Pilgrims of Christ’s Mission

serikat yesus

Provindo

Komitmen Serikat Jesus akan Budaya Aman

Sebagai bagian dari komitmen Serikat Jesus dalam budaya aman (safeguarding) dan perlindungan terhadap anak dan orang dewasa rentan di setiap institusi karya di bawah Serikat Jesus, diadakan Workshop Lanjutan terkait Safeguarding di Griya Paseban Semarang, 12-14 Mei 2023. Workshop lanjutan ini merupakan tindak lanjut dari Basic Orientation Workshop on Safeguarding Vulnerable Persons (BOWS) yang telah berlangsung di Bali pada 1- 10 September 2022 yang lalu. Tujuan dari workshop ini adalah melihat perkembangan pelaksanaan budaya aman di tiap institusi karya setelah BOWS tahun lalu. Workshop lanjutan ini juga menjadi sarana untuk menyatukan gerak bersama dan saling belajar dalam usaha membangun budaya aman dalam dan antar institusi karya SJ terlebih bagi institusi karya yang belum mengikuti BOWS di Bali yang lalu. Setiap institusi mengirimkan wakil dari anggota tim atau satgas yang ditugaskan untuk menjadi koordinator atau animator budaya safeguarding di institusinya. Dalam workshop ini, kebanyakan peserta datang dari institusi pendidikan di bawah SJ. Selain para peserta BOWS tahun lalu, mereka antara lain adalah perwakilan dari Yayasan Kanisius, Universitas Sanata Dharma, Politeknik ATMI Cikarang, Politeknik ATMI Solo, Tim Komunikator Provindo, dan delegat Komisi Pendidikan SJ. Ada 31 peserta yang hadir secara tatap muka dalam workshop ini; peserta lain yang berhalangan mengikutinya secara daring. Ada tujuh anggota Tim Safeguarding Provindo hadir menjadi fasilitator dalam workshop ini. Sebelum workshop ini berlangsung, para peserta terlebih dahulu diajak untuk mengidentifikasi situasi aktual di masing-masing institusi karya dan kebutuhan yang mendesak terkait penciptaan budaya aman. Masing-masing institusi karya dibantu untuk mengenali situasi aktualnya dengan melihat empat pokok berikut: Satu, Pasca BOWS: Apa hal pokok yang Anda bisa terapkan di institusi atau lembaga karya Anda, dari Workshop Safeguarding BOWS yang lalu? Hal apa yang sudah Anda kerjakan secara konkret setelah Workshop tersebut? Dua, sesuai dengan standard SJ: Apakah dalam institusi Anda SUDAH memiliki dan menerapkan protokol perlindungan (yang terdiri atas Kode Etik, Sistem Pelaporan, dan Pendampingan kepada Korban)? Tiga, Kesulitan dan tantangan: Tantangan dan kesulitan macam apa yang Anda hadapi terkait membangun budaya aman dan implementasi kebijakan safeguarding di tempat karya atau institusi Anda? Empat, harapan untuk Tim Safeguarding Provindo: Bantuan dan dukungan seperti apa yang diharapkan dari Tim Safeguarding Provindo? Sebagian besar peserta yang hadir merupakan peserta yang baru sekali mengikuti seminar terkait safeguarding semacam ini. Mereka semakin menyadari bahwa safeguarding pertama-tama bukanlah terkait penanganan kasus pelecehan semata, melainkan juga sebuah usaha proaktif untuk menciptakan lingkungan yang aman di mana setiap orang dihormati martabatnya sebagai pribadi. Mereka merasa terbantu dan bersemangat untuk menjadikan budaya aman sebagai bagian integral dari pelayanan di institusi mereka. Para peserta juga bisa belajar dari institusi lain yang telah mempunyai sistem dan infrastruktur yang jelas terkait penciptaan budaya aman. Workshop diakhiri dengan penyusunan rencana tindak lanjut dalam masing-masing institusi karya. Di akhir workshop, para peserta menerima sertifikat keikutsertaan. Workshop semacam ini akan diadakan secara rutin sebagai bagian dari pencegahan dan pelatihan terkait safeguarding dalam tiap institusi SJ. Rencana selanjutnya adalah mengadakan workshop sejenis untuk paroki-paroki yang dikelola oleh SJ. Untuk paroki, tentu agak berbeda situasinya karena setiap paroki mengimplementasikan kebijakan yang telah dirumuskan oleh masing-masing keuskupan. Pelatihan dan usaha pencegahan semacam ini diharapkan menjadi bagian dari komitmen untuk budaya aman ini bisa terus dijalankan dan dihidupi dalam institusi karya SJ. Hal ini juga menjadi langkah konkret kita untuk mewujudkan preferensi kedua dari Universal Apostolic Preferences SJ, Berjalan bersama kaum miskin, mereka yang terbuang di dunia, mereka yang martabatnya dirusak, dalam pelayanan rekonsiliasi dan keadilan.” AMDG Kontributor: Pater Y. Eko Sulistyo, S.J. – Delegat Safeguarding

Formasi Iman

Berani Berjumpa di Tempat Mereka Berada

Perjumpaan, walau sederhana dan sekecil apapun, dapat mengubah jalan hidup seseorang dan bahkan menjadi sarana keselamatan. Sebagaimana perjumpaan sederhana Bunda Maria dan Elisabeth saudarinya, serta Yesus dan Yohanes Pembaptis yang “berjumpa” selagi masih di dalam kandungan ibu mereka masing-masing, berlanjut dengan karya keselamatan Allah bagi dunia, diharapkan perjumpaan-perjumpaan kita sehari-hari dengan siapa saja menjadi sebuah perjumpaan yang membawa keselamatan. Itulah salah satu renungan yang ditawarkan Pater Provinsial, P. Benedictus Hari Juliawan S.J. kepada seluruh umat yang hadir dalam Perayaan Ekaristi Pengucapan Kaul Akhir lima imam Jesuit pada 31 Mei 2023 mulai pukul 17.30 WIB di Gereja Santo Antonius Padua Kotabaru Yogyakarta. Mereka yang mengucapkan kaul akhir adalah P. Ignatius Suryadi Prajitno, S.J. (Pastor Rekan Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda Tangerang), P. Yohanes Adrianto Dwi M., S.J. (Pastor Kepala Paroki St. Yohanes Pemandi Waghete, Papua), P. Mario Tomi Subardjo, S.J. (Mahasiswa Doktoral Pontificio Instituto Liturgico Sant’ Anselmo, Roma, Italia), P. Julius Mario Plea Lagaor, S.J. (Direktur/Kepala SMA Seminari Mertoyudan Magelang), dan P. Yustinus Rumanto, S.J (Direktur CampusMinistry Universitas Sanata Dharma Yogyakarta). Melalui kaul akhir, kelima imam Jesuit ini mempersembahkan diri untuk sepenuhnya menggabungkan diri atau berinkorporasi ke dalam Serikat Jesus. Dalam Ekaristi yang bertepatan pula dengan Pesta Santa Perawan Maria mengunjungi Elisabeth ini, Pater Provinsial sebagai selebran utama didampingi P. Paul Suparno, S.J. (Acting Superior Kolese St. Ignatius atau Kolsani) dan P. Adrianus Maradiyo, Pr (Vikep Kevikepan Yogyakarta Timur) serta para imam kaules (yang mengucapkan kaul) sebagai konselebran. Perayaan ini ditayangkan juga secara langsung di kanal YouTube Jesuit Indonesia dan Gereja St. Antonius Padua Kotabaru. Selanjutnya Pater Provinsial mengajak terutama para imam kaules agar dalam karya pelayanan mereka bersedia berjumpa dengan siapa saja tanpa terkecuali. Mengutip homili Paus Fransiskus dalam kunjungannya ke Amerika Serikat, Pater Provinsial berharap agar para kaules mau menjumpai mereka di tempat mereka berada, bukannya di tempat yang kita pikir mereka berada. “Maksudnya, dalam pelayanan dan perutusan kita harus selalu siap berhadapan dengan situasi yang tidak nyaman, tidak mudah, tidak menyenangkan, ataupun tidak sesuai dengan keinginan kita. Sebab, hanya dengan cara itulah kita dapat sungguh terlibat menjadi sarana kasih Allah bagi orang-orang di sekitar kita,” ujar Pater Provinsial. Di akhir Ekaristi, Pater Tomi mewakili para kaules mengucapkan terima kasih kepada Serikat Jesus, keluarga, sahabat, rekan kerja, serta seluruh umat yang telah mendukung panggilan dan perutusan mereka hingga akhirnya mereka diperkenankan mengikrarkan kaul akhir. Selanjutnya ia masih terus mohon doa agar para kaules tetap setia dalam panggilan dan karya pelayanan dengan baik hingga akhir hayat. Selepas Perayaan Ekaristi, seluruh umat yang hadir yang meliputi para nostri Serikat Jesus, keluarga kaules, rekan kerja, perwakilan umat paroki tempat para imam kaules sedang atau pernah berkarya, serta umat Paroki Kotabaru beramah tamah di halaman sayap utara Gereja Kotabaru. Kontributor: Amadea Prajna Putra Mahardika, S.J.

Kuria Roma

Kenaikan-Nya Memfokuskan Arah Pandangan Kita

PENUTUPAN KONGREGASI PROKURATOR KE-71 Kongregasi Prokurator ke-71 berakhir pada Minggu siang, 21 Mei 2023. Mayoritas Prokurator memilih “non cogenda,” yaitu tidak mengadakan Kongregasi Jenderal. Sorenya para anggota berkumpul di Basilika Loyola, bersama dengan umat paroki setempat, untuk merayakan Ekaristi. Musik dan nyanyian menggemakan suasana konsolasi di akhir pertemuan penting untuk menentukan arah Serikat Jesus ini. Berikut adalah kutipan homili yang disampaikan oleh Pater Jenderal Arturo Sosa: Merayakan Ekaristi penutupan Kongregasi Prokurator Serikat Jesus yang ke-71 di Basilika Loyola pada Hari Raya Kenaikan Tuhan adalah sebuah kebetulan dan keberuntungan yang luar biasa. Seperti para rasul, Yesus yang disalib dan kemudian dibangkitkan, telah berada di meja makan bersama kita dan mengajar kita banyak hal selama beberapa hari ini. Meskipun pada akhirnya kita masih merasa terlalu sedikit yang dapat kita cecap. Kita telah berbagi firman-Nya, tubuh dan darah-Nya. Kita mendengarkan kembali panggilan-Nya untuk mengikuti Dia dan masuk ke dalam cara hidup-Nya yang miskin dan rendah hati, sebagai sahabat dalam Serikat Jesus yang paling sederhana, untuk menjadi rekan kerja yang lebih baik dalam misi rekonsiliasi-Nya. Kenaikan-Nya adalah sumber konsolasi yang juga kita alami. Kesedihan penderitaan yang tersalib dan rasa keterpisahan menjadi sukacita iman yang menuntun kita untuk menempatkan pengharapan kita kepada Dia yang mengutus Yesus untuk menebus dunia dan sekarang mengutus Roh-Nya kepada para pengikut-Nya. Sebab Bapalah yang mengetahui jalan dan waktu yang tepat untuk mencapai perdamaian penuh atas segala sesuatu di dalam Kristus. Para pengikut-Nya, seperti Yesus, diberikan kebebasan untuk melakukan kehendak-Nya di setiap tempat dan di setiap momen dalam sejarah hidup manusia. Setelah memberikan perutusan itu kepada mereka, “Ia terangkat dan awan menutupi-Nya dari pandangan mereka. Ketika mereka menengadah ke langit, mereka melihat Dia terangkat” (Kis. 1:9-10). Mari kita bayangkan sejenak perasaan dan gerakan yang muncul di dalam hati dan pikiran para murid yang mendapati diri mereka memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan perutusan yang jauh melampaui kekuatan, sumber daya, dan kemampuan mereka tanpa kehadiran Yesus. Atau lebih tepatnya, tanpa kehadiran yang biasa mereka rasakan sebelum dan sesudah Paskah. Mungkin kita merasakan hal yang sama ketika kita menjauh dari pengalaman yang menghibur yang telah kita alami hari-hari ini. Kita menatap ke langit, menyaksikan keadaan di mana kita mengalami berkurangnya penghiburan dan diserang oleh keraguan tentang tanggung jawab yang telah diberikan kepada kita. Kita merasa bahwa kita hanyalah Serikat yang kecil, lemah, kekurangan sumber daya, rapuh, dan penuh dosa. Lukas melanjutkan kisahnya dengan mengatakan bahwa ketika mereka sedang menghadapi kebingungan karena begitu banyak ketidakpastian, “Tiba-tiba ada dua orang yang memakai jubah putih berdiri di dekat mereka. Mereka berkata, “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri sambil menengadah ke langit? Inilah Yesus, yang telah naik ke surga meninggalkan kamu.Dia akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke surga.” Ini adalah panggilan yang kuat untuk percaya kepada Dia yang telah memanggil kita ke jalan hidup yang kita pilih ini. Dia tidak akan pergi selamanya. Nasihat untuk kembali melihat ke luar ke dunia dengan penuh keyakinan, untuk berangkat, dan percaya kepada Dia yang memanggil tentu saja mengingatkan para murid-Nya akan kata-kata penutup Injil Matius, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman.” Oleh karena itu, dengan kepercayaan yang diperbarui dan menempatkan semua pengharapan kita di dalam Dia, marilah kita pergi ke dunia tanpa rasa takut untuk memberitakan Warta Sukacita tentang kepastian akan adanya rekonsiliasi dan datangnya kerajaan yang penuh keadilan, kasih, dan damai. Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel Concluding CP71 The Ascension Focuses Our Gaze dalam https://www.jesuits.global/2023/05/23/concluding-cp71-the-ascension-focuses-our-gaze/ Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 2 Juni 2023.

Kuria Roma

Kongregasi Prokurator ke-71

Kongregasi Prokurator ke-71 (KP 71) berakhir pada Minggu, 21 Mei 2023. KP 71 berhasil menjalankan salah satu tugas yang diminta yaitu mengambil keputusan apakah perlu mengadakan Kongregasi Jenderal. KP 71 memutuskan untuk tidak mengadakan Kongregasi Jenderal. Pukul 17.30 CET (Central European Time), Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J, memimpin misa penutupan KP 71 di Basilika St. Ignatius Loyola. KP 71 ini merupakan saat penuh rahmat bagi tubuh universal apostolik Serikat. Pater Jenderal mengatakan bahwa KP 71 merupakan saat bagi Serikat, terutama Pater Jenderal untuk berkonsultasi dengan tubuh universal Serikat dan mendengarkan bisikan Roh Kudus yang mengarahkan Serikat zaman sekarang. Konsisten dengan upaya mendengarkan bisikan Roh Kudus, KP 71 dimulai dengan retret bersama seluruh prokurator. Kewajiban untuk mengikuti retret baru diadakan dalam KP 71 ini. Pater Jenderal mengatakan KP 71 yang terdiri atas retret dan statutory phase (waktu KP itu sendiri sesuai hukum Serikat) merupakan upaya discernment in common. Metode discernment in common inilah yang kemudian dipakai selama proses mulai tanggal 6 Mei – 21 Mei 2023. Discernment in common dimulai dengan menyediakan informasi yang komprehensif atas situasi Serikat saat ini. Pater Jenderal menulis De Statu Societatis (DSS) berdasarkan laporan semua prokurator. DSS yang disusun terdiri atas tujuh bagian dan menjadi bahan doa setiap hari para peserta. Tiga orang pembimbing (Mark Ravizza, Claudio Paul, dan Victor Assoaud) bergantian setiap hari memberikan puncta dari DSS, Bahan Kitab Suci, dan Sumber-sumber Serikat. Setelah puncta, para peserta kemudian berdoa sendiri-sendiri, dan sore hari mengadakan percakapan rohani dalam kelompok-kelompok kecil selama satu setengah jam. Dari laporan-laporan yang setiap hari dikumpulkan oleh panitia dan dari percakapan pribadi Pater Jenderal dengan setiap prokurator dan relator, kemudian muncul topik-topik tertentu. Ada tiga topik besar yaitu Identitas – Tubuh Universal Serikat, Budaya Safeguarding, dan Gubernasi Serikat. Ketiga topik ini kemudian dibicarakan lebih lanjut dalam statutory phase KP 71. Dalam tahap ini, masih ada pembicaraan kelompok yang tidak harus berisi pembicaraan rohani. Dalam KP 71 ini ada tiga kelompok yaitu, prokurator (dari provinsi dan penasihat umum – general council Pater Jenderal), relator (dari misi dan regio), dan tamu (ekonom jenderal, sekretariat Serikat, serta penerjemah dan notulis). Dari tiga kelompok ini, hanya prokurator yang punya hak suara untuk memilih dan dipilih sebagai Sekretaris KP dan memberikan suara untuk mengadakan KJ atau tidak (voting cogenda – non cogenda). Semua peserta merasakan konsolasi bagaimana Roh Kudus memang menuntun setiap proses percakapan. Pembicaraan yang terjadi memang percakapan rohani untuk mengenali ke mana Tuhan mengarahkan dan menuntun Serikat Jesus di zaman ini, bukan melulu sharing ide, perasaan, dan emosi. Semua pembicaraan dicatat dan diserahkan kepada Pater Jenderal. Beliau juga akan berkonsultasi bersama Extended Consult di bulan Juni. Dan pada saatnya nanti, ia akan menyampaikan kepada seluruh Serikat. Kontributor: Pater Bambang Alfred Sipayung, S.J. – Prokurator Jesuit Indonesia

Provindo

Penghargaan untuk Para Jesuit

Serikat Jesus Provinsi Indonesia turut bersyukur dan bergembira karena penghargaan yang diberikan kepada dua anggotanya atas dedikasi dan pelayanannya. Pertama, pada tanggal 11 Mei 2023 pukul 09.00 WIB, Pater Karl Edmund Prier, S.J. menerima anugerah gelar Doktor Kehormatan dari ISI Yogyakarta. Penghargaan ini diberikan atas dedikasinya bagi pengembangan musik terutama musik liturgi Katolik. Dalam acara ini, Pater Prier menyampaikan pidato ilmiah dengan judul “Hidup untuk Musik”. Kedua, pada tanggal 19 Mei Dibyawiyata, S.J. menerima penghargaan “Medalha da Ordem de Timor Leste” dari Presiden Republik Timor Leste atas pengabdian yang luar biasa untuk Timor Leste. Ini adalah penghargaan tertinggi dari negara Timor Leste. Pada kesempatan ini Pater Dibya tidak bisa hadir ke Dili. Oleh karena itu, upacara penerimaan penghargaan ini diwakilkan kepada Superior Regio Timor Leste, Pater Joaquim Sarmento, S.J. Proficiat untuk Pater Prier dan Pater Dibya, semoga penghargaan ini menginspirasi banyak orang untuk mengikuti jejak pelayanan Pater.

Feature

Pingit!

Yogyakarta, apa yang pertama kali kalian pikirkan ketika mendengar kota ini? Kota Pendidikan? Barang serba murah? Universitas bergengsi? Malioboro? Atau kota metropolitan? Nggak salah sih, tapi tahukah kalian, dengan sebuah perkampungan yang bernama Pingit? Bagi kalian yang sering menuju ke arah Malioboro atau menuju AMPLAS, mungkin sudah tidak asing dengan Pasar Pingit di Jalan Kyai Mojo. Ya, itu pasarnya bukan kampungnya. Untuk mengetahui lokasi kampungnya, kita berjalan sedikit ke arah Jalan Tentara Rakyat Mataram. Di sana kalian akan melihat beberapa bangunan perkantoran dan Universitas Janabadra. Namun tahukah kalian, kalau sebenarnya ada sebuah perkampungan padat penduduk di belakang gedung gedung itu? Yap, betul sekali, itulah Perkampungan Pingit. Kalau dilihat dari sejarahnya, daerah itu awalnya digunakan oleh salah seorang Jesuit dengan tujuan untuk menampung orang-orang yang kehilangan tempat tinggal dan keluarganya terutama akibat peristiwa pembersihan yang dilakukan pasca G30S. Oleh karena itu wajar bila kita melihat banyak sekali orang tua atau sepuh yang tinggal di daerah sini. Peran dari Serikat Jesus tak lepas begitu saja setelah “membangun” perkampungan ini. Mereka bekerja sama dengan beberapa mahasiswa sering melakukan kunjungan dan pemantauan rutin ke kampung ini. Bahkan para mahasiswa yang ikut dalam program ini juga selalu mengadakan kegiatan les rutin yang diadakan setiap hari Senin sore. Kegiatan les ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan para anak-anak Pingit. Hebatnya lagi, kegiatan ini gratis dan bebas diikuti oleh semua warga Pingit dari usia TK – SMP. Warga-warga di sini sangat ramah, mereka masih sering terlihat berkumpul bersama. Ya, walaupun hanya sekedar ngumpul untuk saling berbincang, namun ini merupakan sebuah pemandangan yang langka apalagi ini berada di kota Yogyakarta yang mana merupakan kota yang besar. Para warga di sini selalu saling menyapa bila bertemu, bahkan mereka tak segan berbagi jajan atau makanan yang mereka punya. SMA Van Lith Muntilan mengadakan sebuah kegiatan bernama RKKS (Retret Kepekaan Kepedulian Sosial) yang bertujuan agar para siswa menjadi lebih peka dan lebih perhatian terhadap lingkungan sekitar terutama kepada kaum KLMT dan berkebutuhan khusus. Dalam kegiatan ini, saya bersama beberapa teman ditempatkan di Perkampungan Pingit ini untuk merasakan dan menjalankan kegiatan di kampung ini. Kampung Pingit merupakan kampung yang bisa dibilang cukup padat. Kampung ini dihuni warga dengan berbagai macam latar belakang dan usia. Pekerjaan warga di sini sangat beragam. Mulai dari pengangkut sampah, tukang bersih makam, pedagang, angkringan, tukang bumbu dapur, sampai pegawai di kantor depan kampung Pingit. Selama RKKS ini, saya dan teman teman sangat menikmati dinamika di sini. Mulai dari ikut keluarga asuh kami bekerja, berbincang dengan keluarga, bahkan sampai ikut mengajar les untuk anak-anak Pingit. Dalam kegiatan RKKS ini kami mendapat banyak sekali pengetahuan baru, dan bahkan membuka pandangan baru bagi kami tentang kaum KLMT dan berkebutuhan khusus. Selama RKKS, saya menyadari bahwa untuk bahagia itu, caranya sederhana sekali. Hanya dengan berbincang-bincang, bercanda, bahkan melihat pemandangan langit sore dan malam hari, sudah bisa membuat bahagia. Orang-orang Pingit bisa dilihat sangat bersyukur dan bahagia dengan apa yang mereka punya. Walaupun beberapa dari mereka bisa dibilang kekurangan dalam materi atau finansial, tapi mereka terlihat sangat berkelimpahan dalam hal keramahan, rasa syukur, dan kebahagiaan. Selama berdinamika di Pingit, saya sangat bersyukur dan bahagia karena saya disambut dengan sangat hangat oleh masyarakat. Saya juga mendapat orang tua asuh yang sangat baik dan perhatian kepada saya. Bahkan, ketika saya hendak kembali ke van Lith pun, orang tua asuh saya masih meminta saya untuk datang lagi ke sana. Ketika kami pulang pun, ada beberapa warga yang berkumpul di titik kumpul kami untuk sekedar menyampaikan ucapan perpisahan dan lambaian perpisahan kepada kami. Hal ini benar-benar sangat berkesan bagi saya dan saya sangat menghargai itu. Satu hal yang terus saya ingat dari pesan ibu asuh saya ketika berbincang dengan saya, “Kerja itu harus konsisten, harus terus dijalankan. Tapi, jalankan dengan sepenuh hati, dengan ikhlas, nikmati pekerjaanmu, maka kamu akan senang melakukan pekerjaanmu itu”. Ya… intinya sih yang saya dapat banyak hal tersembunyi di dunia ini. Penampilan dan pendidikan seseorang tidak menjamin karakternya yang sebenarnya. Bahkan seseorang yang terlihat galak pun, sebenarnya punya hati yang sangat baik. Bahkan di sebuah kota yang sangat maju dan ramai pun, masih terdapat kampung yang tersembunyi oleh gedung kantor yang tinggi. Sepertinya cukup ya… cerita dariku tentang pengalamanku di Pingit. Terima kasih telah membaca, kalau kalian ingin berkunjung, warga Pingit akan sangat terbuka untuk kalian. Sampai jumpa! Kontributor: Kelvin Lie – Siswa Kelas XI-IPA SMA PL van Lith Muntilan

Feature

Mengajari Diri Identitas Sendiri

Identitas diri baik sebagai tanda pengenal maupun dalam arti substansial seperti: kemampuan, bakat, karakter dan pola pikir adalah sebuah peziarahan penemuan hari demi hari. Hal ini saya maknai dalam formasi diri, penemuan identitas. Pengertian ini bisa jadi mengena bagi yang yakin bahwa setiap pengalaman adalah guru yang mengajarkan banyak hal. Saya pun diajak untuk terus menemukan pelajaran berharga dalam setiap pengalaman positif maupun negatif. Salah satu pengalaman positif yang berdampak bagi saya sebagai calon religius sekaligus guru dalam Ordo Scholarum Piarum (Skolapios) adalah menjadi relawan SPM Realino di Jombor. Sebelumnya, antara September-Oktober 2021, tidak ingat persisnya, saya beberapa kali ikut kegiatan SPM Realino di Jombor. Akan tetapi karena kesibukan studi dan kuliah, saya tidak melanjutkannya. Di semester berikutnya, setiap Kamis pukul 14.00-16.00 WIB saya bergiat bersama para relawan SPM Realino di Jombor. Saya menikmati setiap dinamikanya dan bersyukur atas pengalaman ini. Kegiatan di Jombor yang saya ikuti adalah pendampingan anak-anak. Dengan kreativitas relawan, anak-anak didampingi melalui tema-tema yang menarik dan bermanfaat bagi mereka. Menurut pengamatan saya selama beberapa pertemuan (September-November 2022), kegiatan ini sangat bermanfaat bagi perkembangan psikis (mental) maupun kognisi anak-anak dampingan. Dalam perjalanan, saya seringkali merasa kesulitan untuk membagi waktu sebagai mahasiswa sekaligus anggota komunitas Skolapios. Mungkin kesulitan untuk membagi waktu juga dirasakan oleh teman-teman relawan lain, apalagi kegiatan ini tidak berhubungan dengan kampus. Akan tetapi toh para relawan selalu berusaha meluangkan waktu bagi anak-anak di Jombor. Inilah tanda kasih dan perhatian para relawan yang mau berbagi meski ada keterbatasan. Meskipun sibuk dengan urusan kuliah dan komunitas, selalu saja ada hal baru yang saya peroleh dalam setiap perjumpaan. Dalam senyum yang senantiasa mereka berikan, saya merefleksikan waktu yang dilalui tidak sia-sia. Saya justru memperoleh lebih banyak dari yang mampu saya berikan. Dalam beberapa kesempatan saya dipercaya mengisi beberapa pertemuan dan mengajar anak-anak SMP. Dalam proses ini ternyata saya tidak hanya memberi apa yang saya punya tetapi juga menerima apa yang anak-anak punya. Saya juga belajar untuk bersikap santun dan rendah hati. Hal-hal kecil itu jadi pelajaran besar bagi saya. Saya menikmati setiap momen berbagi dalam semangat St. Yosef Calasanz (1557-1648, Pendiri Ordo Scholarum Piarum/ Skolapios). Melalui kegiatan di SPM Realino, saya dibantu untuk lebih mengenal secara mendalam semangat Sang Pendiri: menjadi agen transformasi sosial lewat pendidikan anak-anak dan remaja miskin. Saya belajar untuk menjadi manusia utuh. Walaupun tidak lepas dari kekurangan saya tetap mengupayakan sesuatu yang baik bagi orang-orang di sekitar saya sebagai calon religius Skolapios. Kerelaan memberi adalah pembelajaran paling penting yang saya peroleh. Tidak peduli seberapa banyak yang saya punya, toh dari yang terbatas ini saya masih diperkenankan untuk berbagi. Mengajar anak-anak di Jombor membantu saya untuk melihat lebih jelas identitas masa depan saya. Saya menjadi mengerti dengan lebih baik pengalaman para Skolapios dalam karya misi. Mereka banyak mengajar. Mengajar tidak hanya sebatas mengandung fungsi predikat aktif tetapi juga pasif (kerendahan hati dan keterbukaan belajar). Bukan hanya tentang memberi tetapi juga menerima. Saya belajar banyak dari anak-anak. Jombor. Pertama, kesederhanaan. Mereka datang apa adanya. Tanpa peduli situasi apa yang sedang melanda kebanyakan anak di usia mereka yang sibuk dengan trend-trend medsos, mereka justru tampil apa adanya. Hal tersebut menyadarkan saya melihat lebih jelas kecenderungan diri yang sering hanyut dalam arus trend yang mendistraksi. Kedua, ketaatan. Ketaatan adalah salah satu pilar penting bagi saya. Anak-anak di Jombor memberi saya satu model ketaatan. Ini bukanlah model ketaatan buta. Mereka tahu ada yang baik dan berguna bagi mereka jika dengan rela hati mengikuti arahan relawan SPM Realino. Mereka (anak-anak) mengajarkan saya, segala keputusan dari formator dan pendamping komunitas bukanlah sekadar legitimasi otoritas seperti yang saya pahami. Arahan baik jika ditaati dan dilaksanakan maka akan berdampak positif. Ketiga, kerjasama. Hal ini tergambar dalam banyak aktivitas bersama anak-anak di sana. Mulai dari permainan pembuka kegiatan hingga cara-cara belajar kreatif yang mengkondisikan mereka bekerja sama. Dalam refleksi hidup berkomunitas, saya belajar bahwa berjalan sendiri pasti tidak berhasil. Komunitas memuat bentuk model hidup kolaboratif antar anggota dengan tujuan mewujudkan bonum communae. Jika saya punya kesempatan lagi, dengan senang hati saya akan terus belajar dari dan bersama adik-adik di Jombor. Kontributor: Christiano Kutun Making – Volunteer SPM Realino

Karya Pendidikan

Keterbukaan Hati, Pintu Menuju Kasih

Perbedaan di zaman ini dipandang sebagai salah satu masalah besar untuk mencapai suatu persatuan terutama di Indonesia. Kurangnya minat generasi milenial dalam memahami dengan lebih mendalam mengenai perbedaan yang ada di sekitar sering menjadi faktor penghambat kesatuan Bangsa Indonesia. Padahal sebenarnya, generasi muda berpotensi besar membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan. Akan tetapi, ekspektasi tidaklah semulus realita. Banyak konflik terjadi di sekitar kita hanya karena perbedaan pendapat dan cara pandang. Sebagai siswa SMA Kolese De Britto, saya bersyukur karena bisa belajar dan memahami perbedaan melalui pengalaman nyata. Beberapa waktu yang lalu ada salah satu sekolah yang saya anggap berbeda dengan sekolah kami datang dan berkunjung ke tempat kami. Sekolah itu adalah SMA Bumi Cendekia. SMA Bumi Cendekia merupakan SMA yang berbasis boarding house atau pesantren berbasis asrama yang ada di Sleman. Pada awalnya kami para murid SMA Kolese De Britto diajak oleh salah satu guru sejarah, Pak Nova, untuk ikut bertemu, berkenalan, dan berproses dalam perjumpaan bersama teman-teman dari SMA Bumi Cendekia. Kami merasa sangat senang dengan kegiatan ini karena kami sebagai siswa diberikan fasilitas oleh sekolah untuk menambah relasi sekaligus diberikan kesempatan untuk berproses dengan teman – teman santri dari SMA Bumi Cendekia. Pada awalnya, saya merasa sedikit ragu untuk mengikuti acara ini. Saya takut jika terjadi suasana canggung dan aneh dalam perjumpaan ini. Namun saya tetap mau mencoba dan berdinamika bersama teman-teman santri SMA Cendekia. Saya menyadari bahwa sebenarnya perbedaan adalah realita yang harus dihadapi hingga akhirnya harus diterima dan dihidupi. Saat menyambut mereka di ruang AV 2, suasana menjadi sunyi dan canggung. Saya dan teman-teman merasa kaget karena kami hanya mengenakan kemeja dan kaos berkerah yang biasa kami gunakan untuk belajar di sekolah sementara teman-teman dari SMA Bumi Cendekia terlihat sangat rapi dengan jas berwarna biru. Bapak F.X. Catur Supatmono, M.Pd. selaku Kepala Sekolah SMA Kolese De Britto turut hadir dan menyambut para tamu. Dalam sambutannya, Bapak Ubaidillah Fatawi, M.Pd. selaku Kepala Sekolah SMA Bumi Cendekia, mengungkapkan bahwa tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mempererat tali persaudaraan antar sekolah sekaligus acara ini menjadi sarana bagi para siswa baik dari SMA Kolese De Britto maupun SMA Bumi Cendekia untuk saling mengenal dan menghargai perbedaan yang ada di antara kami. Setelah sambutan singkat, acara dilanjutkan dengan perkenalan yang dikemas dengan mini games yang asik dan menarik. Kami semua dipaksa untuk mengenal dan mengingat nama-nama kami. Pada awalnya mungkin kami sedikit kesulitan untuk mengingat nama dari teman-teman santri karena nama mereka terdengar sedikit asing bagi kami namun pada akhirnya kami dapat saling berkenalan dengan baik sehingga suasana menjadi cair. Kami pun mulai tertawa satu sama lain hingga tanpa disadari waktu untuk salat Ashar pun tiba. Acara terjeda sejenak. Setelah teman – teman santri selesai menunaikan ibadah salat, acara dilanjutkan dengan board games. Dalam sesi games ini ada tiga board games yang dihadirkan. Salah satu yang menarik bagi saya adalah games yang menguji pengetahuan kita tentang agama-agama lain yang ada di dunia ini. Pada awal game kami diajak untuk memilih pion yang ada dan menaruhnya di papan lalu terdapat kartu-kartu yang disusun dengan keadaan tertutup. Di balik kartu-kartu itu terdapat banyak sekali simbol dari berbagai agama yang ada di dunia. Secara bergantian kami harus menebak dan membuka dua kartu. Kedua kartu tersebut harus sama simbolnya (mirip seperti memo games). Setelah menemukan kartu yang sama, contohnya kartu dengan simbol Shinto, pion kita dapat maju satu langkah. Setelah itu narator akan memberikan pertanyaan umum terkait agama Shinto dan ketika kita berhasil menjawab maka pion kita akan maju sebanyak satu langkah lagi. Game yang diberikan ini selain melatih ingatan, juga dapat menambah pengetahuan umum kita mengenai agama-agama yang ada di dunia. Dalam kesempatan ini, saya senang bisa berkenalan dengan salah satu santri yang bernama Hebba. Hebba adalah salah satu murid kelas X SMA Bumi Cendekia. Pada awalnya kami merasa canggung, namun seiring berjalannya waktu, kami saling mengobrol dan bertukar informasi mengenai budaya serta keunikan yang ada di sekolah kami masing-masing. Saya menjadi akrab tidak hanya dengan Hebba tetapi juga dengan teman-teman santri yang lain. Tak terasa waktu cepat berlalu. Acara pun diakhiri dengan berfoto bersama di depan patung Santo Yohanes De Britto yang terletak di tengah halaman SMA Kolese De Britto. Setelah menjalani dinamika bersama teman-teman santri SMA Bumi Cendekia, kami sadar dan paham betul bahwa sebenarnya kata “perbedaan” tidaklah cocok untuk menggambarkan realitas masyarakat saat ini. Kata yang lebih cocok adalah “keberagaman” atau “diversity”. Kami menyadari bahwa keberagaman itu adalah realitas kehidupan. Sebesar apapun usaha atau kehendak kita untuk membuat dunia sama, tidak akan pernah mungkin tercapai. Kami sadar bahwa Tuhan terlalu kreatif. Ia tidak akan pernah menciptakan manusia yang sama persis. Semua memiliki perbedaan baik kelebihan maupun kekurangannya masing-masing. Akan tetapi sebagai manusia, terkadang kita tidak siap untuk melihat dan menerima realitas tersebut. Santo Ignatius dari Loyola mengajak kita untuk “Finding God in all things“. Tuhan pasti dapat ditemukan dalam setiap hal yang ada di sekitar kita. Bahkan dalam hal yang awalnya tampak buruk sekalipun asalkan kita dapat merefleksikannya dengan saksama, kita pasti akan mendapatkan hal baik di dalamnya. Sebagai siswa SMA Kolese De Britto, saya mencoba untuk memahami bahwa perbedaan latar belakang yang ada di sekitar kita bukanlah menjadi suatu masalah lagi. Keberagaman justru menjadi jalan kasih untuk menghargai satu sama lain. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan hati dan pikiran agar perbedaan yang menjadi masalah sebelumnya justru menjadi pintu untuk saling menyebarkan kasih kepada semua orang tanpa terkecuali. AMDG. Kontributor: Oddie Christian Tamzil – SMA Kolese de Britto