Pilgrims of Christ’s Mission

jesuit indonesia

Formasi Iman

Pertemuan Bruder Jesuit Indonesia di Kolese Loyola Semarang

Pertemuan Bruder Jesuit Indonesia tahun 2023 diadakan di Kolese Loyola Semarang, dari tanggal 29 – 31 Oktober 2023. Ada 16 Bruder yang hadir dalam acara tersebut dan berasal dari beberapa komunitas. Hadir pula seorang Bruder Novis, yang diutus oleh Magister dan Socius Magister di komunitas formasi Novisiat Girisonta. Walaupun ada beberapa Bruder yang tidak hadir dalam acara ini, karena kesibukan maupun karena lokasi yang terlalu jauh (luar pulau), namun acara ini tetap berjalan dengan menggembirakan dan lancar.

Penjelajahan dengan Orang Muda

“Apa yang Tidak Boleh Kita Lewatkan untuk Masa Depan yang Penuh Harapan?”

Dialog Pater Jenderal Arturo Sosa dengan Orang Muda Pada pesta St. Ignatius Loyola, 31 Juli 2023, Pater Arturo Sosa, S.J, melakukan percakapan dengan enam peziarah muda yang mewakili berbagai benua dan latar belakang sosial-ekonomi. Masing-masing dari enam peserta berkesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada Pater Sosa tentang Gereja dan dunia. Elijah, seorang peziarah asal Amerika Serikat, adalah orang pertama yang mengajukan pertanyaan. Dia ingin tahu bagaimana dia bisa menghayati iman Katoliknya sebagai seorang pemuda dan baru saja menjadi seorang Katolik. “Menjadi seorang Katolik berarti memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan—dengan Yesus, ketika mengakui Dia sebagai Tuhan,” jawab Pater Jendral. “Katolik bukanlah sebuah doktrin. Itu adalah sebuah keyakinan. Prinsip satu-satunya adalah mengikuti Yesus. Dan untuk mengikuti Yesus, kita perlu berhubungan dengan Dia. Kita harus menjadi, seperti [St. Ignatius] berkata, dengan akrab; untuk mengembangkan keakraban itu melalui doa, melalui pelayanan kepada orang lain adalah hal yang benar-benar membawamu ke dalam iman Katolik.” Pertanyaan berikutnya yang diajukan kepada Pater Jendral adalah mengenai peran para Jesuit dan preferensi apostolik Serikat Jesus dalam bekerja dengan kaum muda dan mendorong mereka menjadi “pencipta masa depan yang penuh harapan,” seperti yang muncul dalam tema MAGIS 2023. “Saya ingin tahu apakah mereka yang tidak terpanggil pada panggilan religius dapat mengambil peran juga,” kata Sofia, seorang putri dari Portugal, kepada Pater Jendral. “Bagaimana kita bisa memberdayakan kelompok masyarakat ini?” Ia kemudian menambahkan pertanyaan lebih lanjut: “Bagaimana Serikat Jesus dapat menyediakan alat dan pelatihan integral bagi mereka yang ingin menjadi bagian dalam membangun masa depan yang penuh harapan, bahkan jika jalan hidup mereka tidak mengarah pada panggilan religius?” Menanggapi pertanyaan tersebut, Pater Jendral mengambil analogi tubuh Kristus yang digunakan dalam Kitab Suci oleh St. Paulus, mengingatkan para peziarah bahwa gereja, seperti halnya tubuh, memiliki banyak bagian. “Gereja membayangkan kembali dirinya sebagai umat Tuhan yang berjalan bersama,” katanya. “Tetapi panggilan utama umat Kristiani adalah menjadi orang awam—mayoritas umat Tuhan adalah orang awam.” “Bagaimana kita berkontribusi terhadap hal itu?” tanya Pastor Sosa. “Karena panggilan berasal dari Tuhan; Tuhanlah yang memanggil, bukan manusia yang menciptakan. Saya tidak bermaksud melakukan ini atau itu; Tuhan memanggil siapa pun yang Dia inginkan, karena apa yang Dia yakini bisa lebih baik bagi kebahagiaan mereka—demi kebahagiaan kita masing-masing.” Pater Jendral kemudian beralih ke karunia khusus yang dapat diberikan oleh spiritualitas Ignatian untuk membantu orang menemukan panggilan mereka: “Yang harus kita pelajari adalah mendengarkan panggilan Tuhan. Spiritualitas Ignasian adalah cara nyata dalam memahami, mendengarkan panggilan dan mempersiapkan diri untuk mengambil pilihan, karena panggilan itu diberikan oleh Tuhan, tetapi keputusan ada di tangan kita masing-masing.” Yvonne, seorang Katolik dari Malaysia, berkomentar bahwa di beberapa negara Asia, menjadi Katolik mengakibatkan penganiayaan. Dia bertanya kepada Pater Jendral, “Ketika lingkungan kita membatasi kemampuan kita untuk mengekspresikan dan membagikan iman kita, bagaimana kita bisa menjadi mercusuar harapan bagi orang lain?” “Paus Fransiskus mengundang kita tidak hanya untuk menyaksikan Yesus Kristus di kayu salib tetapi juga untuk menyaksikan dari salib,” kata Pater Jendral. “Jika kita benar-benar ingin mengikuti Yesus, kita perlu bangkit dan mengamati dunia serta melihat sejarah dari sudut pandang Kristus di kayu salib—dan itu mengubah segalanya. Saat Anda disalib, Anda terbuka terhadap apa yang Tuhan ingin lakukan bagi dunia.” Paus Fransiskus sering menggambarkan hari ini sebagai momen penganiayaan umat Kristen yang terbesar, kata Pater Jendral. Ia mencontohkan kejadian baru-baru ini di India di mana ratusan gereja dibakar dan banyak yang meninggal. “Sebagai umat Kristiani, kita harus membiasakan diri menghadapi kesulitan. Jalan menuju kehidupan sejati melewati salib. Anda tidak akan sampai pada kebangkitan tanpa mengalami kematian,” katanya. “Yang memberi kita penghiburan adalah bahwa [Yesus] menyertai kita. Dia membuka jalan. Dia berjalan sampai akhir dan itulah sebabnya dia bangkit dan membuka kehidupan kebangkitan kepada kita.” Bia, seorang perempuan asal Brazil, menyampaikan isu ketenagakerjaan bagi kaum muda merupakan hal yang sangat penting. Martabat pekerja menyentuh sejumlah isu, termasuk ras dan gender. Dia bertanya kepada Pater Jendral bagaimana pandangan Gereja dan Serikat Jesus mengenai masalah ini. “Bukan hanya kebijakan neoliberal yang membuat perekonomian tumbuh,” kata Pater Jendral. “Untuk mewujudkan pekerjaan yang bermartabat bagi semua orang, diperlukan keadilan sosial. Selama kemiskinan terus meningkat, berapapun banyaknya pekerjaan yang tersedia, akan terjadi eksploitasi dan pekerjaan yang tidak bermartabat bagi manusia.” Serikat Jesus memahami misinya sebagai “iman kepada Tuhan yang memajukan keadilan sosial bagi semua orang,” katanya. “Pelayanan yang ingin kami tawarkan kepada dunia adalah berkontribusi dalam mengubah struktur sosial untuk mengakhiri kemiskinan sebagai kondisi yang terjadi di sebagian besar dunia, untuk mengakhiri migrasi paksa, untuk mengakhiri pekerjaan yang tidak bermartabat.” Namun perubahan ini, katanya, hanya akan terjadi jika umat Katolik berkomitmen untuk kebaikan bersama seluruh umat manusia. “Selama masih ada masyarakat miskin, tidak ada harkat dan martabat manusia,” ujarnya. Shingirai, seorang remaja putri dari Zimbabwe, mengajukan pertanyaan terakhir kepada Pater Sosa. Dia menyatakan keprihatinannya mengenai dampak agama Kristen terhadap budaya Afrika, khususnya hilangnya akar tradisional. “Apa yang dilakukan gereja untuk membentuk tatanan moral generasi muda?” tanyanya, dengan menyebutkan secara spesifik tentang L.G.B.T.Q. masyarakat. Dia juga menanyakan tentang upaya Gereja untuk melibatkan orang-orang dari Afrika dan Asia dalam membentuk nilai-nilai dan administrasinya. Pastor Sosa menjawab: “Mungkin abad ke-20 dan abad ini, abad ke-21, adalah momen ketika Gereja menjadi Katolik. Sekarang adalah momen dalam sejarah ketika Gereja menjadi benar-benar universal; karena kita sekarang memiliki Gereja Multikultural.” “Setiap kebudayaan harus diubah melalui terang Injil. Menjadi seorang Kristen atau Katolik bukanlah berarti memperoleh budaya baru; itu adalah untuk menginjili budaya tempat Anda berasal. Kekristenan bukanlah sebuah budaya, melainkan keyakinan agama yang menerangi setiap budaya,” ujarnya. “Itulah mengapa tantangan besarnya adalah menjadi antar budaya; dari budaya Anda yang diterangi oleh Injil, Anda berhubungan dengan budaya lain dan Anda memperkaya budaya lain dan Anda diperkaya oleh budaya lain.” Pater Jendral kemudian menanggapi secara lebih lugas kekhawatiran Shingirai tentang dampak Gereja terhadap moralitas seksual di berbagai budaya. Pemikiran moral dan teologis Katolik “selalu dalam proses,” katanya. “Kita perlu mengembangkan dari inspirasi Roh Kudus bagaimana menghadapi berbagai masalah. Dan itulah mengapa kearifan sangat penting,” tambahnya. “Kita perlu mengasihi manusia, karena Tuhan mengasihi semua orang. Tuhan adalah cinta. Dan dia mengambil inisiatif untuk mencintai semua orang; setiap manusia dikasihi oleh Tuhan. Jadi dari situ kita bisa benar-benar memahami dan mengembangkan

Provindo

To be Men and Women for and with Others

Setelah sempat tertunda selama dua tahun karena pandemi, akhirnya Temu Kolese (Tekol) diselenggarakan kembali. Temu kolese kali ini diselenggarakan di SMA Kolese de Britto, Yogyakarta dan mengusung tema “To Be Friend with The Poor!”. Kegiatan ini dilaksanakan pada 16-20 Oktober 2023 dan dihadiri delapan Kolese Jesuit Indonesia, yaitu Kolese Kanisius Jakarta, Kolese Gonzaga Jakarta, Kolese Loyola Semarang, Kolese de Britto Jogja, Kolese PIKA Semarang, Kolese Mikael Solo, Seminari Mertoyudan Magelang, dan Kolese Le Cocq Nabire. Temu kolese adalah kegiatan yang diinisiasi oleh para pamong kolese agar siswa-siswi Kolese Jesuit Indonesia berjumpa dan berkolaborasi. Pater Baskoro Poedjinoegroho, Delegat Pendidikan Serikat Jesus, bercerita bahwa kegiatan ini bermula dari 3 kolese besar (Kolese de Britto, Kolese Loyola, dan Kolese Kanisius) yang saling berkunjung dari satu kolese ke kolese lain secara bergantian. Dalam kunjungan ini diselenggarakan pula pertandingan olahraga sehingga terjadi interaksi antarsiswa kolese. Lambat laun, para pamong kolese menginisiasi pertemuan seluruh kolese Jesuit Indonesia yang terprogram dan rutin sekitar tahun 1980n. Temu Kolese tahun 1985 dilaksanakan di Seminari Mertoyudan Magelang dan dihadiri oleh 6 kolese Jesuit yaitu Kolese Loyola, Kolese de Britto, Kolese Kanisius, SMK PIKA dan STM Mikael. Kegiatan ini dilaksanakan pada 11-13 Oktober 1985 dengan agenda pertandingan olahraga. Pertemuan kolese selanjutnya dilaksanakan di Kolese Loyola Semarang pada 11-13 Oktober 1988 dengan tema “Satu dalam Semangat Yesuit”. Kegiatan ini diikuti oleh Kolese de Britto, Kolese Kanisius, Seminari Pejanten atau Kanisius Unit Selatan, PIKA, STM Mikael, Seminari Mertoyudan dan Kolese Loyola. Sempat beberapa kali temu kolese diselenggarakan di Seminari Mertoyudan karena ada asrama yang mengurangi kesulitan akomodasi dan mck anak-anak. Setelah beberapa waktu, Tekol diselenggarakan di kolese-kolese lain agar dapat mengunjungi sekolah-sekolah yang lainnya. Sempat, pertandingan olahraga menjadi sebuah ajang untuk menunjukkan kehebatan kolese serta mengajarkan para peserta berkompetisi. Lambat laun tidak hanya pertandingan olahraga saja, berbagai kegiatan seperti lomba namun mulai berkembang menjadi berbagai kesenian, debat, refleksi bersama, ekaristi, doa, dan malam ekspresi. Berbeda dengan temu kolese sebelumnya, panitia Tekol 2023 menambahkan sebuah kegiatan baru yaitu immersion. Program immersion ini adalah salah satu ciri khas formasi di SMA Kolese de Britto, di mana para siswa diajak untuk tidak hanya menjadi pengamat namun pelaku yang berinteraksi langsung dengan mereka yang tersingkirkan lewat live in di karya sosial atau slum area. Tujuan immersion dalam kegiatan Tekol 2023 ini adalah agar anak-anak belajar mengasah hati dan sisi compassion mereka serta memperdalam semangat to be men and women for and with others. Kegiatan ini sejalan dengan tema Temu Kolese kali ini yaitu “To Be Friend with The Poor!” sekaligus selaras dengan salah satu fokus Universal Apostolic Preferences (UAP). Saat immersion, para peserta dibagi dalam beberapa kelompok. Ada yang mengunjungi lapas, menjadi pedagang di pasar Beringharjo, buruh pasir, tukang parkir, dan mengambil sampah di TPA Piyungan. Pater Hugo, ketua panitia Tekol 2023 mengatakan, “Semoga setelah mereka berbaur dengan orang sederhana, mencium bau keringat mereka, dan melihat situasi yang ada, akan menggugah mereka. Jika suatu saat mereka menjadi pemimpin, mereka ingat dengan saudara yang menderita dan dengan ringan tangan membantu.” Sebelum peserta terjun langsung ke lapangan, Pater Nano memberikan pengantar bahwa mereka datang ke tempat immersion perlu menyiapkan diri, termasuk mengidentifikasi ketakutan. Selain itu para peserta juga diajak untuk membuka hati, persepsi, dan imajinasi. Setelah immersion para peserta dibantu oleh Pater Pieter untuk menajamkan refleksi mereka sehingga menjadi bekal mereka untuk masa depan. Pater Hugo mengibaratkan anak-anak mendapatkan menu hamburger yang lezat dalam Tekol kali ini, dengan immersion sebagai dagingnya serta refleksi dari Pater Nano dan Pater Pieter Dolle sebagai rotinya. Logo Temu Kolese 2023 ini terinspirasi dari tema “To Be Friend with The Poor”, yang memiliki makna dengan kebersamaan dan saling merangkul, kita dapat mencapai tujuan bersama. Dalam logo ini terdapat bentuk 8 tangan yang melingkar membentuk bunga dengan matahari di tengahnya, dan tulisan melingkar “Temu Kolese 2023” serta tema Tekol tahun ini. Bentuk tangan disusun menyerupai bentuk bunga yang bermakna saling merangkul dan menghasilkan bentuk yang indah. Selain itu tangan yang mengelilingi ini merupakan gambaran bentuk compassion untuk menjadi sahabat bagi mereka yang tersingkirkan. Tangan ini melambangkan 8 Kolese di Indonesia dan menggunakan warna dominan dari masing-masing Kolese. Matahari menjadi representasi tujuan dari Tekol tahun ini yaitu melatih compassion, yang terinspirasi dari logo Jesuit. Bentuk matahari yang menyala dan menyebar merupakan gambaran kepekaan terhadap lingkungan sekitar agar mau berbagi dan memperhatikan mereka yang terpinggirkan. Di bagian kanan kiri terdapat bentuk salib yang melambangkan kegiatan ini dilandasi oleh iman katolik yang kuat untuk menjalankan dan menyebarkan kasih Tuhan kepada sesama manusia dan lingkungan. Tidak hanya para siswa-siswi saja yang berjumpa dan berkolaborasi bersama dalam Temu Kolese ini, juga para guru kolese. Hal ini terlihat dari keterlibatan para guru masing-masing kolese yang ikut menjadi panitia. Para guru yang menjadi panitia dibantu pula oleh siswa-siswi dari berbagai kolese. Temu Kolese ini tidak hanya menjadi ajang untuk berkolaborasi saja namun juga menyatukan energi. “Energi dari kolese-kolese Jesuit begitu positif dan bagus sehingga bila disatukan akan menjadi energi yang besar yang menggerakkan di wilayah masing-masing. Serikat Jesus melalui sekolah-sekolah memberikan kontribusi bagi masyarakat yang lebih luas tidak hanya untuk Gereja saja,” tutur Pater Hugo. Pater Kuntoro, rektor SMA Kolese De Britto, berharap setelah Tekol ini para peserta lebih berani mengambil waktu untuk diri sendiri guna mengendapkan, mengidentifikasi, dan memaknai pengalaman yang mereka peroleh. “Mungkin mereka tidak tahu apa maknanya sekarang, tapi nanti akan menjadi energi bagi mereka dalam menjalani kehidupan.” Pater Baskoro Poedjinoegroho pun menambahkan bahwa perkembangan dunia yang destruktif membutuhkan mereka yang mempunyai bekal yang kuat. Salah satunya berupa pengalaman dicintai. Semoga dalam perjumpaan di Temu Kolese ini, anak-anak merasakan pengalaman dicintai dan persahabatan dari teman-teman dan sesama sehingga mereka merasa diri mereka berharga. Ketika mereka merasa diri mereka berharga, mau mengapresiasi diri serta bersedia untuk bertumbuh, mereka pun akan memberikan kebaikan juga untuk orang lain. Dengan cara itu, mereka menghidupi semangat to be men and women for and with others. Kontributor: Margareta Revita – Tim Komunikator

Provindo

See, Judge, Act

Temu Kolese 2023 Tahun ini menjadi kesempatan yang istimewa bagi siswa-siswi kolese. Temu Kolese (Tekol) diadakan lagi dengan peserta dari Kolese Kanisius, Kolese Gonzaga, Kolese Loyola, Kolese PIKA, Kolese Mikael, Seminari Mertoyudan, Kolese De Britto, dan Kolese Le Cocq D’armandville. Meskipun berasal dari berbagai macam daerah di Indonesia, kehangatan dan keseruan sebagai anak kolese begitu terasa. Tekol ini diadakan pada 16-20 Oktober 2023 di Kolese De Britto dengan mengangkat tema To Be Friend With The Poor: menjadi teman bagi mereka yang tersingkir. Dinamika dan kegiatan disiapkan sedemikian baik oleh panitia dengan harapan mampu membawa peserta pada pengalaman dan pendalaman nilai bahwa anak muda harus mau terlibat untuk menjadi teman bagi yang tersingkir. Acara ini melibatkan kolaborasi panitia siswa, guru, hingga pamong atau moderator antarkolese. Tekol 2023 merupakan Temu Kolese pertama setelah jeda lima tahun karena pandemi. Ada suatu kerinduan terpendam akan perjumpaan yang dibawa oleh masing-masing Kolese. Banyak peserta dari masing-masing kontingen merasa sangat antusias dan ingin ambil bagian dalam kegiatan Tekol 2023 ini. Oleh karena itu banyak acara di Tekol tahun ini yang dirancang sedemikian rupa dengan harapan bisa memberikan kenangan dan momen berharga bagi setiap kolese terutama panitia dan peserta yang terlibat langsung. Dalam perencanaannya, panitia mulai membahas konsep dan model kegiatan sejak awal tahun 2023. Pertemuan demi pertemuan akhirnya membuahkan konsep rangkaian kegiatan Tekol 2023 dengan berbagai modifikasi dari Tekol sebelumnya. Secara khusus dalam Tekol kali ini, panitia juga mencoba untuk memadukan audio-visual dalam setiap kegiatannya. Sehari sebelum kontingen tiba, panitia sudah sampai di lokasi Tekol 2023 untuk memastikan segala sesuatunya siap. Hari Minggu itu SMA Kolese De Britto menjadi ramai dengan segala kesibukan panitia yang melakukan persiapan. Berbagai penyesuaian dan adaptasi harus dilakukan dalam waktu singkat agar acara dapat berjalan dengan baik dan lancar. Pada hari pertama Tekol 2023, upacara pembukaan dilakukan oleh Pater Baskoro selaku Delegat Pendidikan Serikat Jesus, Pater Kuntoro selaku rektor SMA Kolese De Britto, dan Pater Hugo sebagai ketua panitia. Rangkaian pembukaan diawali dengan sambutan, pemukulan gong oleh sejumlah perwakilan kolese Jesuit di Indonesia, perarakan bendera, menyanyikan mars setiap kolese, menyanyikan mars Tekol 2023, dan defile. Berangkat dari harapan dan antusiasme Jesuit serta panitia perancang acara, Tekol dirancang dengan memodifikasi beberapa tradisi menjadi kegiatan yang lebih inovatif. Salah satu contohnya adalah defile pembukaan Tekol 2023. Pada kegiatan Tekol sebelumnya defile diadakan dengan perarakan kontingen yang diiringi mars masing-masing Kolese. Kali ini defile dibungkus dengan pertunjukan teater gabungan kolese. Teater ini mengusung kisah hidup Inigo di masa modern yang menceritakan perjalanan hidupnya kepada dua orang sahabatnya yaitu Xavier dan Faber. Perjalanan Inigo dipilih karena memuat unsur-unsur khusus immersion Tekol 2023 sesuai dengan tema “To be Friend with The Poor”. Ada tiga narator utama dalam kisah ini yang berperan sebagai Ignatius Loyola, Xavier, dan Faber. Cerita diawali dengan kisah hidup Inigo kecil yang ditampilkan oleh Kolese Kanisius. Kolese PIKA melanjutkan dengan pola asuh orang tua Inigo. Ternyata, lingkungan di sekitar Inigo tidak baik. Inigo tercebur dalam pergaulan yang buruk. Bagian ini divisualisasikan oleh Kolese Loyola dan Gonzaga. Kolese De Britto melanjutkan hidup Inigo yang harus bekerja sebagai kuli demi memenuhi kebutuhan hidupnya hingga mengalami kecelakaan yang membuatnya cacat. Ia juga diringkus oleh pihak berwenang yang menangkap basah ketika ia sedang melakukan transaksi. Penggambaran hidup Inigo dalam sel divisualisasikan oleh Kolese Mikael. Kemudian Kolese Le Cocq D’armandville melanjutkan dengan adegan Inigo menjadi pengemis. Kisah hidup Inigo ditutup dengan visualisasi pertobatan Inigo oleh Seminari Mertoyudan. Pada hari kedua, peserta dan panitia siswa dísebar ke beberapa wilayah di Jogja hingga Muntilan untuk melakukan immersion. Immersion ini mengajak para peserta untuk merasakan dan terlibat dalam keseharian mereka yang kecil dan tersingkir. Bentuk immersion yang dilakukan meliputi kunjungan ke panti jompo, panti asuhan, pasar, TPA, kuli pasir, bersih kota, dan berdialog dengan PSK. Selama immersion, peserta dapat melihat dan merasakan langsung kondisi sebenarnya tanpa terpengaruh stigma yang berkembang di masyarakat. Setiap lokasi immersion memiliki keunikan dan tantangannya masing-masing. Mereka yang pergi ke lokasi kuli pasir harus berangkat sejak pukul dua pagi dan baru kembali pada siang hari. Perjalanan menuju ke lokasi cukup panjang dan memakan banyak waktu. Belum lagi mereka harus belajar untuk menambang pasir dalam waktu singkat. Lokasi TPA juga menyambut dengan bau yang tidak sedap, ditambah lagi panas terik mentari yang kuat. Begitu pula dengan lokasi lainnya, mereka juga memberikan kekayaan ilmu hidup yang mengesan bagi setiap peserta. Sekembalinya ke De Britto, peserta diperbolehkan untuk beristirahat hingga acara talkshow dan pengendapan bersama di malam harinya. Talkshow dibawakan oleh Pater Pieter Dolle bersama dengan relawan dari SPM Realino. Mereka membagikan sepak terjang mereka untuk menjadi teman bagi mereka yang tersingkir. Mereka mengatakan bahwa membantu sesama membuahkan suatu kebahagiaan tersendiri meskipun tidak jarang kesabaran mereka juga diuji khususnya ketika berhadapan dengan anak-anak. Setelah talkshow, para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok untuk sharing dan menuliskan apa yang didapat pada selembar kertas A2. Kertas tersebut kemudian dipajang dan menjadi reminder berharga bagi semua. Seluruh kegiatan di hari itu ditutup dengan adorasi pada Sakramen Mahakudus. Hari ketiga merupakan hari pertandingan olahraga dan non-olahraga. Ada pertandingan olah raga kolaboratif dan ada pula antarkolese. Basket putra, sepak bola, basket putri, dan futsal putri bersifat kolaboratif. Sedangkan voli, lari estafet, atletik lari 2,4 km, tenis meja, dan badminton dipertandingkan antarkolese. Adapun perlombaan non-olahraga meliputi debat Bahasa Inggris, musikalisasi puisi, mendongeng, Tekol Got Talent, stand up comedy, fotografi, dan film pendek. Beberapa pertandingan olahraga juga dimeriahkan oleh pertandingan para Pater/Frater dan beberapa guru. Pertandingan berlangsung dengan penuh semangat dan berjalan dengan baik. Seluruh peserta bersemangat untuk memberikan performa terbaiknya demi tim dan kemenangan. Sejak pagi hari, para peserta telah mempersiapkan diri dengan mengenakan jersey Tekol. Mereka berkumpul di sisi-sisi lokasi pertandingan untuk menonton dan menunggu giliran bermain. Tidak hanya dipenuhi oleh antusiasme para peserta, panitia juga bekerja keras dalam memeriahkan pertandingan. Dentuman serta sorakan khas dari suporter Kolese Mikael dan Kolese De Britto menambah kemeriahan pertandingan di hari itu. Pada Kamis malam diadakan Malam Kesenian yang dibalut dalam kisah perjalanan punakawan saat berjalan-jalan di Jogja. Malam Kesenian ini menyuguhkan lanjutan pesan moral yang diberikan saat defile. Setiap penokohan dan pementasan yang dilakukan berjalan dengan baik.

Penjelajahan dengan Orang Muda

Berjalan Kaki Sejauh 30 KM, Tuhan Memberikan “Tumpangan” pada 5 KM Terakhir

Pengalaman OMK Ignatius Magelang Peregrinasi ke Sendangsono Setelah sebulan lebih mengenal Santo Ignatius Loyola dan mencoba mempraktikkan latihan rohani, kami sepakat dan memantapkan diri untuk melakukan peregrinasi. Kata “peregrinasi” sendiri sering kami dengar dari romo, frater, dan juga seminaris. Mereka berkisah mengenai pengalaman berjalan jauh ke suatu tempat tertentu tanpa membawa bekal apa pun selain kartu identitas, baju, dan alas kaki yang dikenakan. Kedengarannya, sih, seru. Akan tetapi, begitu kami yang mengalami sendiri pengalaman berjalan kaki sejauh 30 km (dikorting lima kilometer) ya tetap seru, sih… tapi sambil mijit-mijit kaki yang nyerinya minta ampun. Apalagi bagi kebanyakan peserta, pengalaman berjalan jauh menjadi pengalaman peregrinasi yang pertama. Entah bisa disebut dengan peregrinasi atau tidak, dari judul tulisan ini sudah bisa ditebak bahwa kami tidak benar-benar sampai ke Sendangsono dengan berjalan kaki. Ya, sebelum lima kilometer dari lokasi tujuan kami mendapat “tumpangan” dari Tuhan. Perjalanan dimulai dari paroki kami tercinta pada Sabtu, 16 September 2023 pukul 16.00 WIB. Sebelum berangkat, kami mendapat peneguhan dan berkat dari Romo Hartono, Pr. dan Romo Alip, Pr. Dari total 24 OMK, peserta dibagi dalam 3 kelompok kecil. Pada satu dua jam pertama perjalanan kami lewati dengan cukup antusias. Masih belum terasa capek karena kami sambil mengobrol santai dan berbagi snack. Berlanjut 3 – 4 jam kemudian mulai terasa lapar dan lelah. Setelah beristirahat sejenak di Lapangan Drh. Soepardi, Mungkid, perjalanan dilanjut dengan tiga kelompok kecil dilebur jadi satu kelompok besar. Kami berjalan beriringan dengan mengurangi intensitas ngobrol. Selain berdoa dalam hati, kami juga diberi arahan untuk merefleksikan perjalanan yang sudah kami tempuh sejauh 15 km saat itu. Waktu sudah menunjukkan sekira pukul 22.30 WIB saat meninggalkan area Mungkid dan berjalan menuju Srowol. Sepanjang jalan terasa sepi dan gelap. Kami sudah merasa kelelahan, lapar, dan mengantuk. Beberapa dari kami sudah ada yang mulai lecet-lecet kakinya, pucat air mukanya, dan bahkan ada yang sudah tidak kuat berjalan lagi. Sekitar 15-an OMK yang masih sanggup berjalan saling memotivasi dan mem-back up satu sama lain. “Piye, aman ta? Nek wis ra kuat ngomong wae.” Begitulah berkali-kali kami saling menanyakan kondisi satu sama lain. Perjalanan menuju Sendangsono kurang sekitar 5 km lagi. Daerah sekeliling kami sudah benar-benar gelap. Kanan kiri hanyalah sawah, hutan, dan juga sungai. Tempo berjalan mulai melambat. Tampaknya memang sudah benar-benar kelelahan. Hingga akhirnya, ketika kami sudah sampai di Slanden, bala bantuan datang. Mobil paroki yang dipinjam sebagai mobil rescue menjemput. Kami transit di paroki Promasan tepat pada pukul 00.00 WIB untuk meluruskan kaki dan makan malam. Betapa nikmatnya sego bakar sambal tongkol dan jamur. Semua kami santap dengan lahap sembari bertukar keluh kesah. “Wis bariki lanjut meneh tekan ndhuwur, kurang setengah jam meneh kok iki” ujar Romo Tri, Pr. menggoda kami. Kami hanya tersenyum lesu, tak sanggup membayangkan medan jalanan menuju Sendangsono yang berkelok-kelok naik turun itu.“Rapapa ra kudu mlaku tekan ndhuwur. Wis isa sejauh iki, kalian wis keren banget!” Ya, bukan semata-mata memuaskan ambisi untuk bisa sampai di puncak. Ini soal kebersamaan dengan di puncak. Ini soal kebersamaan dengan teman-teman seperjuangan dan bagaimana kasih Allah hadir secara nyata melalui hal apa saja yang sudah kami alami selama perjalanan. Di tengah kegelapan, di tengah rasa sakit dan lelah, di tengah perjalanan yang tiada ujung Tuhan hadir menemani kami, membersamai perjalanan kami. Betapa bersyukurnya kami mendapat kesempatan berjalan jauh seperti ini. Kami jadi belajar menyadari bahwa Tuhan hadir menguatkan ketika kami merasa lelah dan ingin menyerah. Tuhan juga merasakan betapa perihnya lecet di kaki dan memahami betapa lapar dan hausnya kami. Tuhan memeluk diri kita ketika berada di kegelapan yang mencekam, memberikan “tumpangan” gratis kepada kita untuk sampai di tempat tujuan dengan selamat. Tuhan selalu dekat dengan kita melalui kasih yang kita terima melalui orang-orang di sekitar. Seperti malam ini, bersama dinginnya udara dan gemericik air di pendopo bawah Gua Maria Sendangsono, kami terlelap dengan suasana yang begitu syahdu. Meskipun sekujur badan terasa nyeri dan pegal, hati kami terasa ringan dan penuh oleh cinta kasih Allah. Cinta kasih Allah yang nyata, yang memberikan kekuatan untuk menjadi Orang Muda Katolik yang militan dan memberikan karya nyata pula. Karya-karya yang akan kami lakukan kelak entah di keluarga, Gereja, tempat kerja, di kampus atau sekolah, maupun di lingkungan sekitar di manapun kami berada. Tentu saja semua itu akan kami lakukan dengan kesadaran dan kerendahan hati. Kesadaran bahwa apa pun yang kami lakukan semata-mata demi kemuliaan nama Tuhan yang lebih besar. Amin. Those who carry God in their hearts bear Heaven with them wherever they go.. Ignatius of Loyola Kontributor: Angela Merrici Basilika Rain Restuwardani

Feature

Pelajaran dari Bengkel Realino

Bengkel kayu dan las Realino SPM (Seksi Pengabdian Masyarakat) adalah tempat olah, reparasi, dan membuat karya-karya kayu dan las besi. Ini adalah bagian pelayanan Realino yang beralamat di Jl. Mataram No. 66, Yogyakarta. Bagiku, bengkel kayu tidak hanya tempat atau bangunan semata, melainkan juga mereka yang berkarya di dalamnya, yaitu Mas Eko, Mas Hendro, Todi, Petra, dan terlebih lagi Bruder V. Kirja Utama. Beliaulah yang mendirikan bengkel ini pada tahun 2008. Banyak hal bisa diteladani dari Br. Kirja, terutama semangat kerja, ketekunan, ketelatenan, ketaatan, kerendahan hati, perhatian, kasih sayang, dan kesabarannya. Ada banyak karya yang beliau hasilkan, tempat-tempat yang beliau bangun, orang-orang yang beliau bantu tanpa memandang agama. Waktu pertama kali datang ke bengkel, aku berkenalan dengan Mas Eko, Mas Hendro, dan Petra. Saat itu ada Fr. Evan yang sedang bekerja di bengkel. Aku diarahkan bertanya kepada Bruder Kirja apa yang sekiranya bisa aku bantu. Setelah bertanya kepada Bruder Kirja, beliau menyarankanku melihat-lihat saja dahulu sambil mengamati bagaimana mereka bekerja di bengkel kayu. Mulanya aku mengamati mereka yang sedang membuat kursi, sambil berkenalan lebih lanjut dan bertanya-tanya mengenai alat yang digunakan dan proses yang sedang dikerjakan. Selanjutnya, aku mulai bekerja pada hari Sabtu. Bruder Kirja mengarahkanku untuk menghaluskan kaki kursi dengan gerinda. Itulah pertama kalinya aku mulai bekerja dengan alat yang ada di bengkel. Sering kali aku kelupaan menggunakan masker saat bekerja di bengkel. Padahal saat menghaluskan kayu menggunakan gerinda, banyak serbuk-serbuk kayu beterbangan. Karena kelalaianku tidak menggunakan masker, serbuk bisa masuk mulut atau bahkan terhirup ketika bernapas. Bruder Kirja sering mengingatkanku untuk memakai masker. Menghaluskan kaki kursi dengan gerinda ternyata tidak mudah untuk pertama kalinya. Kalau tidak mengamplas dengan rata, nanti permukaannya menjadi cekung atau ketinggian permukaannya berbeda. Saat bekerja aku ditemani Petra yang awalnya memulai percakapan dengan menanyakan seputar kehidupan kuliahku ataupun alasanku ingin menjadi romo. Petra membantu memberikan arahan kepadaku sewaktu kesusahan menyamaratakan ketinggian permukaan kursi yang sedang kuhaluskan. Percakapan mengalir sambil aku juga menanyakan soal pengalamannya sebelum bekerja di sini dan ketika dia masih duduk di bangku sekolah. Hari Sabtu aku habiskan dengan menghaluskan kaki kursi-kursi sambil bercerita dengan Petra. Suatu hari, ketika sedang makan bersama, Bruder Kirja memberitahuku bahwa beliau akan mengajarkanku membuat kursi dan meja. Harapannya, supaya aku dapat memberikannya untuk keluargaku, sebagai hadiah dari beliau. Sungguh aku sangat senang waktu itu, karena akan diberi hadiah kursi, meja, dan yang terpenting lagi, skill membuatnya. Beliau mengajariku dengan penuh perhatian. Karena faktor usia dan kesehatan, Bruder Kirja kadang harus beristirahat. Namun beliau selalu menyempatkan diri mengajariku yang kerap kali membuat kesalahan karena baru pertama kali belajar membuat kursi dan meja. Aku juga dibantu Bruder Jumeno, Mas Eko, Mas Hendro, dan Petra yang juga berpengalaman dan pekerja keras. Dari situ aku belajar banyak hal, seperti menggunakan bor, klem, mesin serut, gergaji, mesin bobok kayu, dan masih banyak lagi. Tidak hanya itu, aku memperoleh pelajaran sangat berharga tentang bengkel kayu. Aku melihat langsung bengkel kayu dan las besi bisa menjadi sarana menghidupi banyak orang, mengajarkan keterampilan yang berguna untuk bekerja, dan meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan hidup orang banyak. Di kesempatan lain, saat proses pengecatan dan clearing meja yang sedang kubuat, aku diajari Petra membuat salib dari balok kayu. Ivan dan Dimus (anggota asrama) juga membantu bekerja di bengkel kayu ketika selesai sekolah atau saat tidak sekolah. Mereka kadang membuat salib atau karya-karya lain dari kayu. Karya-karya yang dihasilkan bengkel kayu dan las besi ini sangat bagus dan memiliki nilai. Aku sampai insecure ketika melihat hasil meja dan kursi yang kubuat, tapi ya gimana lagi toh namanya juga baru pertama kali belajar. Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan telah diberi kesempatan mencecap pengalaman bekerja di bengkel kayu dan las besi ini. Aku bertemu dan berkenalan dengan orang-orang hebat, pekerja keras, dan terampil yang bekerja di sini, seperti Bruder Kirja, Bruder Jum, Mas Eko, Mas Hendro, Petra, dan Todi. Aku berharap semoga bengkel kayu dan las besi ini bisa terus hidup, berkembang, dan merengkuh lebih banyak orang terutama mereka yang lemah, miskin, tersingkir. Dengan demikian, mereka bisa memiliki keterampilan yang berguna bagi hidup mereka dan masyarakat. Sesuai semangat pendiri bengkel, Bruder Kirja, semoga bengkel ini bisa menjadi sarana untuk lebih memanusiakan manusia yang terampil, mandiri, dan siap bekerja. Ad maiorem Dei gloriam! Kontributor: Albert Hosea Santoso, nS.J.

Karya Pendidikan

Amor in Diversitate 

Keberagaman Indonesia Berkunjung ke pondok pesantren Roudhotus Sholihin adalah pengalaman pertama bagi kami KKL (Keluarga Kolese Loyola, sebutan untuk siswa/siswi Loyola) dalam melihat konteks keberagaman yang ada di Indonesia. Kami dapat melihat secara personal bagaimana kebiasaan dan kebudayaan yang terbangun di luar realitas yang dihadapi di komunitas Loyola. Dalam kunjungan ini ada 15 orang KKL yang didampingi oleh Pater Martinus Juprianto Bulu Toding., S.J., Bapak Antonius Novianto, dan Ibu Wening Putri Pertiwi. Kami juga mendapatkan bantuan dari Fr. Wahyu Mega S.J. dalam berkomunikasi dan berdiskusi dengan pihak pondok pesantren. Kunjungan ini semakin istimewa karena menjadi salah satu rangkaian dalam pendistribusian Gerakan Seratus Perak III. Gerakan ini merupakan upaya dari Dewan Keluarga Kolese Loyola (DKKL) dalam mewujudkan semangat berbela rasa dan compassion bagi masyarakat. Kegiatan ini memang masih baru dalam komunitas kami, sehingga masih ditemui banyak rintangan dalam mewujudkannya, baik dalam lingkup internal maupun eksternal. Namun secara perlahan kami mencoba membantu dengan menggalang donasi dalam rentang waktu yang ada. Situasi Komunitas Loyola saat ini sudah semakin majemuk dan heterogen dibanding situasi sebelumnya. Beberapa upaya telah dilakukan untuk memberikan hak yang sama kepada setiap KKL. Kami sadar bahwa setiap suku, budaya, dan kepercayaan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang telah menjadi salah satu fokus yang terus diperjuangkan. Meskipun dalam praktiknya masih banyak evaluasi dan masukan yang diperlukan untuk pengembangan hal tersebut, namun usaha untuk terlibat dalam dialog antaragama menjadi momen penting dalam mempererat kebhinekaan. Sungguh dalam kunjungan kali ini kami kembali disadarkan bagaimana memaknai keberagaman ini. Keberagaman bukan tentang mayoritas dan minoritas, tetapi tentang mencipta rasa dan makna. Apa yang diajarkan dalam setiap perbedaan pada dasarnya adalah sama, tetapi berbeda dari segi pengaplikasiannya. Kami sebagai Komunitas Ignatian menyadari tentang sikap lepas bebas, sebuah sikap di mana kita memiliki kebebasan dalam memilih keputusan atas diri kita namun memiliki tanggung jawab moral untuk memilih apa yang sesuai dengan kehendak-Nya. Hal serupa secara praktis diterapkan di Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin yang hadir di tengah-tengah pemukiman masyarakat. Kehadiran di tengah masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi para santri untuk memilih dan menimbang (discretio) bagaimana harus bersikap di tengah masyarakat. Sebagai manusia yang utuh bersama dengan perbedaan yang ada, kita harus saling merangkul dan memahami untuk menciptakan toleransi, saling menghargai dan kolaborasi dalam memajukan kehidupan bersama. Salah satunya melalui sarana dialog bersama. Dialog ini bertujuan untuk mengasah wiraga, wirama, wirasa, dan wirupa dalam setiap orang yang masih mencintai Tuhan serta tanah airnya. Pada kunjungan ini pula kami disambut dengan sedemikian hangatnya sebagai satu keluarga hingga diundang ikut serta dalam Mauludan. Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin adalah salah satu pioner pendidikan dalam menciptakan pribadi yang religius, beradab, dan berintelektual. Visi inklusivisme juga terwujud dari kesempatan yang diberikan Gus Abdul Kodir, pimpinan pondok pesantren, kepada kami saat berkunjung dan menerima para frater-frater Jesuit yang sedang menjalani Tahap Orientasi Kerasulan. Selain itu kami juga menemukan sesuatu yang berbeda di pondok pesantren ini, sebuah keberhasilan pendidikan karakter yang sangat baik. Generasi muda perlu terus menerus mendapat bimbingan untuk menjadi generasi masa depan yang humanis. Metode pembelajaran ini menjadi sebuah masukan yang berharga bagi kami di Komunitas Loyola dalam membimbing KKL. Kami berharap dengan kunjungan ini terbangun kesadaran dan relasi kolaborasi antara SMA Kolese Loyola dan Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin dalam pengembangan para siswanya. Bersama-sama mencetak pribadi yang kompeten dan memiliki hati nurani untuk membangun bangsa ini. Kami, Komunitas Loyola, akan terus membangun diri menjadi komunitas yang sungguh mewujudkan men and women for others tanpa melihat perbedaan yang ada. Komitmen untuk saling menghormati dan upaya-upaya kolaboratif menjadi potensi yang sangat berpengaruh dalam menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia. Ad Maiorem Dei Gloriam.  Kontributor: Michael Bryan Ardhitama – KKL Angkatan 72 SMA Kolese Loyola

Pelayanan Gereja

Global Peace Youth Indonesia – Semarang di Gereja St. Yusup Gedangan

Global Peace Youth Indonesia Semarang (GPYI Semarang) adalah kegiatan berkumpulnya pemuda dan pemudi lintas iman untuk bersilaturahmi, mengenal, dan memahami sesuatu hal di luar komunitasnya seperti agama, suku, budaya, dan rumah ibadah. GPYI – Semarang secara umum memiliki tiga nilai yang nantinya akan diimplementasikan dalam setiap kegiatan. Nilai-nilai tersebut adalah kolaborasi lintas agama, penguatan kekeluargaan, dan budaya melayani. GPYI Semarang menamakan kegiatan ini dengan sebutan Peace Project. Peace Project akan dilakukan secara berkesinambungan di berbagai tempat. Gereja St. Yusup Gedangan menjadi tempat pertama yang dipilih oleh GPYI Semarang untuk melaksanakan kegiatan tersebut. GPYI Semarang ingin bersilaturahmi dan mengenal Gereja Katolik pertama di Keuskupan Agung Semarang. Para peserta Peace Project hadir dari bermacam komunitas, antara lain GPYI Semarang, SMA Kolese Loyola, Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin, dan Misdinar St. Yusup, Gedangan. Total peserta berjumlah 48 orang. Para peserta didominasi para pelajar SMA dan mahasiswa. Namun ada juga beberapa peserta yang masih duduk di bangku SMP dan yang sudah bekerja. Peace project yang dilaksanakan pada Sabtu, 23 September 2023, dikemas secara menyenangkan, hangat, dan penuh semangat kekeluargaan. Peace project diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya lalu sambutan oleh Pastor Kepala Gereja Santo Yusup, Gedangan, Pater Benedictus Cahyo Christanto, S.J. Pater Cahyo sangat mendukung diadakannya kegiatan ini. “Melalui Peace Project kaum muda akan belajar mengembangkan toleransi dan menjalin persaudaraan dengan sesama manusia,” ujarnya. Jingga dari misdinar St. Yusup, Gedangan dan Sri dari GPYI Semarang memandu acara dengan sangat baik. Mereka memberikan aneka games menarik yang membuat peserta tertawa, bersemangat, dan saling mengenal satu dengan lainnya. Para pemandu acara ini mampu membuat acara semakin hidup dan meriah dan tentu saja, hal ini sudah menjadi bentuk nyata dialog lintas iman. Acara inti Peace Project adalah mengenal sejarah singkat Gereja St. Yusup, Gedangan. Frater Wahyu Mega, S.J. memaparkan secara singkat sejarah Gereja St. Yusup, Gedangan. Setelah presentasi selesai lalu diadakan tanya jawab. Sejarah Gereja Gedangan ternyata menarik perhatian peserta. Ketertarikan mereka ditandai dengan banyaknya peserta yang bertanya mengenai Gereja Gedangan dan seputar kekatolikan. Sesi tanya jawab menjadi sesi yang sangat penting karena peserta di luar agama Katolik dapat mengenal katolisisme secara lebih dekat. Para peserta juga diajak masuk ke dalam gereja dan melakukan tour. Ternyata masuk ke dalam gereja menjadi sesuatu yang wow banget bagi peserta. Mereka dapat melihat secara langsung dan berfoto dengan benda-benda antik misalnya organ pipa dan batu nisan Mgr. Lijnen. Namun ada juga peserta yang belum pernah masuk Gereja Katolik manapun dan Gereja St. Yusup, Gedangan menjadi gereja perdana yang mereka kunjungi. Setelah tour gereja, acara dilanjutkan dengan makan siang bersama yang dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas maksimal enam peserta. Mereka makan sambil memberikan kesan dan pesan di dalam kelompok. Yoga, koordinator GPYI Semarang mengungkapkan rasa senangnya karena bisa melaksanakan Peace Project pertama di gereja tertua di Jawa Tengah. “Banyak sekali hal yang saya peroleh ketika berkunjung ke tempat ini, mulai dari sejarah, arsitektur, ilmu, jejaring, pengalaman, dan sebagainya. Saya berharap, ke depan Gereja St. Yusup, Gedangan bisa menjadi salah satu pelopor perdamaian dan toleransi di Jawa Tengah. Gereja St. Yusup, Gedangan dengan sejarahnya yang menarik sangat cocok menjadi tempat generasi muda lintas iman untuk srawung (bersosialisasi) dan saling mengenal,” tegasnya. Peace Project ditutup dengan doa lintas agama kaum muda. Kaum muda dari Katolik, Kristen, Islam, Budha, Konghucu, dan aliran kepercayaan Kabudayaan Jawi Tunggul Sabda Jati berdoa bersama untuk perdamaian dan persaudaraan bagi sesama. Mereka merupakan generasi penerus toleransi dan perdamaian bagi agamanya masing-masing dan negaranya. Mereka akan menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk menyebarkan cinta kepada sesama tanpa perlu membeda-bedakan latar belakang agamanya. Jalaluddin Rumi, mistikus sufisme abad XIII dari Iran, mengatakan bahwa cintalah yang mengubah pahit menjadi manis, tanah menjadi biji emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, dan penjara menjadi taman. Cinta pula yang melunakkan besi dan menghancurkan batu, yang menghidupkan, dan menggairahkan kehidupan. Kontributor: S. Yohanes Crissostomus Wahyu Mega, S.J. – Gereja St. Yusup, Gedangan