratis sambil bertanya-jawab dengan para Jesuit mengenai sejarah Serikat Jesus dan Spiritualitas Ignatian. Selain itu, para siswa juga dapat berbagi cerita mengenai pergulatan hidup mereka, terutama mengenai panggilan hidup. Dari cerita-cerita mereka itulah diketahui bahwa beberapa di antara mereka memiliki ketertarikan untuk menjadi seorang Jesuit. Ada yang berencana bergabung ke dalam Serikat Jesus setelah lulus SMA. Ada pula yang berencana bergabung namun dengan terlebih dahulu menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana. Mereka yang berencana bergabung setelah lulus SMA harus terlebih dahulu mengikuti program KPA (Kelas Persiapan Atas) di seminari, sedangkan mereka yang sudah menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana dapat bergabung dengan terlebih dahulu mengikuti program rekoleksi promosi panggilan SJ. Booth Prompang SJ tidak hanya dikunjungi oleh para siswa Kolese Kanisius dan Gonzaga, namun juga dikunjungi oleh para orang tua siswa. Para orang tua siswa yang berkunjung menyatakan dukungannya seandainya anaknya memiliki keinginan untuk menjadi seorang Jesuit. Dukungan orang tua dan keluarga merupakan hal penting bagi para calon Jesuit untuk semakin memantapkan panggilannya. Gelaran edufair di Kolese Kanisius dan Gonzaga menjadi bukti bahwa benih panggilan tersebar di tengah tawaran dunia yang beragam. Panggilan untuk menjadi seorang Jesuit masih menjadi pilihan bagi sebagian anak muda. Kolese-Kolese yang dikelola para Jesuit memiliki peran penting dalam menumbuhkan benih panggilan itu melalui perjumpaan-perjumpaan yang terjadi. Kontributor: S. Mikael Tri Karitasanto, S.J – Prompang SJ

Pengumuman A24

Pengumuman Kaul Akhir

Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J. dalam keputusannnya tertanggal 9 September 2023, telah mengundang saudara-saudara kita di bawah ini untuk mengucapkan kaul akhir dalam Serikat Jesus: Kita mengucapkan proficiat untuk saudara kita ini dan membawanya dalam doa-doa kita. Tempat dan tanggal pengucapan kaul akhir akan diumumkan menyusul. Bambang A. Sipayung, S. J. Socius Provinsial SJ Indonesia

Pelayanan Gereja

Siap Diutus menjadi Saksi-Nya

Sabtu, 19 Agustus 2023, sebanyak 126 orang menerima sakramen Krisma dari tangan Bapak Uskup Robertus Rubiyatmoko di Gereja St. Yusup Gedangan, Semarang. Dalam perayaan Ekaristi ini Bapa Uskup Robertus Rubiyatmoko didampingi oleh Pater Benedictus Cahyo Kristanto, S.J. dan Pater Martinus Hadisiswoyo, S.J. Peserta penerima sakramen Krisma berasal dari beragam usia. Mereka dikelompokkan menjadi dua kelompok usia yakni remaja dan dewasa. Peserta remaja dengan rentang usia 13 – 17 tahun sebanyak 85 orang dan dewasa dengan rentang usia 18 – 71 tahun sebanyak 41 orang. Peserta yang akan menerima Sakramen Krisma harus mengikuti proses pembelajaran selama enam bulan. Proses pembelajaran diawali dari bulan Februari hingga Agustus. Setiap hari minggu siang, para katekis paroki dengan setia dan murah hati mendampingi peserta Krisma. Mereka memberikan banyak bahan pembelajaran agar peserta Krisma dapat memahami dengan baik tentang Sakramen Krisma dan setelahnya siap diutus menjadi saksi Kristus. Selama mendampingi para peserta Krisma, Bapak FX. Rudy, selaku kepala bidang pewartaan dan tim merasa sangat bersyukur. Mereka mampu mendampingi peserta dari awal hingga hari penerimaan Sakramen Krisma meskipun mereka kekurangan jumlah pendamping. Mereka berharap agar materi-materi yang diberikan dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan berani menjadi saksi-Nya. Ada sesuatu yang menarik selama proses pembelajaran tersebut. Salah satunya pada bulan April yang lalu, peserta krisma diajak anjangsana sekaligus berbuka puasa bersama di Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin, Demak. Mereka bertemu dengan para santri dan menjadi saksi Kristus yang mampu mengasihi siapapun tanpa terkecuali. Perjumpaan para peserta krisma dengan para santri menjadi wujud mengembangkan toleransi dan menghayati kasih kepada sesama. KH. Abdul Qodir selaku pengasuh Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin menyambut dengan ramah dan terbuka. “Kunjungan yang dilakukan oleh Gereja St. Yusup, Gedangan adalah kunjungan muhibah. Muhibah artinya adalah cinta kasih. Dengan cinta kasih, perbedaan bukan masalah. Justru perbedaan menambah warna-warni kehidupan,” ujarnya. Bapak F.X. Rudy mengatakan bahwa kunjungan ke pesantren adalah wujud dari menghidupi iman katolik dan menjadi saksi Kristus. “Iman tanpa perbuatan hakikatnya adalah mati,” pungkasnya. Iman harus teraktualisasi dalam tindakan sehari-hari dan terwujud secara konkret dalam cinta kasih kepada sesama manusia. Nora sebagai salah seorang peserta mengatakan bahwa krisma berarti menerima Roh Kudus yang lebih menguatkan diri sehingga menjadi lebih dewasa secara iman dan dengan begitu menjadi lebih sadar untuk memiliki kewajiban menjadi saksi Kristus. “Materi-materi yang diberikan oleh para katekis membuat saya sadar untuk menerapkan kasih dalam hidup sehari-hari. Bersaksi sama juga dengan memberikan kasih,” ujarnya. Sakramen Krisma merupakan tanda kedewasaan iman seseorang. Penerimaan sakramen krisma melengkapi rahmat pembaptisan dan menyempurnakan inisiasi. Melalui sakramen krisma, seseorang diikat secara lebih kuat dan sempurna dengan Gereja serta diperkaya dengan daya kekuatan Roh Kudus. Konsekuensi dari sakramen krisma adalah tanggung jawab iman dan semakin wajib untuk menyebarluaskan dan membela iman sebagai saksi Kristus. Kontributor: S Yohanes Chrisostomus Wahyu Mega, S.J. – Gereja St. Yusup Gedangan