Tanah Abang, Universitas Kehidupan
“Kalian besar nanti, carilah perguruan tinggi yang bisa bantu belajar tentang kehidupan, yang rektornya mengajarkan tentang kemanusiaan,” kata Bang Dillah, sebutan akrab Abdillah, nama induk semang kami di Tanah Abang. Selama lima hari itu, mulai dari 16-20 Januari 2023, aku dan kelompokku melaksanakan live in sosial di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, tepatnya di Kelurahan Kebon Kacang. *** Waktunya berangkat pun tiba, namun ketidakjelasan masih kuat menghantui. Minggu malam kami memulai perjalanan dengan bus ke Jakarta dan sempat diputar-putarkan di sebuah ruas jalan besar. Akhirnya, kami berhenti di pinggir jalan, persis di depan ruko dengan gang kecil di sebelahnya. Bu Nita, guru pendamping, memberi instruksi untuk turun dan membawa barang-barang kami yang dikemas dalam sebuah trash bag. Tibalah kami di sebuah tempat yang tak lazim. Halamannya luas, dengan dua buah pohon yang membuatnya rindang. “Sanggar Anak Akar,” tertulis di sebuah ambulans yang terparkir di halaman. “Pasti nanti mengajar anak-anak,” pikirku. Di sanggar tersebut, yang kelak akan menjadi basecamp kami, kami sarapan sejenak sebelum mendengar arahan dari Mbak Yuse, salah seorang anggota sanggar. Kami dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan lokasi, yaitu TPA Bantar Gebang, Sentiong (kawasan kuburan Cina), dan Tanah Abang, tempatku live in. Tempat dengan pasar yang besar, terkenal akan preman dan prostitusi, menjadi “universitas kehidupanku.” Di sana kami diminta membantu pekerjaan warga sekitar. Ada yang menjadi tukang bubur, pemilah sampah, atau pedagang karung. Aku sendiri membantu seorang pedagang soto betawi yang sekaligus guru ngaji, Bang Wahyu. Di Tanah Abang, kami tidak menginap di sebuah rumah atau toko, melainkan sebuah tempat pengajian yang dikelola oleh Yayasan Hurin’in, sebuah yayasan yang boleh dikatakan mempunyai tujuan yang sangat mulia dan kontekstual. Yayasan ini berdiri untuk memutus rantai prostitusi yang mengikat sebagian perempuan di sana. Sebagian anak yang dididik dan diasuh adalah anak-anak PSK melalui pembinaan iman dan akhlak (etika) agar mereka tidak terjerumus ke dalam jebakan yang dialami oleh orang tua mereka. Anak TK hingga SD di sini bagaikan perwujudan dari realitas “pasar” yang keras. Mereka sudah mengerti dan lihai menggunakan umpatan-umpatan seperti dongo, goblok, dan lain sebagainya. Berbicara dengan kawannya pun menggunakan logat Betawi disertai nada yang tinggi dan keras, hampir menyerupai gaya berbicara orang tua mereka. Tanah Abang memang punya dua muka. Ia bisa tampak seperti kawasan permukiman kumuh yang penuh preman dan kriminalitas, namun ia juga bisa tampak seperti perkampungan dengan warga yang rukun dan teguh dalam penghayatan iman. Mushola di dekat tempat kami menginap selalu ramai dengan warga waktu Maghrib dan Isya’. Para muadzin berlomba-lomba menyerukan dengan lantang panggilan untuk beribadah dan warga menyambutnya dengan antusias. Selama empat hari itu, setelah shalat subuh, aku berangkat ke pasar bersama Bang Wahyu, seorang Ustadz dan penjual soto betawi. Saat tiba, Bang Wahyu langsung bergegas membersihkan lapak dan aku membantu membersihkan meja, melepas terpal, mengambil air di tempat yang cukup jauh, memotong kol, tomat, dan mencuci beras. Fase yang paling membosankan adalah menunggu pelanggan berdatangan. Pada saat demikian itu, aku sering duduk menganggur sambil sesekali menyeruput kopi. Pelanggan banyak berdatangan ketika menjelang makan siang. Saat pagi, hanya ada satu atau dua pembeli saja. Karena sepi dan tidak tahu harus melakukan apa, serta didukung angin semilir, maka selama empat hari itu yang datang bukanlah manusia, melainkan rasa kantuk. Namun, sekalinya pelanggan membludak, rasanya seperti gelombang lautan yang tak berakhir. Pekerjaanku, yakni membantu mencuci piring dan menyiapkan nasi, serasa abadi di waktu menjelang makan siang. Satu tumpukan piring selesai dicuci, tumpukan lain datang menyusul. Satu piring nasi disiapkan, yang lain juga menunggu antrian. Satu piring kecil acar disajikan, yang lain menunggu diisi. Ada kalanya para pelanggan mengiyakan saja apa yang disajikan, namun ada kalanya mereka mengajukan permintaan tersendiri. Bahkan pernah satu kali, sebuah rombongan mengajukan banyak sekali permintaan kepada Bang Wahyu, seperti kikil dipotong di bagian tertentu, dan sebagainya. Di situ ada Aril, pegawai yang membantu bang Wahyu menjual soto betawi. Ia bercerita bahwa ia hanya bersekolah sampai SMP. Setamat SMP, ia memutuskan membantu orang tuanya dengan banting tulang mengais rezeki, hingga akhirnya, ia tiba di Tanah Abang. Aril tak menganggapnya sebagai hal yang perlu disesali. Aril seolah-olah menganggap tak melanjutkan pendidikan hanyalah bagian dari realita yang ia harus hadapi. Memang, di kawasan Tanah Abang, tak banyak orang yang menempuh pendidikan tinggi, terutama karena alasan ekonomi. Namun orang-orang seperti mereka membuktikan bahwa hidup tak melulu soal pendidikan saja dan bahwa tak mengenyam pendidikan tinggi bukan berarti akhir dari segalanya. Pada hari kedua, aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri bukti nyata praktik prostitusi di Tanah Abang. Malam itu, oleh Bang Dillah, aku dan kelompokku diajak melewati sebuah gang tempat ia tinggal. Di sana, aku melihat bilik-bilik persis di sebelah kiri jalanan gang. Selain bilik, juga terdapat semacam klub malam sederhana di sisi jalan yang sama. Realita sosial di Tanah Abang memang jauh dari kata ideal. Berada di sana hanya selama lima hari, mungkin terasa nyaman saja, tetapi jika tinggal di sana hingga waktu yang tak dapat ditentukan adalah perkara yang membuatku bertanya-tanya, “Apakah kehidupan ini adil?” Namun, tentu ada sisi positif yang terdapat di Tanah Abang, seperti yang kami rasakan di malam terakhir live in. Setidaknya, kedekatan Tanah Abang dengan Bundaran HI memberi sebuah hiburan tersendiri bagi kami yang kami kunjungi pada malam kedua. Mengetahui bahwa kami akan kembali ke Yogyakarta pada hari Jumat, Bang Wahyu berinisiatif untuk mengadakan perpisahan bersamaan dengan acara sholawatan yang rutin diadakan di balai pengajian setiap Kamis malam. Setelah sholawatan selesai dan hidangan telah disiapkan oleh kami, dibantu oleh Bang Dillah dan istrinya, kami semua makan bersama-sama dan mengucapkan salam perpisahan dengan anak-anak pengajian serta guru mereka. Dari live in yang kuikuti, banyak pelajaran yang dapat aku petik. Dari Aril, aku belajar bahwa setiap orang mampu melayani sesamanya dengan kemampuan masing-masing. Kenyataan bahwa Aril tak sempat mengenyam bangku SMA tidak menghalanginya untuk menyalurkan tenaga dan kemampuannya untuk membantu sesama, dalam hal ini dengan menjadi karyawan Bang Wahyu. Bagaimana orang-orang seperti Aril mencoba untuk bersyukur dan menikmati hidup, sekalipun tidak dalam kondisi yang ideal, selalu membuatku terpukau. Aku juga belajar secara langsung bagaimana rasanya bekerja bersama dengan orang lain dan betapa bosannya menunggu datangnya pelanggan saat berjualan.







