Nexus Buruh Migran dan Pengungsi Lintas Batas
Mengurai Benang Kusut Migrasi Paksa: “Migrasi hari ini bukanlah fenomena yang terbatas pada beberapa wilayah di planet ini. Migrasi mempengaruhi seluruh benua dan tumbuh menjadi situasi tragis dengan skala global. Hal ini tidak hanya menyangkut mereka yang mencari pekerjaan yang layak atau kondisi hidup yang lebih baik, tetapi juga laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak, yang terpaksa meninggalkan rumah mereka dengan harapan mendapatkan keselamatan, kedamaian, dan rasa aman.”1 Tak kurang-kurang kita mendengarkan kisah pilu buruh migran dari Indonesia dan keluarganya yang kehilangan martabat dan haknya sebagai manusia. Sebagian berakhir di peti mati. Kemarin, kita bahkan disuguhi upaya kriminalisasi pekerja kemanusiaan, di Kepulauan Riau, ketika berjuang menyampaikan aduan terkait praktik koruptif oknum pemerintah dalam melindungi sindikat perdagangan manusia. Begitu sulit kita membayangkan perjalanan yang harus dialami para buruh migran. Apalagi bagi mereka yang tidak melalui jalur resmi. Pertanyaannya, apakah dalam kondisi dan konteks yang dialami buruh migran tersebut, tersedia pilihan yang lebih baik di negaranya selain bermigrasi? Sementara, ada pula kehadiran pengungsi lintas batas, yang di Indonesia disebut sebagai pengungsi dari luar negeri (untuk selanjutnya dalam tulisan ini disebut “pengungsi”). Mereka datang karena mendapatkan ancaman di negaranya. Mereka dapat tinggal bertahun-tahun tanpa kejelasan waktu dalam mendapatkan solusi jangka panjang. Umumnya, para pengungsi dan migran menghindari penangkapan. Namun, pada tahun 2018 dan beberapa tahun sebelumnya, kita menyaksikan para pengungsi berkemah menyerahkan diri di trotoar Jakarta agar ditahan dan mendapatkan akses terhadap kebutuhan dasar. Meski demikian, tak jarang pula pertanyaan kepada buruh migran ditanyakan kepada mereka, dapatkah mereka pulang saja dan mengambil pilihan hidup yang lebih baik di negaranya? Bahasan mengenai buruh migran dan pengungsi kerap didominasi perspektif legalistik. Fokusnya tak jarang mengenai status subjek hukumnya dan cara mereka berpindah. Hal ini mengawali dikotomi para subjek di dalam perpindahan paksa, termasuk buruh migran dan pengungsi lintas batas. Di Indonesia, masih jarang ditemui uraian mengenai kemiripan alasan mereka pergi, terbatasnya pilihan-pilihan hidup yang tersedia di negaranya, dan pengalaman yang sama seputar kekerasan dan eksploitasi. Dengan bermigrasi tanpa jalur resmi, ukuran kemanusiaan mereka akhirnya kerap direduksi sebatas status paspor, visa, dan secarik kertas lainnya. Apakah tanpa adanya identitas resmi maka hak dan martabat mereka sebagai manusia layak dibedakan dengan kita? Unsur Keterpaksaan pada Alasan Bermigrasi Perpindahan (displacement), perantauan atau migrasi sudah berlangsung sejak sangat lama. Kisah dalam kitab suci bahkan tak kurang-kurang diwarnai dengan peristiwa perpindahan paksa dan persekusi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa kebebasan berpindah adalah hak asasi manusia. Di tahun 1951, perjanjian internasional yang mengatur mengenai status pengungsi dilahirkan. Konvensi ini berangkat dari konteks perang dunia kedua yang kemudian menghasilkan perpindahan paksa. Konvensi ini menegaskan bahwa mereka yang berpindah paksa wajib dilindungi. Dalam konteks Gereja, bulan September tahun ini, kita akan memperingati hari migran dan pengungsi sedunia yang ke-109. Artinya peringatan ini juga diawali di sekitar tahun 1914. Tahun dimana lagi-lagi memiliki konteks perang dunia. Perpindahan paksa (forced displacement) dalam konteks pengungsi memiliki definisi yang jelas dalam konvensi internasional maupun peraturan di Indonesia, khususnya Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2016 mengenai penanganan pengungsi dari luar negeri. Perpindahan ini terjadi pada orang asing yang berada diluar wilayah negaranya karena disebabkan ketakutan yang beralasan (well founded fear) akan persekusi. Persekusi ini didasarkan karena ras, suku, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, atau pendapat politik yang berbeda. Hal ini membuat mereka tidak menginginkan atau tidak mampu mendapatkan perlindungan dari negara asalnya. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa perpindahan ini memiliki unsur keterpaksaan (forced). Jika tidak ada persekusi terhadap suku dan agamanya, tidak adanya perang, adanya perlindungan hak asasi manusia di negaranya serta kebebasan dalam berpolitik, maka pengungsi mungkin tidak perlu meninggalkan negaranya. Bagaimana dengan buruh migran? Di tataran internasional, International Labor Organisation (ILO) menerbitkan beberapa konvensi awal di tahun 1949 dan 1975 yang berfokus pada kondisi kerja buruh migran. Konvensi mengenai perlindungan buruh migran secara komprehensif dengan perspektif HAM lahir di tahun 1990. Konvensi ini baru mulai efektif 23 tahun kemudian setelah 20 negara meratifikasinya. Indonesia meratifikasi di tahun 2012 dan tercatat pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2012. Hingga saat ini, buruh migran tidak dianggap sebagai pengungsi dalam narasi dan peraturan internasional. Alasan perpindahannya dianggap murni karena mencari kesempatan ekonomi tanpa adanya unsur keterpaksaan. Padahal, dalam kisah-kisah perjumpaan kelompok masyarakat sipil dengan buruh migran, narasi ini tak sepenuhnya tepat. Alasan kesempatan ekonomi pun dalam beberapa konteks dapat menimbulkan unsur keterpaksaan dan pada akhirnya eksploitasi. Sebagian contohnya adalah kemiskinan, terbatasnya opsi mendapatkan pekerjaan di negara asal, rendahnya gaji yang membuat kebutuhan rumah tangga tidak terpenuhi, dsb. Hal inilah yang kerap membuat publik sering membedakan istilah antara expatriate, istilah bagi buruh migran dengan pekerjaan kerah putih yang berkelas atas dengan buruh migran, yang identik dengan pekerjaan kerah biru seperti asisten rumah tangga, buruh pabrik, korban eksploitasi di sektor prostitusi, perjudian dan sebagainya. Ukuran keterpaksaan ini memang akan menjadi sangat kasuistis tergantung situasi seseorang yang berpindah. Namun, hari-hari ini kita melihat bahwa dikotomi terkait alasan perpindahan antara persekusi dan ekonomi semakin buram dan kompleks. Khususnya bagi buruh migran yang menjadi korban eksploitasi. Belum lagi, saat ini kita juga dihadapkan pada fenomena perpindahan paksa karena perubahan iklim dan kondisi lingkungan hidup. Kompleksitas ini ditangkap secara internasional dan melahirkan New York Declaration for Refugees and Migrants di tahun 2016. Deklarasi ini kemudian berlanjut dengan Global Compact on Refugees dan Global Compact for Migration di tahun 2018. Terbatasnya Akses terhadap Jalur Resmi Alasan seseorang meninggalkan negaranya untuk berpindah tentu bisa sangat beragam, antara lain untuk mendapatkan pendidikan tingkat lanjut, bekerja, berkumpul bersama keluarga, membangun kehidupan yang lebih baik, dsb. Dengan globalisasi, kita melihat arus perpindahan ini semakin masif. Sebuah perusahaan di Amerika Serikat, bisa memiliki kantor di Singapura dengan pabrik di Filipina serta buruh dari Indonesia. Idealnya, seluruh proses migrasi ini dilakukan dengan dokumen perjalanan yang resmi, diantaranya paspor dan visa. Namun, tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap jalur resmi ini, diantaranya sebagian buruh migran dan tentunya pengungsi. Pertama, keterbatasan akses terhadap jalur resmi ini terkait informasi. Tidak sedikit buruh migran yang baru menyadari bahwa dokumennya tidak resmi ketika sudah berada di perjalanan atau mengalami eksploitasi. Tanpa adanya informasi, pilihan akan diambil tanpa pertimbangan konsekuensi yang







