Pater Tarcisius Dewanto, S.J. dilahirkan pada 18 Mei 1965 di Magelang. Ia masuk novisiat Serikat Jesus di Girisonta pada 7 Juli 1987 dan menjalani dua tahun masa novisiatnya di Girisonta. Ia ditahbiskan menjadi imam di Yogyakarta, Indonesia pada 14 Juli 1999 bersama sepuluh Jesuit lainnya. Setelah tahbisan imam, Pater Dewanto mendapatkan tugas pertama membantu pelayanan pastoral di Paroki Suai, Keuskupan Dili.
Keadaan menegangkan di Suai dan semakin meningkat sejak 4-5 September 1999 setelah jajak pendapat diumumkan. Situasi memanas hingga timbul huru-hara antara kelompok Pro-kemerdekaan dan pro-integrasi. Menjelang sore, tujuh anggota milisi beserta komandannya bersenjata lengkap mengepung Gereja dan Pastoran Suai. Pater Dewanto melihat ada keributan kemudian keluar dan berusaha melerai. Namun seketika itu ia diberondong tembakan dan terlihat orang mengayun-ayunkan parang kepadanya. Penyerangan ini memakan korban jiwa, dua imam diosesan tewas dan satu Jesuit, Pater Dewanto.
Pada 20 Agustus 2024 yang lalu, Pater Sarmento, Jesuit dari Regio Timor Leste, bersama dengan enam orang imam Jesuit merayakan 25 tahun tahbisan di Gereja Santa Perawan Maria Ratu, Jakarta. Berikut ini adalah kutipan homili Pater Sarmento, S.J. dalam perayaan Ekaristi 25 tahun tahbisan Imamat.
Beberapa hari yang lalu, dalam rangka mempersiapkan perayaan 25 tahun tahbisan Imamat, teman-teman mendaulat saya untuk menjadi homilist. Saya mengatakan, kalau Pater Provinsial yang memimpin misa berarti beliau yang akan menyampaikan homili. Namun Pater Provinsial ternyata meminta salah satu dari para Jubilaris untuk menyampaikan homili. Dan saya bilang seharusnya tuan rumah Paroki Blok Q, yaitu Pater Kris. Tapi Pater Kris beralasan umat sudah bosan dengan homilinya. Saya masih menego, “Perintah Provinsial Benny itu ditujukan kepada anggota Jesuit Indonesia, saya kan sudah bukan anggota Provindo, hahahaha.” Dan akhirnya saya menerima, satu lawan enam orang saya tidak bisa. Dan saya menerima ini dengan syukur sebagai tanda kepercayaan. Kalau memilih saya, ya harus siap menanggung risikonya, karena kami orang tinggi ini, untuk bicara pendek itu susah sekali. Pater-pater semakin bertambah usia, semakin panjang bicaranya. Ada yang bicara panjang seperti radio rusak, dicopot baterainya ya tetap bunyi.

Ya, 25 tahun lalu, kami bersebelas ditahbiskan menjadi imam di Yogyakarta oleh Mgr. Ignatius Suharyo, sekarang beliau seorang Kardinal. Dalam perayaan ini hanya 7 orang yang hadir, yaitu PP Adrianus Suyadi,S.J., Roberthus Rimmin, S.J., Antonius Widyarsono. S.J., Gregorius Soetomo, S.J., Adrianus Herry Wijayanto, S.J., Augustinus Setyo Wibowo, S.J.,Athanasius Kristiono Purwadi, S.J., dan Joaquim Sarmento, S.J.. Pater Gregorius Soetomo, S.J. sekarang ini sedang bertugas di Manila, Filipina, dan Pater Yohanes Sudriyanto, S.J. bertugas di Nabire. Dua orang yang lain, yang satu sudah memutuskan untuk meninggalkan imamat, dan satu lagi tewas terbunuh di Timor Leste pada 6 September 1999 (kurang dari dua bulan setelah ditahbiskan), Pater Tarcisius Dewanto, S.J.
Kurang dari dua bulan usia tahbisannya, Pater Dewanto sudah menjadi martir di Timor Leste bersama satu Jesuit lainnya, Pater Carolus Albrecht Karim Arbie, S.J. yang saya lihat namanya diabadikan di sebelah Gereja Blok Q ini. Sesudah tahbisan, kami bertiga bersama dengan Pater Robert Rimmin, diutus ke Timor Leste. Ketika Dewanto tiba di airport Dili, saya yang menjemputnya terheran-heran karena dia membawa empat koper besar dan satu koper kecil. Saya bertanya, “Kok barangnya banyak banget?’” Ia jawab singkat dalam bahasa Jawa, “Omahku neng kene kok!” (Rumahku di sini kok). Dia sungguh serius tampaknya.
Dia lalu diutus untuk belajar bahasa Tetum di Suai dekat perbatasan, tempat yang suhu kekerasannya tinggi menjelang referendum. Selama terjadi kekerasan setelah pengumuman referendum, dia terkurung di dalam gedung gereja bersama ratusan pengungsi. Ketika datang para milisi untuk mengancam, mereka tidak bisa keluar. Ketika milisi mulai menembak ke dalam, Pater Dewanto keluar untuk menenangkan para milisi. Karena dia orang Indonesia, ia berpikir tidak akan diapa-apakan. Walau ada yang teriak, “Jangan, itu orang kita!” tetapi para milisi tetap menganiayanya hingga mati di dekat pintu gereja. Dia mati untuk melindungi umat di dalam gedung gereja.
Memperingati sepuluh tahun kemartiran dua Jesuit ini (2009), saya mengumpulkan kisah dan kesan, apresiasi dan refleksi dari banyak kalangan dalam sebuah buku kecil dan sekarang sudah diterjemahkan ke dalam Inggris dan Jerman untuk kepentingan penggalangan dana untuk misi, dengan judul “Passion for Christ, Passion for Humanity.” Dalam buku itu, saya memilih untuk judul artikel saya Dewanto Pastor Bonus.
Kita tidak menyangka bahwa misa yang dipimpin Pater Dewanto di Jogja itu adalah misa perpisahannya. Saya tidak menyangka bahwa Pater Dewanto akhirnya memang menjadi ‘pastor bonus’, memberikan nyawanya sendiri demi membela domba-dombanya di tanah di mana dia diutus. Kita tahu, menurut Injil, pastor bonus atau gembala yang baik itu adalah Tuhan Yesus sendiri. Gembala yang baik memiliki delapan peran yaitu mengenal domba-dombanya dan domba-dombanya mengenal dia, berjalan di depan domba-dombanya, membawa ke rumput hijau, menuntun ke air jernih, mencari yang hilang, merawat dan menyembuhkan yang terluka, membela domba-dombanya dari serigala buas, dan mengumpulkan semua domba dalam satu kandang. Pater Dewanto dengan kisah kemartirannya di Timor Leste, telah sungguh mendekati Imam Agung Yesus Kristus, dengan memberikan nyawanya demi domba-dombanya.

Terasa atau tidak, sadar atau tidak, sejak tidak lama sesudah kami ditahbiskan, imamat kami selama 25 tahun ini telah diperkaya, diinspirasi, dan dikuatkan oleh kemartiran sahabat kami Pater Dewanto. Berbicara mengenai kemartiran dalam sebuah misa syukur imamat seperti ini, bukanlah berbicara mengenai dua hal berbeda. Karena imamat pada dasarnya adalah kemartiran itu sendiri. Dalam hidup membiara saja, kita mengenal apa yang disebut ‘kemartiran putih’, yaitu penyerahan diri total kepada Allah walau tidak harus mengucurkan darah seperti Pater Dewanto. Imamat dan kemartiran bertemu dalam sikap penyerahan diri secara total kepada Allah, mempersembahkan korban bukan saja Ekaristi di meja altar, tetapi hidup kita seluruhnya. Imamat pelayanan berarti meneladani Imam Agung dalam peran-perannya yang kita sebutkan tadi, mematikan diri demi pelayanan kepada umat Allah. Pater Dewanto telah memberikan contoh nyata kepada kita dengan kemartirannya.
Kita semua umat Allah. Sekali menerima sakramen pembaptisan, kita diikutsertakan dalam fungsi-fungsi Kristus sebagai imam, raja, dan nabi. Oleh karena itu, persembahan dan pengorbanan kita sehari-hari, besar dan kecil, kita pahami dan hayati dalam rangka itu.
Saya berterima kasih atas dukungan dan doa bagi imamat saya semua teman-teman Jubilaris. Semoga kami dianugerahi sekurangnya 25 tahun lagi melayani Allah dan umat-Nya. Bukan saja 25 tahun lagi, tetapi 25 tahun penuh dengan usaha meneladani Sang Gembala yang Baik. Marilah menimba rahmat dari Ekaristi ini, dari rasa syukur kami ini, untuk terus berusaha menjadi gembala yang baik, imam yang bersemangat, yang siap sedia memberikan diri seutuhnya kepada Allah dan umatNya.
Kita bersyukur dan berterima kasih kepada Paroki Santa Perawan Maria Ratu di Blok Q ini dan semua yang telah memungkinkan perayaan syukur hari ini. Di Gereja Santa Perawan Maria Ratu ini kita berdoa, semoga Maria, Ratu para Martir, dan Bunda para Imam, berdoa bersama dan menjadi pengantara bagi kita semua. Amin.
Kontributor: Pater Joaquim Francisco da Silva Sarmento, S.J.