Pilgrims of Christ’s Mission

SMA Kolese Loyola

Karya Pendidikan

Warna-Warni Cinta dalam Senandika Adiwarna

Waktu sudah berlalu dan kini kelas XII memiliki waktu yang singkat untuk menyelesaikan pendidikannya di SMA Kolese Loyola. Sebagai bentuk perpisahan dan proyek terakhir, angkatan 72 mempersembahkan acara Gelar Karya 2024 yang mengangkat tema “Senandika Adiwarna”. Tema ini berarti ekspresi yang berwarna. Gelar Karya ini diadakan pada Rabu, 21 Februari hingga Kamis, 22 Februari di Selasar Pamong sekaligus menjadi salah satu rangkaian kegiatan perayaan 75 tahun SMA Kolese Loyola. Hari pertama acara diawali dengan pembukaan Gelar Karya 2024 yang dimulai dengan doa yang dipimpin oleh Gerrard dari Campus Ministry angkatan 72. Setelah doa, MC mengimbau para hadirin untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dan menjelaskan teknis acara terlebih dahulu. Kemudian, Pater Antonius Vico Christiawan, S.J., M.Hum. sebagai Kepala SMA Kolese Loyola menyampaikan bahwa Gelar Karya tahun ini unik, karena adanya lukisan yang berbahan dasar kain perca. Keunikan yang kedua adalah pengangkatan tema wayang yang menceritakan kisah wayang Ramayana. Selain itu, ada sambutan dari Ketua Panitia Siswa Gelar Karya 2024, Vincentius Andika. Untuk mengakhiri sesi pembukaan, MC kembali mengundang Pater Vico untuk memukul gong sebagai tanda dimulainya Gelar Karya dan dilanjutkan penampilan musik oleh Loyola Jazz Band. Selesai pembukaan, para pengunjung mulai memadati area pameran. Nampak juga beberapa tamu dari PRESIDIUM Kolese De Britto, para siswa dari SMK Kolese PIKA, dan perwakilan dari CONCILIO Kolese Mikael yang hadir menikmati karya-karya di area pameran Gelar Karya. Pada pameran seni ini, terdapat sekitar 141 lukisan yang indah nan bermakna, dan 88 di antaranya berbahan dasar kain perca. Terdapat juga lukisan tentang perjalanan Rama dan Sinta dalam cerita Ramayana yang mengilustrasikan kisah romantis Rama dan Sinta dan menggambarkan sisi perjuangan KKL 72 selama pembelajaran di SMA Kolese Loyola. Selain lukisan, ada juga berbagai kerajinan hasil karya kelas XII yang terbuat dari bahan bekas. Namun, yang lebih menarik dari Gelar Karya ini adalah dark room. Ruangan ini berisi cahaya ilustrasi dari proyektor yang membuat ruangan menjadi lebih indah. Di sana terdapat tempat melukis (painting by numbers) yang dapat digunakan oleh pengunjung. Tak lupa, terdapat pula papan untuk memberikan kesan dan pesan terhadap Gelar Karya 2024 dan KKL 72. Tidak hanya lukisan ataupun barang kerajinan saja, tetapi ada juga beberapa pertunjukan yang dapat dinikmati. Di antaranya adalah pertunjukan melukis secara kontemporer, pembacaan puisi tentang cerita Ramayana, dan tarian kontemporer. Pembacaan puisi dengan pembawaan yang tegang membuat suasana sekitar larut dalam puisi yang dibacakan. Kemudian ada pertunjukan vokal grup, orkestra, tarian tradisional, modern dance, Loyola Akustik Band, dan Loyola Rock Band. Untuk memeriahkan acara, terdapat pula berbagai stan makanan dari angkatan 73 yang dapat dinikmati para pengunjung. Setelah itu, Gelar Karya pada hari pertama ini ditutup dengan DJ party. Acara Gelar Karya pun telah memasuki hari yang terakhir. Meskipun begitu, masih banyak orang-orang yang berdatangan untuk melihat dan mengagumi karya-karya para KBKL. Gelar Karya merupakan suatu acara yang mempersembahkan karya terakhir KKL 72 dan para KKL lain yang berpotensi untuk berkarya dalam bentuk karya seni. Mereka berusaha yang terbaik demi memeriahkan dan memperkenalkan budaya Jawa kepada orang-orang. Alhasil tidak hanya para KKL yang datang namun banyak siswa dari sekolah lain yang ikut melihat acara hari ini. Banyak alumni yang mengunjungi SMA Kolese Loyola tepatnya pada ruang Galeri Kanisius hanya untuk melihat dan mengapresiasi hasil karya terakhir dari adik-adik kelas mereka. Gelar Karya tidak hanya mempromosikan SMA Kolese Loyola ke orang luar namun juga menjadi salah satu nilai ujian sekolah terakhir bagi KKL 72. Persiapan yang dilakukan untuk mempresentasikan karya tersebut hanya dalam waktu satu bulan. Dengan waktu yang sesingkat itu, kelas XII mampu membuat suatu acara pameran seni dengan sangat baik dan digemari oleh banyak orang, bukan hanya para KBKL. Hari terakhir acara diawali dengan Closing Ceremony Gelar Karya 2024. Di hari terakhir ini, para KKL 72 telah mempersiapkan diri sejak pagi hingga sore hari untuk memeriahkan acara ini untuk yang terakhir kalinya. Pak Army selaku guru Sejarah SMA Kolese Loyola mengungkapkan bahwa acara ini penting terutama bagi para KKL kelas XII yang menjadi sebuah nilai dan juga kenangan untuk menampilkan karya seni mereka yang sudah disusun sedemikian rupa. Gelar Karya juga diberi tema khusus untuk menuju 75 Tahun SMA Kolese Loyola yaitu “Senandika Adiwarna”. Menurut Pak Army, Gelar Karya tahun ini sangatlah spesial karena acara ini dijalankan kembali setelah hampir tiga tahun sehingga sekolah sangat mendukung acara Gelar Karya ini dengan memberikan ruang bagi para KKL untuk berkarya dan dapat menampilkan karya-karya terbaik mereka. Berbagai karya seni interaktif berhasil menarik perhatian para pengunjung yang menyaksikannya. Walaupun temanya bercerita tentang pewayangan kisah cinta Rama dan Sinta, banyak karya yang mengejutkan tidak hanya dalam bentuk lukisan kain perca saja, tetapi juga menampilkan karya-karya lain yang baru dan aktual yang sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini menunjukkan betapa kreatif dan inovatifnya anak-anak muda dalam berkarya terutama para KKL 72. Acara akhir Gelar Karya ditutup dengan menyanyikan Mars Popsila kebanggaan KKL 72. Mereka menyanyikannya dengan sangat lantang dan kompak secara bersama-sama. Mereka mengakhiri acara tersebut dengan foto bersama satu angkatan di depan Selasar Pamong supaya menjadi sebuah kenangan yang tidak akan mereka lupakan. Dengan diadakannya acara ini, diharapkan dapat membuat anak-anak muda tidak lupa dengan budaya lokal di tengah maraknya budaya-budaya luar yang mulai mempengaruhi kita. Menunjukkan betapa kreatif dan inovatif remaja zaman sekarang yang mampu membuat sesuatu yang baru dan menjadi lebih unik. Seluruh KBKL diajak untuk bisa lebih mengenal budaya lokal serta mengembangkannya dalam berbagai cara bergantung oleh potensi masing-masing. Kita sebagai KBKL juga diajak untuk mengapresiasi dan menghormati hasil kerja keras para KKL 72 yang sebentar lagi akan memasuki dunia kuliah. Gelar Karya 2024 ini memiliki harapan, yaitu supaya kebudayaan lokal Indonesia dapat dilestarikan di kalangan remaja, di tengah gempuran zaman modern yang serba instan. Tak hanya itu, Gelar Karya 2024 ini melibatkan seluruh KBKL untuk berpartisipasi dan merayakan acara bersama, serta untuk mengapresiasi berbagai macam karya dari angkatan 72 yang sebentar lagi akan menyelesaikan pendidikannya di SMA Kolese Loyola. Kontributor: Jurnalistik Serigala SMA Kolese Loyola

Feature

Berbakti di Beringharjo

Ceritaku Di Temu Kolese Pagi sekali aku merasakan tepukan ringan di tangan kananku. Karena lelah akan hari yang telah berlalu, aku tidak mengambil pusing dan memutuskan kembali tidur. Lagi-lagi, Aku merasakan tepukan yang lebih keras. Aku pun memutuskan membuka mata. Tidak, bukan malaikat yang membangunkanku pagi itu. Panitia Temu Kolese yang giat melaksanakan tugasnya pagi-pagi dengan membangunkanku karena tanda pita di tanganku. Di tengah lelahnya diriku, walaupun sedikit kesal, aku berusaha menyadarkan diri agar tidak membuat kelompokku menunggu. Aku ingat kala itu pukul 02.00 pagi, tidak sering aku harus bangun sepagi itu. Kemarin aku baru saja sampai di Kolese De Britto, Yogyakarta, setelah perjalanan yang panjang. Aku tersenyum ketika mengingat pelepasan kontingen peserta Kolese Kanisius kemarin lusa, terlebih lagi canda-tawa yang kami bagikan sesaat sebelum tertidur lelap di bus. Sialnya, aku mendapatkan tempat duduk di samping cello (alat musik) berukuran besar milik performer dari SMP. Ya, walaupun sempit, tetapi setidaknya aku masih dapat menikmati perjalanan. Sakit pinggang bukan tantangan jika hadiahnya adalah kunjungan ke Yogyakarta, apalagi menemui rekan-rekan dari delapan kolese dan seminari di Indonesia. Ketika baru sampai, aku merasa sedikit cemas bagaimana nantinya akan menyapa yang lain. Mungkin aku harus belajar cara ngomong yang agak medok… Mungkin aku harus belajar kosakata Bahasa Jawa… Mungkin aku harus belajar sopan santun mereka… Itulah beberapa pikiranku yang mengganggu selama perjalanan. Mungkin suara-suara di dalam kepalaku terkesan aneh bagimu, wahai pembaca, tetapi aku memang sedikit anti sosial. Semua pikiran buruk itu pecah bagaikan balon ketika aku dan kontingen CC lainnya turun dari bus dan disambut hangat oleh panitia, baik oleh tuan rumah De Britto maupun oleh panitia dari kolese yang lain. Sambil menunggu mulainya sesi di aula De Britto, aku merasa bosan. Walaupun bosan tersebut sedikit terobati dengan berbincang bersama teman-teman sekamar di kelas X3, tetapi aku ingin bermain… Aku ingin bermain tenis meja! Ketika terpilih menjadi kontingen CC, bukan maksudku untuk menjalani semua acara Temu Kolese. Maksudku adalah untuk unjuk kemampuan dengan peserta lomba tenis meja dari kolese yang lain. Namun apa boleh buat, semua acara tersebut sudah disiapkan. Oleh karena itu, kuputuskan untuk mencoba ikut seluruh rangkaian acara. Ketika sesi di aula De Britto akhirnya dimulai, aku mencoba mendengarkan apa yang dikatakan Pater Jupri. Namun, mataku tak kunjung menurut dan aku setengah tertidur. Apa yang berhasil kutangkap hanyalah bahwa esok hari akan ada kegiatan immersion, atau semacam live in singkat selama satu hari. Immersion dibagi ke dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok memiliki anggota campuran dari kolese lain, dan aku seorang diri dari CC di kelompokku. Jujur, itu membuatku sedikit khawatir karena mau tidak mau aku harus bergaul dengan tuan rumah immersion sekaligus teman-teman dari kolese lain. Hal lain yang kutangkap adalah bahwa kelompokku, Xaverius dan Faber, diminta bangun jam 2 pagi untuk bersiap-siap ke lokasi immersion. Entah Pater menyebutkan lokasi immersion atau tidak, pokoknya aku tidak menangkap di mana aku dan kelompokku akan pergi keesokan harinya. Kembali ke pukul 02.00 pagi; aku memutuskan untuk tidak mandi karena waktu sudah mepet. Aku membawa tasku dan bergegas menuju titik temu kelompok kami, yaitu di depan perpustakaan De Britto. Jujur, aku masih merasa cemas akan keadaan di lokasi immersion nanti. Setelah diabsen, kami sekelompok beserta pendamping menaiki bus yang telah menunggu. Bus yang kami tumpangi tidak memiliki pendingin, berbeda dengan bus-bus yang biasa dijumpai di Jakarta. Kendati demikian, hawa pagi Yogyakarta membantuku tetap bertahan di dalam bus itu. Sekitar 10 menit kemudian, bus berhenti. Di tengah gelapnya malam, Aku melihat sebuah palang besar yang bertuliskan ‘Pasar Beringharjo’ dengan tulisan yang kukira adalah aksara Jawa di bawahnya. Saat turun, kuhirup udara yang berbau amis, menginjak jalan yang becek, dan mendengar sahut-sahut penjual yang sedang membereskan dagangannya. Kuingat itu sekitar jam 3 pagi. Aku mengalami nostalgia, kembali ketika berumur 10 tahun. Dulu, almarhum kakekku sering mengajakku ikut berbelanja bahan makanan mentah di Pasar Kemiri Depok. Setelah turun, kami dibagi lagi ke dalam beberapa kelompok. Aku bersama kelompokku tiga orang: Jesse, Kidung, Mahe, ditugaskan untuk berjalan menyusuri selasar gelap tempat parkir Pasar Beringharjo. Kami diminta mencari seseorang bernama Pak Ari. Setelah beberapa waktu, kami menemukan beliau sedang membereskan motor di selasar itu. Jesse lah yang menyambut Pak Ari terlebih dahulu. Aku tidak berani menyapa pertama karena takut dibalas dalam Bahasa Jawa. Aku sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Kami berlima berbincang singkat selama 5 menit. Pak Ari ternyata telah bekerja sebagai tukang parkir di Pasar Beringharjo selama 20 tahun. Aku sangat terkejut dengan pernyataan itu. Semua orang di Beringharjo adalah keluarga bagi beliau karena mereka sudah bertemu setiap hari selama 20 tahun. Di Beringharjo, tukang parkir memiliki wilayahnya sendiri-sendiri. Tiap wilayah juga dibagi ke dalam 2 shift: shift pagi dan shift siang. Pak Ari bekerja pada shift pagi, bersama temannya, Pak Mamad. Pak Ari menggunakan kata ‘kartu kuning’ untuk menjelaskan temannya itu. Kami tentu bingung dengan maksud beliau, dan bertanya mengenainya. Pak Ari memperjelas bahwa Pak Mamad adalah orang dengan gangguan jiwa ringan. Jantungku berhenti sejenak ketika mendengar itu. Aku, Jesse, Kidung, dan Mahe kemudian berunding untuk berbagi tugas. Aku dan Mahe membantu Pak Mamad, Kidung dan Jesse membantu Pak Ari. Tidak banyak yang dipesankan oleh Pak Ari untuk kami lakukan, hanya, “Santai aja, kalau ada yang bisa dibantu, ya paling lurus-lurusin motornya.” Wilayah parkir Pak Mamad lebih jauh di ujung lorong gelap itu. Ternyata banyak motor yang sudah diparkirkan di sana, dan para penjual telah datang bersiap-siap sejak pagi. Aku dan Mahe pun duduk di atas dudukan bambu milik Pak Mamad yang beliau gunakan untuk beristirahat. Kami berbincang sedikit bersama Pak Mamad, aku sedikit takut setelah perkataan Pak Ari tadi bahwa Pak Mamad adalah orang dengan gangguan jiwa. Pak Mamad kebanyakan berbicara dalam bahasa Jawa, sehingga aku berkomunikasi melalui Mahe. Untung saja ada Mahe, kalau tidak, tidak mungkin aku bisa bertahan di tengah keadaan itu. Pak Mamad berkata bahwa dia telah bekerja sebagai tukang parkir di sana selama 18 tahun. Beliau bercerita bahwa dulu area parkir tersebut jauh lebih ramai dari yang sekarang, dan sudah tidak banyak orang muda yang masih singgah ke pasar secara rutin. Kebanyakan yang kami lakukan hanya menunggu, berbincang, serta meluruskan

Feature

Sampah Membawa Syukur

Pada awalnya hal ini tidak terkirakan. Maksud dari tidak terkirakan adalah perasaan saya setelah melihat apa yang ditugaskan kepada saya dan teman-teman kelompok immersion. Saya dan teman-teman mendapatkan tempat immersion di TPA Piyungan. Awalnya saya biasa-biasa saja dan beranggapan bahwa suasananya akan biasa-biasa saja. Ternyata tak sebanding dengan apa yang saya pikirkan. Ternyata di TPA masih ada orang-orang yang bekerja seperti memilah-milah sampah untuk dijual. Lebih kagetnya lagi, di TPA ada sapi yang mencari makan di tengah sampah dan ditambah lagi baunya yang sangat menyengat. Sampahnya sangat banyak sampai-sampai membentuk seperti gunung. Saya juga bertanya ke teman kelompok, katanya ini belum seberapa dibandingkan di Jakarta. Hal ini membuat saya teringat ketika mengunjungi TPA di Nabire yang kondisinya tidak seperti ini dan sampahnya tidak sebanyak ini. Ketika di TPA saya dan teman-teman dibagi menjadi 16 kelompok. Kami diminta untuk mengumpulkan plastik, botol kaca, dan botol karet. Kami berhasil mengumpulkan sampai satu trashbag penuh. Keadaan di TPA membuat saya bertanya-tanya di dalam hati, “Kok bisa ya orang-orang di sana bertahan dengan baunya sampah, panasnya matahari, dan debu?” Saya yang baru mengangkat sampah di sana saja sudah merasa malas, mual, dan jijik. Mereka adalah orang-orang hebat yang mencari uang dengan bekerja di tempat itu untuk mencukupi kehidupan mereka. Padahal hasil sampah satu plastik yang mereka dapat tidak cukup untuk makan mereka selama sehari. Saya sangat terharu dengan kerja keras mereka. Saya bersyukur karena melalui kesempatan untuk berinteraksi dengan orang-orang di TPA Piyungan saya dapat mengetahui bahwa masih ada orang yang lebih susah dari saya. Karena itu, saya harus tetap bersyukur dengan hidup saya dan tidak lagi membanding-bandingkan hidup saya dengan hidup orang lain. Juga, tetap merendahkan hati serta berbela rasa kepada sesama yang membutuhkan. Kontributor: Ferdinanda E. Godopia – Kolese Le cocq d’Armandville

Provindo

To be Men and Women for and with Others

Setelah sempat tertunda selama dua tahun karena pandemi, akhirnya Temu Kolese (Tekol) diselenggarakan kembali. Temu kolese kali ini diselenggarakan di SMA Kolese de Britto, Yogyakarta dan mengusung tema “To Be Friend with The Poor!”. Kegiatan ini dilaksanakan pada 16-20 Oktober 2023 dan dihadiri delapan Kolese Jesuit Indonesia, yaitu Kolese Kanisius Jakarta, Kolese Gonzaga Jakarta, Kolese Loyola Semarang, Kolese de Britto Jogja, Kolese PIKA Semarang, Kolese Mikael Solo, Seminari Mertoyudan Magelang, dan Kolese Le Cocq Nabire. Temu kolese adalah kegiatan yang diinisiasi oleh para pamong kolese agar siswa-siswi Kolese Jesuit Indonesia berjumpa dan berkolaborasi. Pater Baskoro Poedjinoegroho, Delegat Pendidikan Serikat Jesus, bercerita bahwa kegiatan ini bermula dari 3 kolese besar (Kolese de Britto, Kolese Loyola, dan Kolese Kanisius) yang saling berkunjung dari satu kolese ke kolese lain secara bergantian. Dalam kunjungan ini diselenggarakan pula pertandingan olahraga sehingga terjadi interaksi antarsiswa kolese. Lambat laun, para pamong kolese menginisiasi pertemuan seluruh kolese Jesuit Indonesia yang terprogram dan rutin sekitar tahun 1980n. Temu Kolese tahun 1985 dilaksanakan di Seminari Mertoyudan Magelang dan dihadiri oleh 6 kolese Jesuit yaitu Kolese Loyola, Kolese de Britto, Kolese Kanisius, SMK PIKA dan STM Mikael. Kegiatan ini dilaksanakan pada 11-13 Oktober 1985 dengan agenda pertandingan olahraga. Pertemuan kolese selanjutnya dilaksanakan di Kolese Loyola Semarang pada 11-13 Oktober 1988 dengan tema “Satu dalam Semangat Yesuit”. Kegiatan ini diikuti oleh Kolese de Britto, Kolese Kanisius, Seminari Pejanten atau Kanisius Unit Selatan, PIKA, STM Mikael, Seminari Mertoyudan dan Kolese Loyola. Sempat beberapa kali temu kolese diselenggarakan di Seminari Mertoyudan karena ada asrama yang mengurangi kesulitan akomodasi dan mck anak-anak. Setelah beberapa waktu, Tekol diselenggarakan di kolese-kolese lain agar dapat mengunjungi sekolah-sekolah yang lainnya. Sempat, pertandingan olahraga menjadi sebuah ajang untuk menunjukkan kehebatan kolese serta mengajarkan para peserta berkompetisi. Lambat laun tidak hanya pertandingan olahraga saja, berbagai kegiatan seperti lomba namun mulai berkembang menjadi berbagai kesenian, debat, refleksi bersama, ekaristi, doa, dan malam ekspresi. Berbeda dengan temu kolese sebelumnya, panitia Tekol 2023 menambahkan sebuah kegiatan baru yaitu immersion. Program immersion ini adalah salah satu ciri khas formasi di SMA Kolese de Britto, di mana para siswa diajak untuk tidak hanya menjadi pengamat namun pelaku yang berinteraksi langsung dengan mereka yang tersingkirkan lewat live in di karya sosial atau slum area. Tujuan immersion dalam kegiatan Tekol 2023 ini adalah agar anak-anak belajar mengasah hati dan sisi compassion mereka serta memperdalam semangat to be men and women for and with others. Kegiatan ini sejalan dengan tema Temu Kolese kali ini yaitu “To Be Friend with The Poor!” sekaligus selaras dengan salah satu fokus Universal Apostolic Preferences (UAP). Saat immersion, para peserta dibagi dalam beberapa kelompok. Ada yang mengunjungi lapas, menjadi pedagang di pasar Beringharjo, buruh pasir, tukang parkir, dan mengambil sampah di TPA Piyungan. Pater Hugo, ketua panitia Tekol 2023 mengatakan, “Semoga setelah mereka berbaur dengan orang sederhana, mencium bau keringat mereka, dan melihat situasi yang ada, akan menggugah mereka. Jika suatu saat mereka menjadi pemimpin, mereka ingat dengan saudara yang menderita dan dengan ringan tangan membantu.” Sebelum peserta terjun langsung ke lapangan, Pater Nano memberikan pengantar bahwa mereka datang ke tempat immersion perlu menyiapkan diri, termasuk mengidentifikasi ketakutan. Selain itu para peserta juga diajak untuk membuka hati, persepsi, dan imajinasi. Setelah immersion para peserta dibantu oleh Pater Pieter untuk menajamkan refleksi mereka sehingga menjadi bekal mereka untuk masa depan. Pater Hugo mengibaratkan anak-anak mendapatkan menu hamburger yang lezat dalam Tekol kali ini, dengan immersion sebagai dagingnya serta refleksi dari Pater Nano dan Pater Pieter Dolle sebagai rotinya. Logo Temu Kolese 2023 ini terinspirasi dari tema “To Be Friend with The Poor”, yang memiliki makna dengan kebersamaan dan saling merangkul, kita dapat mencapai tujuan bersama. Dalam logo ini terdapat bentuk 8 tangan yang melingkar membentuk bunga dengan matahari di tengahnya, dan tulisan melingkar “Temu Kolese 2023” serta tema Tekol tahun ini. Bentuk tangan disusun menyerupai bentuk bunga yang bermakna saling merangkul dan menghasilkan bentuk yang indah. Selain itu tangan yang mengelilingi ini merupakan gambaran bentuk compassion untuk menjadi sahabat bagi mereka yang tersingkirkan. Tangan ini melambangkan 8 Kolese di Indonesia dan menggunakan warna dominan dari masing-masing Kolese. Matahari menjadi representasi tujuan dari Tekol tahun ini yaitu melatih compassion, yang terinspirasi dari logo Jesuit. Bentuk matahari yang menyala dan menyebar merupakan gambaran kepekaan terhadap lingkungan sekitar agar mau berbagi dan memperhatikan mereka yang terpinggirkan. Di bagian kanan kiri terdapat bentuk salib yang melambangkan kegiatan ini dilandasi oleh iman katolik yang kuat untuk menjalankan dan menyebarkan kasih Tuhan kepada sesama manusia dan lingkungan. Tidak hanya para siswa-siswi saja yang berjumpa dan berkolaborasi bersama dalam Temu Kolese ini, juga para guru kolese. Hal ini terlihat dari keterlibatan para guru masing-masing kolese yang ikut menjadi panitia. Para guru yang menjadi panitia dibantu pula oleh siswa-siswi dari berbagai kolese. Temu Kolese ini tidak hanya menjadi ajang untuk berkolaborasi saja namun juga menyatukan energi. “Energi dari kolese-kolese Jesuit begitu positif dan bagus sehingga bila disatukan akan menjadi energi yang besar yang menggerakkan di wilayah masing-masing. Serikat Jesus melalui sekolah-sekolah memberikan kontribusi bagi masyarakat yang lebih luas tidak hanya untuk Gereja saja,” tutur Pater Hugo. Pater Kuntoro, rektor SMA Kolese De Britto, berharap setelah Tekol ini para peserta lebih berani mengambil waktu untuk diri sendiri guna mengendapkan, mengidentifikasi, dan memaknai pengalaman yang mereka peroleh. “Mungkin mereka tidak tahu apa maknanya sekarang, tapi nanti akan menjadi energi bagi mereka dalam menjalani kehidupan.” Pater Baskoro Poedjinoegroho pun menambahkan bahwa perkembangan dunia yang destruktif membutuhkan mereka yang mempunyai bekal yang kuat. Salah satunya berupa pengalaman dicintai. Semoga dalam perjumpaan di Temu Kolese ini, anak-anak merasakan pengalaman dicintai dan persahabatan dari teman-teman dan sesama sehingga mereka merasa diri mereka berharga. Ketika mereka merasa diri mereka berharga, mau mengapresiasi diri serta bersedia untuk bertumbuh, mereka pun akan memberikan kebaikan juga untuk orang lain. Dengan cara itu, mereka menghidupi semangat to be men and women for and with others. Kontributor: Margareta Revita – Tim Komunikator

Provindo

See, Judge, Act

Temu Kolese 2023 Tahun ini menjadi kesempatan yang istimewa bagi siswa-siswi kolese. Temu Kolese (Tekol) diadakan lagi dengan peserta dari Kolese Kanisius, Kolese Gonzaga, Kolese Loyola, Kolese PIKA, Kolese Mikael, Seminari Mertoyudan, Kolese De Britto, dan Kolese Le Cocq D’armandville. Meskipun berasal dari berbagai macam daerah di Indonesia, kehangatan dan keseruan sebagai anak kolese begitu terasa. Tekol ini diadakan pada 16-20 Oktober 2023 di Kolese De Britto dengan mengangkat tema To Be Friend With The Poor: menjadi teman bagi mereka yang tersingkir. Dinamika dan kegiatan disiapkan sedemikian baik oleh panitia dengan harapan mampu membawa peserta pada pengalaman dan pendalaman nilai bahwa anak muda harus mau terlibat untuk menjadi teman bagi yang tersingkir. Acara ini melibatkan kolaborasi panitia siswa, guru, hingga pamong atau moderator antarkolese. Tekol 2023 merupakan Temu Kolese pertama setelah jeda lima tahun karena pandemi. Ada suatu kerinduan terpendam akan perjumpaan yang dibawa oleh masing-masing Kolese. Banyak peserta dari masing-masing kontingen merasa sangat antusias dan ingin ambil bagian dalam kegiatan Tekol 2023 ini. Oleh karena itu banyak acara di Tekol tahun ini yang dirancang sedemikian rupa dengan harapan bisa memberikan kenangan dan momen berharga bagi setiap kolese terutama panitia dan peserta yang terlibat langsung. Dalam perencanaannya, panitia mulai membahas konsep dan model kegiatan sejak awal tahun 2023. Pertemuan demi pertemuan akhirnya membuahkan konsep rangkaian kegiatan Tekol 2023 dengan berbagai modifikasi dari Tekol sebelumnya. Secara khusus dalam Tekol kali ini, panitia juga mencoba untuk memadukan audio-visual dalam setiap kegiatannya. Sehari sebelum kontingen tiba, panitia sudah sampai di lokasi Tekol 2023 untuk memastikan segala sesuatunya siap. Hari Minggu itu SMA Kolese De Britto menjadi ramai dengan segala kesibukan panitia yang melakukan persiapan. Berbagai penyesuaian dan adaptasi harus dilakukan dalam waktu singkat agar acara dapat berjalan dengan baik dan lancar. Pada hari pertama Tekol 2023, upacara pembukaan dilakukan oleh Pater Baskoro selaku Delegat Pendidikan Serikat Jesus, Pater Kuntoro selaku rektor SMA Kolese De Britto, dan Pater Hugo sebagai ketua panitia. Rangkaian pembukaan diawali dengan sambutan, pemukulan gong oleh sejumlah perwakilan kolese Jesuit di Indonesia, perarakan bendera, menyanyikan mars setiap kolese, menyanyikan mars Tekol 2023, dan defile. Berangkat dari harapan dan antusiasme Jesuit serta panitia perancang acara, Tekol dirancang dengan memodifikasi beberapa tradisi menjadi kegiatan yang lebih inovatif. Salah satu contohnya adalah defile pembukaan Tekol 2023. Pada kegiatan Tekol sebelumnya defile diadakan dengan perarakan kontingen yang diiringi mars masing-masing Kolese. Kali ini defile dibungkus dengan pertunjukan teater gabungan kolese. Teater ini mengusung kisah hidup Inigo di masa modern yang menceritakan perjalanan hidupnya kepada dua orang sahabatnya yaitu Xavier dan Faber. Perjalanan Inigo dipilih karena memuat unsur-unsur khusus immersion Tekol 2023 sesuai dengan tema “To be Friend with The Poor”. Ada tiga narator utama dalam kisah ini yang berperan sebagai Ignatius Loyola, Xavier, dan Faber. Cerita diawali dengan kisah hidup Inigo kecil yang ditampilkan oleh Kolese Kanisius. Kolese PIKA melanjutkan dengan pola asuh orang tua Inigo. Ternyata, lingkungan di sekitar Inigo tidak baik. Inigo tercebur dalam pergaulan yang buruk. Bagian ini divisualisasikan oleh Kolese Loyola dan Gonzaga. Kolese De Britto melanjutkan hidup Inigo yang harus bekerja sebagai kuli demi memenuhi kebutuhan hidupnya hingga mengalami kecelakaan yang membuatnya cacat. Ia juga diringkus oleh pihak berwenang yang menangkap basah ketika ia sedang melakukan transaksi. Penggambaran hidup Inigo dalam sel divisualisasikan oleh Kolese Mikael. Kemudian Kolese Le Cocq D’armandville melanjutkan dengan adegan Inigo menjadi pengemis. Kisah hidup Inigo ditutup dengan visualisasi pertobatan Inigo oleh Seminari Mertoyudan. Pada hari kedua, peserta dan panitia siswa dísebar ke beberapa wilayah di Jogja hingga Muntilan untuk melakukan immersion. Immersion ini mengajak para peserta untuk merasakan dan terlibat dalam keseharian mereka yang kecil dan tersingkir. Bentuk immersion yang dilakukan meliputi kunjungan ke panti jompo, panti asuhan, pasar, TPA, kuli pasir, bersih kota, dan berdialog dengan PSK. Selama immersion, peserta dapat melihat dan merasakan langsung kondisi sebenarnya tanpa terpengaruh stigma yang berkembang di masyarakat. Setiap lokasi immersion memiliki keunikan dan tantangannya masing-masing. Mereka yang pergi ke lokasi kuli pasir harus berangkat sejak pukul dua pagi dan baru kembali pada siang hari. Perjalanan menuju ke lokasi cukup panjang dan memakan banyak waktu. Belum lagi mereka harus belajar untuk menambang pasir dalam waktu singkat. Lokasi TPA juga menyambut dengan bau yang tidak sedap, ditambah lagi panas terik mentari yang kuat. Begitu pula dengan lokasi lainnya, mereka juga memberikan kekayaan ilmu hidup yang mengesan bagi setiap peserta. Sekembalinya ke De Britto, peserta diperbolehkan untuk beristirahat hingga acara talkshow dan pengendapan bersama di malam harinya. Talkshow dibawakan oleh Pater Pieter Dolle bersama dengan relawan dari SPM Realino. Mereka membagikan sepak terjang mereka untuk menjadi teman bagi mereka yang tersingkir. Mereka mengatakan bahwa membantu sesama membuahkan suatu kebahagiaan tersendiri meskipun tidak jarang kesabaran mereka juga diuji khususnya ketika berhadapan dengan anak-anak. Setelah talkshow, para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok untuk sharing dan menuliskan apa yang didapat pada selembar kertas A2. Kertas tersebut kemudian dipajang dan menjadi reminder berharga bagi semua. Seluruh kegiatan di hari itu ditutup dengan adorasi pada Sakramen Mahakudus. Hari ketiga merupakan hari pertandingan olahraga dan non-olahraga. Ada pertandingan olah raga kolaboratif dan ada pula antarkolese. Basket putra, sepak bola, basket putri, dan futsal putri bersifat kolaboratif. Sedangkan voli, lari estafet, atletik lari 2,4 km, tenis meja, dan badminton dipertandingkan antarkolese. Adapun perlombaan non-olahraga meliputi debat Bahasa Inggris, musikalisasi puisi, mendongeng, Tekol Got Talent, stand up comedy, fotografi, dan film pendek. Beberapa pertandingan olahraga juga dimeriahkan oleh pertandingan para Pater/Frater dan beberapa guru. Pertandingan berlangsung dengan penuh semangat dan berjalan dengan baik. Seluruh peserta bersemangat untuk memberikan performa terbaiknya demi tim dan kemenangan. Sejak pagi hari, para peserta telah mempersiapkan diri dengan mengenakan jersey Tekol. Mereka berkumpul di sisi-sisi lokasi pertandingan untuk menonton dan menunggu giliran bermain. Tidak hanya dipenuhi oleh antusiasme para peserta, panitia juga bekerja keras dalam memeriahkan pertandingan. Dentuman serta sorakan khas dari suporter Kolese Mikael dan Kolese De Britto menambah kemeriahan pertandingan di hari itu. Pada Kamis malam diadakan Malam Kesenian yang dibalut dalam kisah perjalanan punakawan saat berjalan-jalan di Jogja. Malam Kesenian ini menyuguhkan lanjutan pesan moral yang diberikan saat defile. Setiap penokohan dan pementasan yang dilakukan berjalan dengan baik.

Karya Pendidikan

Amor in Diversitate 

Keberagaman Indonesia Berkunjung ke pondok pesantren Roudhotus Sholihin adalah pengalaman pertama bagi kami KKL (Keluarga Kolese Loyola, sebutan untuk siswa/siswi Loyola) dalam melihat konteks keberagaman yang ada di Indonesia. Kami dapat melihat secara personal bagaimana kebiasaan dan kebudayaan yang terbangun di luar realitas yang dihadapi di komunitas Loyola. Dalam kunjungan ini ada 15 orang KKL yang didampingi oleh Pater Martinus Juprianto Bulu Toding., S.J., Bapak Antonius Novianto, dan Ibu Wening Putri Pertiwi. Kami juga mendapatkan bantuan dari Fr. Wahyu Mega S.J. dalam berkomunikasi dan berdiskusi dengan pihak pondok pesantren. Kunjungan ini semakin istimewa karena menjadi salah satu rangkaian dalam pendistribusian Gerakan Seratus Perak III. Gerakan ini merupakan upaya dari Dewan Keluarga Kolese Loyola (DKKL) dalam mewujudkan semangat berbela rasa dan compassion bagi masyarakat. Kegiatan ini memang masih baru dalam komunitas kami, sehingga masih ditemui banyak rintangan dalam mewujudkannya, baik dalam lingkup internal maupun eksternal. Namun secara perlahan kami mencoba membantu dengan menggalang donasi dalam rentang waktu yang ada. Situasi Komunitas Loyola saat ini sudah semakin majemuk dan heterogen dibanding situasi sebelumnya. Beberapa upaya telah dilakukan untuk memberikan hak yang sama kepada setiap KKL. Kami sadar bahwa setiap suku, budaya, dan kepercayaan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang telah menjadi salah satu fokus yang terus diperjuangkan. Meskipun dalam praktiknya masih banyak evaluasi dan masukan yang diperlukan untuk pengembangan hal tersebut, namun usaha untuk terlibat dalam dialog antaragama menjadi momen penting dalam mempererat kebhinekaan. Sungguh dalam kunjungan kali ini kami kembali disadarkan bagaimana memaknai keberagaman ini. Keberagaman bukan tentang mayoritas dan minoritas, tetapi tentang mencipta rasa dan makna. Apa yang diajarkan dalam setiap perbedaan pada dasarnya adalah sama, tetapi berbeda dari segi pengaplikasiannya. Kami sebagai Komunitas Ignatian menyadari tentang sikap lepas bebas, sebuah sikap di mana kita memiliki kebebasan dalam memilih keputusan atas diri kita namun memiliki tanggung jawab moral untuk memilih apa yang sesuai dengan kehendak-Nya. Hal serupa secara praktis diterapkan di Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin yang hadir di tengah-tengah pemukiman masyarakat. Kehadiran di tengah masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi para santri untuk memilih dan menimbang (discretio) bagaimana harus bersikap di tengah masyarakat. Sebagai manusia yang utuh bersama dengan perbedaan yang ada, kita harus saling merangkul dan memahami untuk menciptakan toleransi, saling menghargai dan kolaborasi dalam memajukan kehidupan bersama. Salah satunya melalui sarana dialog bersama. Dialog ini bertujuan untuk mengasah wiraga, wirama, wirasa, dan wirupa dalam setiap orang yang masih mencintai Tuhan serta tanah airnya. Pada kunjungan ini pula kami disambut dengan sedemikian hangatnya sebagai satu keluarga hingga diundang ikut serta dalam Mauludan. Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin adalah salah satu pioner pendidikan dalam menciptakan pribadi yang religius, beradab, dan berintelektual. Visi inklusivisme juga terwujud dari kesempatan yang diberikan Gus Abdul Kodir, pimpinan pondok pesantren, kepada kami saat berkunjung dan menerima para frater-frater Jesuit yang sedang menjalani Tahap Orientasi Kerasulan. Selain itu kami juga menemukan sesuatu yang berbeda di pondok pesantren ini, sebuah keberhasilan pendidikan karakter yang sangat baik. Generasi muda perlu terus menerus mendapat bimbingan untuk menjadi generasi masa depan yang humanis. Metode pembelajaran ini menjadi sebuah masukan yang berharga bagi kami di Komunitas Loyola dalam membimbing KKL. Kami berharap dengan kunjungan ini terbangun kesadaran dan relasi kolaborasi antara SMA Kolese Loyola dan Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin dalam pengembangan para siswanya. Bersama-sama mencetak pribadi yang kompeten dan memiliki hati nurani untuk membangun bangsa ini. Kami, Komunitas Loyola, akan terus membangun diri menjadi komunitas yang sungguh mewujudkan men and women for others tanpa melihat perbedaan yang ada. Komitmen untuk saling menghormati dan upaya-upaya kolaboratif menjadi potensi yang sangat berpengaruh dalam menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia. Ad Maiorem Dei Gloriam.  Kontributor: Michael Bryan Ardhitama – KKL Angkatan 72 SMA Kolese Loyola