Pilgrims of Christ’s Mission

karya pelayanan jesuit

Karya Pendidikan

Jendela Toleransi: Bakti Sosial PIKA ke Pondok Pesantren

Pada hari Rabu, 27 Maret 2024, kami para Pengurus ORSIKA (OSIS SMK PIKA) mewakili sekolah melakukan kegiatan bakti sosial. Kami mengunjungi lokasi yang terdampak banjir di area Demak dengan didampingi oleh Staf Kesiswaan yaitu Pak Divo dan Frater Septian. Lokasi yang akan kami jadikan kegiatan aksi bakti sosial adalah di Pondok Pesantren Roudlotus Sholihin, Jl. KH. Noer, Loireng, Kecamatan Sayung, Demak.   Dalam kegiatan Bakti Sosial ini, kami membawa beras, gula pasir, mie instan, dan sejumlah uang yang diserahkan kepada pengurus Pondok Pesantren Roudlotus Sholihin. Barang-barang tersebut merupakan hasil kegiatan Aksi Puasa Pembangunan di sekolah setiap hari Rabu selama masa Prapaskah.   Sesampainya di Pondok, kami disambut oleh Frater Wahyu, S.J. dan Gus Khodir. Gus Khodir merupakan kyai/guru penanggung jawab pondok. Frater Wahyu tinggal di pondok selama dua tahun. Saat ini ia sedang menjalankan tugas perutusan di pondok pesantren tersebut dalam rangka mendalami dialog lintas agama. Frater Wahyu juga menjadi guru di SMP Roudlotus Sholihin. Di sana kami mendapatkan cerita-cerita menarik tentang kehidupan para santri pondok.     Salah satu cerita yang menarik bagi kami pada saat itu adalah saat Gus Khodir berbagi cerita mengenai radikalisme di lingkungan sekitar dan toleransi terhadap sesama. Misi yang mereka sedang jalankan adalah menjunjung tinggi toleransi dan mengurangi sikap radikal terhadap agama lain. Gus Khodir pun memberi pembelajaran kepada para santrinya tentang toleransi. Beliau mengajak para santri untuk membuka hati dan mau menerima orang walaupun berbeda agama. Apalagi di sekitar kita masih banyak remaja dan orang tua yang masih bersikap ‘radikal’ terhadap agama lain dan mereka ini juga memiliki paham-paham tersendiri. Cara yang mereka lakukan ialah mengunjungi tempat ibadah agama lain seperti pura, wihara, gereja Kristen, dan gereja Katolik. Bahkan dengan agama lokal pun mereka sering melakukan sharing antaragama.   Namun, di balik kerukunan itu, mereka juga merasakan adanya gejala radikalisme yang mencoba merayap di tengah-tengah masyarakat. Pesan-pesan yang bertujuan untuk memecah belah, menghasut, dan menciptakan konflik seringkali tersebar dengan cepat, terutama di era digital ini. Ketika radikalisme merasuki bahkan tempat yang seharusnya dianggap sebagai oase kedamaian seperti pesantren, kesadaran akan urgensi toleransi semakin menonjol. Aksi bakti sosial di pesantren mengajarkan kepada kami bahwa kegiatan sosial bukan hanya tentang memberi bantuan materi, tetapi juga membangun hubungan yang kokoh antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Dalam menghadapi maraknya radikalisme, kita perlu bersama-sama menyadari bahwa pendekatan pendidikan, dialog, dan kolaborasi adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan berbudaya damai.   Pengalaman ini telah mengingatkan kami bahwa kegiatan bakti sosial bukan hanya sekadar memberi tetapi juga belajar dan membawa perubahan. Dalam melangkah maju, mari kita terus menjadi agen-agen perdamaian yang gigih, membawa terang di tengah gelapnya kebencian, dan meneguhkan komitmen kita untuk menjaga keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.   Kontributor: Rayyan dan Ansel – PIKA 51

Pelayanan Gereja

VISUALISASI JALAN SALIB HIDUP 2024: [sudah selesai]

Di kayu salib, sebelum Ia menghembuskan nafas terakhir-Nya berserah dan berkata, “Sudah selesai.”   Apakah ini berarti kekalahan? Apakah Yesus kalah karena pada akhirnya Ia menyerahkan diri untuk di salib dan menebus dosa kita?   Sebaliknya, kalimat ini bermakna Yesus telah menang!   Ia menang atas besarnya kasih yang diberikan bagi umat manusia dan ketaatan-Nya kepada Bapa hingga akhir hidup-Nya. Sesungguhnya inilah kasih yang taat sampai mati.   Kita pun memanggul salib kehidupan kita masing-masing, yang seringkali wujudnya tidak nampak. Namun, apakah kita siap memenangkan diri kita atas hal-hal dan perbuatan baik?   -terinspirasi dari homili Pater Dodo, S.J.   Visualisasi Jalan Salib Hidup | 29 Maret 2024 | 10.00 WIB | OMK Paroki St. Yusup Gedangan | Halaman Bintang Laut – TK Theresia – SD Marsudirini – Susteran OSF                 Kontributor: Gedangan Muda

Penjelajahan dengan Orang Muda

F.O.M.O. : Filter Out Masalah dan Obsesimu 

Kolaborasi MAGIS Jakarta dan OMK HSPMTB Tangerang Gaya hidup fancy, seperti fashion terbaru, liburan keluar negeri, gadget termutakhir, pencapaian seseorang, dan lainnya, banyak bermunculan di media sosial. Bagi sebagian orang, hal tersebut menimbulkan tekanan emosional tersendiri, seperti perasaan terobsesi untuk mengikuti tren atau merasa kurang update terhadap sesuatu. Perasaan emosional yang muncul itu merupakan salah satu dampak  penggunaan media sosial. Bagi orang muda khususnya, ketika tidak bisa mengikuti  tren terbaru, muncullah perasaan tertinggal dan tidak percaya diri.  Menghindar dari media sosial mungkin sulit bagi sebagian besar orang muda. Apalagi kini, media sosial menjelma menjadi sarana yang efektif guna mengekspresikan dan membangun citra diri (personal  branding). Tak sedikit orang muda terobsesi dengan media sosial dan menjadikannya sebagai ajang pamer. Di lain sisi, perasaan terobsesi berlebih atau kecenderungan untuk terus membandingkan diri sendiri dengan konten media sosial akan memberikan dampak pada kesehatan mental orang muda.  Berangkat dari fenomena itu, Magis Jakarta berkolaborasi dengan Orang Muda Katolik Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda (HSPMTB) Paroki Tangerang menggelar talkshow tentang penggunaan media sosial yang berpengaruh pada  kesehatan mental, dengan tema ‘’FOMO: Filter Out Masalah & Obsesimu’’. Acara ini diselenggarakan pada Minggu, 4 Februari 2024 di Selasar Gereja HSPMTB Tangerang dan dihadiri oleh 90 orang peserta yang mayoritas adalah orang muda.  Talkshow yang diselenggarakan ini juga merupakan rangkaian kegiatan Ekaristi Kaum Muda yang menjadi ajang kolaborasi MAGIS Jakarta dengan OMK berbagai paroki di Keuskupan Agung Jakarta. Dalam kesempatan ini, Alexander Yosua (MAGIS Jakarta 2021), menggandeng Angelia Juwita dari OMK Paroki HSPMTB menjadi ketua panitia EKM. Persiapan telah dimulai sejak akhir tahun 2023. Pengurus dan alumni MAGIS Jakarta berpartisipasi aktif dalam kepanitiaan EKM dalam kolaborasi dengan teman-teman OMK serta Seksi Kepemudaan (SieKep) Paroki HSPMTB.  Talkshow ini difasilitasi oleh Kak Inca Agustina Arifin, M.Psi dan Fr. Albertus Alfian Ferry Setiawan, SJ. Pembahasan berangkat dari tema “Self-love” dan semakin mengerucut pada tema “FOMO (fear of missing out) yang diasosiasikan perasaan takut terasing karena ketinggalan berita atau tren. Istilah tersebut muncul di kalangan Gen Z yang lekat dengan media sosial. Banyak orang di zaman ini yang seakan tidak bisa lepas dari gawai dan media sosial, selalu haus dengan berbagai update. Kelekatan tersebut memunculkan perasaan fomo, yang kemudian mengganggu kesehatan mental seseorang.  Dalam sesi diskusi, para peserta yang hadir diajak memahami pentingnya kesehatan mental, menyadari fenomena fear of missing out, dan cara pencegahannya. Kak Inca mengawali sesi dengan mendefinisikan fomo sebagai rasa “takut merasa “tertinggal’’ karena tidak mengikuti aktivitas tertentu, sebuah perasaan cemas dan takut yang timbul di dalam diri seseorang akibat ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita, tren, dan lainnya.” Rasa takut ketinggalan ini mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal yang lebih baik, sedangkan dirinya sendiri tertinggal.  Para peserta talkshow juga diajak Kak Inka agar bisa melakukan deteksi mandiri apakah kita sudah terkena dampak fomo, yakni dengan cara menjawab benar atau  tidak pertanyaan-pertanyaan berikut :  Cara mengetahuinya, apabila kita memiliki sebanyak 3 jawaban benar atau lebih  maka bisa dikategorikan kita telah terkena fomo.  Diketahui ternyata fomo tidak hanya berkaitan perasaan terobsesi saja. Fomo juga menimbulkan dampak-dampak negatif, seperti gangguan pola tidur, kesulitan dalam mengambil keputusan yang benar dan bijaksana, gangguan pada hubungan dengan  orang-orang sekitar yang berarti, produktivitas terganggu, dan sulit fokus. Guna  menghindari itu, Kak Inka memberikan tips atau practical steps to overcome fomo,  yakni dengan cara melatih mindfulness, memahami apa yang dapat memicu perasaan negatif, membatasi penggunaan media sosial, menuliskan jurnal rasa  syukur untuk secara rutin menyadari aspek-aspek positif yang dimiliki, terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang berarti dan sesuai dengan tujuan atau nilai kehidupan, serta memelihara hubungan-hubungan yang berarti dalam hidup.  Fr. Ferry juga menawarkan latihan doa ala Ignatian sebagai  cara ampuh “penangkal” fomo, yaitu Examen Conscientiae. Examen dapat menjadi sarana bagi orang muda zaman sekarang untuk menyadari peristiwa yang dialami, beserta pengalaman dan perasaan dominan. Dalam Examen, orang diajak untuk  menemukan hal-hal yang disyukuri dalam sehari, juga berani menyesali perbuatan perbuatan buruk yang mungkin dilakukan, dan diakhiri dengan membuat niat untuk  menjadi pribadi yang lebih baik. Dominasi perasaan syukur diharapkan dapat  membantu orang muda untuk tidak terobsesi atau tidak lekat pada hal tertentu, atau  setidak-tidaknya mampu membedakan mana yang harus dilakukan dan tidak.  Talkshow yang dimulai pada pukul 14.00 WIB itu selesai pada pukul 16.30 WIB dan dilanjutkan dengan Ekaristi Kaum Muda, yang juga di dalamnya menampilkan teater dari OMK Paroki HSPMTB. EKM dipimpin oleh Pater Alexander Koko, SJ,  moderator MAGIS Jakarta. Dalam homilinya, Pater Koko berharap agar umat semakin dapat mengerti  bentuk cinta dari sekitar dan semakin mampu memberikan cinta pada orang-orang terdekatnya. Bisa jadi ada cinta yang tidak saling memberi dan menerima apabila kita, pelaku cinta, tidak memahami bentuk cintanya, seperti contoh bahasa cinta dari orang muda yang tidak dipahami oleh orangtua.  Suasana senang dan bahagia terlihat dari senyuman dan raut wajah para panitia kegiatan ini setelah seluruh rangkaian acara telah terlaksana. Para peserta dan panitia menutup acara dengan mengabadikan momen bersama. Rasanya tidak ingin mengucapkan “sayonara”. Gerimis di malam itu membuat acara perpisahan Magis Jakarta dan OMK HSPMTB menjadi haru. Usailah euforia persiapan dan pelaksanaan  EKM MAGIS Jakarta dan OMK Paroki HSPMTB. Kini yang  harus terus diupayakan adalah keberanian untuk melepaskan kelekatan dan menggenggam harapan. Esok akan bertemu di lain kesempatan. Kontributor: Samuel Rajagukguk dan Monica Yosinayang

Pelayanan Gereja

SMP Negeri 2 Surakarta Belajar Toleransi di Pondok Pesantren

Sabtu, 27 Januari 2024, Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin, Demak menerima kunjungan dari SMP Negeri 2 Surakarta. Pimpinan Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin, K.H. Abdul Qodir menerima kunjungan dengan penuh hangat dan kasih. Kunjungan ini menjadi sebuah pelajaran penting bagi SMPN 2 Surakarta untuk belajar mengenai toleransi dari pondok pesantren. SMP Negeri 2 Surakarta mengadakan acara kunjungan ke rumah-rumah ibadah dalam rangka merayakan Natal. Sebanyak 88 siswa-siswi Kristen dan Katolik beserta 8 guru pendamping berkunjung ke Klenteng Sam Poo Kong, Katedral Semarang, Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin, dan Vihara Watugong. Setelah mengunjungi keempat rumah ibadah tersebut, siswa-siswi dan guru pendamping diharapkan memiliki pemikiran yang terbuka sehingga toleransi pun semakin bertumbuh. Dalam konteks mengenal Islam, SMP Negeri 2 Surakarta memilih berkunjung ke Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin. Mereka ingin mengenal lebih jauh kehidupan pondok pesantren. Kedatangan siswa-siswi dan guru SMP Negeri 2 Surakarta disambut secara meriah dengan penampilan kesenian rebana. Untuk pertama kalinya mereka melihat secara langsung penampilan kesenian rebana. Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin memiliki tim rebana yang sudah banyak tampil di gereja-gereja Katolik dan Kristen. Para guru merasa terharu dan takjub atas sambutan yang begitu meriah dan hangat. Mereka sungguh bersyukur karena diterima dengan sangat baik dan penuh sukacita. Sambutan dari pihak pesantren mengubah pandangan mereka. Mereka semakin mengenal secara dekat dan tahu seperti apa pola pendidikan yang diterapkan di pesantren. K.H. Abdul Qodir memberikan penjelasan kepada siswa-siswi dan guru bahwa Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin memiliki visi SICMA (Soleh, Inklusif, Cerdas, dan Mampu memimpin). Para santri tidak hanya dididik memiliki kecerdasan tetapi juga dididik memiliki nilai-nilai inklusif. Visi inklusif ditekankan oleh K.H. Abdul Qodir agar para santrinya memiliki pemikiran terbuka sehingga mampu berelasi dengan orang lain tanpa membeda-bedakan agama. Setiap tahun, Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin selalu mengadakan program-program penguatan toleransi beragama bagi para santri. Tahun 2023 yang lalu, mereka mengadakan kunjungan ke Dusun Thekelan, Kecamatan Kopeng untuk belajar mengenai agama Budha dan live in di desa Buntu, kecamatan Kejajar Wonosobo untuk melihat keragaman agama. Desa Buntu merupakan desa laboratorium kebhinnekaan. Selain itu, Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin menerima beberapa kunjungan dari SMA Kolese Loyola, Jesuit Refugee Service (JRS), dan para Magister Novis JCAP. K.H. Abdul Qodir menceritakan juga bahwa ada frater yang belajar di pesantren ini dan tinggal bersama dengan para santri. K.H. Abdul Qodir ingin berbagi pengalaman kepada siswa-siswi dan guru bahwa visi inklusif dari pesantren bukanlah sekadar jargon manis. Visi inklusif selalu dihidupi di dalam hati dan dilaksanakan dalam tindakan sehari-hari. Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin selalu berusaha membangun jembatan kepada semua orang. Dalam hidup ini, sangat diperlukan membangun jembatan dan bukan membangun sekat. Kita perlu membangun relasi dan berbuat baik kepada semua orang karena inti dari ajaran setiap agama adalah kemanusiaan. Gus Dur pernah mengatakan tidak penting apapun agamamu. Jika kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu. Kontributor: Sch. Wahyu Mega, S.J.

Pelayanan Masyarakat

“Mencari dan Menemukan Tuhan dalam Segala”

“Carilah Tuhan dalam segala sehingga seluruh dunia penuh dengan kehadiran cinta.” Mungkin kutipan singkat dari Pater Anthony De Mello, S.J. itu dapat menggambarkan isi pengalaman berharga yang kucari dan kutemukan selama aku melanglang buana bersama rekan-rekan terkasih di Seksi Pengabdian Masyarakat (SPM) Realino, Yogyakarta. Kisah yang kubagikan kali ini akan bercerita mengenai orang-orang hebat yang kutemui saat melakukan survei Beasiswa Pendidikan Realino. Kali pertama aku memulai perjalanan ini adalah dengan mengambil kesempatan terlibat membantu pendaftaran dan survei Beasiswa Pendidikan Realino. Secara singkat, beasiswa ini merupakan wadah bagi anak-anak yang mengalami kesulitan finansial untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Di sini, aku melihat banyak sekali orang yang sangat antusias mendaftar. Namun, dibalik antusiasme yang terlihat, ternyata mereka menyimpan segudang permasalahan hidup yang akhirnya membawa mereka sampai ke Realino SPM. Kisah pertama adalah ketika hatiku tersentuh mendengarkan cerita perjuangan seorang ibu yang membesarkan anaknya sendirian dengan segala keterbatasan. Sang ibu bercerita bahwa ia berpisah dengan suaminya karena tidak mau meninggalkan iman kepercayaan demi pasangannya. Hatiku sangat tersentuh. Sang Ibu tetap memegang teguh iman meskipun harus melalui banyak kepahitan di dalam hidupnya. Kisah kedua, aku berjumpa dengan situasi seorang anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya yang sudah berpisah. Kedua orang tuanya sudah tidak mau mengurusnya lagi sejak kecil. Beruntungnya, ada paman dan bibi yang mau merawat dan memperhatikannya, meskipun hidup mereka juga sangat terbatas. Dalam kesempatan refleksi, aku melihat bahwa perceraian atau perpisahan orang tua menjadi hal yang sangat buruk dan sedemikian berdampak pada anak dalam keluarga tersebut. Apalagi ketika anak akhirnya juga harus menjadi korban keegoisan orang tuanya. Kisah ketiga lebih menyayat hati. Seorang ibu yang selain berjuang mencari rezeki demi kebutuhan hidup dan pendidikan, dia juga harus kuat menerima kenyataan anaknya menjadi korban pelecehan seksual dan bullying. Beliau menguatkan hati anaknya di saat hatinya juga hancur. Apalagi seringkali anaknya berpikir bahkan pernah mencoba untuk mengakhiri. Ibu itu berusaha sekuat tenaga mencari sekolah terbaik meskipun sebetulnya tidak sanggup membiayai. Dia punya harapan besar agar anaknya tidak terus-menerus mengalami trauma. Sang ibu, beliau tetap memperjuangkan yang terbaik di tengah segala keterbatasannya. Ketiga kisah di atas adalah pengalaman perjumpaan yang menyentuh pikiran dan hati selama survei beasiswa. Perjumpaan dengan mereka menyadarkanku betapa kuatnya mereka menghadapi dan menjalani hari dengan segala perjuangan jatuh bangun sambil tetap beriman kepada Tuhan. Pada awalnya, aku berefleksi bahwa pasti mereka tidak langsung menerima begitu saja. Namun aku percaya bahwa keikhlasan hati dan kekuatan dari Tuhan menjadikan mereka mampu menerima segala sesuatu yang harus mereka jalani. Sisi pengalaman survei beasiswa lainnya adalah jalur atau rute survei menuju rumah-rumah keluarga calon penerima. Perjalanan survei beasiswa ini tidak selalu mudah dan menyenangkan. Adakalanya kami menemui berbagai tantangan dan kesulitan saat proses survei, seperti harus melewati lokasi yang ekstrem, takut menemui orang jahat, cuaca yang tidak mendukung, jalan yang terjal berkelok-kelok, dan sebagainya. Menariknya ketika hal itu terjadi, dalam refleksiku, Tuhan selalu mengirimkan malaikat-malaikat-Nya dalam wujud sesama manusia untuk menolong kami. Aku memahami itu sebagai bentuk pertolongan Tuhan atas niat baik yang hendak kami lakukan. Sahabatku, Faiz juga selalu menguatkan aku bahwa dengan mengatakan, “Anggaplah ini sebagai bentuk pelayanan dan pengabdian kita kepada Tuhan.” Selain mendapatkan pengalaman tentang kehidupan, kami juga diajarkan untuk dapat membuat pilihan atau keputusan bagi mereka atas beasiswa ini. Menurutku, “membuat pilihan dan keputusan adalah alasan utama kita datang bertemu mereka dan menemukan kehendak Tuhan di dalamnya.” Semoga keputusan yang telah kami sepakati merupakan kehendak Tuhan atas perjuangan dan doa yang mereka panjatkan selama ini. Aku berpesan untuk kita semua, “Jadilah malaikat untuk orang lain kapan pun kau bisa, sebagai cara untuk berterima kasih kepada Tuhan atas cinta yang diberikan kepada kita.” Perjumpaanku dengan mereka menunjukkan kepadaku bahwa bertemu dengan Tuhan bukanlah sebuah kebetulan atau menunggu waktu yang pas. Kita dapat menemukan Tuhan kapanpun dan di manapun, ketika kita mau mencari dan membuka diri akan kehadiran Tuhan. Kontributor: Anny Angelina S – Volunteer SPM Realino

Karya Pendidikan

Amor in Diversitate 

Keberagaman Indonesia Berkunjung ke pondok pesantren Roudhotus Sholihin adalah pengalaman pertama bagi kami KKL (Keluarga Kolese Loyola, sebutan untuk siswa/siswi Loyola) dalam melihat konteks keberagaman yang ada di Indonesia. Kami dapat melihat secara personal bagaimana kebiasaan dan kebudayaan yang terbangun di luar realitas yang dihadapi di komunitas Loyola. Dalam kunjungan ini ada 15 orang KKL yang didampingi oleh Pater Martinus Juprianto Bulu Toding., S.J., Bapak Antonius Novianto, dan Ibu Wening Putri Pertiwi. Kami juga mendapatkan bantuan dari Fr. Wahyu Mega S.J. dalam berkomunikasi dan berdiskusi dengan pihak pondok pesantren. Kunjungan ini semakin istimewa karena menjadi salah satu rangkaian dalam pendistribusian Gerakan Seratus Perak III. Gerakan ini merupakan upaya dari Dewan Keluarga Kolese Loyola (DKKL) dalam mewujudkan semangat berbela rasa dan compassion bagi masyarakat. Kegiatan ini memang masih baru dalam komunitas kami, sehingga masih ditemui banyak rintangan dalam mewujudkannya, baik dalam lingkup internal maupun eksternal. Namun secara perlahan kami mencoba membantu dengan menggalang donasi dalam rentang waktu yang ada. Situasi Komunitas Loyola saat ini sudah semakin majemuk dan heterogen dibanding situasi sebelumnya. Beberapa upaya telah dilakukan untuk memberikan hak yang sama kepada setiap KKL. Kami sadar bahwa setiap suku, budaya, dan kepercayaan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang telah menjadi salah satu fokus yang terus diperjuangkan. Meskipun dalam praktiknya masih banyak evaluasi dan masukan yang diperlukan untuk pengembangan hal tersebut, namun usaha untuk terlibat dalam dialog antaragama menjadi momen penting dalam mempererat kebhinekaan. Sungguh dalam kunjungan kali ini kami kembali disadarkan bagaimana memaknai keberagaman ini. Keberagaman bukan tentang mayoritas dan minoritas, tetapi tentang mencipta rasa dan makna. Apa yang diajarkan dalam setiap perbedaan pada dasarnya adalah sama, tetapi berbeda dari segi pengaplikasiannya. Kami sebagai Komunitas Ignatian menyadari tentang sikap lepas bebas, sebuah sikap di mana kita memiliki kebebasan dalam memilih keputusan atas diri kita namun memiliki tanggung jawab moral untuk memilih apa yang sesuai dengan kehendak-Nya. Hal serupa secara praktis diterapkan di Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin yang hadir di tengah-tengah pemukiman masyarakat. Kehadiran di tengah masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi para santri untuk memilih dan menimbang (discretio) bagaimana harus bersikap di tengah masyarakat. Sebagai manusia yang utuh bersama dengan perbedaan yang ada, kita harus saling merangkul dan memahami untuk menciptakan toleransi, saling menghargai dan kolaborasi dalam memajukan kehidupan bersama. Salah satunya melalui sarana dialog bersama. Dialog ini bertujuan untuk mengasah wiraga, wirama, wirasa, dan wirupa dalam setiap orang yang masih mencintai Tuhan serta tanah airnya. Pada kunjungan ini pula kami disambut dengan sedemikian hangatnya sebagai satu keluarga hingga diundang ikut serta dalam Mauludan. Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin adalah salah satu pioner pendidikan dalam menciptakan pribadi yang religius, beradab, dan berintelektual. Visi inklusivisme juga terwujud dari kesempatan yang diberikan Gus Abdul Kodir, pimpinan pondok pesantren, kepada kami saat berkunjung dan menerima para frater-frater Jesuit yang sedang menjalani Tahap Orientasi Kerasulan. Selain itu kami juga menemukan sesuatu yang berbeda di pondok pesantren ini, sebuah keberhasilan pendidikan karakter yang sangat baik. Generasi muda perlu terus menerus mendapat bimbingan untuk menjadi generasi masa depan yang humanis. Metode pembelajaran ini menjadi sebuah masukan yang berharga bagi kami di Komunitas Loyola dalam membimbing KKL. Kami berharap dengan kunjungan ini terbangun kesadaran dan relasi kolaborasi antara SMA Kolese Loyola dan Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin dalam pengembangan para siswanya. Bersama-sama mencetak pribadi yang kompeten dan memiliki hati nurani untuk membangun bangsa ini. Kami, Komunitas Loyola, akan terus membangun diri menjadi komunitas yang sungguh mewujudkan men and women for others tanpa melihat perbedaan yang ada. Komitmen untuk saling menghormati dan upaya-upaya kolaboratif menjadi potensi yang sangat berpengaruh dalam menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia. Ad Maiorem Dei Gloriam.  Kontributor: Michael Bryan Ardhitama – KKL Angkatan 72 SMA Kolese Loyola

Pelayanan Masyarakat

Menjadi Manusia Ekologis dan Mapan

Ulang Tahun KPTT ke-58 Pada 1 September 2023 kemarin, Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga berusia genap 58 tahun. Perayaan HUT KPTT Salatiga tahun ini mengangkat tema “Menjadi Manusia Ekologis dan Mapan.” Serangkaian acara dilaksanakan untuk memeriahkan ulang tahun KPTT ini, mulai dari diskusi bertema lingkungan dengan para pegiat lingkungan di Salatiga dan dinas terkait, seminar untuk meningkatkan kompetensi karyawan, perayaan syukur, edufair, jobfair, dan eco camp untuk kaum muda. Perayaan syukur ulang tahun KPTT dilaksanakan pada 2 September 2023. Hadir dalam acara tersebut antara lain Bapak Drs. Sinoeng Noegroho Rachmadi, M.M. (Pj. Walikota Salatiga), Bapak Dance Ishak Palit, M.Si. (Ketua DPRD Kota Salatiga), perwakilan Jesuit Provinsi Indonesia, Forkompincam, para pegiat lingkungan Salatiga, sekolah, universitas rekanan, perusahaan rekanan, dan para tamu undangan. Dalam sambutannya, Ketua DPRD mengapresiasi peran KPTT di Salatiga pada khususnya selama 58 tahun ini. “Saya mengapresiasi sumbangsih KPTT terhadap masyarakat tentang cara bertani dengan cerdas, dengan teknologi. Sudah banyak hal yang sudah dikerjakan oleh KPTT, bukan hanya khotbah. Semoga dengan adanya KPTT kita lebih menghayati kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita”, ungkap Pak Dance. Penjabat Walikota Salatiga, Drs. Sinoeng Noegroho Rachmadi, M.M. juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas kontribusi KPTT yang tiada henti dan ternyata menembus batas. “Tidak lagi pada sekat-sekat yang sifatnya eksklusif, tapi pada menghidupi kata migunani. Kalau kata anak millennial, tidak peduli dari mana kamu berasal, yang penting ke arah mana kamu menuju. Harapannya jangan pernah berhenti menyebarkan virus kebaikan dan migunani ini,” ujar beliau. Sejenak kilas balik, berdirinya KPTT Salatiga diprakarsai oleh Ikatan Petani Pancasila (badan sosial), IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (lembaga Pendidikan), dan Panitia Waligereja Indonesia (badan sosial keagamaan). KPTT Salatiga didirikan pada 1 September 1965 dan bernaung di bawah Yayasan Taman Tani. Tujuan awal berdirinya KPTT adalah memajukan perkembangan sosio-ekonomi khususnya di bidang agraria dengan menyelenggarakan kursus pertanian untuk membantu para petani dengan cara baru serta menjadikan petani-petani tersebut menjadi kader yang kompeten, mandiri, peduli, dan berhati nurani. Sampai saat ini, KPTT Salatiga menjadi salah satu rujukan untuk belajar modern farming, tidak hanya di bidang pertanian namun juga peternakan. KPTT menerapkan budidaya organik dan kembali ke alam. Salah satu contoh penerapannya adalah KPTT membuat sendiri dan menggunakan pupuk yang diperkaya dengan trichoderma untuk mengatasi bencana fusarium yang melanda tanaman-tanaman di KPTT. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Yayasan Taman Tani, Pater Petrus Sunu Hardiyanta, S.J. dalam sambutannya. Kala tahun 2017, KPTT dibuat pusing karena bencana fusarium ini. Pisang dibelah, dalamnya hitam. Bahkan jika membelah pohon pisang yang terkena fusarium, maka akan kita temukan bagian dalam batang yang juga menghitam. Lalu KPTT mencoba mencari teknologi tepat guna untuk melawan bencana fusarium ini. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa fusarium bisa dilawan dengan jamur juga, yakni trichoderma. Sejak saat itu, KPTT mulai belajar mengekstrak jamur trichoderma dari bahan alami kemudian ditambahkan ke dalam pupuk untuk merawat tanaman. KPTT terus belajar dan beradaptasi dengan tuntutan zaman. Direktur KPTT, Pater F.A. Sugiarta, S.J., mengajak kita semua untuk mendengar dan menanggapi seruan ciptaan. Sesuai dengan ajakan pemerintah Indonesia menuju Indonesia Maju 2045, saat ini KPTT sedang merancang profil manusia ekologis untuk mengembangkan sumber daya manusia Indonesia. Sesuai dengan tema ulang tahun saat ini, KPTT mengajak kita untuk menjadi manusia ekologis. Apa itu manusia ekologis? Manusia ekologis adalah manusia yang mempunyai hubungan harmonis dengan Tuhan, lingkungan alam, dan sesama. Diharapkan KPTT bisa menjadi salah satu pusat pendidikan ekologis, secara khusus di Salatiga dan Indonesia pada umumnya. Semoga Tuhan memberkati niat baik ini. Kontributor: Rosalia Devi – Boemi Svarga

Feature

Love, Service and Obedience

CINTA, PELAYANAN dan KETAATAN. Kata-kata ini mungkin cocok menjadi dasar dari pelajaran sekaligus pengalaman hidup berharga ketika saya menjadi seorang volunteer kurang lebih 1 semester ini. Salam kenal, saya adalah perantau dari salah satu daerah Timur Indonesia, akrab dikenal dengan Nusa Tenggara Timur. Saya datang ke tanah Jawa untuk menimba dan memperdalam pengetahuan saya dan belajar lebih banyak lagi. Kesan pertama saya ketika menginjakkan kaki di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bahwa tempat ini memiliki sejuta keindahan mulai dari tempat wisata, kekayaan kuliner, dan masyarakat yang begitu ramah dan baik. Ada pepatah mengatakan sekali mendayung 2 sampai 3 pulau terlampaui. Bisa jadi itu cocok dengan tujuan saya ke Yogyakarta. Selain melanjutkan studi, saya juga ingin membangun relasi dan memperluas wawasan dengan orang-orang dari daerah lain melalui komunitas yang ada di daerah istimewa ini. Komunitas Realino SPM (Seksi Pengabdian Masyarakat) merupakan salah satu komunitas yang menjadi wadah bagi saya untuk membangun relasi, memperdalam pengalaman, dan mengenal berbagai karakter pribadi yang saya jumpai. Dari awal kegiatan sampai dengan masa akhir ini saya mendapatkan banyak pengalaman berharga yang jadi pelajaran bagi kehidupan saya selanjutnya. Perasaan sedih dan gembira saya rasakan ketika berjalan bergandengan tangan bersama Komunitas Volunteer Realino dan teman-teman di Bongsuwung dan Jombor. Mereka sudah saya anggap seperti keluarga sendiri di tanah rantau. Secara khusus, saya menemukan semangat dan kegigihan anak-anak untuk terus belajar dan bangkit dari ketertinggalan mereka. Atmosfer ini menjadi motivasi tersendiri bagi saya untuk terus berjuang dan pantang menyerah di segala situasi. Di balik kekurangan yang mereka miliki, tidak ada kata mengeluh. Malahan saya melihat senyuman tulus dari kesederhanaan yang mereka pancarkan setiap kali kegiatan bersama. Maka beginilah refleksi pengalaman saya. Cinta. Mungkin ini terdengar agak alay. Namun, setelah sekian lama saya kembali jatuh cinta bukan dengan seseorang tetapi dengan dengan komunitas (Realino SPM). Komunitas ini telah memberikan warna baru bagi kehidupan saya untuk mengabdikan diri dan membagikan kasih kepada mereka, anak-anak dampingan di Komunitas Belajar Realino di Jombor dan Bongsuwung. Pelayanan. Dari cinta yang saya temukan di komunitas ini, hati saya tergerak berbagi kasih dalam bentuk pelayanan kepada anak-anak Jombor dan Bongsuwung. Kasih yang kami berikan kepada mereka adalah wujud pemberdayaan bagi kaum pinggiran yang ingin bangkit dari ketertinggalan. Kegiatan yang dilakukan sederhana, yaitu setiap Sabtu membantu mereka mengekspresikan bakat dan kemampuan yang mereka miliki, khususnya di bidang keterampilan bahasa Inggris. Ketaatan. Dari cinta yang membentuk kasih pelayanan, akhirnya berujung pada sebuah ketaatan bagi pribadi saya dan teman-teman volunteer lain terus berkomitmen membagikan cinta kasih kepada anak-anak Jombor dan Bongsuwung dan akhirnya kepada semua pribadi yang ditemui. Setiap pengalaman belajar yang saya dapatkan saat bersama anak-anak di komunitas ini membuat saya tumbuh lebih dewasa dalam segala hal. Komunitas ini memberikan banyak pelajaran kepada saya. Salah satunya adalah bahwa menjadi pribadi yang tangguh membutuhkan kemauan berkorban, baik dalam bentuk love, service maupun obedience. Saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada anak-anak Jombor dan Bongsuwung yang sudah memberikan warna cerah dalam hidup saya. Mereka juga mengubah pandangan saya terhadap dunia, yaitu bahwa kebahagiaan itu tidak harus mewah. Dalam hal-hal yang sederhana pun bisa ditemukan kebahagiaan. Kontributor: Yohanes Ike Sili Ndarung – Volunteer Realino SPM