Pilgrims of Christ’s Mission

skolastik

Formasi Iman

Nasi Berkah, Berkah bagi Sesama

Pada Minggu, 8 Juni 2025, skolastik Kolese Hermanum berkumpul bersama dengan para donatur untuk mengadakan rapat evaluasi dan refleksi terkait program nasi berkah. Sepanjang Oktober 2024 hingga Juni 2025, program ini terus memberikan kekayaan pembelajaran bagi para frater. Program nasi berkah di Kolese Hermanum terus berlanjut sebagai bentuk konkret kehadiran dan solidaritas terhadap saudara-saudari kita yang mengalami kesulitan ekonomi. Dari yang mulanya hanya dilaksanakan di Unit Pulo Nangka, program ini telah berkembang ke unit-unit lain seperti Kampung Ambon, Johar Baru, Kramat 6, dan Kramat 7 (Wisma Dewanto).    Setiap unit tetap mempertahankan pembagian 30 kupon nasi berkah per minggu, yang masing-masing bernilai subsidi Rp10.000. Para penerima diminta memberikan kontribusi sebesar Rp2.000 ke warung mitra sebagai bentuk partisipasi mereka atas kegiatan ini.    Namun, dalam pelaksanaannya, kegiatan ini menghadapi sejumlah tantangan, yaitu (1) pergantian PIC dan perubahan komposisi unit membuat alur koordinasi sempat tidak stabil; (2) beberapa warung mengajukan kenaikan harga karena biaya bahan baku yang meningkat; (3) miskomunikasi terkait sistem pembayaran juga sempat terjadi, terutama ketika PIC berhalangan hadir dan digantikan oleh orang lain yang belum sepenuhnya memahami alur; dan (4) ketidakteraturan dalam pembagian kupon juga muncul ketika para frater mengalami kesibukan akademik atau kegiatan internal sehingga perlu saling mengingatkan agar kupon tetap dibagikan tepat waktu.   Relasi dengan Penerima dan Warung Salah satu kekuatan program ini terletak pada relasi yang terbangun secara personal. Banyak frater membagikan pengalaman bagaimana kupon yang diberikan bukan sekadar akses ke makanan tetapi menjadi pintu perjumpaan yang bermakna. Dari para frater yang membagikan kupon, mereka membagikan cerita tentang para penerima kupon yang dengan setia menanti setiap minggu. Pemilik warung juga merasa terlibat dalam kegiatan nasi berkah ini. Bahkan ada warung yang tanpa diminta menambahkan lauk seperti daging sebagai bentuk keterlibatan memberi.    Keluarga Ibu Fifi dan keluarga Ibu Khim, yang sebelumnya telah menjadi inspirasi bagi program ini, tetap menjadi mitra dan donatur aktif. Mereka melihat bahwa membantu menyediakan makanan secara layak adalah bentuk nyata menghargai sesama. Bagi mereka, program ini bukan hanya transaksi ekonomi, tetapi juga kesempatan rutin berbagi kasih dan kemurahan hati yang juga menjadi sumber pemasukan stabil bagi para pemilik warung.   Refleksi Sosial dan Rohani Sebagaimana telah menjadi semangat awal program ini, kegiatan nasi berkah bukanlah sekadar pembagian makanan murah. Hal ini adalah bentuk tanggapan terhadap Universal Apostolic Preferences (UAP) nomor dua, yaitu berjalan bersama mereka yang terpinggirkan. Program ini membawa pesan bahwa tidak ada seorang pun yang sendirian di dunia ini — bahwa Tuhan, dalam cara-Nya yang sederhana, hadir melalui komunitas yang peduli.   Banyak PIC menyadari bahwa proses ini membentuk mereka secara pribadi dan rohani. Bagi para skolastik ekspatriat, kegiatan ini menjadi sarana belajar bahasa dan budaya Indonesia sekaligus menyentuh realitas sosial secara langsung. Di tengah tantangan praktis, selalu ada momen kecil yang menjadi ruang belajar mencintai lebih dalam dengan cara yang konkret.   Arah ke Depan Beberapa keputusan pun diambil selama periode ini untuk menjalankan program agar berjalan lebih baik, yaitu: (1) penyesuaian harga kupon dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan warung. Biaya subsidi yang awalnya Rp10.000 meningkat jadi Rp13.000. Dengan cara yang sama pula para penerima harus membayar Rp2.000; (2) bukti pembayaran lebih diperjelas melalui nota atau dokumentasi foto agar ada transparansi dan pertanggungjawaban; (3) komunikasi dengan warung mitra harus diprioritaskan, baik dalam hal harga, menu, maupun sistem pembayaran; dan (4) Kriteria penerima kupon ditekankan pada kebutuhan riil, bukan pada status sosial atau penampilan luar. Orang yang menunggu dengan harapan, mereka layak untuk menerima tanpa harus dibebani verifikasi yang kaku.   Kini apa yang telah kami mulai kiranya menjadi gerakan kolektif yang membentuk kepedulian. Kegiatan ini telah menyentuh kehidupan banyak orang — baik penerima kupon, pemilik warung, para frater, maupun donatur. Sekecil apapun yang dibagikan, ketika dilakukan secara konsisten dan dengan hati, akan menjadi rahmat. Pertanyaannya ini kembali pada kita, “Maukah kita menjadi saluran rahmat bagi sesama dan menjadi perpanjangan tangan kasih Tuhan meski dengan cara yang sederhana namun penuh arti?”   Kontributor: Sch. Laurensius Herdian Pambudi, S.J.

Penjelajahan dengan Orang Muda

Café Puna: “Discerning the Will of God”

Pada hari Kamis, 22 Mei 2025, komunitas SJ Pulo Nangka menyelenggarakan kegiatan Café Puna (Café Pulo Nangka), sebuah forum santai dan inspiratif untuk berbagi pengalaman dalam menghidupi spiritualitas Ignatian bersama para Frater Serikat Jesus Unit Pulo Nangka. Kegiatan ini berlangsung mulai pukul 19.30 hingga 21.00 WIB dan dilaksanakan secara hybrid, yakni on-site di Komunitas Pulo Nangka serta secara daring melalui platform Zoom.   Kegiatan bertajuk “Discerning the Will of God” ini dihadiri oleh 65 peserta secara langsung dan 50 peserta secara daring, yang terdiri dari umat lingkungan, OMK, mahasiswa, kelompok MAGIS, serta para religius lain yang memiliki ketertarikan pada dinamika hidup rohani dan proses discernment (membedakan kehendak Allah) dalam spiritualitas Ignatius Loyola.   Sesi utama dipandu oleh Frater Herdian, S.J. dan Frater Pond, S.J. yang membawakan pembahasan mengenai tiga waktu diskresi dalam spiritualitas Ignatian. Fokus utama malam itu adalah pada waktu ketiga—yakni momen diskresi di mana seseorang tidak berada dalam kondisi pengalaman batin yang kuat (waktu pertama) maupun gerak rasa yang mencolok (waktu kedua), tetapi mengambil keputusan melalui pertimbangan akal budi yang jernih dan tenang.     Disampaikan pula bahwa pertimbangan akal budi dalam waktu ketiga tidak bersifat kering atau semata-mata rasional. Diskresi ini tetap mengandaikan kebebasan batin, yakni keterbukaan dan keterlepasan dari ketertarikan pribadi yang mengaburkan pandangan. Kebebasan ini memungkinkan seseorang untuk memilih bukan hanya apa yang baik, melainkan apa yang lebih memuliakan Tuhan dan membahagiakan dirinya secara mendalam dan sejati.   Sesi diakhiri dengan tanya jawab interaktif dan sharing pengalaman singkat dari beberapa peserta yang menyoroti tantangan konkret dalam menjalani proses discernment, terutama dalam konteks pilihan hidup dan pekerjaan. Pada sesi ini, pertanyaan-pertanyaan dari para peserta dijawab oleh para Pater SJ yang hadir baik secara langsung maupun online. Mereka adalah Pater Sardi, Pater Effendi, Pater Siwi, dan Pater Widi. Selain bahwa kita harus cermat dalam melakukan diskresi, para penanggap menegaskan pentingnya membangun kebiasaan refleksi harian dan pendampingan rohani sebagai sarana konkret untuk menumbuhkan kepekaan rohani dalam membuat keputusan-keputusan penting.   Akhirnya, kegiatan ini menjadi ruang formasi rohani yang hangat, terbuka, dan mencerahkan, yang diharapkan terus berlanjut secara berkala sebagai wadah bagi kaum muda dan siapa saja yang ingin mendalami spiritualitas Ignatian dalam kehidupan sehari-hari.   Kontributor: Sch. Alexius Aji Pradana, SJ – Humas Café Puna

Penjelajahan dengan Orang Muda

“By Healing the World, We Rise Together”

Ekaristi Kaum Muda Johar Baru 2025 Sabtu, 17 Mei 2025, Skolastikat SJ Unit Johar Baru kembali menggelar Ekaristi Kaum Muda (EKM) sebagai bagian dari tradisi kreatif dan reflektif komunitas skolastik SJ Unit Johar Baru. Lebih dari sekadar perayaan liturgi, EKM menjadi ruang spiritual yang mengajak kaum muda untuk merenungkan iman mereka dalam konteks kehidupan masa kini. Dengan tema “By Healing the World, We Rise Together,” kegiatan EKM menggemakan Preferensi Kerasulan Universal Serikat Jesus, khususnya ajakan untuk berkolaborasi dalam merawat rumah kita bersama. Ekaristi Kaum Muda Johar Baru tahun ini diikuti oleh sekitar 120 peserta dari berbagai komunitas, seperti Prompang SJ, MAGIS Jakarta, PMKRI, ATMI Cikarang, Kolese Kanisius, PMKAJ Unit Selatan, PMKAJ Unit Barat, OMK Paroki Kampung Duri, Sant’Egidio, Universitas Atma Jaya Jakarta, OMK Paroki Santa Perawan Maria Tak Bernoda Tangerang, STF Driyarkara, serta kolaborator dari kongregasi, dan lembaga mitra lainnya. Keberagaman latar belakang, dan semangat yang dibawa para peserta, menjadikan EKM sebagai perayaan yang sungguh hidup, relevan, dan menyentuh realitas zaman.   Rangkaian kegiatan dibuka dengan Misa Kreatif yang dipimpin oleh Pater Effendi Kusuma Sunur, S.J. Dalam homilinya, Pater Effendi mengajak para peserta untuk merenungkan dimensi kasih dalam konteks ekologis. Ia menekankan bahwa lawan kata dari kasih bukanlah kebencian, melainkan ketidakpedulian. Banyak kerusakan lingkungan yang terjadi bukan karena kebencian aktif, melainkan karena sikap pasif, dan tidak peduli. Seruan tersebut menggugah hati para peserta, untuk melihat kembali gaya hidup mereka, serta membangkitkan kesadaran, bahwa mencintai Allah berarti juga mencintai, dan peduli pada ciptaan-Nya. Ekaristi semakin syahdu dengan kehadiran Sisca Saras, mantan anggota JKT48, yang tampil sebagai pemazmur. Dengan suara dan pembawaannya yang tenang, Sisca membantu menghadirkan suasana doa yang mendalam dalam Liturgi Sabda. Ia juga membawakan dua lagu dalam sesi ramah tamah.    Salah satu bentuk konkret komitmen ekologis dalam Ekaristi Kaum Muda Johar Baru tahun ini, adalah penggunaan meja altar dari 86 Eco-brick, yang dibuat secara mandiri oleh para frater Johar Baru. Eco-brick adalah botol plastik bekas, yang diisi padat dengan sampah anorganik tak terurai, seperti: plastik pembungkus, kresek, dan styrofoam. Melalui proses yang tekun dan kreatif, sampah-sampah anorganik tersebut dapat diubah menjadi barang, yang memiliki nilai guna.      Setelah perayaan Ekaristi, para peserta mengikuti sesi sharing dalam kelompok kecil, yang dibagi dalam tiga putaran. Sesi sharing didahului oleh penayangan video pendek, tentang ekologi yang telah disiapkan panitia. Putaran pertama mengajak peserta merefleksikan kehidupan pribadi mereka: Sudahkah aku hidup secara ekologis? Putaran kedua mendorong empati masing-masing peserta untuk mendengarkan, dan menangkap pembelajaran dari sharing teman lain. Pada putaran terakhir, masing-masing peserta diajak merumuskan satu kehendak konkret, sebagai buah dari keterlibatan mereka di EKM ini. Proses tersebut menjadi ruang refleksi bagi masing-masing peserta, untuk membangun kesadaran ekologi, dan mengarah pada transformasi gaya hidup yang lebih ekologis.    Setelah sesi sharing, suasana beralih ke nuansa perayaan dalam bentuk Pesta Rakyat dan Pentas Seni. Komunitas-komunitas peserta menampilkan karya seni mereka: musik, puisi, dan lain-lain. Semangat partisipasi dari para peserta menjadi tanda; bahwa iman kaum muda adalah iman yang hidup, kreatif, dan penuh sukacita. Tak ketinggalan, kehadiran stan UMKM dari warga sekitar, menjadi dukungan nyata terhadap ekosistem ekonomi lokal. Aksi kecil seperti ini menunjukkan, bahwa merawat bumi bukan hanya tentang menanam pohon atau mengelola sampah, tetapi juga tentang membangun solidaritas dengan sesama manusia.   Menjelang akhir acara, peserta diajak mendengarkan Gobind Vashdev, seorang penulis, dan fasilitator transformasi kesadaran dalam hal ekologi. Dalam talkshow-nya, Gobind berbicara tentang akar terdalam krisis ekologis: krisis spiritual. Ia menyampaikan bahwa krisis lingkungan adalah cermin dari ketidakseimbangan dalam diri manusia. “Ketika manusia lupa akan cukup, lupa bersyukur, dan hidup dalam ketamakan, maka bumi pun akan terluka,” katanya. Kata-kata Gobind menantang peserta untuk melihat ke dalam, sebelum menunjuk keluar. Ia mengajak para peserta menyadari bahwa perilaku eksploitatif terhadap alam, lahir dari jiwa yang kosong, jiwa yang tidak puas, tidak tahu cukup, dan tidak mampu bersyukur atas yang sudah dimiliki. Ketika manusia kehilangan rasa cukup (sense of enough), maka alam menjadi korban kerakusan yang tak berujung.     Sebagai skolastik Jesuit, kami yang terlibat sebagai panitia Ekaristi Kaum Muda Johar Baru 2025 tidak sekadar menyelenggarakan sebuah acara, tetapi juga belajar banyak dari pengalaman ini. Kami belajar mendengarkan, berkolaborasi dengan banyak komunitas, serta menggerakkan semangat ekologis secara nyata pada kaum muda. Semua ini menjadi bagian dari formasi kami, untuk menjadi “Men for others.” Akhirnya, Ekaristi Kaum Muda Johar Baru 2025 bukan sekadar perayaan tahunan, melainkan sebuah proses formasi, aksi ekologis, dan pewartaan iman yang hidup.   Kontributor: Sch. Ignatius Dio Ernanda Johandika, S.J.  

Formasi Iman

Menimba Rahmat Bulan Imamat

Program Bulan Imamat (Arrupe Month) adalah salah satu bagian integral dalam formasi sebagai calon imam Serikat Jesus. Program ini dilaksanakan pada tahap akhir formasi imamat, yaitu formasi teologi. Kami, enam frater teologan dan seorang bruder tahun pertama dari Kolese St. Ignatius Yogyakarta, menjalani program Bulan imamat pada 2-31 Januari 2025 di Rumah Retret Kristus Raja, Girisonta. Selama satu bulan, kami menjalani rangkaian acara dan didampingi oleh Pater Paul Suparno, S.J. selaku Prefek Spiritual Kolsani.   Pengalaman menjalani Bulan Imamat merupakan pengalaman istimewa. Program ini memberikan kesempatan berharga bagi kami untuk semakin menghayati panggilan imamat dalam Serikat Jesus dengan rangkaian sesi diskusi dengan beragam pembicara, sharing rohani, dan ditutup dengan retret delapan hari (octiduum). Ada empat pertanyaan besar yang menjadi arah dasar program ini. Dari mana inspirasi dan Roh imamat Jesuit? Imamat dan hidup membiara untuk siapa? Siapa rekan pelayanan imam? Ruang dialog mana saja yang bisa dilibati?     Menggali Inspirasi dan Roh Imamat Jesuit Pertanyaan “Dari mana inspirasi dan Roh imamat Jesuit?” mengajak kami untuk melihat kembali akar spiritualitas Serikat Jesus dan merefleksikan tentang kekhasan imamat Jesuit.    Dalam sesi pengantar, Pater C. Kuntoro Adi, S.J. selaku Rektor Kolese Ignatius menunjukkan bahwa panggilan imamat dalam Serikat Jesus berbeda dibandingkan dengan tarekat religius lain. Beliau mengangkat kisah para Jesuit yang masuk ke Kerajaan Siam pada abad XVII sebagai astronom kerajaan. Hal tersebut menunjukkan kekhasan imamat Serikat Jesus yang bukan pertama-tama imamat kultis, melainkan imamat ministerial.   Bersama Pater L.A. Sardi, S.J., kami menelusuri perjalanan para Primi Patres serta dokumen-dokumen Serikat. Lebih dari sekadar peran fungsional, imamat Jesuit berakar pada spiritualitas Ignasian yang mengutamakan perjumpaan dengan Tuhan dalam segala. Relasi pribadi dengan Allah menjadi hal yang sangat penting agar pelayanan para Jesuit bukan sekadar tugas melainkan perutusan yang lahir dari perjumpaan dengan Sang Sumber Hidup.   Selain itu, secara Istimewa kami juga merefleksikan tentang relasi antara imam dan bruder dalam Serikat Jesus. Pater Sardi menegaskan bahwa para bruder Jesuit juga berkontribusi melalui semangat partisipatif dalam tugas para imam. Baik imam maupun bruder Jesuit sama-sama menghidupi misi Tuhan dalam Serikat. Perjumpaan kami dengan Br. Marsono, S.J. yang berkarya di Kolese PIKA, Semarang, semakin menegaskan semangat partisipatif tersebut.   Panggilan imamat Jesuit melihat perutusan dari pembesar sebagai perutusan dari Tuhan sendiri. Dalam kunjungan kami ke Provinsialat S.J., kami diajak untuk melihat kembali perjalanan Provindo dalam mewujudkan Rencana Apostolik Provindo (RAP) bersama Pater Benedictus Hari Juliawan, S.J. selaku Provinsial. Dalam kesempatan tersebut, kami juga diberi gambaran tentang tata kelola gubernasi Serikat oleh Pater Sigit Prasadja, S.J., sebagai Ekonom Provinsi, dan Pater Melkyor Pando, S.J., sebagai Socius Provinsial.     Menjawab Panggilan di Tempat yang Paling Membutuhkan Dalam semangat Preferensi Apostolik Universal (UAP), Bulan Imamat 2025 juga mengajak kami untuk bertanya: Imamat dan hidup membiara untuk siapa? Pertanyaan ini semakin menyadarkan kami bahwa Jesuit dipanggil untuk melayani di tempat paling membutuhkan, di tapal batas atau frontiers.   Dalam kunjungan kami ke Paroki St. Antonius, Muntilan, kami bersyukur bisa mendengar sharing dari para Jesuit yang berpengalaman sebagai misionaris. Kami mendengarkan sharing dari Pater Mardi Santosa, S.J. yang pernah menjadi misionaris di Papua dan Kalimantan serta Pater Sarjumunarsa, S.J. yang pernah menjadi formator para seminaris di Kalimantan. Kami merasa bersyukur dan kagum kepada kedua sosok tersebut yang selalu siap sedia diutus dan gembira mengemban misi Serikat.   Tapal batas tidak selalu diartikan secara geografis. Di tengah kota besar sekalipun, ada suara-suara orang yang terpinggirkan, tertindas, dan membutuhkan. Kami mendengar sharing dari Pater Suyadi, S.J. yang berkarya di Lembaga Daya Dharma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta. Di LDD, Pater Suyadi dan rekan-rekannya melayani orang-orang miskin dan tersingkir di tengah gemerlap kota Jakarta.   Selain itu, di dalam tubuh Gereja pun, ada pihak-pihak yang termasuk ke dalam kelompok rentan. Kami mendengar sharing dari Sr. Luciana, RGS yang telah memiliki banyak pengalaman dalam mendampingi para korban kekerasan seksual. Kami juga mendapat kesempatan Istimewa untuk mendengarkan pengalaman Pater James Martin, S.J., seorang Jesuit Amerika dan penulis, yang berjuang menghayati semangat sinodalitas dalam Gereja dan memberi perhatian pada kelompok LGBT.   Berhadapan dengan tapal batas, kami perlu sadar bahwa kami ini juga bisa menjadi pihak yang rentan. Oleh karena itu, sangat penting bagi para imam dan calon imam untuk bisa menjaga kesehatan dan kematangan psikologis. Kami dibantu oleh Bu Agnes Indar Etikawati, dosen psikologi Universitas Sanata Dharma untuk mengenali dan mengembangkan diri kami agar bisa menjadi pribadi dan calon imam yang sehat secara psikologis.     Rekan Pelayanan Imam Kami menyadari bahwa imam bukanlah seorang pekerja soliter. Sebagai bagian dari Gereja, kami dipanggil untuk berjalan bersama umat dan rekan-rekan sepelayanan. Oleh karena itu, refleksi mengenai siapa saja rekan pelayanan imam menjadi aspek penting dalam Bulan Imamat 2025.   Kami mendengarkan pengalaman Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, Uskup Pangkal Pinang, yang menjadi peserta Sinode tentang Gereja Sinodal. Kami mendapat gambaran tentang bagaimana sinode berlangsung dan gagasan-gagasan apa saja yang dilahirkan dalam sinode tersebut. Dari situ kami semakin disadarkan pentingnya membangun kerjasama yang tulus dengan rekan-rekan imam maupun religius dari keuskupan maupun tarekat lain dalam kehidupan menggereja.   Semangat sinodalitas juga kami temui ketika berkunjung ke Paroki St. Yusuf Gedangan, Semarang. Di sana, kami mendapat gambaran tentang dinamika karya paroki Jesuit, termasuk kerja sama antara para Jesuit dengan dewan paroki. Pater Cahyo dan rekan-rekan dewan paroki terus mencari cara-cara kreatif untuk menghidupkan Paroki Gedangan yang sudah berusia 150 tahun.   Kami juga mendapatkan kesempatan Istimewa untuk mendengarkan sharing dari Pater Ed Quinnan, S.J., Jesuit Amerika yang menjadi superior misi di Micronesia. Dalam kesempatan tersebut, Pater Ed mengajak kami untuk menyadari pentingnya penghayatan ketaatan yang benar dan pentingnya percakapan rohani dalam membangun hidup komunitas. Ketaatan dan percakapan rohani adalah hal yang sangat krusial bagi para Jesuit yang berada dalam satu komunitas untuk bekerja bersama mengemban misi Tuhan sendiri.   Selanjutnya, kami juga mendengar sharing dari Ibu Karlina Supelli. Bu Karlina berbagi pengalamannya dalam dua sudut pandang, yaitu sebagai ibu dari seorang religius dan awam yang bekerja bersama dengan para religius. Kami merasa sangat tersentuh dengan sharing dari Bu Karlina karena bisa membahasakan dan mewakili perasaan yang tak terkatakan dari keluarga kami masing-masing. Di sisi lain, mengingat

Penjelajahan dengan Orang Muda

Kunjungan ke Pesantren Ahmadiyah

Pada Sabtu, 18 Januari 2025, perwakilan frater dari Kolese Hermanum melakukan kunjungan ke Kampus Mubarok yang berlokasi di daerah Parung, Jawa Barat. Kampus Mubarok merupakan pusat Ahmadiyah Indonesia sekaligus “seminari” para calon imam Ahmadiyah di Indonesia. Ada 15 frater dari berbagai negara, ditemani oleh Pater Guido Chrisna, S.J. dan Pak Buddhy Munawar, seorang dosen Islamologi di STF Driyarkara, yang berkunjung ke komunitas Ahmadiyah. Kunjungan ini dimaksudkan agar para frater dapat semakin mengenal Komunitas Ahmadiyah dan pada akhirnya semakin mampu membangun dialog antaragama dengan mendalam.   Kunjungan kami ini disambut oleh Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia (pimpinan Ahmadiyah Indonesia), Maulana Mirajuddin Sahid. Dalam seremoni pembukaan kunjungan ini, Amir Nasional berpesan untuk selalu mengusahakan dialog dengan berbagai pihak agar dapat menciptakan kerukunan di tengah masyarakat. Setelah seremoni pembukaan tersebut, kami diajak untuk mengenal sejarah dan spiritualitas komunitas Ahmadiyah di sebuah gedung yang mereka sebut sebagai Peace Center. Ketika memasuki Peace Center kami diperlihatkan foto-foto para pemimpin agama di dunia (termasuk Paus Fransiskus), pendiri Komunitas Ahmadiyah dan para penerusnya, tokoh-tokoh nasional Indonesia yang merupakan bagian dari Komunitas Ahmadiyah dan karya-karya pelayanan Ahmadiyah di Indonesia. Komunitas Ahmadiyah menjadi komunitas yang sering “dipinggirkan” karena keyakinan mereka yang berbeda dari arus utama, terutama mengenai paham mesias dan nabi dari keyakinan umat Islam pada umumnya. Komunitas ini didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada abad ke-19 di India. Ahmadiyah percaya bahwa Kedatangan Kedua Sang Mesias telah terjadi, dan bahwa Mesias yang Dijanjikan adalah pendiri mereka sendiri. Meskipun sebagian besar keyakinan mereka mirip dengan agama Islam pada umumnya, penafsiran mereka tentang peran Mesias menjadi titik perbedaan yang kontroversial. Akibatnya, mereka sering dianggap sebagai non-Muslim. Bahkan Pusat komunitas Ahmadiyah dipindahkan dari Pakistan ke London demi alasan keamanan. Kepemimpinan Mirza Ghulam Ahmad diteruskan oleh para penerusnya dan bergelar Khalifatul Masih. Sekarang, Komunitas Ahmadiyah dipimpin oleh Khalifatul Masih V yang bernama asli Hazrat Mirza Masroor Ahmad. Khalifatul Masih V selalu menyerukan mengenai perdamaian dan cinta kasih dalam khotbah-khotbahnya. Love for all, hatred for none. Itulah motto dari Komunitas Ahmadiyah yang selalu dibawa dan ditunjukkan oleh Khalifatul Masih V dalam setiap khotbahnya.   Setelah berkenalan dengan sejarah dan iman mereka, para frater diajak berdinamika bersama para “seminaris” Ahmadiyah. Para mahasiswa di Kampus Mubarok ini tinggal dalam sebuah asrama besar dan tidur bersama di sebuah barak besar. Mereka tidak boleh mengakses internet dan menggunakan ponsel. Mereka bahkan juga mengalami “peregrinasi” selama tiga hari. Cara hidup ini sepintas mirip kehidupan di seminari pada umumnya.   Setelah lulus dari SMA, para calon imam Ahmadiyah menjalani pendidikan di Kampus Mubarok selama tujuh tahun. Setelah tujuh tahun, mereka akan “ditahbiskan” menjadi imam Ahmadiyah dan menerima perutusan langsung dari Khalifatul Masih, pimpinan tertinggi komunitas Ahmadiyah. Segala perpindahan tugas perutusan harus berdasarkan keputusan Khalifatul Masih dengan rekomendasi dari pimpinan nasional Ahmadiyah suatu negara. Secara tidak langsung, sistem hierarki yang dipakai oleh komunitas Ahmadiyah tidak jauh berbeda dengan hierarki Gereja Katolik. Komunitas Ahmadiyah memiliki pemimpin umum yang disebut Khalifatul Masih. Cara mereka mengutus para imamnya juga terkesan mirip dengan model Gereja Katolik dalam perutusan para imamnya. Belum lagi, proses formasi para calon imam Ahmadiyah juga mirip dengan formasi para calon imam Katolik.   Kemiripan dalam hal-hal teknis dan juga nilai kasih yang mereka junjung tinggi meneguhkan kami. Kunjungan kami ke pesantren Ahmadiyah ini semakin meneguhkan kami untuk berusaha berjejaring dan berkolaborasi dengan semua pihak dalam menciptakan bonum commune di dalam masyarakat. Memang apa yang kami imani tentu saja berbeda dengan mereka. Akan tetapi, kami dan mereka memiliki kesamaan visi dan nilai yang sama-sama dijunjung tinggi, baik oleh Gereja Katolik maupun oleh Ahmadiyah sendiri: mengasihi sesama dan mewujudkan kedamaian di dunia. Kunjungan ini ditutup dengan olahraga bersama dengan para “seminaris” Ahmadiyah. Kami bermain sepak bola untuk menutup kunjungan yang penuh makna ini.   Kontributor:Fr. Feliks Erasmus Arga, S.J. dan Fr. Aman Aslam, S.J.

Pelayanan Masyarakat

Berbagi Berkah

Sabtu, 14 September 2024 yang lalu, para frater PIC (penanggung jawab) nasi berkah berkumpul di unit Pulo Nangka bersama keluarga Ibu Fifi dan Ibu Kim. Selama ini Ibu Fifi dan Ibu Kim menjadi donatur kegiatan nasi berkah yang diadakan Kolese Hermanum. Dalam kesempatan ini hadir pula beberapa perwakilan dari lingkungan Fransiskus Asisi Wilayah 8. Mereka ingin belajar bagaimana menyelenggarakan program nasi berkah ini.   Pater Widy membuka acara dengan sesi perkenalan dari masing-masing yang hadir dan menjelaskan sejarah munculnya program nasi berkah ini. Program nasi berkah merupakan adaptasi dari program yang dilakukan oleh Ibu Fifi di sekitar lingkungan tempat tinggalnya ketika masa-masa pandemi. Di Kolese Hermanum sendiri, Pulo Nangka adalah unit pertama yang mengawali program ini dan kemudian meluas hingga ke empat unit lainnya (Kampung Ambon, Johar Baru, Kramat 6, dan Wisma Dewanto). Hingga saat ini, program nasi berkah telah berjalan kurang lebih selama satu tahun delapan bulan sejak Januari 2023.   Program nasi berkah ini dimulai dengan mencari warung makan di sekitar unit-unit yang mampu menyediakan makanan yang bersih dan enak. Setelah itu, dilakukan diskusi dengan pemilik warung apakah bersedia jika warungnya dijadikan tempat untuk menjalankan program nasi berkah. Kupon yang dibagikan bernilai sepuluh ribu, namun penerima kupon tetap harus membayar sejumlah dua ribu rupiah ke warung untuk bisa menggunakan kupon tersebut. Setelah sepakat dengan pemilik warung, maka PIC akan membayar sejumlah tiga ratus ribu ke pemilik warung, baru kemudian kupon dibagikan. Setiap minggu ada tiga puluh kupon yang dibagikan dan setiap akhir minggu PIC akan memeriksa dan membayar kupon tersebut sehingga warung tersebut selalu memiliki dana sejumlah tiga ratus ribu untuk menyiapkan makanan. Donasi yang diberikan tiap-tiap unit bisa sampai satu juta dua ratus ribu rupiah dalam setiap bulannya. Bagi warung makan yang bekerja sama dalam program ini tentu bisa menambah pendapatan mereka setiap bulannya, terutama bagi warung-warung makan kecil dan sederhana. Hal ini berarti juga tidak hanya penerima kupon yang menerima manfaat dan berkah tetapi juga warung makannya.     Dalam program ini, ada satu hal yang menarik, yaitu sebagian besar PIC dari masing-masing unit merupakan skolastik ekspatriat. Dalam cerita-cerita yang dibagikan selama acara, mereka merasa bahwa kesempatan menjadi PIC merupakan sarana bagi mereka untuk memperdalam kemampuan berbahasa Indonesia. Mereka merasa terbantu dalam mengembangkan kemampuan bahasa mereka, meski ketika awal-awal memulai program ini rasanya tidak mudah. Selain belajar bahasa, mereka juga mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan warga sekitar sekaligus belajar mengenai situasi masyarakat di Indonesia.   Nuansa yang terbangun dalam kesempatan ini adalah rasa syukur. Dalam cerita dan refleksi yang dibagikan, pengalaman membagikan kupon memberikan momen perjumpaan yang mengesan. Dari cerita yang dibagikan oleh frater Yohan, pengalaman membagi kupon membawanya pada momen saling mengenal satu sama lain dengan orang yang diberi kupon. Frater Yohan bisa berbincang dan mengenal latar belakang pribadi dan keluarganya, dsb. Melalui perjumpaan sederhana, sekat tak kasat mata yang bernama tidak peduli dan tidak kenal perlahan-lahan memudar. Dari cerita dan refleksi yang dibagikan oleh ibu Fifi, ternyata tindakan kecil bisa berdampak besar asalkan dilakukan dengan konsisten. Dari pengalamannya menjalankan program “bagi-bagi makan siang” di sekitar tempat tinggalnya, ada sebuah nilai penting yang muncul yaitu bagaimana cara menghargai orang lain dengan memberi sesuatu secara layak.   Dalam refleksi-refleksi yang dibagikan, ada beberapa hal penting yaitu bahwa ini merupakan bentuk panggilan untuk berjalan bersama orang yang miskin dan tersingkirkan, sebagaimana tertuang dalam UAP nomor dua. Program ini juga disadari sebagai suatu sarana untuk menunjukkan bahwa mereka tidak ditinggalkan di dunia, sehingga mereka mampu untuk merasakan kasih, rahmat, dan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka. Tuhan, dengan segala cara-Nya juga ikut berjalan bersama mereka.   Ada banyak nilai dan pengalaman berharga yang bisa dipetik dari program ini. Pengalaman yang dapat terus direfleksikan dan tentunya dibagikan kepada orang lain sehingga buahnya dapat dirasakan oleh banyak orang. Pertanyaannya adalah bersediakah kita menjadi sarana bagi Tuhan untuk menyalurkan rahmatNya pada setiap ciptaan-Nya di dunia?   Kontributor: S Christoforus Kevin Hary Hanggara, S.J.

Penjelajahan dengan Orang Muda

Kemiskinan: Harta Dalam Hidup Bersahaja

Kaul kemiskinan? Menjadi orang miskin? Atau gimana? Apa sih maksudnya, ter?” Itulah pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak ketika poster Café PuNa edisi Mei 2024 yang mengambil tema kaul kemiskinan mulai dibagikan di berbagai platform media sosial.   Kamis, 30 Mei 2024 malam, dengan wajah sumringah dan penuh kehangatan, para Pater dan Skolastik Jesuit di Komunitas Pulo Nangka menyambut umat yang hadir ke Komunitas Pulo Nangka untuk mengikuti acara Café PuNa. Acara ini diadakan rutin setiap semester sekali. Café PuNa edisi bulan Mei 2024 ini mengangkat tema Kaul Kemiskinan: Harta Dalam Hidup Bersahaja. Tema ini dipilih untuk melengkapi dua edisi Cafe PuNa sebelumnya yang telah membahas kaul ketaatan (Mei 2023) dan kaul kemurnian (November 2023).   Membahas kaul kemiskinan selalu menarik dan relevan bagi siapa saja. Hal ini terbukti dari kehadiran dan antusiasme umat yang berpartisipasi baik secara luring maupun daring via Zoom. Mulai dari yang muda hingga yang tua hadir memeriahkan dan larut dalam presentasi yang dibawakan oleh Frater Alexius Aji dan Frater Matthias Zo Hlun. Frater Kevin yang menjadi MC pun mampu membawakan acara dengan baik, menarik, dan menghibur.   Kemiskinan: Harta dalam Hidup Bersahaja Presentasi dari Fr. Alex dan Fr. Matthias dibuka dengan sebuah pembahasan mengenai kemiskinan pada umumnya untuk memberi konteks besar. Fr. Matthias menjelaskan bahwa kemiskinan pada umumnya dipahami sebagai “kondisi tidak berharta, serba kekurangan, atau berpenghasilan sangat rendah”. Lalu, pertanyaan yang muncul adalah “Jika kemiskinan digambarkan sebagai kondisi serba berkekurangan, apakah ada orang yang mau ‘mengambil pilihan’ untuk hidup miskin, khususnya dengan kapitalisme dan konsumerisme di zaman ini?” Kemiskinan yang dipahami demikianlah yang kadang kala menjadi padanan atau perbandingan bagi kaul kemiskinan yang secara sukarela diikrarkan oleh para religius. Maka sudah tentu dan pasti akan muncul beragam pertanyaan terkait kaul kemiskinan.   Kalau begitu, kaul kemiskinan itu yang seperti apa sih? Apakah sama seperti kemiskinan yang digambarkan dan dipahami sebagai keadaan serba berkekurangan? Fr. Alex mencoba membahas hal ini dengan menarik dalam bagian selanjutnya. Frater Alex mengawalinya dengan sebuah cerita tentang Sannyasi yang berhasil menggelisahkan hati dan pikiran karena dengan rela dan begitu saja memberikan batu permatanya kepada seseorang.   Fr. Alex melanjutkan presentasinya dengan memberikan penjelasan mengenai kaul kemiskinan yang diikrarkan oleh para religius sebagai usaha Imitatio Christi atau meniru Kristus. Kaul kemiskinan merupakan kaul yang diinspirasikan oleh Yesus Sang Allah Putera yang menjelma ke dunia dan mengosongkan diri menjadi manusia miskin. Kedekatan Yesus dengan orang miskin pada zaman-Nya banyak digambarkan di dalam Injil. Inilah yang menjadi sumber inspirasi dari kaul kemiskinan para religius.     Kemiskinan a la Jesuit Dengan mendasarkan pada Konstitusi Serikat Jesus, Fr. Alex mengupas lebih dalam mengenai kemiskinan yang khas Jesuit atau yang dihayati oleh para Jesuit. St. Ignatius menulis di dalam Konstitusi SJ bahwa kemiskinan merupakan benteng hidup religius yang harus dicintai dan dipelihara [Kons. 553]. St. Ignatius meminta para Jesuit untuk melepaskan keterikatan pada barang-barang duniawi dan menyerahkan hidup sepenuhnya pada penyelenggaraan Ilahi melalui komunitasnya.   Kekhasan lain dari kemiskinan a la Jesuit, yang juga dihayati oleh kaum religius lain, adalah kaul kemiskinan sebagai ungkapan rasa syukur yang ditandai dengan kemurahan hati untuk mewujudkan kebebasan batin dan lahiriah saat menjalankan karya kerasulan. “Seorang Jesuit bekerja bukan untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan demi cintanya pada Kristus dan sesama,” demikian Fr. Alex memberikan penjelasannya.   Tentu kaul kemiskinan memiliki tegangannya sendiri, yaitu penggunaan sarana duniawi sejauh mendukung pelayanan dalam kerasulan yang dijalankan oleh seorang Jesuit. Tidak ada halangan bagi seorang Jesuit untuk menggunakan sarana duniawi apapun apabila sarana tersebut mendukung pelayanannya dalam mengembangkan institusi dan komunitas dan bukan untuk memperkaya diri sendiri.   Dengan demikian, kaul kemiskinan menjadi harta dalam hidup bersahaja bagi seorang Jesuit karena kemiskinan bukan hanya berarti menjadi miskin seperti yang dipahami oleh kebanyakan orang. Kaul kemiskinan juga dihayati sebagai sebuah cara hidup yang diinspirasi oleh Yesus dengan tujuan apostolis. Dengan sarana yang dimiliki, kaul kemiskinan menuntut ketekunan dan kerja keras setiap Jesuit dalam mengusahakan perkembangan karya kerasulan dan komunitas. Fr. Alex menambahkan bahwa ada hal yang tidak bisa dilepaskan dari kaul kemiskinan, yaitu akuntabilitas dan option for the poor. Lebih lanjut Fr. Alex membagikan beberapa usaha untuk menghidupi kedua hal tersebut, yaitu pembuatan laporan keuangan bulanan yang dibuat oleh para skolastik Jesuit dan program Nasi Berkah yang saat ini dijalankan semua unit skolastik SJ di Jakarta.   Panggilan untuk Dekat dengan Orang Miskin Fr. Matthias membagikan pengalamannya hidup bersama para penderita kusta di Myanmar saat dia masih seorang novis. Pengalaman tersebut membawanya pada refleksi akan Yesus yang menginspirasinya untuk dekat, membantu mereka yang membutuhkan, dan mau bersama mereka yang miskin. Pengalaman kedekatan dengan orang miskin ini memberinya rasa bahagia karena ada cara pandang baru mengenai kaul kemiskinan sebagai rasa syukur dan undangan untuk menerima orang lain seperti yang dilakukan Yesus sendiri.   Fr. Alex juga memperkaya refleksi mengenai kaul kemiskinan dengan membagikan pengalaman menghidupi kemiskinan secara konkret sebagai skolastik di Jakarta. Misalnya, dengan membuat laporan keuangan bulanan, menumbuhkan sense of belonging, keterbukaan pada pembesar dan komunitas, dan undangan untuk terus memiliki pengalaman kedekatan dengan orang miskin lewat kerasulan ad extra yang dijalaninya di Lembaga Daya Dharma-Keuskupan Agung Jakarta.     Penutup Café PuNa kali ini juga terasa istimewa karena bukan hanya kedua Pater Unit komunitas Pulo Nangka yang hadir. Ada juga Pater Hendricus Satya Wening, S.J., Pater Windar Santoso, S.J., serta Pater Antonius Siwi Dharma Jati, S.J. yang hadir secara daring dari Perancis dan Pater L. A. Sardi, SJ yang juga hadir secara daring dari Roma. Kehadiran mereka sangat meneguhkan para umat yang hadir, khususnya ketika para Pater ini membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para umat yang hadir.   Ketika berbicara mengenai kaul kemiskinan, kita tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari kemurahan hati. Karena itulah, Café PuNa edisi Mei 2024 ditutup dengan acara menikmati santapan berkat kemurahan hati yang dibawa oleh para umat yang hadir. Semua hidangan dinikmati secara bersama-sama dan penuh kehangatan serta obrolan seru. SAMPAI JUMPA LAGI DI CAFÉ PUNA EDISI BERIKUTNYA!!!!!!!   Kontributor: S Yohanes Deo Yudistiro Utomo, S.J.

Provindo

Berjalan Bersama dalam Cinta-Nya

Tujuh novis tahun kedua mengucapkan kaul pertama dalam Serikat Jesus pada Sabtu, 24 Juni 2023 pukul 10.00 di Kapel La Storta Novisiat Girisonta. Mereka adalah Frater Adrianus Raditya Indriyatno, Frater Christoforus Kevin Hary Hanggara, Frater Franky Njoto, Frater Ignatius Dio Ernanda Johandika, Frater Iridious Yuhan Felip Adhi Pradana, Frater Laurensius Herdian Pambudi, dan Frater Marcelino Edo Susanto. Perayaan Ekaristi ini dipimpin oleh Pater Provinsial Benedictus Hari Juliawan, S.J., didampingi konselebran Pater Hilarius Budiarto Gomulia, S.J.(Superior Lokal Komunitas Kolese St. Stanislaus Kostka Girisonta), dan Pater Petrus Sunu Hardiyanta, S.J. (Magister Novisiat St. Stanislaus Girisonta). Para novis secundi memilih Kapel La Storta yang berada di tengah halaman novisiat sebagai tempat mengikrarkan kaul pertama mereka. Ketika dalam perjalanannya menuju ke kota Roma, Santo Ignatius singgah di sebuah kapel kecil di La Storta. Di sana ia mendapatkan vision bahwa dia diminta untuk melayani Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Para novis secundi ini berharap selama perjalanan menjadi Jesuit, mereka mendapatkan rahmat seperti diterima Santo Ignatius, yaitu ditemani oleh Yesus dalam segala keadaan. “Perjalanan sebagai Jesuit itu panjang. Ketika berjalan bersama dalam formasi novisiat, ternyata menjadi jalan yang panjang, berat, dan menuntut. Kami diajak untuk berjalan bersama diri sendiri dan merasakan Allah yang sungguh bekerja dan mencintai kami, bukan Allah yang ngawang, tetapi Allah yang sungguh nyata hadir. Kami bertemu dengan banyak orang dengan berbagai karakter dan kondisi yang membuat kami belajar apa artinya merawat dan melayani,” begitu sambutan Fr Adrianus Raditya Indriyatno, S.J. yang mewakili para novis secundi. Pengikraran kaul pertama ini dihadiri oleh keluarga kaules, para calon novis dan pra novis, tersiaris, dan beberapa tamu undangan. Setelah mengucapkan kaul pertama, para novis secundi ini resmi menjadi skolastik dan akan melanjutkan formasi filsafat di Jakarta. Mari kita doakan agar mereka semakin bersemangat untuk berjalan bersama dalam cinta-Nya. Semoga perjalanan panggilan mereka senantiasa ditempuh bersama dan di dalam cinta-Nya. Ad Maiorem Dei Gloriam. Kontributor: Margareta Revita – Tim Komunikator Provindo