Pilgrims of Christ’s Mission

serikat jesus

Kuria Roma

Selamat Jalan Paus Fransiskus

Saudara-saudara yang terkasih,   Serikat Jesus turut merasakan duka semua umat Allah di dalam Gereja dan dalam persatuan dengan semua orang yang berkehendak baik, atas meninggalnya Paus Fransiskus. Bela duka ini diungkapkan dengan penuh ketulusan dan dengan kekhusukan yang lahir dari harapan teguh akan kebangkitan, yang dengan kebangkitan-Nya ini, Yesus membukakan pintu bagi kita semua sehingga bisa turut serta secara penuh dalam hidup Allah.   Kita berduka atas meninggalnya seorang pelayan Gereja Universal yang telah mengemban karya perutusannya selama lebih dari 12 tahun. Jorge Mario Bergoglio, saudara terkasih dalam Serikat kita yang kecil dan dina ini telah pergi. Di dalam Serikat ini, kita menghidupi karisma rohani dan cara yang sama dengan Paus Fransiskus dalam mengikuti Yesus Kristus.   Kepergiannya tentu membuat kita sangat sedih, namun terbersit pula rasa syukur mendalam kepada Allah Bapa yang penuh belas kasih. Rasa syukur ini muncul secara spontan atas begitu banyak kebaikan yang kita terima melalui pelayanan hidup dan caranya menuntun Gereja selama masa kepausannya, yang tentu saja dalam persekutuan dan kesinambungan dengan para pendahulunya dalam upaya mempraktikkan semangat dan pedoman sesuai Konsili Ekumenis Vatikan II.   Paus Fransiskus terus memperhatikan apa yang terjadi di seluruh dunia demi menawarkan sebentuk harapan bagi semua orang. Ensikliknya yang luar biasa, Laudato Si’ dan Fratelli tutti, tidak hanya mengungkapkan analisis jernih atas kondisi umat manusia, tetapi, dalam terang Injili, keduanya juga menawarkan alternatif cara memajukan rekonsiliasi dengan semua ciptaan dan menyingkirkan penyebab begitu banyak ketidakadilan. Bagi Paus Fransiskus, saling berdialog satu sama lain, antara para politikus dengan rival mereka atau antara agama dan budaya, menjadi cara untuk terus memajukan perdamaian dan stabilitas sosial, menciptakan lingkungan yang saling memahami, peduli, dan solider. Dalam banyak kesempatan, kita mendengarkan ajakannya, refleksi pastoralnya, dan mengagumi pelayanannya yang tak kenal lelah, ketika ia menyampaikan inisiatif atau turut bergabung dengan inisiatif orang lain, selalu yakin akan kekuatan nilai dialog dan perjumpaan. Bagaimana mungkin kita bisa melupakan momen luar biasa saat ia sendirian menyerukan doa ketika darurat pandemi corona pada bulan Maret 2020 di Lapangan Santo Petrus yang kosong? Atau kepeduliannya yang terus-menerus bagi perdamaian dalam menghadapi intoleransi dan peperangan yang mengancam koeksistensi internasional dan menimbulkan penderitaan luar biasa bagi mereka yang paling tidak berdaya. Juga empatinya atas gelombang pengungsi yang dipaksa pergi dari negara mereka di seluruh dunia, terutama mereka yang terpaksa mempertaruhkan nyawa dengan menyeberangi lautan Mediterania.   Pada malam hari 13 Maret 2013, dalam kata sambutannya saat terpilih paus dan menyapa umat beriman yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus, kita telah menemukan dua dimensi utama pelayanannya, yaitu pentingnya berjalan beriringan antara Uskup dengan umat, menapaki jalan persaudaraan, cinta kasih, saling percaya, dan penuh pengharapan, serta pentingnya doa, terutama doa-doa melalui perantaraan para kudus.   Makna penting atas dikembangkannya Sinode para Uskup dan perhatian besar pada sinodalitas sebagai cakupan konstitutif menggereja secara jelas meneladankan dimensi “berjalan bersama” tersebut. Hal ini sama sekali tidak mengurangi keutamaan penggembalaan Petrus atau tanggung jawab episkopal para uskup melainkan sebaliknya, justru memungkinkan terwujudnya partisipasi aktif dari semua orang yang dibaptis atau umat Allah yang sedang berjalan, mengakui kehadiran dan tindakan Tuhan melalui Roh Kudus dalam hidup gerejawi.   Ajakan untuk berdoa, yang ia sampaikan pada malam itu kepada seluruh umat beriman, sangat membekas dalam ingatan kita. “Marilah kita berdoa bersama, Uskup dan umat. Marilah kita berdoa kepada Tuhan, semoga Ia pun berkenan memberkati saya.” Sepanjang masa kepausannya, ia mengakhiri homili-homilinya, termasuk Angelus hari Minggu, dengan ajakan yang sama, yaitu jangan lupa untuk mendoakannya. Ia tidak pernah lelah mengingatkan kita bahwa doa lahir dari kepercayaan kepada Tuhan dan dari keakraban kita dengan-Nya. Dalam doa, kita dapat menemukan rahasia kehidupan orang-orang kudus (bdk. Audiensi Umum 28 September 2022).   Ketika ia berbicara kepada kita, para konfrater Jesuit-nya, ia selalu menekankan pentingnya meluangkan waktu yang cukup, di sela kesibukan pelayanan kita, untuk berdoa dan memperhatikan pengalaman rohani. Kita hanya perlu mengingat kembali surat yang ia tulis kepada saya sebagai Pater Jenderal tertanggal 6 Februari 2019, dimana ia menyampaikan persetujuan dan penegasannya terhadap Preferensi Kerasulan Universal, yaitu bahwa Preferensi pertama (menunjukkan jalan menuju Allah melalui Latihan Rohani dan discernment) sangat penting karena mengandaikan syarat dasar hubungan seorang Jesuit dengan Tuhan, dalam hidup doa dan discerment baik secara pribadi maupun bersama. “Saya (Paus Fransiskus) menganjurkan agar dalam pelayanannya sebagai Superior Jenderal, Anda menekankan hal ini. Tanpa laku doa, preferensi lainnya tidak akan menghasilkan buah.” Dengan cara ini, ia menegaskan kembali nasihat yang ia sampaikan dalam pertemuannya dengan para peserta Kongregasi Jenderal 36 (24 Oktober 2016), saat secara tegas ia menekankan perlunya memohon penghiburan rohani secara terus-menerus, membiarkan diri digerakkan oleh Tuhan yang dipaku pada kayu salib, yaitu Ia yang menggerakkan kita untuk melayani banyak orang yang tersalib di dunia saat ini.   Pada kesempatan itu, ia menunjukkan sesuatu yang dapat kita anggap sebagai elemen penting identitas kita sebagai Jesuit. Seolah-olah menjawab pertanyaan implisit tentang siapakah Jesuit itu, Paus Fransiskus berbicara kepada KJ dan menegaskan bahwa seorang Jesuit adalah pelayan sukacita Injil dalam perutusan apapun yang ia emban. Dari sukacita ini mengalirlah ketaatan pada kehendak Tuhan, pengutusan kita untuk melayani misi Gereja dan kerasulan kita, serta kesediaan diri untuk melayani orang miskin. Sukacita inilah yang harus menjadi ciri utama cara kita melangkah sehingga menjadi gerejawi, berbudaya, miskin, fokus pada pelayanan, dan bebas dari semua ambisi duniawi.   Panggilan kepada sukacita yang datang dari Dia yang disalib lalu dibangkitkan, dan Injil-Nya, yang melaluinya warta sukacita ini dikabarkan, telah menjadi ciri khas yang menetap dalam masa kepausan Paus Fransiskus. Bukanlah suatu kebetulan bahwa banyak dari dokumen kepausannya, yang dimulai dengan nasihat apostolik Evangelii Gaudium yang menjadi dasar kepausannya, bahkan di dalam judul-judulnya terdapat rujukan pada sukacita yang mendalam yang bagi dia menjadi sesuatu yang tak tergantikan.   Justru atas dasar hubungan yang hidup dan memberi hidup dengan Tuhan itulah, yang didasarkan pada penghiburan dan sukacita, kita mampu melaksanakan penggembalaan. Tetapi di atas semua itu, kita akan mampu memberikan kesaksian hidup yang sepenuhnya diabdikan untuk melayani Gereja, Sang Mempelai Kristus, ragi Injili dunia, dalam pencarian tanpa henti demi kemuliaan Allah dan keselamatan jiwa-jiwa. (Tanggapan Paus Fransiskus kepada Pater Adolfo Nicolás atas ucapan selamat ketika terpilih Paus

Pelayanan Masyarakat

Tumbuh Dalam Cinta Sejati

Pengalaman melayani anak-anak marginal lewat Komunitas Belajar Realino (KBR) di wilayah Jombor dan Bongsuwung merupakan panggilan yang mencerminkan nilai-nilai Kristiani. Ini adalah kesempatan meneladani Yesus yang selalu hadir bagi mereka yang tersingkir, menderita, dan dilupakan masyarakat. Dalam Matius 25:40, Yesus berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Ayat ini menekankan pentingnya memperhatikan mereka yang terpinggirkan. Di dalam diri mereka yang tersingkir, kita menemukan wajah Kristus sendiri.   Melayani anak-anak marjinal mengajarkan saya membuka hati dan mata pada realitas ketidakadilan dan penderitaan. Sebagai biarawan SCJ yang menghayati spiritualitas Hati Kudus Yesus, Hati yang terbuka menjadi semangat saya untuk mau menerima semua orang ke dalam hati saya. Selain itu saya juga diundang membagikan kasih Tuhan lewat diri saya kepada mereka tanpa membeda-bedakan latar belakang dan budaya.   Dalam pengalaman pengabdian sosial ini, saya belajar bukan hanya untuk memberi, melainkan juga menerima. Melalui pertemuan dengan anak-anak di Komunitas Belajar Realino, saya menyadari bahwa dari mereka saya dapat belajar tentang kekuatan, keberanian, dan pengharapan. Saya belajar melihat manusia bukan dari penampilan luar atau status sosial, melainkan nilai dan martabat yang melekat pada setiap pribadi sebagai ciptaan Allah yang luhur.   Pengabdian sosial kepada anak-anak marjinal ini saya refleksikan sebagai tindakan nyata mengikuti jejak Yesus. Secara khusus ini merupakan bentuk mengikuti Dia memperjuangkan keadilan, memperlihatkan kasih yang nyata, dan memberi harapan. Saya tidak hanya hadir membantu mereka yang membutuhkan, tetapi juga mengingatkan diri saya bahwa keberadaan saya memiliki tujuan yang lebih besar. Tujuan mulia itu adalah menjadi perpanjangan tangan kasih Allah di dunia ini.   Dalam refleksi ini, penting juga mengingat bahwa pengabdian sosial adalah panggilan mengasihi tanpa syarat. Kasih ini tidak mengharapkan balasan atau penghargaan, melainkan tumbuh dari keinginan melihat orang lain hidup dengan martabat dan sukacita. Setiap kali saya berbagi waktu, perhatian, dan kasih kepada anak-anak dan kaum marginal, saya berpartisipasi dalam misi Kristus di dunia ini. Misi itu adalah membawa terang dan harapan kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Let us become a true light.   Akhirnya, pengalaman ini memanggil saya untuk berkomitmen lebih dalam terhadap semangat pelayanan. Saya dipanggil membawa transformasi tidak hanya bagi mereka yang saya layani, melainkan juga bagi diri saya sendiri agar semakin bertumbuh dalam cinta sejati.   Kontributor: Fr. Charles Oktavianus Markus Tada Wadan, SCJ – Volunteer Realino SPM 

Karya Pendidikan

“Pulang ke Rumah”

Tahun 2024 menjadi perjalanan yang sangat berharga bagiku. Aku kembali ke tempat penuh kenangan, tempat yang memberiku ilmu dan membentukku menjadi seperti sekarang. Meski demikian, kini aku datang dengan peran yang berbeda. Tidak pernah terbayangkan bahwa aku bisa kembali ke tempat itu, terlebih sebagai calon guru.   Rasanya aneh berada di sekolah yang sama, bertemu dengan guru-guru yang dulu kupanggil Bapak dan Ibu guru, kini aku dipanggil dengan sebutan Bu guru, bukan nama panggilan saja. Tempat itu bernama SMA YPPK Adhi Luhur atau Kolese Le Cocq d’Armandville. Saat masih menjadi siswa, aku merasakan bagaimana sekolah ini menerima setiap siswa tanpa membeda-bedakan. Meskipun ada perbedaan di antara teman-teman, aku tidak pernah merasa terasing. Pengalaman ini membentuk rasa banggaku terhadap sekolah yang tidak hanya memberikan pendidikan akademik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap sesama.   Keraguan dan Pertanyaan Tentu saja, perjalanan untuk menempuh pendidikan di sekolah ini tidaklah mudah. Aku dan keluargaku sempat menghadapi banyak pertanyaan dan keraguan dari masyarakat. Sebagai seorang Muslim yang memilih bersekolah di persekolahan Katolik, aku sempat mendapat banyak pertanyaan. “Apakah kamu siap bersekolah di sekolah Katolik ? Apakah kamu tahu peraturan di dalamnya? Apakah kamu siap melepas hijabmu? Apakah kamu siap terasing?”, merupakan pertanyaan yang sering terdengar.      Meski banyak yang meragukan keputusanku, aku bersyukur memiliki orang tua dan kakak-kakak yang menjunjung tinggi nilai keberagaman. Mereka mendukung pilihanku sepenuhnya dan meyakinkanku bahwa apapun yang dikatakan orang lain hanyalah sebuah pendapat yang belum tentu benar dan untuk mengetahuinya aku harus mengambil jalan tersebut dengan penuh keyakinan. Pesan mereka melekat di sanubari dan menjadi pegangan bagiku untuk melangkah tanpa ragu. Keputusanku terbukti tepat.     Keyakinan yang menjadi Kenyataan Selama bersekolah di Kolese Jesuit ini, aku selalu diperlakukan dengan adil dan mendapatkan hak yang sama seperti teman-teman lain. Aku dapat mengikuti berbagai kegiatan akademik maupun non-akademik tanpa diskriminasi. Para Romo, Frater, Bruder, Bapak Ibu guru, Bu TU, Pak de Argo (tukang bersih sekolah) hingga teman-teman selalu menunjukkan sikap saling menghormati dan menghargai. Aku tidak pernah dipaksa untuk mengubah keyakinanku. Meskipun mengikuti pelajaran agama Katolik, aku tidak pernah dipaksa berdoa dengan cara yang berbeda dari keyakinanku. Justru, di sekolah ini aku belajar tentang nilai-nilai toleransi dan keterbukaan terhadap berbagai perbedaan.    Mengenal Katolik Melalui sekolah ini, aku mulai mengenal dan memahami konsep-konsep dalam agama Katolik, seperti misa, komuni, altar, dll. Aku juga belajar membaca Alkitab. Aku juga mengikuti praktik mengajar sekolah minggu yang bukan memiliki tujuan untuk mengubah keyakinanku, tetapi sebagai bagian dari pemahaman terhadap agama lain. Aku bersyukur karena semua ini memperkaya wawasan dan membentuk cara berpikirku agar lebih luas. Sekolah ini juga tidak berfokus pada doktrin agama tertentu, melainkan lebih menekankan nilai-nilai seperti kasih, rasa hormat, dan menghargai.    Salah satu hal yang aku pelajari dari sekolah ini adalah semua nilai dari 4C yaitu, Competence, Compassion, Conscience, dan Commitment. Lewat keempat nilai itu, aku belajar bahwa pendidikan bukan hanya tentang kepintaran secara akademik, tetapi juga tentang bagaimana seseorang dapat memanusiakan manusia lain.      Asistensi Mengajar Pada bulan Juli hingga Desember 2024 lalu, aku kembali ke SMA YPPK Adhi Luhur sebagai bagian dari program kampus yaitu Asistensi Mengajar. Ini adalah program yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menjadi asisten pengajar di perguruan tinggi atau sekolah menengah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan mengajar mahasiswa, memperkaya pengalaman akademik, dan membantu dosen atau guru dalam proses pembelajaran.    Jika dulu sebagai siswi aku ke sekolah tanpa menggunakan hijab, kini aku datang dengan penampilan berbeda, mengenakan hijab. Kendati demikian, sambutan yang kuterima tetap sama seperti saat aku menjadi siswi, yaitu penuh kehangatan, penuh kasih, dan penuh toleransi. Aku juga diberi kesempatan dan kepercayaan untuk mengajar di semua kelas X, mendampingi ekstrakurikuler, mendampingi kepanitiaan acara sekolah, dan bertemu dengan siswa-siswi yang luar biasa.    Nilai yang Terjaga Salah satu siswa yang menarik perhatianku adalah Asyaidah, satu-satunya siswa muslim di angkatannya, sama sepertiku dulu. Aku memperhatikannya dan melihat bahwa perlakuan yang ia terima sama seperti yang dulu kuterima selama bersekolah di sini. Hal tersebut merupakan bukti bahwa semangat toleransi di Kolese Jesuit di ujung timur Indonesia ini tetap terjaga dari generasi ke generasi.   Dalam perjalananku belajar sebagai calon guru, aku tidak hanya belajar dari para Romo, Frater, dan Bapak/Ibu guru, tetapi juga dari siswa-siswi yang memiliki semangat luar biasa dalam belajar. Mereka tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan dan memiliki sikap saling membantu serta mendukung yang begitu kuat. Dari mereka, aku belajar bahwa seorang guru tidak hanya mengajar, tetapi juga terus belajar baik dari guru lain maupun dari siswanya.     Bertumbuh Saat program asistensi mengajar hampir berakhir pada pertengahan Desember, aku merasa banyak hal yang kudapat dari pengalaman ini. Sekolah ini telah membantu aku tumbuh, berkembang, dan memberikan masa depan yang lebih baik. Lebih dari itu, aku menemukan makna dari arti kekuatan karena selama ini aku berprinsip untuk tumbuh tanpa membiarkan rasa sedih menguasai diriku. Kedengarannya memang aneh, tetapi prinsip itu terbentuk dari pengalaman yang pernah dialami orang tua dan kakak-kakakku dan pengalaman itu menurutku tidak seharusnya diterima keluargaku. Hal itulah yang membentukku menjadi pribadi yang harus selalu kuat, bahkan cenderung menekan perasaan, dan selalu berusaha untuk menghindari rasa sedih.    Meskipun demikian, melalui pengalaman di sekolah ini, aku belajar bahwa untuk menjadi kuat bukan berarti menolak rasa sedih. Sebab, rasa sedih bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan bentuk ungkapan kasih sayang kepada orang-orang yang kita sayangi. Aku juga belajar bahwa menjadi manusia, berarti mengizinkan diri untuk merasakan, menghargai, berterima kasih atas setiap pengalaman. Sekolah ini telah menjadi bagian penting dalam hidupku, bukan hanya sebagai tempat menimba ilmu, tetapi juga sebagai rumah kedua yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Aku bersyukur telah menjadi bagian dari SMA YPPK Adhi Luhur, Kolese Le Cocq d’Armandville. Dan aku akan selalu membawa pelajaran berharga ini ke manapun aku menjejakkan kaki.   Kontributor: Mutiara Al Kausar – Mahasiswa USD

Karya Pendidikan

Gumregah lan Jumangkah Mbangun Paseduluran

SD KANISIUS TLOGOSARI KULON GELAR BUKA PUASA Tahun ini terasa istimewa karena umat beragama Islam dan Katolik puasa bersamaan di bulan Ramadhan. Bagi umat Islam, bulan Ramadhan merupakan bulan suci untuk menjalankan ibadah puasa dan memperingati wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Sedangkan bagi umat Katolik, puasa selama masa Prapaskah adalah bentuk pertobatan, penyesalan dosa, dan meneladani pengorbanan Yesus Kristus.  Tema APP (Aksi Puasa Pembangunan) 2025 Keuskupan Agung Semarang adalah Bersekutu dalam Doa, Pertobatan dan Pengharapan. Diharapkan selama masa puasa dan pantang hendaknya seluruh umat sampai pada pertobatan yang bersifat lahiriah dan sosial kemasyarakatan. Hal ini sejalan dengan Nota Pastoral Arah Dasar Umat Allah KAS 2021-2025 dan Arah Implementasi, “Tinggal Dalam Kristus dan Berbuah: Semakin Katolik dan Semakin Apostolik di tengah Perubahan Masyarakat.”   Harapan Gereja inilah yang menjadikan otak kami gaduh. Apa yang bisa kami lakukan di komunitas pendidikan SD Kanisius Tlogosari Kulon dalam memaknai pertobatan di masa Prapaskah yang bersamaan dengan bulan Ramadhan ini? Kami akhirnya sepakat membuat kegiatan bersama warga RT 05 dan RT 11/RW 07 Kelurahan Tlogosari Kulon (RT sekitar sekolah). Kegiatan ini dilaksanakan pada Kamis, 20 Maret 2025 di aula SD Kanisius Tlogosari Kulon dan menjadi langkah merawat persaudaraan antar umat beragama. Kami mengangkat tema: Gumregah lan Jumangkah mBangun Paseduluran (Bangkit dan Melangkah Membangun Persaudaraan) sekaligus untuk menghidupi semangat men and women for and with others.   Guru dan siswa berkolaborasi menyambut dan melayani tamu undangan. Antusiasme siswa-siswi SD Kanisius Tlogosari Kulon terlihat sangat tinggi. Mereka membantu para guru menyediakan hidangan bagi para tamu yang akan berbuka puasa dengan minuman segar dan makanan takjil. Acara ini terselenggara atas kerelaan hati para donatur serta dukungan dari  Komisi PSE dan Panitia APP Kevikepan Semarang.   Dalam buka bersama ini kami mengundang Gus Muhammad Abdul Qodir, Lc., M.A., sebagai narasumber untuk sesi siraman rohani. Selain itu juga ada hiburan Rebana Cinta Damai, Tari Sufi dan beberapa penampilan dari siswa-siswi dan guru KB-TK-SD Kanisius Tlogosari Kulon, hingga konsumsi berupa takjil dan nasi.    “Merawat persaudaraan antarumat beragama itu penting karena ini mencerminkan bentuk kesalehan sosial di tengah masyarakat Indonesia. Harapannya, Ramadhan harus dijadikan momen untuk berbuat yang lebih baik. Jangan lagi menzalimi orang, memaksakan kehendak, menang sendiri, dan lain sebagainya,” pinta Abdul Qodir.   Dari 350 orang yang diundang, terdapat sekitar 187 orang hadir dalam acara ini. Sebagai acara yang baru kali pertama diadakan, hal ini merupakan pencapaian yang cukup baik. Ketua RT, Ketua RW, narasumber dan tamu undangan memberikan apresiasi dan harapan semoga kegiatan ini dapat membawa dampak baik bagi hubungan keberagaman di masyarakat. Kami harap kegiatan ini menjadi langkah awal yang baik sebagai sekolah nasrani dalam menjaga kerukunan yang berada di sekitar masyarakat Islam.   Yayasan Kanisius memiliki kekhasan dalam pendidikannya yaitu adanya Paradigma Pedagogi Reflektif. Budaya menemukan kedalaman suatu peristiwa melalui refleksi nampak dari hasil evaluasi para guru pada hari Sabtu, 22 Maret 2025 dan tulisan beberapa siswa yang hadir dalam acara buka puasa tersebut. “Saya menilai bahwa acara kita baik dan berjalan lancar. Dari peristiwa salah satu guru menjemput warga (meskipun sebenarnya warga sudah siap tetapi saling menunggu sehingga membuat acara jadi “molor”) saya menemukan bahwa diperlukan adanya pendekatan personal yaitu menyapa lebih dekat. Inilah yang namanya Gumregah lan Jumangkah Mbangun Paseduluran,” ungkap salah satu guru.   Beberapa murid pun menuliskan sedikit refleksi kegiatan buka puasa bersama ini. “Saya bangga menjadi bagian dari SD Kanisius Tlogosari Kulon yang mengadakan buka puasa bersama warga sekitar. Hal ini menjadi pengalaman baru untuk saya karena saya bisa belajar mengenai agama Islam, tahu Tari Sufi dan makin mengerti akan persaudaraan lintas iman,” ungkap Sharbel. “Saat aku membagikan takjil aku merasa sangat senang karena para warga menerima dan menikmati takjil dan acaranya. Aku senang bisa membuat mereka bahagia,” ungkap Nio. “Ini pertama kalinya buka puasa bersama di sekolah, aku awalnya agak malu “nyalami” para tamu. Tapi lama kelamaan aku mulai terbiasa. Aku salut dengan teman-teman yang tampil, mereka keren. Saat aku membagikan takjil aku melihat para warga sangat menikmati takjil. Aku sangat senang dan kegiatan ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan,” ungkap Chilla.   Kontributor: Khatarina Ika Wardhani, S.Psi. – Kepala SD Kanisius Tlogosari Kulon

Pelayanan Gereja

Finding God Through the Lens

Canon Community Goes To Paroki Bongsari Sebuah acara yang diprakarsai oleh OMK Paroki Bongsari bekerja sama dengan Canon Indonesia sukses diselenggarakan di Ballroom Grha Argya, Gereja Paroki Bongsari, pada Minggu, 9 Maret 2025. Acara yang mengangkat tema Finding God Through the Lens ini dihadiri oleh sekitar 70 peserta dengan rentang usia mulai dari 10 hingga 70 tahun. Mereka berasal dari berbagai paroki di Semarang dan luar kota Semarang. Fenomena ini menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap dunia fotografi dan bagaimana seni ini dapat menjadi sarana refleksi iman.   Menemukan Tuhan Melalui Fotografi Sejak pukul 08.00 pagi, peserta telah berkumpul dengan semangat untuk menyelami dunia fotografi lebih dalam. Acara ini menghadirkan dua narasumber profesional, Misbachul Munir dan Angelie Ivone, yang berbagi ilmu serta pengalaman mereka dalam dunia fotografi.   Misbachul Munir membahas teknik dasar fotografi, mulai dari pemahaman pencahayaan, komposisi, hingga pengaturan kamera yang tepat untuk menangkap gambar berkualitas. Sementara itu, Angelie Ivone membimbing peserta dalam memahami fotografi sebagai sarana untuk menangkap keindahan dan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.   Melalui konsep Finding God Through the Lens, peserta diajak untuk melihat bahwa setiap momen, keindahan alam, dan ekspresi manusia adalah refleksi kasih Tuhan yang dapat diabadikan melalui kamera. Baik peserta yang masih anak-anak maupun yang sudah berusia lanjut, semuanya menemukan perspektif baru dalam mengamati dunia melalui lensa kamera.   Dari Teori ke Praktik: Mengabadikan Momen dengan Makna Selain sesi teori, peserta juga diajak untuk langsung mempraktikkan teknik yang telah dipelajari. Dalam sesi ini, mereka diberikan tantangan fotografi yang tidak hanya menekankan aspek teknis, tetapi juga mendorong mereka untuk menangkap gambar dengan makna spiritual.   Menariknya, berbagai generasi yang hadir dalam acara ini memberikan sudut pandang yang unik dalam menangkap momen. Anak-anak mencoba mengabadikan dunia dengan keceriaan mereka, kaum muda lebih menonjolkan ekspresi artistik, sementara peserta yang lebih senior banyak mengambil gambar yang merefleksikan pengalaman hidup dan spiritualitas mereka.   Dukungan dari Canon Indonesia dan Datascript Sebagai penyelenggara utama, Canon Indonesia dan Datascript turut menghadirkan berbagai perangkat fotografi yang bisa dicoba langsung oleh peserta. Mereka juga memberikan wawasan tentang perkembangan teknologi kamera terbaru serta cara memanfaatkan fitur-fitur yang tersedia untuk mendukung hasil foto yang optimal.   Refleksi dan Harapan ke Depan Acara yang berlangsung hingga pukul 16.00 sore ini ditutup dengan sesi tanya jawab serta pemberian sertifikat kepada peserta. Banyak dari mereka mengungkapkan rasa syukur atas kesempatan belajar yang diberikan dan berharap acara serupa dapat kembali diadakan di masa mendatang.   Dengan adanya pelatihan fotografi ini, diharapkan komunitas Gereja semakin mampu mendokumentasikan setiap momen penting dalam kehidupan menggereja dengan lebih baik. Lebih dari sekadar keterampilan teknis, Finding God Through the Lens menjadi ajang refleksi bahwa fotografi dapat menjadi sarana evangelisasi dan komunikasi iman yang kuat.   Gereja Paroki Bongsari mengucapkan terima kasih kepada Canon Indonesia dan Datascript atas dukungan serta kolaborasi yang telah terjalin. Semoga semangat belajar dan berkarya terus berkembang, membawa terang bagi banyak orang melalui seni fotografi.   Kontributor: Bonaventura Satria Hagi Putra – Panitia

Kuria Roma

Merayakan dan Memajukan Peran Perempuan dalam Serikat Jesus

Tahun ini menjadi momen penting untuk berefleksi dan berkomitmen bagi kita semua dalam Serikat Jesus. Saat Serikat memperingati 30 tahun Dekret 14 dari Kongregasi Jenderal 34 (1995) yang menekankan peran serta perempuan sebagai pusat integrasi iman dan keadilan dan saat dunia memperingati 30 tahun Deklarasi Beijing dan Platform Aksi yang diadopsi oleh Konferensi Dunia ke-IV PBB tentang Perempuan, tema Hari Perempuan Internasional kali ini, “Mempercepat Aksi,” beresonansi secara mendalam dengan suara-suara para perempuan yang telah membentuk perjalanan Serikat dengan penuh harapan dan kemendesakan.   Perempuan dalam Tradisi Ignasian Selama berabad-abad tradisi Ignasian menghargai kebijaksanaan, iman, dan kekuatan perempuan.  Serikat secara khusus mengakui Maria, Bunda Yesus, sebagaimana dalam Magnificat (Lukas 1:46-55) menjadi teladan bagi rahmat Allah yang transformatif. Para perempuan telah memainkan peran integral dalam pendidikan, formasi, karya kerasulan, kepemimpinan, dan menawarkan wawasan yang berakar pada perjumpaan yang mendalam dengan Injil. Kehadiran perempuan telah membentuk Serikat Jesus, mencerminkan keterbukaan dan cinta Maria yang begitu peka. Sejarah ini mengajak Serikat untuk menata kembali struktur dan praktik masa depan yang lebih inklusif.   Sumbangsih perempuan dalam tradisi Jesuit sama sekali bukanlah sekadar pelengkap melainkan justru menjadi dasar pijak. Entah sebagai pendidik, pengelola, pendamping rohani atau pemimpin, maupun dalam peran pendukung lainnya, karya-karya perempuan sangat penting untuk memajukan perutusan yang transformatif dan berakar kuat pada keadilan. Kisah-kisah mereka tentang iman, ketangguhan, kepekaan, dan pelayanan mencerminkan jalan Maria, yaitu jalan yang penuh dengan kontemplasi, keberanian, dan tindakan yang tegas. Sejarah ini menuntut pengakuan akan pentingnya partisipasi perempuan dalam membentuk masa depan Gereja dan Serikat.   Sinodalitas dan Suara Perempuan Gereja yang benar-benar sinodal membutuhkan suara-suara otentik kaum perempuan untuk didengar dan diintegrasikan ke dalam discernment bersama. Pada tahun 2021, Pater Jenderal Arturo Sosa, SJ, membentuk Komisi Peran dan Tanggung Jawab Perempuan dalam Serikat Jesus untuk memastikan bahwa suara perempuan terlibat lebih jauh dalam membentuk perutusan Serikat. Komisi yang beranggotakan enam perempuan awam, satu biarawati, satu pria awam dan lima Jesuit ini telah bekerja untuk menilai pelaksanaan Dekret 14. Salah satu inisiatif yang paling signifikan adalah survei global yang dilakukan pada tahun 2023 yang menjangkau sekitar 1.400 kolaborator sebagai responden. Kemudian dilakukan pengolahan data kualitatif setelah survei di mana survei ini dilakukan dengan wawancara mendalam secara individu dan kelompok dengan awam perempuan dan laki-laki, biarawati, dan para Jesuit, serta diskusi kelompok terarah selesai dilakukan. Semua peserta memiliki pengalaman sebelumnya dengan Serikat dan program-programnya, baik sebagai karyawan maupun sukarelawan. Pertemuan ini diadakan di Roma pada November 2024 untuk melakukan analisis dan percakapan rohani untuk melaksanakan mandat dan membuat rekomendasi. Laporan akhir hampir selesai dan akan dipresentasikan kepada Pater Jenderal pada kuartal ketiga 2025.   Kepemimpinan Perempuan dalam Serikat Jesus Spiritualitas Ignasian tumbuh subur dalam interaksi dinamis antara kontemplasi dan aksi. Para perempuan telah mewujudkan keseimbangan ini, memimpin inisiatif dalam karya pendidikan, formasi, dan karya-karya tapal batas. Kontribusi mereka terus menerangi jalan pelayanan yang inovatif dan penuh kasih. Kepemimpinan, pelayanan, dan proposal mereka bukan hanya panggilan untuk inklusi tetapi juga katalisator untuk misi transformatif. Para perempuan di lembaga-lembaga Jesuit telah memimpin upaya-upaya dalam refleksi teologis, advokasi keadilan sosial, dan pelayanan pastoral. Dari lembaga akademik hingga gerakan komunitas akar rumput, kepemimpinan mereka menunjukkan komitmen terhadap iman dan keadilan yang merupakan inti dari spiritualitas Ignasian. Kemampuan mereka untuk memformasi dan membimbing komunitas telah membantu kebijakan dan struktur yang lebih baik dalam melayani mereka yang tersisih.   Panggilan untuk Berdiskresi dan Berkolaborasi Seiring hampir berakhirnya Komisi ini, Serikat Jesus tetap mendorong adanya keterlibatan yang berkelanjutan dalam refleksi yang mendalam. Keterlibatan perempuan bukan hanya tentang keadilan – tetapi juga tentang memperkaya seluruh perutusan Serikat. Suara, sudut pandang, dan kepemimpinan perempuan merupakan bagian integral dalam menentukan cara terbaik untuk melayani dunia saat ini. Ke depan, tugas Komisi adalah menyoroti pentingnya menciptakan sistem yang memberdayakan perempuan dalam Serikat. Dengan mengakui pengalaman unik mereka dan kekuatan transformatif yang mereka bawa ke dalam pelayanan, pendidikan, dan keadilan sosial, Serikat Jesus bergerak lebih dekat untuk memenuhi panggilannya untuk keadilan, rekonsiliasi, dan karya perutusan bersama.   Mendengarkan Ajakan dan Panggilan Roh Kudus untuk Senantiasa Berdiskresi Ketika Serikat Jesus terus memajukan komitmennya terhadap keadilan dan rekonsiliasi, partisipasi penuh perempuan tetaplah penting. Karya Komisi ini mengingatkan kita bahwa inklusi bukan hanya tentang representasi, tetapi juga tentang mengakui kekuatan transformatif dari suara-suara yang beragam dalam membentuk Gereja dan masyarakat yang berakar pada iman dan keadilan. Ajakan ini begitu jelas, yaitu untuk mendengarkan, melihat, dan menanggapi dengan penuh keberanian.   Refleksi Saat merenungkan panggilan ini dan peran perempuan dalam Gereja dan Serikat, Komisi mengajak kita semua untuk membuka Kitab Suci sebagai sumber inspirasi dan bimbingan. Semoga perikop-perikop ini membantu untuk melihat bagaimana Kristus mengajak kita semua berpartisipasi dalam karya perutusan bersama ini. Semoga kita semua mencari kebijaksanaan untuk mengenali kehadiran Kristus dalam perjalanan bersama kita dan menanggapinya dengan iman, kerendahan hati, pengharapan, dan keberanian.   Dengan penuh doa, kita memohon Tuhan agar menolong kita memeriksa batin dan menanggapi peran perempuan bagi dunia, Gereja, dan khususnya Serikat Jesus, dengan menggunakan salah satu dari bacaan berikut ini, baik secara individu maupun bersama-sama. Magnificat (Lukas 1:46-55) – Kidung Maria tentang keadilan, harapan, dan pemberdayaan. Kotbah di Bukit (Matius 5:1-7) – Panggilan untuk transformasi dan nilai-nilai kerajaan Allah. Perjalanan Menuju Emaus (Lukas 24:13-35) – Mengenali kehadiran Kristus dalam perjalanan kita menuju discernment. Perempuan Samaria di Sumur (Yohanes 4:1-42) – Sebuah perjumpaan yang mengarah pada transformasi dan karya perutusan. Sabda Bahagia (Matius 5:1-12) – Ajakan untuk hidup dalam kerendahan hati, belas kasihan, dan keadilan. Penyembuhan Perempuan yang Sakit (Lukas 13:10-17) – Pengakuan dan penegasan Yesus akan martabat perempuan. Yesus Memanggil para Murid (Matius 4:18-22) – Meninggalkan segala sesuatu untuk mengikuti perutusan Kristus. Amanat Agung (Matius 28:16-20) – Panggilan untuk mewartakan Injil dan menjadikan semua bangsa murid-Nya. Kabar Sukacita (Lukas 1:26-38) – Maria menerima rencana Allah dengan iman dan keberanian. Pertobatan Saulus (Kisah Para Rasul 9:1-19) – Perubahan radikal yang mengarah pada perutusan. Panggilan Ketujuh Puluh (Lukas 10:1-12) – Yesus mengutus pergi berdua-dua. Perumpamaan tentang Perempuan Samaria yang Baik Hati (Lukas 10:25-37) – Panggilan untuk mengasihi secara aktif, inklusif, dan berkeadilan.   Oleh: Komisi Serikat Jesus untuk Peran dan Tanggung Jawab Perempuan Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel

Provindo

Perjumpaan sebagai Jalan Hati

Jaringan Doa Bapa Suci Sedunia – Indonesia (Pope’s Worldwide Prayer Network – Indonesia, selanjutnya disebut PWPN Indonesia) bersukacita karena bulan Februari lalu, Direktur Internasional PWPN, Pater Cristóbal Fones, S.J. mengunjungi Indonesia. Kunjungan ini dilakukan dalam rangka mengenal konteks lokal Indonesia dan bagaimana karya kerasulan ini dijalankan, termasuk apa saja yang menjadi tantangan dan peluang untuk pengembangan. Pater Cristóbal Fones, S.J. adalah Jesuit asal Chile yang baru saja resmi menjadi Direktur Internasional PWPN per 1 Januari 2025. Dalam rangkaian kunjungan ke wilayah Asia Pasifik ini, Pater Cristóbal juga mengunjungi Malaysia, Singapura, dan Timor Leste.   Kunjungan di Indonesia berlangsung dari 22-27 Februari 2025. Kegiatan dimulai di Jakarta dengan mengunjungi Paroki Katedral, Terowongan Silaturahim, dan Masjid Istiqlal. Pater Cristóbal juga menjadi konselebran perayaan Ekaristi di Katedral. Esoknya, diadakan sarasehan The Way of the Heart bersama Pater Sindhunata, S.J.. Selain terbuka untuk umum, sarasehan ini juga menjadi kesempatan berkumpul bagi berbagai komunitas yang menghidupi Spiritualitas Ignatian, seperti Magis, Christian Life Community (CLC), Latihan Rohani Pemula (LRP), Schooled by The Spirit (SBS), Aminigo, dan lainnya. Pater Cristóbal juga mengenalkan PWPN pada para siswa Kolese Kanisius. Setelah itu, ia melanjutkan kunjungan ke Yogyakarta untuk bertemu Pater Antonius Sumarwan, S.J., Koordinator Nasional PWPN Indonesia. Di Yogyakarta, Pater Cristóbal diajak mengunjungi Pusat Musik Liturgi, kantor Yayasan Basis yang menerbitkan Utusan sebagai majalah resmi PWPN, dan Omah Petroek yang menyediakan beberapa situs untuk merefleksikan Jalan Hati. PWPN Indonesia juga mengadakan perayaan Ekaristi dan parade lagu di Gereja St. Antonius Padua Kotabaru. Perjalanan dilanjutkan menuju Jawa Tengah, yaitu ke Seminari Menengah Mertoyudan dan menghadiri misa perdana Romo Petrik Yoga, Pr yang juga terlibat aktif di PWPN Indonesia. Di Wonosobo, Pater Cristóbal mendapatkan hadiah menarik yaitu tarian dari siswi-siswi SLB/B Dena Upakara yang didampingi para Suster PMY. Rangkaian kegiatan ditutup dengan berwisata ke Candi Borobudur.    Dalam rangkaian kunjungan ini, Pater Cristóbal juga banyak berbagi dan mengenalkan apa itu PWPN, dasar spiritualitas, dan misi yang diemban. Tulisan ini akan membagikan hal-hal tersebut.     Persahabatan dengan Yesus Dasar dari segala pelayanan, misi, dan karya PWPN adalah pengalaman persahabatan personal dengan Yesus. Dalam sejarahnya, PWPN memiliki kedekatan dengan spiritualitas Hati Kudus Yesus. Semangat ini pula yang selalu dihidupkan dalam karya-karya PWPN. Spiritualitas Hati Kudus Yesus menyatukan jaringan doa ini yang telah mencakup lebih dari 90 negara dan lebih dari 22 juta umat Katolik di seluruh dunia.   Dalam PWPN, Spiritualitas Hati Kudus Yesus dikenalkan dalam bentuk modul formasi berjudul The Way of the Heart (Jalan Hati). Modul ini terdiri atas 9 langkah permenungan yang membantu kita mengenal Hati Allah Bapa, Hati Allah Putra, dan Hati Allah Roh Kudus. The Way of the Heart menjadi dasar pengolahan hati kita untuk bisa menjalankan misi belas kasih bagi dunia (a mission of compassion for the world).   Sejak tahun 2023, PWPN Indonesia mencoba mengadaptasi modul Jalan Hati sebagai modul retret tahunan. Selain itu, pada Yubileum Hati Kudus Yesus ini, PWPN Indonesia juga menggunakan modul Jalan Hati sebagai tema buklet doa dan bahan permenungan selama setahun. Menggunakan bahan permenungan itu, diadakan olah dan percakapan rohani secara daring pada Senin kedua tiap bulan.   Pater Cristóbal tidak hanya bicara soal persahabatan dengan Yesus, tetapi sungguh menghidupinya. Pada dua kesempatan terpisah, ketika diskusi dengan para siswa Kolese Kanisius dan Seminari Menengah Mertoyudan, Pater Cristóbal mengungkapkan bahwa sahabat terdekatnya adalah Yesus. Ia mengungkapkan dulu ketika remaja sering menulis curhat dengan Yesus dan hingga kini pun Yesus adalah sahabat terbaiknya.     Kerasulan Doa Salah satu penerapan misi utama PWPN adalah mendoakan dan menyebarkan intensi doa Bapa Suci setiap bulannya. Beberapa cara yang digunakan oleh Tim Internasional PWPN adalah dengan membuat video Bapa Suci (The Pope Video) dan membagikan bahan dari aplikasi Click to Pray yang menyediakan bahan doa pagi, siang, dan malam untuk mendukung intensi doa Bapa Suci.    PWPN Indonesia pun bergerak aktif untuk mendukung dua sarana ini. Untuk The Pope Video, PWPN Indonesia berkolaborasi dengan Biro Nasional Karya Kepausan Indonesia (BN-KKI) untuk memberi subtitle dan menerjemahkan infografis ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa bahan dari Click to Pray juga secara rutin diterjemahkan dan disebarkan melalui media sosial seperti Instagram, Facebook, dan WhatsApp.    Dalam momen kunjungan kemarin, PWPN Indonesia mengadakan parade lagu, “Senandung Doa untuk Dunia”, setelah perayaan Ekaristi harian di Gereja St. Antonius Padua Kotabaru. Dikatakan bahwa bernyanyi itu dua kali lipatnya berdoa, maka diharapkan dengan lantunan nada-nada, umat semakin mengenal spiritualitas dan karya-karya PWPN. Pada kesempatan itu, PWPN Indonesia memperkenalkan lagu Doa Persembahan Harian dalam bahasa Indonesia dan Inggris yang dibuat oleh Ibu Damian Alma, seorang komposer.   Pater Cristóbal juga menggunakan musik sebagai sarana pewartaan. Ia memiliki motto musik sebagai pelayanan iman dan promosi keadilan dan sudah memiliki 12 album. Yang menarik, dalam kunjungan ini ia beberapa kali berkata, “Saya bukan seorang musisi atau penyanyi, saya hanyalah seorang imam.” Musik adalah salah satu bentuk kerasulan dan pelayanannya.     Formasi Orang Muda Misi PWPN juga berkaitan dengan formasi dan pendampingan orang muda. PWPN memiliki komunitas orang muda bernama Eucharistic Youth Movement (EYM), yang di Indonesia dikoordinasi oleh Pater Yohanes Nugroho, S.J.. Kehadiran EYM didasarkan pada pedagogi para murid Emaus, yakni Injil, Ekaristi, dan Misi. EYM ingin mengajak anak muda usia 5-25 tahun untuk hidup dalam cara Yesus, dalam hubungan persahabatan dari hati ke hati dengan-Nya.   Dalam kunjungannya, Pater Cristóbal juga mengenalkan EYM kepada siswa Kolese Kanisius dan Seminari Menengah Mertoyudan. Para siswa pun sangat antusias dan mengajukan berbagai pertanyaan yang menarik pada Pater Cristóbal, antara lain mengenai iman, panggilan, karya PWPN, serta bagaimana Pater Cristóbal menggunakan musik dalam karya dan pelayanannya.   Selain dua kolese tadi, Pater Cristóbal juga memiliki kesempatan untuk bertemu para siswi SLB/B Dena Upakara di Wonosobo. Para siswi tunarungu ini mempersembahkan tiga tarian. Dibantu instruksi oleh guru, para siswi menari dengan gembira dan penuh sukacita. Perjumpaan dan tarian mereka sangat mengesan bagi Pater Cristóbal dan menjadikan kunjungan ini unik. Bagi Pater Cristóbal, anak-anak ini perlu menjadi perhatian dan ladang pelayanan kita.   Kunjungan Pater Cristóbal membawa semangat baru bagi PWPN Indonesia. Kami diajak sungguh bergerak dari kerja-kerja promosi doa dan menjadi komunitas orang-orang yang menjalankan misi belas kasih

Realino SPM

Hadir dan Berbagi Kasih-Nya

Dalam tradisi iman Kristiani, pengabdian sosial bukan hanya sebuah tugas atau kewajiban moral, melainkan bentuk perwujudan nyata kasih Allah kepada sesama. Yesus Kristus sendiri memberikan teladan dalam pelayanan-Nya kepada mereka yang lemah, tersisih, dan termarjinalkan. Setiap kali saya berinteraksi dengan anak-anak dampingan, saya diingatkan akan panggilan saya sebagai umat beriman. Pun saya diingatkan sebagai seorang suster CB yang digerakkan oleh kasih tanpa syarat Yesus Yang Tersalib. Dia memberikan teladan untuk melayani mereka yang berkesusahan dengan kerendahan hati. Ini tercermin dalam sabda Yesus: “Apa yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40).   Tentu dalam proses berdinamika di Komunitas Belajar Realino (KBR), saya juga mengalami tantangan. Salah satunya adalah ketika saya harus berhadapan dengan anak-anak yang dalam konteks tertentu ‘haus perhatian.’ Bisa jadi mereka kurang mendapat pendidikan atau perhatian dari orang tua. Hal ini sungguh menguras tidak hanya tenaga tetapi juga perasaan. Meskipun demikian, tantangan ini menjadi kesempatan bagi saya untuk menghayati kesabaran, keterbukaan hati, dan pengertian.    Tuhan sendiri hadir dalam kerapuhan anak-anak ini. Mereka mengajarkan kepada saya tentang makna pelayanan tanpa syarat, sebagaimana Allah melayani dan mencintai saya secara total, tak bersyarat. Tuhan tidak pernah  memandang kelemahan saya dalam hal mencintai. Karena itu, atas dasar cinta Tuhan ini saya dimampukan memberi hati dengan penuh dalam pelayanan di Komunitas Belajar Realino di Bongsuwung dan Jombor.   Hal menarik lain adalah ketika saya melihat anak-anak mengembangkan potensi mereka dan mengekspresikan kreativitas dalam hasil karya yang mereka bawa pulang. Saya menyadari betapa penting kehadiran dan pendampingan ini bagi mereka. Setiap pertemuan dan interaksi bukan sekadar rutinitas, melainkan perjumpaan dengan wajah-wajah Allah yang hidup dalam diri setiap anak. Dalam mereka, saya belajar bahwa pengabdian sosial ini adalah bentuk persekutuan dengan Tuhan. Dia memanggil saya untuk hadir dan berbagi kasih-Nya di tengah dunia yang membutuhkan ini.   Lewat refleksi ini, saya semakin menyadari bahwa tugas saya sebagai umat beriman bukan hanya melayani, melainkan juga memberikan diri, pikiran dan hati untuk belajar dari mereka yang saya layani. Allah bekerja dan hadir melalui setiap pengalaman. Dia memberikan saya kesempatan untuk mengasihi dan bertumbuh dalam iman melalui tindakan konkret pengabdian sosial ini. Saya merefleksikan dan memahami bahwa kegiatan pengabdian sosial ini menjadi sebuah jalan menuju transformasi pribadi dan spiritual. Dalam pengalaman ini saya merasa semakin dipersatukan dengan misi kasih Allah bagi dunia.   Kontributor: Sr. Rafaela, CB – Volunteer Realino SPM