Pilgrims of Christ’s Mission

Jesuits

Karya Pendidikan

Kemah Budaya Wujudkan Budaya Baik

Pendidikan Pramuka adalah salah satu proses pembentukan kepribadian, kecakapan hidup dan akhlak mulia sesuai dengan Tri Satya dan Dasa Dharma. Hal tersebut senada dengan Misi Yayasan Kanisius yaitu menyelenggarakan pendidikan yang unggul agar peserta didik berkembang menjadi pribadi yang pancasilais, cerdas, dan berkarakter.   Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta dalam rangkaian kegiatan HUT ke-106 tahun mengadakan kegiatan Jambore Penggalang Kanisius di Bumi Perkemahan Prambanan. Kegiatan ini dilaksanakan pada 16-18 Oktober 2024 dan diikuti oleh 1.008 peserta dari seluruh sekolah Kanisius di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Kepanitiaan Jambore Penggalang ini melibatkan 102 pembina dari semua sekolah tersebut. Sekolah Kanisius di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi dalam 6 KSK (Komunitas Sekolah Kanisius), yaitu Kulon Progo, Sleman Barat, Sleman Timur, Kota Yogyakarta, Bantul, dan Gunungkidul.     Jambore Penggalang Kanisius tahun ini bertajuk Kemah Budaya. Hal tersebut yang melatarbelakangi terpilihnya Bumi Perkemahan Candi Prambanan sebagai tempat diadakannya acara. Adik-adik penggalang dikenalkan berbagai peninggalan bersejarah yang ada di komplek Candi Prambanan dengan melakukan jelajah candi. Selain itu, mereka juga diajak untuk menyaksikan Sendratari Ramayana sebagai salah satu peninggalan budaya Indonesia. Lebih luas lagi, pengenalan kebudayaan nasional dilakukan melalui kegiatan Defile Nusantara yang diperankan oleh adik-adik dari 6 KSK tersebut. Pembagian wilayah Defile Nusantara sebagai berikut:  KSK Kulon Progo mengusung budaya Sulawesi KSK Sleman Barat mengusung budaya Bali KSK Kota Yogyakarta mengusung budaya Papua KSK Bantul mengusung budaya Kalimantan KSK Sleman Timur mengusung budaya Sumatera KSK Gunung Kidul mengusung budaya DIY   Pada saat defile adik-adik penggalang masing-masing KSK menampilkan berbagai pertunjukan kesenian daerah sesuai dengan pembagian yang sudah diberikan. Tari-tarian dan nyanyian daerah menyemarakkan Defile Nusantara siang itu.     Jambore Penggalang Kanisius tahun ini juga mengusung kearifan lokal Yogyakarta melalui kegiatan wisata kuliner tradisional khas Yogyakarta, seperti peyek belut, jadah tempe, slondok, madu mangsa, manggleng, marning, dan sebagainya.   Rangkaian kegiatan Jambore Penggalang Kanisius ini diawali dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Pater J. Heru Hendarto, S.J. sebagai selebran utama dengan konselebran PP Aria Dewanto, S.J., Thomas Surya Awangga, S.J., Azismardopo Subroto, S.J., Rm. Herman Yoseph SS, Pr, dan Rm. AR. Yudono Suwondo, Pr. Setelah perayaan Ekaristi, acara dilanjutkan dengan upacara pembukaan.   Kepala Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta Ibu Nur Sukapti, S.Pd. melakukan pemukulan gong yang diikuti dua kali tepuk pramuka oleh seluruh peserta menjadi tanda dibukanya kegiatan. Upacara pembukaan diakhiri dengan laporan persiapan pelaksanaan kegiatan Jambore Penggalang Kanisius oleh Kak Yanuar Setyarso dan Kak Kensi Jati Hananingrum selaku Ketua 1 dan 2.   Jambore Penggalang Kanisius kali ini mengusung tema “Penggalang Kanisius Tak Gentar” : Penggalang Kanisius Terlibat Aktif, Generasi Tangguh, dan Reflektif. Dengan tema tersebut, adik-adik penggalang Kanisius diharapkan semakin terlibat aktif, tangguh, dan reflektif dalam menghadapi tantangan zaman saat ini. Perkemahan ini dikemas dengan dinamika kampung, di mana setiap kampung dipimpin oleh lurah dan carik. Dalam dinamika kampung ini dilakukan banyak kegiatan yang diharapkan dapat menumbuhkan karakter tangguh, pantang menyerah, tidak rapuh, dan selalu gembira. Selain itu, adik-adik penggalang dilatih menjadi Generasi Reflektif sebagai salah satu penguatan nilai dasar Kanisius (Kedisiplinan, Keunggulan, Kepedulian, Kejujuran, dan Kemerdekaan). Dalam kegiatan perkemahan Jambore Penggalang Kanisius ini, adik-adik diajak untuk berefleksi dan merumuskan aksi sebagai tindak lanjutnya. Harapannya, kegiatan refleksi dan aksi ini menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.     Dalam Jambore Penggalang Kanisius para pembina pendamping menemani adik-adik penggalang untuk berpetualang selama tiga hari dua malam. Kakak-kakak pembina memfasilitasi adik-adik dalam bekerja sama dan peduli terhadap teman serta lingkungan. Kepedulian lingkungan diwujudkan dengan menjaga kebersihan dan kerapian tenda serta pemilahan sampah di kampung masing-masing. Selain itu, adik-adik penggalang juga diajak bergembira melalui fun game dan dinamika keterampilan kepramukaan.   Kegiatan Jambore Penggalang Kanisius ini juga memperhatikan keamanan dan keselamatan bagi para peserta kemah maupun pembina pendamping (Budaya Aman). Panitia bekerja sama dengan Rumah Sakit Panti Rini dalam rangka mengantisipasi keadaan darurat yang dapat terjadi selama kegiatan. Selain itu, tim P3K dari kepanitiaan juga siap memberikan pertolongan pertama sesuai prosedur keselamatan. Budaya aman juga diciptakan dengan membedakan lokasi tenda putra dan putri. Untuk tenda putra di kampung Tangguh dan Aktif sedangkan tenda putri di kampung Reflektif dan Integritas.   Jambore Penggalang 106 tahun Kanisius ini diharapkan menjadi fondasi yang kuat dalam membentuk pribadi yang cerdas dan berkarakter. Pembelajaran-pembelajaran baik dalam kegiatan ini, harapannya, dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik di keluarga, sekolah, gereja, maupun masyarakat. Semua dinamika ini juga menjadi usaha dalam mengimplementasikan UAP (Universal Apostolic Preferences) pokok menemani kaum muda menciptakan masa depan yang penuh harapan dan bekerjasama dalam merawat bumi rumah kita bersama.   Kontributor: Panitia Jambore Penggalang Yayasan Kanisius

Pelayanan Masyarakat

Berbagi Berkah

Sabtu, 14 September 2024 yang lalu, para frater PIC (penanggung jawab) nasi berkah berkumpul di unit Pulo Nangka bersama keluarga Ibu Fifi dan Ibu Kim. Selama ini Ibu Fifi dan Ibu Kim menjadi donatur kegiatan nasi berkah yang diadakan Kolese Hermanum. Dalam kesempatan ini hadir pula beberapa perwakilan dari lingkungan Fransiskus Asisi Wilayah 8. Mereka ingin belajar bagaimana menyelenggarakan program nasi berkah ini.   Pater Widy membuka acara dengan sesi perkenalan dari masing-masing yang hadir dan menjelaskan sejarah munculnya program nasi berkah ini. Program nasi berkah merupakan adaptasi dari program yang dilakukan oleh Ibu Fifi di sekitar lingkungan tempat tinggalnya ketika masa-masa pandemi. Di Kolese Hermanum sendiri, Pulo Nangka adalah unit pertama yang mengawali program ini dan kemudian meluas hingga ke empat unit lainnya (Kampung Ambon, Johar Baru, Kramat 6, dan Wisma Dewanto). Hingga saat ini, program nasi berkah telah berjalan kurang lebih selama satu tahun delapan bulan sejak Januari 2023.   Program nasi berkah ini dimulai dengan mencari warung makan di sekitar unit-unit yang mampu menyediakan makanan yang bersih dan enak. Setelah itu, dilakukan diskusi dengan pemilik warung apakah bersedia jika warungnya dijadikan tempat untuk menjalankan program nasi berkah. Kupon yang dibagikan bernilai sepuluh ribu, namun penerima kupon tetap harus membayar sejumlah dua ribu rupiah ke warung untuk bisa menggunakan kupon tersebut. Setelah sepakat dengan pemilik warung, maka PIC akan membayar sejumlah tiga ratus ribu ke pemilik warung, baru kemudian kupon dibagikan. Setiap minggu ada tiga puluh kupon yang dibagikan dan setiap akhir minggu PIC akan memeriksa dan membayar kupon tersebut sehingga warung tersebut selalu memiliki dana sejumlah tiga ratus ribu untuk menyiapkan makanan. Donasi yang diberikan tiap-tiap unit bisa sampai satu juta dua ratus ribu rupiah dalam setiap bulannya. Bagi warung makan yang bekerja sama dalam program ini tentu bisa menambah pendapatan mereka setiap bulannya, terutama bagi warung-warung makan kecil dan sederhana. Hal ini berarti juga tidak hanya penerima kupon yang menerima manfaat dan berkah tetapi juga warung makannya.     Dalam program ini, ada satu hal yang menarik, yaitu sebagian besar PIC dari masing-masing unit merupakan skolastik ekspatriat. Dalam cerita-cerita yang dibagikan selama acara, mereka merasa bahwa kesempatan menjadi PIC merupakan sarana bagi mereka untuk memperdalam kemampuan berbahasa Indonesia. Mereka merasa terbantu dalam mengembangkan kemampuan bahasa mereka, meski ketika awal-awal memulai program ini rasanya tidak mudah. Selain belajar bahasa, mereka juga mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan warga sekitar sekaligus belajar mengenai situasi masyarakat di Indonesia.   Nuansa yang terbangun dalam kesempatan ini adalah rasa syukur. Dalam cerita dan refleksi yang dibagikan, pengalaman membagikan kupon memberikan momen perjumpaan yang mengesan. Dari cerita yang dibagikan oleh frater Yohan, pengalaman membagi kupon membawanya pada momen saling mengenal satu sama lain dengan orang yang diberi kupon. Frater Yohan bisa berbincang dan mengenal latar belakang pribadi dan keluarganya, dsb. Melalui perjumpaan sederhana, sekat tak kasat mata yang bernama tidak peduli dan tidak kenal perlahan-lahan memudar. Dari cerita dan refleksi yang dibagikan oleh ibu Fifi, ternyata tindakan kecil bisa berdampak besar asalkan dilakukan dengan konsisten. Dari pengalamannya menjalankan program “bagi-bagi makan siang” di sekitar tempat tinggalnya, ada sebuah nilai penting yang muncul yaitu bagaimana cara menghargai orang lain dengan memberi sesuatu secara layak.   Dalam refleksi-refleksi yang dibagikan, ada beberapa hal penting yaitu bahwa ini merupakan bentuk panggilan untuk berjalan bersama orang yang miskin dan tersingkirkan, sebagaimana tertuang dalam UAP nomor dua. Program ini juga disadari sebagai suatu sarana untuk menunjukkan bahwa mereka tidak ditinggalkan di dunia, sehingga mereka mampu untuk merasakan kasih, rahmat, dan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka. Tuhan, dengan segala cara-Nya juga ikut berjalan bersama mereka.   Ada banyak nilai dan pengalaman berharga yang bisa dipetik dari program ini. Pengalaman yang dapat terus direfleksikan dan tentunya dibagikan kepada orang lain sehingga buahnya dapat dirasakan oleh banyak orang. Pertanyaannya adalah bersediakah kita menjadi sarana bagi Tuhan untuk menyalurkan rahmatNya pada setiap ciptaan-Nya di dunia?   Kontributor: S Christoforus Kevin Hary Hanggara, S.J.

Feature

BE THE BRIDGE FOR PEOPLE TO KNOW THE MEANING OF LIFE

Menjadi sebuah pertanyaan mengapa menjadi jembatan bagi masyarakat dapat membuat kita mengetahui makna hidup itu sendiri? Jembatan pada konteks ini memiliki arti sebagai perantara atau perpanjangan tangan untuk menghubungkan orang–orang yang mempunyai latar belakang yang beragam, memberikan dukungan kepada mereka yang membutuhkan, mengatasi ketidaksetaraan, dan mendukung adanya perubahan positif dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai mahasiswa yang memiliki hak istimewa untuk mendapatkan ilmu atau wawasan yang lebih sudah seharusnya kita memiliki sikap peduli terhadap kehidupan bersosial dan ikut terlibat untuk menjadi jembatan kepada mereka yang membutuhkan bantuan kita.   Peduli adalah salah satu dasar dari kebaikan manusia yang menjadi nilai penting dalam kehidupan bermasyarakat atau bersosialisasi. Namun pada era modern saat ini, tingkat kepedulian antar sesama mulai menurun dikarenakan kesibukan yang menjadikan sikap individualistis semakin meningkat. Rasa kepedulian seseorang dapat ditumbuhkan dengan berbagai cara namun tentunya sikap proaktif atau keinginan untuk terlibat menjadi jembatan itu sendiri. Cukup banyak cara yang dapat digunakan dan dilakukan untuk menumbuhkan rasa kepedulian dalam diri setiap masyarakat, salah satunya yaitu menjadi relawan dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial.     Saya pernah menjadi sukarelawan di suatu seksi pengabdian masyarakat yang ada di kota Yogyakarta. Pengabdian ini bertujuan untuk membentuk suatu komunitas belajar pada desa yang tidak memiliki akses pendidikan yang layak. Motivasi saya untuk bergabung menjadi relawan yaitu karena adanya keinginan saya untuk membagikan ilmu yang saya miliki kepada mereka yang membutuhkannya dan mengembangkan nilai–nilai sosial yang ada.    Dari kegiatan sosial tersebut saya mendapatkan banyak pelajaran akan makna kehidupan, salah satunya saya melihat bahwa setiap manusia itu berharga dan memiliki potensi dalam diri mereka masing-masing.    Sudut pandang manusia terhadap kehidupan tentunya berbeda–beda dan cara memaknai kehidupan juga tentunya berbeda namun nilai–nilai sosial itu tidak akan pernah berubah. Menjadi orang yang peduli tentunya tidak akan pernah memberikan makna yang tidak baik, melainkan mengajarkan kita akan banyak makna kehidupan. Dengan menunjukkan rasa peduli kita akan sesama, kita juga mendapatkan suatu hal baru yang sangat berharga di dalam hidup kita dan menjadi paham akan makna dari kehidupan itu sendiri.   Tunjukkanlah rasa peduli dengan mengatakan “aku peduli” dan lakukan tindakan nyata sebagai bentuk jalan pengabdian.   Kontributor: Monayanti Simanjuntak – Volunteer Realino SPM

Karya Pendidikan

UAP dalam Konteks Formatio Iman Berjenjang dan Berkelanjutan

Michael College Ministry (MCM) Surakarta pada Minggu, 15 September 2024 menyelenggarakan kegiatan Bincang Santai Spiritualitas Ignatian: UAP dalam Konteks Formatio Iman Berjenjang dan Berkelanjutan. Ini merupakan rangkaian kegiatan Ignatian Day di Aula Politeknik ATMI Surakarta. Kegiatan ini dihadiri  48 orang, yang terdiri atas para guru agama Katolik dari SMP/SMA/SMK yang dikelola Lembaga Pendidikan  Katolik dan para katekis dari paroki-paroki yang berada di Kota Surakarta dan sekitarnya. Hadir pula beberapa kepala sekolah SMA dan SMK dari sekolah yayasan Katolik serta biarawan dan biarawati. Tema yang diangkat dalam kegiatan ini Memupuk Iman dalam Kegalauan Sehari-hari dengan narasumber Pater Albertus Bagus Laksana, S.J. Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.   Tahun Peziarahan Harapan  Dewasa ini, salah satu tantangan iman yang dihadapi Gereja adalah hilangnya harapan. Harapan merupakan dasar dalam menjalani hidup. Seorang peziarah yang tanpa harapan sama artinya dengan peziarahan tanpa tujuan. Itulah mengapa harapan begitu penting, terutama bagi kaum muda. Hal inilah yang menjadi dasar Paus Fransiskus menetapkan tahun 2025 sebagai tahun peziarahan harapan.   Banyak orang tua yang hidup sendirian kehilangan harapan akan hari tuanya. Keluarga muda yang harus menanggung beban ekonomi atau menjadi sandwich generation kehilangan harapannya untuk menabung demi masa depan. Anak-anak yang sejak dini sudah terpapar banjir informasi yang tidak bisa dikelola sesuai dengan usianya mengalami keputusasaan dengan situasi saat ini. Para pendidik, pembimbing, guru, dan katekis dipanggil untuk melakukan pendampingan yang sesuai bagi kaum muda agar tidak kehilangan harapan, selaras dengan salah satu tema UAP (Universal Apostolic Preferences) yaitu menemani kaum muda menemukan masa depan yang penuh harapan. Para pendidik, pembimbing, guru, dan katekis diajak mengenal spiritualitas Ignatian untuk mendampingi kaum muda.   “Apakah pendampingan kita cukup kuat untuk memberikan pengharapan bagi anak-anak dan kaum muda?” tanya Pater Bagus Laksana. Ini menjadi pertanyaan reflektif bagi seluruh peserta.    Kasus-kasus terkini Akhir-akhir ini sering terdengar kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri. Banyak orang menderita, depresi, dan mengalami tekanan. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain tekanan hidup, kematangan otak yang belum tercapai, banjir arus informasi serta faktor biologis, psikologis dan sosial.   Usaha pencegahan dan mengatasi depresi Remaja sekarang sudah terpapar begitu banyak arus informasi bahkan sejak mereka kecil. Banyaknya arus informasi ini tidak sepadan dengan kematangan otak mereka dalam memproses informasi yang ada. Sedangkan kematangan otak manusia baru terjadi pada usia 25 tahun. Itulah mengapa banyak remaja yang ditemukan mengidap depresi. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI 2023) angka tertinggi pengidap depresi terjadi di usia 15-24 tahun. Depresi yang tidak tertangani bisa memicu seseorang untuk melakukan percobaan bunuh diri. Bunuh diri adalah puncak dari masalah kesehatan mental masyarakat dan menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di dunia.    Dalam masyarakat orang yang mengalami depresi atau melakukan percobaan bunuh diri dicap tidak beriman kuat. Lalu, bagaimana dengan formatio iman? Sebagai pendamping orang muda, kita melakukan perjumpaan fisik (hadir secara langsung), memberikan perhatian serta dukungan dan mendengarkan serta memberi ruang bagi mereka. Stop menghakimi permasalahan yang sedang mereka hadapi. Selain itu juga dengan menaikkan citra diri, perlunya kehadiran orang tua dalam mendampingi dan meningkatkan resiliensi mental.   Membendung banjir arus informasi harus dilakukan di sekolah-sekolah agar anak tidak menerima informasi-informasi palsu dan memberikan tekanan pada otak yang mestinya tidak perlu dipikirkan. Ponsel bisa tidak digunakan ketika kegiatan belajar-mengajar sekolah. Hal ini sudah dilakukan di negara Amerika. Mereka dipaksa untuk tidak memakai ponsel sehingga sekolah menyediakan laptop atau PC untuk pembelajaran.     Apa peran spiritualitas Ignatian?  Spiritualitas Ignatian mengajak pembimbing mendampingi anak muda untuk melakukan latihan rohani sehingga menumbuhkan motivasi melalui pembedaan roh dan juga diskresi. Orang muda diajak untuk tidak memikirkan hal-hal traumatik, kegagalan masa lalu, dan memandang masa depan dengan suram. sebaliknya, mereka diajak untuk memiliki pengharapan.    Dalam menumbuhkan pengharapan, kita bisa dengan mengajak orang muda untuk terlibat dan ikut pelayanan untuk melatih bela rasa, contohnya membantu menjaga lansia. Tak jarang sebagai manusia kita mengalami kebosanan iman dan ini dapat diatasi dengan membangkitkan selera iman. Selera iman adalah mencari cara-cara agar kaum muda bisa bertumbuh dalam iman. Misalnya untuk Ignatian, melakukan perjalanan ziarah dari Puri Loyola sampa Manresa dengan jalan kaki.    Pater Bagus Laksana mengajak peserta untuk menyadari tujuan manusia diciptakan, yakni memuji, menghormati, dan mengabdi Allah dalam Spiritualitas Ignatian. Hal ini juga digunakan dalam mendampingi orang muda yang sedang galau untuk mengingat tujuan utama hidup dan mampu memilih hal mana yang terpenting bagi hidup mereka. Pater Bagus Laksana juga menjelaskan sedikit mengenai pembedaan Roh, desolasi dan konsolasi, dan mengenal roh baik dan roh jahat.   Keterbatasan pembimbing atau pendamping kaum muda Pada pertemuan ini muncul tanggapan bahwa di  “lapangan,” baik itu di sekolah negeri maupun swasta dan juga di paroki, pembimbing yang mendampingi anak dengan spiritualitas Ignatian masih sedikit, bahkan bisa dibilang tidak ada. Pendamping kaum muda itu kebanyakan sukarelawan yang sering kali tidak menerima pembekalan apapun. Menanggapi hal tersebut Pater Bagus Laksana mengungkapkan bahwa spiritualitas Ignatian memang perlu menjadi  gerakan dan jaringan yang menyentuh orang dalam hidup sehari-hari. Perlu keterlibatan banyak orang, perlu alokasi sumber daya dari Gereja, dan perlu pendampingan berjenjang. Pelajaran agama di sekolah dilakukan sebagai bagian formatio iman dan pendampingan iman.    Kontributor: F.X. Juli Pramana – YKC Surakarta

Karya Pendidikan

Kehangatan Kasih dari Mereka yang Tersingkir

Compassion Week Sekolah-sekolah yang dikelola oleh para Jesuit di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan sekolah-sekolah lainnya. Salah satu kekhasannya adalah memiliki nilai-nilai dasar (core values) yang dikenal dengan istilah 4C (Competence, Conscience, Compassion, Commitment). Nilai-nilai dasar tersebut juga dirumuskan dalam profil pelajar SMK Katolik St. Mikael Surakarta. Dalam rangka pengembangan core values 4C yang berkelanjutan dengan berfokus pada pengolahan hati nurani dan belarasa siswa terhadap sesama, SMK Katolik St. Mikael Surakarta mengadakan kegiatan Compassion Week yang dilakukan oleh siswa-siswi kelas XI dengan tujuan untuk melatih dan mengembangkan kepekaan siswa dalam bersimpati serta berempati terhadap orang-orang yang kurang mendapatkan perhatian. Pada kegiatan ini, siswa dan siswi dikirim ke tempat-tempat karya sosial yang berada di dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti SLB Karya Bhakti (Purworejo), Hellen Keller Indonesia (Yogyakarta), School of Life (Semarang), Pangon Utomo (Surakarta), Adullam Ministry (Sukoharjo), Panti Wredha (PW) Dharma Bhakti (Wonogiri), PW Salib Putih (Salatiga), PW Maria Sudarsih (Ambarawa), SLB Dena Upakara (Wonosobo), dan lain lain.   Compassion Week tahun 2024 ini dibagi menjadi dua gelombang. Gelombang pertama diadakan pada 5-9 Agustus 2024 dan gelombang kedua akan diadakan pada 11-15 November 2024. Selama kegiatan itu, para siswa tidak diperkenankan membawa alat komunikasi apapun agar mereka dapat fokus dan masuk ke dalam dinamika tempat mereka diutus. Pada kesempatan kali ini, penulis mendapatkan kesempatan melakukan Compassion Week gelombang pertama yang bertempat di The School of Life, Semarang. School of Life merupakan rumah sekaligus sekolah untuk orang-orang yang memiliki gangguan jiwa dan orang-orang terbuang. Banyak pengalaman luar biasa yang didapatkan penulis selama mengikuti Compassion Week. Pengalaman-pengalaman itu sangat berharga bagi kami dan dapat digunakan sebagai sarana untuk menyelami lebih dalam (duc in altum) lingkungan sosial di sekitar kita. Selain itu, muncul pula pergulatan batin dalam diri kami selama mengikuti Compassion Week yang ternyata tanpa sadar menumbuhkan rasa peduli terhadap orang-orang yang tersingkir.   Di School of Life, kami berjumpa dengan Ibu Priskilla Smith Jully yang merupakan pendiri tempat ini. Ibu Priskilla banyak bercerita kepada kami mengenai kisah hidupnya yang sangat inspiratif. Kami sangat terkesan dengan Ibu Priskila yang meskipun tunanetra sejak lahir namun memiliki banyak prestasi yang luar biasa. Kami terinspirasi oleh dedikasi dan keberanian beliau dalam membangun School of Life.     Di awal kedatangan, kami diajak berkeliling memasuki kamar teman-teman disabilitas yang ada di sana. Awalnya kami merasa sedikit takut. Namun setelah masuk, berkenalan, dan bersalaman dengan mereka, pandangan kami mulai berubah. Ternyata mereka tidak mengerikan seperti yang kami bayangkan. Mereka merupakan pribadi-pribadi yang menyenangkan dan unik.   Selama lima hari tinggal di sana, kami banyak berdinamika dengan para penghuni School of Life. Kami membantu merawat para penghuni, memandikan, menyuapi, dan membimbing mereka dalam membaca Alkitab. Kegiatan harian dimulai sejak pagi hingga malam hari. Awalnya kami merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan rutinitas yang ada di panti, terutama karena harus berinteraksi dengan para penghuni yang membutuhkan perlakuan khusus. Aroma kurang sedap di kamar mereka dan lingkungan yang berbeda dari biasanya membuat kami merasa tidak nyaman. Namun, seiring berjalannya waktu, kami mulai terbiasa dan menemukan kebahagiaan dalam membantu mereka. Selain itu, kami juga membantu berjualan sembako dan pakaian di halaman depan panti. Hasil dari penjualan tersebut nantinya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan para penghuni School of Life. Di malam terakhir, kami tidur bersama mereka di satu ruangan yang sama tanpa adanya pembatas. Hal itu menjadi pengalaman berkesan bagi kami dan tidak terlupakan. Bukan kami yang berbagi dengan mereka melainkan merekalah yang berbagi dengan kami.   Compassion Week ini mengajarkan kami banyak hal, terutama mengenai arti dari compassion. Kami belajar bagaimana memberikan hati dan waktu untuk mereka yang membutuhkan dan juga menerima orang lain tanpa melihat perbedaan. Kami juga banyak belajar dari Ibu Priskilla yang memiliki keterbatasan namun dapat berbuat sesuatu yang berguna bagi orang lain. Kami pun juga belajar arti sebuah keluarga dari para penghuni School of Life. Mereka saling membantu satu sama lain dan berkegiatan bersama dengan mencuci piring, mengepel, dan menyapu ruangan bersama. Mereka hidup bersama layaknya satu keluarga. Kami bersyukur atas perjumpaan kami dengan para penghuni School of Life yang penuh kasih dan kehangatan. Perjumpaan ini sangat singkat, namun sangat bermakna bagi hidup kami yang masih panjang.   Kontributor: Pamela Desiana Christy dan Muhammad Dafa Raditia –  SMK Kolese Mikael Surakarta

Karya Pendidikan

“Berguru di Pegunungan Seribu”

Live-in Kolese Gonzaga 2024 Mentari mulai merekah di ufuk timur ketika tujuh bus yang membawa rombongan siswa kelas XI SMA Kolese Gonzaga mulai mendaki Bukit Pathuk dan melewati slogan bertuliskan Gunung Kidul – Handayani. Panorama indah kota Yogyakarta yang terlihat dari Bukit Bintang seakan menyambut para peserta live-in, yang terlihat masih menyimpan rasa kantuk namun juga penasaran tak sabar ingin segera sampai di lokasi.    Kerja sama Sekolah dengan Paroki Santo Petrus Kanisius Wonosari Live-in Kolese Gonzaga merupakan kegiatan rutin sekolah bagi siswa kelas XI. Pada tahun 2020, sebenarnya Kolese Gonzaga juga merencanakan live-in di Gunung Kidul, namun dua hari menjelang keberangkatan, pemerintah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat Covid-19, sehingga live-in Kolese Gonzaga saat itu, terpaksa harus dibatalkan.    Tahun ini live-in Kolese Gonzaga yang diselenggarakan pada 8-13 September 2024, mengambil tema “Peduli Lingkungan, Peduli Sesama, Peduli Diri Sendiri.” Live-in tahun ini terselenggara berkat kerjasama antara sekolah dengan Paroki Santo Petrus Kanisius Wonosari, Gunung Kidul. Romo Nobertus Sukarno Siwi, Pr. dan Romo Yohanes Riyanto, Pr. yang merupakan pastor paroki memberikan izin penyelenggaraan live-in Kolese Gonzaga, sehingga 275 siswa dan 18 pendamping dapat berkegiatan di 14 lingkungan yang berada di desa Gunungsari, Trengguno, Kalangbangi, Nitikan, Kwangen, Semanu, Pokdadap, Jati, Petir, dan Cuwelo.     Live-in sebagai Sarana Formasi Karakter  Kurikulum Merdeka memberi keleluasaan sekolah untuk mengimplementasikan Proyek Penguatan Pelajar Pancasila (P5) dengan tujuan untuk membentuk Pelajar Pancasila yang beriman, berkebhinekaan global, mampu bergotong royong, mandiri, kritis, dan kreatif. Hal ini terwujud lewat penanaman core values sekolah yakni Competence, Conscience, Compassion, Commitment, dan Humility serta Integrity dalam  live-in.    Gunung Kidul dipilih sebagai lokasi live-in karena konteks masyarakatnya yang beragam, agraris, dan cukup terbuka. Mereka terlibat dalam dinamika harian keluarga dan masyarakat desa. Pada bulan September di wilayah Gunung Kidul yang sistem pertaniannya tadah hujan, tidak ada aktivitas penanaman. Pekerjaan pertanian yang ada adalah memetik kacang hijau, menggemburkan tanah ladang, mengolah hasil pertanian, seperti membuat gaplek, mengupas kacang, memipil jagung, membuat keripik-keripik singkong, dan mencari pakan ternak.    Berkegiatan bersama keluarga dalam masyarakat pedesaan menghadapkan para siswa dengan suatu pengalaman merasakan perjuangan para penyedia bahan pangan bagi banyak orang. Nasi, sayur, buah, dan lauk pauk yang tersaji di meja makan sesungguhnya adalah hasil proses yang panjang. Petani dan peternak menempati garda depan di dalamnya yang menguras peluh dan kadang juga air mata. Mereka tak pernah takut bekerja di bawah sengatan sinar matahari. Ada berbagai perbincangan yang terjadi saat para siswa diajak wedangan bersama keluarga asuh. Perbincangan tentang bagaimana mengatasi kegagalan panen, menghadapi kemarau panjang dan kekeringan, bagaimana bertahan saat harga hasil panen anjlok di pasaran, maupun saat terjadi wabah tetelo ataupun anthrax pada ternak.       Setiap malam, siswa merefleksikan berbagai peristiwa yang mereka alami sepanjang hari tersebut. Ada banyak hal menyentuh dari hasil refleksi para siswa. Banyak yang merasa tertampar dengan apa yang mereka saksikan. Betapa selama ini ada banyak kenyamanan hidup yang mereka nikmati di kota, baik akses transportasi yang mudah, kamar ber-AC yang sejuk, makanan yang sudah tersaji, serta berbagai kemudahan lainnya. Tiara dan Abel yang menempati rumah Mbah Rubiyem, tekun membantu mbah Rubiyem membuat tempe. Mereka membungkus kacang kedelai yang sudah direbus dan diberi usar dengan daun jati serta daun awar-awar. Meskipun tangan mereka bekerja, namun pikiran dan hatinya tertuju pada sosok Mbah Rubiyem yang sudah berumur 80 tahun yang tak pernah mau berdiam diri. Beliau masih mengurus ladang dan ternak, meskipun anak-anaknya di perantauan mengirimkan uang setiap bulan.     Pater Eduard Calistus Ratu Dopo, SJ. selaku Kepala Sekolah dan Pater Yulius Suroso, SJ. selaku moderator Kolese Gonzaga, secara terpisah mengunjungi siswa secara acak dari desa ke desa dan berdialog dengan siswa. Aradea dan Aquinas menyatakan rasa syukurnya ditempatkan di rumah Keluarga Hartono di Dusun Pokdadap yang berjarak 15 km dari kota Wonosari. Mereka belajar dari keluarga tersebut mengenai arti kebahagiaan di tengah situasi “Adoh ratu, cedhak watu”. “Adoh Ratu” artinya jauh dari pemerintahan sehingga fasilitas terbatas, sedangkan “cedhak watu” atau dekat bebatuan. Di Gunung Kidul memang banyak batu. Bukit-bukitnya pun berupa bukit batu kapur sehingga tidak semua lahan dapat dipakai untuk bercocok tanam.    Dalam live-in ini para siswa juga mengikuti pertemuan lingkungan dalam rangka Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN), dan berlatih seni budaya. Ada berbagai kesenian yang diperkenalkan dan dipelajari, antara lain tari Reog, Jathilan, tari Nawang Jagad, bermain gamelan, mewiru kain dan mengenal busana adat Jawa. Kegiatan ini bertujuan untuk mengolah rasa, dan menanamkan kecintaan akan budaya tanah air. Ada tradisi-tradisi yang kemudian diperkenalkan juga kepada para siswa untuk menjaga lingkungan, misalnya Tradisi Rasulan atau memetri desa dan tradisi Gugur Gunung yang dilakukan secara berkala untuk membersihkan lingkungan desa.      Live-In sebagai Sarana Formasi Intelektual  Alam dan masyarakat adalah sumber belajar dan laboratorium yang sangat bagus. Live-in, tidak hanya untuk mem-formasi karakter, tetapi juga mengembangkan kemampuan intelektual siswa dengan penerapan metode ilmiah. Sebelum berangkat live-in, para siswa diwajibkan untuk mempelajari berbagai hal terkait Gunung Kidul, baik kondisi geografis, sosial ekonomi budaya, keberagaman masyarakat, ekologi maupun keanekaragaman hayatinya. Mereka juga belajar menggunakan analisis SWOT dan design thinking secara sederhana. Saat berada di lokasi live-in, mereka melakukan observasi sederhana, melakukan konfirmasi teori yang telah mereka pelajari, serta melakukan analisis terhadap berbagai fenomena yang mereka temukan.    Sepulang live-in, kelompok-kelompok kerja mengumpulkan berbagai informasi hasil observasi dan melakukan diskusi. Permasalahan-permasalahan yang mereka temukan saat live-in dikumpulkan, lalu setiap kelompok memilih satu permasalahan yang kemudian dibahas secara ilmiah untuk menemukan alternatif-alternatif solusinya. Alternatif solusi ini kemudian diwujudkan dalam ide rancangan prototype. Permasalahan yang paling banyak dipilih oleh siswa adalah masalah keterbatasan air untuk pertanian. Berbagai ide yang muncul antara lain adalah penggunaan sistem drip irigation, desalinasi air laut, dan penangkapan uap air. Banyaknya anak muda yang meninggalkan desa merupakan masalah sosial yang teramati dengan jelas. Petani yang ada saat ini mengolah lahan pertanian sebagian besar adalah lansia. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan krisis sumber daya manusia di bidang pertanian yang berujung pada krisis pangan di masa depan. Ide-ide yang muncul sebagai solusi antara lain, bagaimana mengubah image petani agar menarik anak muda menjadi petani keren berteknologi tinggi dengan penggunaan AI, drone untuk penyemprotan hama, dan

Provindo

“Dewanto Pastor Bonus”

Pater Tarcisius Dewanto, S.J. dilahirkan pada 18 Mei 1965 di Magelang. Ia masuk novisiat Serikat Jesus di Girisonta pada 7 Juli 1987 dan menjalani dua tahun masa novisiatnya di Girisonta. Ia ditahbiskan menjadi imam di Yogyakarta, Indonesia pada 14 Juli 1999 bersama sepuluh Jesuit lainnya. Setelah tahbisan imam, Pater Dewanto mendapatkan tugas pertama membantu pelayanan pastoral di Paroki Suai, Keuskupan Dili.   Keadaan menegangkan di Suai dan semakin meningkat sejak 4-5 September 1999 setelah jajak pendapat diumumkan. Situasi memanas hingga timbul huru-hara antara kelompok Pro-kemerdekaan dan pro-integrasi. Menjelang sore, tujuh anggota milisi beserta komandannya bersenjata lengkap mengepung Gereja dan Pastoran Suai. Pater Dewanto melihat ada keributan kemudian keluar dan berusaha melerai. Namun seketika itu ia diberondong tembakan dan terlihat orang mengayun-ayunkan parang kepadanya. Penyerangan ini memakan korban jiwa, dua imam diosesan tewas dan satu Jesuit, Pater Dewanto.    Pada 20 Agustus 2024 yang lalu, Pater Sarmento, Jesuit dari Regio Timor Leste, bersama dengan enam orang imam Jesuit merayakan 25 tahun tahbisan di Gereja Santa Perawan Maria Ratu, Jakarta. Berikut ini adalah kutipan homili Pater Sarmento, S.J. dalam perayaan Ekaristi 25 tahun tahbisan Imamat.   Beberapa hari yang lalu, dalam rangka mempersiapkan perayaan 25 tahun tahbisan Imamat, teman-teman mendaulat saya untuk menjadi homilist. Saya mengatakan, kalau Pater Provinsial yang memimpin misa berarti beliau yang akan menyampaikan homili. Namun Pater Provinsial ternyata meminta salah satu dari para Jubilaris untuk menyampaikan homili. Dan saya bilang seharusnya tuan rumah Paroki Blok Q, yaitu Pater Kris. Tapi Pater Kris beralasan umat sudah bosan dengan homilinya. Saya masih menego, “Perintah Provinsial Benny itu ditujukan kepada anggota Jesuit Indonesia, saya kan sudah bukan anggota Provindo, hahahaha.” Dan akhirnya saya menerima, satu lawan enam orang saya tidak bisa. Dan saya menerima ini dengan syukur sebagai tanda kepercayaan. Kalau memilih saya, ya harus siap menanggung risikonya, karena kami orang tinggi ini, untuk bicara pendek itu susah sekali. Pater-pater semakin bertambah usia, semakin panjang bicaranya. Ada yang bicara panjang seperti radio rusak, dicopot baterainya ya tetap bunyi.     Ya, 25 tahun lalu, kami bersebelas ditahbiskan menjadi imam di Yogyakarta oleh Mgr. Ignatius Suharyo, sekarang beliau seorang Kardinal. Dalam perayaan ini hanya 7 orang yang hadir, yaitu PP Adrianus Suyadi,S.J.,  Roberthus Rimmin, S.J., Antonius Widyarsono. S.J., Gregorius Soetomo, S.J., Adrianus Herry Wijayanto, S.J., Augustinus Setyo Wibowo, S.J.,Athanasius Kristiono Purwadi, S.J.,  dan Joaquim Sarmento, S.J.. Pater Gregorius Soetomo, S.J. sekarang ini sedang bertugas di Manila, Filipina, dan Pater Yohanes Sudriyanto, S.J. bertugas di Nabire. Dua orang yang lain, yang satu sudah memutuskan untuk meninggalkan imamat, dan satu lagi tewas terbunuh di Timor Leste pada 6 September 1999 (kurang dari dua bulan setelah ditahbiskan), Pater Tarcisius Dewanto, S.J.   Kurang dari dua bulan usia tahbisannya, Pater Dewanto sudah menjadi martir di Timor Leste bersama satu Jesuit lainnya, Pater Carolus Albrecht Karim Arbie, S.J.  yang saya lihat namanya diabadikan di sebelah Gereja Blok Q ini. Sesudah tahbisan, kami bertiga bersama dengan Pater Robert Rimmin, diutus ke Timor Leste. Ketika Dewanto tiba di airport Dili, saya yang menjemputnya terheran-heran karena dia membawa empat koper besar dan satu koper kecil. Saya bertanya, “Kok barangnya banyak banget?’” Ia jawab singkat dalam bahasa Jawa, “Omahku neng kene kok!” (Rumahku di sini kok). Dia sungguh serius tampaknya.   Dia lalu diutus untuk belajar bahasa Tetum di Suai dekat perbatasan, tempat yang suhu kekerasannya tinggi menjelang referendum. Selama terjadi kekerasan setelah pengumuman referendum, dia terkurung di dalam gedung gereja bersama ratusan pengungsi. Ketika datang para milisi untuk mengancam, mereka tidak bisa keluar. Ketika milisi mulai menembak ke dalam, Pater Dewanto keluar untuk menenangkan para milisi. Karena dia orang Indonesia, ia berpikir tidak akan diapa-apakan. Walau ada yang teriak, “Jangan, itu orang kita!” tetapi para milisi tetap menganiayanya hingga mati di dekat pintu gereja. Dia mati untuk melindungi umat di dalam gedung gereja.    Memperingati sepuluh tahun kemartiran dua Jesuit ini (2009), saya mengumpulkan kisah dan kesan, apresiasi dan refleksi dari banyak kalangan dalam sebuah buku kecil dan sekarang sudah diterjemahkan ke dalam Inggris dan Jerman untuk kepentingan penggalangan dana untuk misi, dengan judul “Passion for Christ, Passion for Humanity.” Dalam buku itu, saya memilih untuk judul artikel saya Dewanto Pastor Bonus.   Kita tidak menyangka bahwa misa yang dipimpin Pater Dewanto di Jogja itu adalah misa perpisahannya. Saya tidak menyangka bahwa Pater Dewanto akhirnya memang menjadi ‘pastor bonus’, memberikan nyawanya sendiri demi membela domba-dombanya di tanah di mana dia diutus. Kita tahu, menurut Injil, pastor bonus atau gembala yang baik itu adalah Tuhan Yesus sendiri. Gembala yang baik memiliki delapan peran yaitu mengenal domba-dombanya dan domba-dombanya mengenal dia, berjalan di depan domba-dombanya, membawa ke rumput hijau, menuntun ke air jernih, mencari yang hilang, merawat dan menyembuhkan yang terluka, membela domba-dombanya dari serigala buas, dan mengumpulkan semua domba dalam satu kandang. Pater Dewanto dengan kisah kemartirannya di Timor Leste, telah sungguh mendekati Imam Agung Yesus Kristus, dengan memberikan nyawanya demi domba-dombanya.      Terasa atau tidak, sadar atau tidak, sejak tidak lama sesudah kami ditahbiskan, imamat kami selama 25 tahun ini telah diperkaya, diinspirasi, dan dikuatkan oleh kemartiran sahabat kami Pater Dewanto. Berbicara mengenai kemartiran dalam sebuah misa syukur imamat seperti ini, bukanlah berbicara mengenai dua hal berbeda. Karena imamat pada dasarnya adalah kemartiran itu sendiri. Dalam hidup membiara saja, kita mengenal apa yang disebut ‘kemartiran putih’, yaitu penyerahan diri total kepada Allah walau tidak harus mengucurkan darah seperti Pater Dewanto. Imamat dan kemartiran bertemu dalam sikap penyerahan diri secara total kepada Allah, mempersembahkan korban bukan saja Ekaristi di meja altar, tetapi hidup kita seluruhnya. Imamat pelayanan berarti meneladani Imam Agung dalam peran-perannya yang kita sebutkan tadi, mematikan diri demi pelayanan kepada umat Allah. Pater Dewanto telah memberikan contoh nyata kepada kita dengan kemartirannya.   Kita semua umat Allah. Sekali menerima sakramen pembaptisan, kita diikutsertakan dalam fungsi-fungsi Kristus sebagai imam, raja, dan nabi. Oleh karena itu, persembahan dan pengorbanan kita sehari-hari, besar dan kecil, kita pahami dan hayati dalam rangka itu.   Saya berterima kasih atas dukungan dan doa bagi imamat saya semua teman-teman Jubilaris. Semoga kami dianugerahi sekurangnya 25 tahun lagi melayani Allah dan umat-Nya. Bukan saja 25

Feature

Bapa Suci bersyukur kepada Tuhan atas kunjungannya ke empat negara di Asia-Pasifik

Lawatan Paus Fransiskus menebarkan belas kasih dan persaudaraan di Indonesia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura   Paus Fransiskus, kini berusia 87 tahun, bersyukur kepada Tuhan karena telah mengizinkannya melakukan apa yang ingin ia lakukan sebagai seorang paus yang sudah sepuh, sebagaimana yang ingin dilakukan seorang Jesuit muda pendahulunya, yaitu melakukan perjalanan ke Asia untuk mewartakan kabar gembira.   Seperti biasa, Paus memanfaatkan audiensi publik pertamanya dalam kunjungannya ke Asia Pasifik pada 2-13 September 2024 untuk membagikan hal-hal yang ia lakukan, ia lihat, dan semua hal yang paling menarik yang ia temui selama perjalanannya.   Berbicara kepada ribuan orang di Lapangan Santo Petrus pada 18 September, ia menamai perjalanannya sebagai “lawatan kerasulan” karena memang bukan perjalanan wisata melainkan perjalanan untuk mewartakan sabda Tuhan sehingga Dia dikenal sekaligus menjadi kesempatan bagi Paus untuk mengenal jiwa-jiwa. “Itu semua sangatlah indah,” katanya.     Paus mengunjungi Indonesia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura. Paus mengatakan bahwa beberapa orang “masih terlalu Eurosentris” ketika berpikir tentang Gereja Katolik. Namun kunjungannya menunjukkan kenyataan bahwa ternyata Gereja itu jauh lebih besar, jauh lebih besar daripada Roma atau Eropa, dan jauh lebih hidup di negara-negara itu.   Di Indonesia, negara dengan penganut Islam terbesar di dunia, Paus mengatakan, “Saya menerima penegasan bahwa belas kasih adalah jalan yang dapat dan harus dilalui oleh umat Kristiani untuk memberikan kesaksian tentang Kristus sang juru selamat, dan pada saat yang sama untuk bertemu dengan tradisi-tradisi agama dan budaya yang sungguh luhur.”   “Seorang beriman Kristiani tetapi tanpa belas kasih tidaklah berharga. Iman, persaudaraan, belas kasih menjadi moto yang dipilih para uskup Indonesia untuk perjalanan ini, sebagaimana terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta,” kata Paus Fransiskus. “Mengunjungi terowongan dan Masjid, saya melihat bahwa persaudaraan adalah masa depan dan menjadi jawaban untuk melawan anti peradaban, kebencian, persekutuan jahat, dan perang.”   Di Papua Nugini, ia mengatakan kepada umat bahwa ia terkesan dengan pengabdian para misionaris, termasuk sekelompok imam dan biarawan-biarawati dari Argentina, dan para katekis sebagai pewarta Injil utama.   Di hadapan kaum muda negara itu, ia berkata, “Saya melihat masa depan yang baru, tanpa kekerasan rasial, tanpa ketergantungan, tanpa penjajahan ekonomi dan ideologi. Masa depan yang penuh dengan persaudaraan dan kepedulian terhadap lingkungan alam yang menakjubkan.”     Paus Fransiskus mengatakan bahwa di Timor-Leste, sebagai sebuah negara yang masih berjuang dengan mayoritas penduduk beragama Katolik, ia sangat terkesan dengan keanggunan para penduduknya, yaitu orang-orang yang telah mengalami banyak hal namun tetap mampu bersukacita, orang-orang yang bijaksana meski dalam penderitaan.   “Orang Timor Leste adalah orang-orang yang tidak hanya melahirkan banyak anak, ada lautan anak-anak, tetapi juga mengajarkan mereka untuk tersenyum. Di Timor-Leste saya melihat Gereja dengan jiwa muda: keluarga, anak-anak, OMK, banyak seminaris dan calon-calon religius. Saya tidak berlebihan dengan mengatakan bahwa saya menghirup ‘udara musim semi,” kata Paus.   Meskipun kemakmuran Singapura sangat kontras dengan tiga negara lainnya, katanya, minoritas Katolik di negara itu membentuk “Gereja yang hidup, terlibat dalam memupuk kerukunan dan persaudaraan di antara berbagai etnis, budaya, dan agama. Bahkan di Singapura yang makmur pun terdapat ‘orang-orang kecil’ yang mengikuti Injil, menjadi garam dan terang, menjadi saksi akan harapan yang lebih besar daripada yang dapat dijamin oleh keberhasilan ekonomi.   Paus Fransiskus memulai pertemuannya dengan memperkenalkan para pegawai Vatikan yang membacakan ringkasan pidatonya dalam bahasa Spanyol dan Polandia. Arturo López Ramírez dan Monika Nowak dijadwalkan akan menikah pada hari Sabtu, dan paus mengatakan, “Sungguh indah ketika cinta menuntun dua orang untuk memulai sebuah keluarga baru.”     Seperti biasanya, Paus mengakhiri audiensinya dengan berdoa untuk perdamaian di Israel, Palestina, Ukraina, Myanmar, dan banyak tempat lainnya di mana ada perang yang mengerikan.   Dengan memejamkan mata, ia berdoa, “Semoga Tuhan memberi kita semua hati yang mengusahakan perdamaian demi mengalahkan peperangan, di mana perang selalu merupakan kekalahan.”   Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel “‘Old Pope’ thanks God for four-nation trip to Asia-Pasific” https://www.ucanews.com/news/old-pope-thanks-god-for-four-nation-trip-to-asia-pacific/106452 Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 17 September 2024.