Pilgrims of Christ’s Mission

Karya Pendidikan

Technical Competence is My Life

Sabtu 26 September 2020 menjadi hari yang membahagiakan bagai teman-teman mahasiswa ATMI Angkatan 50. Setelah menjalani studi selama tiga tahun di ATMI, mereka akhirnya lulus dan diwisuda dengan gelar ahli madya. Mereka yang diwisuda berjumlah 146 orang yang berasal dari tiga program studi yaitu, Teknik Mesin Industri, Teknik Mekatronika, dan Perancangan Manufaktur. Acara wisuda berlangsung dari pukul 8.00 hingga pukul 11.00 siang. Beda dari tahun-tahun sebelumnya, wisuda kali ini dilakukan dengan metode drive thru. Hal ini mengingat pandemi COVID-19 masih melanda dunia sekarang ini. Dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan, para mahasiswa yang diwisuda hadir secara bergantian dengan menggunakan kendaraan masing-masing. Live streaming wisuda juga ditayangkan melalui kanal Youtube untuk mengakomodasi para sahabat dan kerabat yang tidak bisa hadir pada momen bersejarah itu. Selain menayangkan proses wisuda, panitia wisuda juga memperlihatkan tugas akhir para wisudawan di sela-sela proses wisuda. Sama seperti wisuda pada umumnya, para wisudawan tetap menggunakan toga dari rumah. Selain itu, para orangtua juga hadir memberikan dukungan bagi buah hati mereka. Meskipun tidak bisa ikut menemani di atas panggung, para orangtua tetap terlihat bahagia menunggu anak-anak mereka di dalam kendaraan. Wajah semringah dan lega terlihat dengan jelas pada wajah orang tua. Dalam sambutan yang disampaikan perwakilan mahasiswa, Alloysius Rizky Susetya mengatakan, “kekecewaan karena tidak bisa merayakan wisuda secara meriah tentu ada. Akan tetapi, kekecewaan tersebut tidak menutupi rasa syukur yang begitu besar karena bisa menikmati kelulusan.” Selain itu, Alloysius menambahkan bahwa dirinya merasa bersyukur bahwa di masa-masa mendekati terselesaikannya masa studi yang diwarnai pandemi, ATMI tetap mengusahakan kompetensi yang terbaik bagi para mahasiswanya. Meskipun ada perubahan dalam sistim pembelajaran, kualitas lulusan ATMI tetap dijaga sebaik mungkin. Hal ini sejalan dengan yang diharapkan oleh Rm. T. Agus Sriyono, SJ, selaku direktur Politeknik ATMI Surakarta. Rm. Agus dalam sambutan wisuda mengatakan bahwa kompetensi adalah hal yang dicari dan didapatkan oleh para lulusan selama menjalani studi di ATMI. Kompetensi tersebut adalah fondasi bagi perjalanan hidup dan karier selanjutnya. Tidak hanya itu, karakter-karakter yang diolah dan didapatkan selama di ATMI juga harus terus diperjuangkan. Sesuai dengan misinya, ATMI berharap bahwa para lulusannya dapat langsung mendapatkan lapangan pekerjaan setelah menyelesaikan masa studi. Setelah didaftar, data menunjukkan bahwa 83% mahasiswa yang diwisuda ini memutuskan untuk bekerja di berbagai perusahaan, 7% ingin memulai usaha mandiri, dan 10% melanjutkan jalur akademis. Pandemi memang membuat penyerapan tenaga kerja berjalan lebih lambat, namun syukur bahwa ATMI masih bisa membantu para lulusan untuk mendapatkan pekerjaan dan mengarahkan langkah ke depan. Selain itu, dalam wisuda ini pula, ATMI Surakarta secara resmi mengumumkan bahwa di tahun ajaran baru mendatang satu program studi baru, yakni Sarjana Terapan Mekatronika (Program 4 tahun) akan mulai dibuka. Hal ini menjadi kegembiraan tersendiri dan suatu kehormatan bagi keluarga besar Politeknik ATMI Surakarta. Meskipun wisuda Angkatan 50 ini berjalan secara berbeda dan sederhana, tetapi makna, kegembiraan, dan rasa syukur dapat terlihat dengan jelas di wajah para panitia, mahasiswa, maupun keluarga. Wisuda bukan hanya menandakan kelulusan, tetapi juga sebuah perutusan untuk menjalankan tugas yang lebih besar. Keberhasilan sebuah institusi pendidikan dilihat dari para lulusannya. Semoga Angkatan 50 yang memiliki moto, “Technical Competence is My Life”, dapat sungguh menunjukkan kompetensinya di dunia kerja demi kesejahteraan bersama. Mari kita dukung para wisudawan dalam doa-doa kita. Barry Ekaputra, SJ

Formasi Iman

MENDENGARKAN

“Gimana Bro, tadi bimroh. Asyik ga romonya?” “Warbyasa ni, bisa sampai satu jam lewat dikit. Baru kali ini bisa selama ini. Cuma kayaknya romonya sih yang suka cerita. Perasaan, tadi, gua cuma cerita  dikit loh. Ga sampai 20 menit. Tanggapannya yang panjang sampai satu jam lewat dikit” “Wah iya, bener bro. Pengalaman kita sama. Kayaknya romonya emang total football ni. Aku malah cerita cuma 10 menitan, habis itu langsung counter attack sampai molor. Satu jam lewat” “Kenapa bisa gitu ya, kan romonya juga belum ketuaan, ga juga kemudaanlah. Jesuit gitu loh!”. “Lucu juga sih, malah waktu bimroh, gua jadi tahu yang engak-enggak di provinsi kita” “Iya coy..retret gibbahin provindo?!” “Yah. Namanya Jesuit, macem-macem orangnya” *** Perihal Mendengarkan Percakapan antar dua sahabat di atas mungkin terasa agak absurd jika sungguh terjadi dalam suatu ruang jumpa yang disebut bimbingan rohani. Bagaimana tidak? Dalam tradisi kristiani, fokus bimbingan rohani ialah membantu terbimbing mengalami secara langsung kehadiran Allah dalam segala peristiwa hidup dan masuk dalam gerakan-gerakan bimbingan roh kudus sendiri serta tindakan rahmat lain. Oleh karena itu, sebagaimana disampaikan Ignatius Loyola, sekalipun bimbingan rohani diberikan oleh seorang yang tahu dan berpengalaman dalam hidup rohani, pembimbing rohani bukanlah aktor utama. Pihak terbimbing dan Allah sendirilah yang perlu lebih diberi ruang dan waktu. Itulah mengapa Ignatius menganjurkan agar pembimbing rohani pertama-tama perlu menempatkan diri sebagai saksi perjumpaan pihak terbimbing dan Allah. Terkati hal itu, sejumlah prinsip seperti discreta caritas, intentio recta, bonum relativum dan distansi penuh hormat tidak bisa ditawar. Pembimbing harus sangat menghargai dan menghormati kegiatan Allah dalam diri seseorang. Pembimbing tidak boleh mencampuri atau bahkan mempengaruhi proses hidup seseorang, memaksakan orang lain untuk ke kanan atau ke kiri, apalagi memaksakan keyakinan hidupnya sendiri. Dengan demikian, kiranya tindakan memberi tanggapan atau menceritakan pengalaman pribadi pembimbing seperti yang diceritakan pada awal tulisan adalah suatu yang perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. Meskipun sudah tentu Tuhan bisa saja bertindak dengan berbagai macam cara, tampaknya tetap agak sulit membayangkan tercapainya pertumbuhan rohani dalam suatu praktik bimbingan rohani yang didominasi cerita pembimbing tentang oranglain, bahkan isi ceritanya pun lebih gossip seru di tarekat. Alih-alih menemukan kehendak aktual Allah, pihak terbimbing barangkali lebih menemukan lakon Bu Tedjo dalam diri pembimbing rohaninya Ulasan di atas tentu teramat singkat dan bisa jadi tergesa-gesa karena juga belum menghitung perspektif dari sisi pembimbing. Gambaran singkat di atas tentu saja juga belum mencakup segala-galanya sehubungan dengan bimbingan rohani menurut visi, metode dan pedagogi Ignatian. Namun kiranya ada satu hal yang cukup pasti, yakni bahwa mendengarkan dan mengadakan percakapan yang asyik itu tidak sesederhana kelihatannya. Usia yang senior tidak serta-merta menjadikan seseorang mampu menjadi pendengar yang baik, apalagi untuk konteks bimbingan rohani. Formasi yang lama dan ketat ala Jesuit juga tampaknya tidak otomatis menjadikan seseorang mudah untuk berbincang dengan orang lain sebagai pihak yang semitra. Dalam kehidupan kita sehari-hari, seusai rapat kantor yang panjang, di ujung percakapan meja makan, dan ruang-ruang jumpa lain, bukankah sering dalam hati, kita mengeluh lirih. “Sialan aku tidak didengarkan”. Selain lakon Bu Tedjo, bukanlah kita juga sering bertemu para pemain total football yang memberikan umpan perhatian pada kita di awal, namun seketika melancarkan “counter attack”. Arah percakapan membelok pada wacana tanpa koma dari lawan bicara kita. Bukankah agak sering juga kita terlibat suatu percakapan yang ujung-ujungnya bernada pamer bojo dan pamer yang lain-lain hingga membuat kita capek. Kalau kita –setidak-tidaknya saya- mau jujur itulah gambaran mutu komunikasi dan relasi kita sehari-hari. Entah di komunitas religius, di sekolah, di keluarga, rasanya sama saja: ada kebutuhan besar untuk didengarkan.Ada gap antara jumlah kebutuhan untuk didengar dan ketersediaan para pendengar yang baik. Tilik Diri Tulisan ini tentu saja tidak sekadar menambah daftar “dosa” pembimbing rohani atau mengutuki lakon Bu Tedjo. Sebaliknya, mengikuti nasihat Bu Tejdo, penulis ingin menjadi bagian dari solusi. “Dadi wong sing solutip”. Bagaimana menjadi pendengar yang baik? Kiranya ini penting mengingat kita tahu sama tahu bahwa “pengalaman didengarkan” itu rasanya senikmat menyantap gelato. Sekalipun ini bukan hajat hidup orang banyak yang harus diatur negara, tapi cukup jelas komunikasi afektif adalah perkara kesejahteraan batin masing-masing dari kita. Alangkah surgawinya komunitas-keluarga kita ketika satu sama lain bisa saling mendengarkan dan bercerita tentang hidup dan karyanya dengan merdeka.  Bagaimana kita memulainya? Kita bisa menempuh via negativa: membayangkan praktik baik dengan melihat praktik buruk kita. Oleh karena itu, kita mulai saja dengan memeriksa pengalaman kita sebagai pendengar. Kita coba identifikasi kebiasaan-kebiasaan buruk kita dalam mendengarkan oranglain. Untuk ini, kita bisa mengikuti gagasan Adele B. Lynnn[1]. Dalam salah satu bukunya, Adele membagikan program latihan untuk meningkatkan kecerdasan emosional kita. Ada dua latihan yang secara khusus membantu kita mengembangkan kemampuan menjadi pendengar yang baik. Latihan paling awal yang bisa kita tempuh adalah mencermati pola kita mendengarkan dengan bercermin dari enam tipe pendengar buruk berikut: (1) The faker, (2) The Interrupter, (3) The Intellectual or Logical Listener, (4) The Happy Hooker, (5) The Rebuttal Maker, (6) The Advice Giver.  Pertama, The Faker. Tipe pendengar ini tidak kurang seorang yang pura-pura mendengarkan. Secara lahiriah tipe ini tampak mendengarkan misalnya, tampak mengangguk-angguk, menatap mata lawan bicara, sesekali bergumam mengerti, um.. huh. Meskipun demikian, sesungguhnya dia tidak menaruh perhatian atau konsentrasi pada lawan bicara. Pikirannya di tempat lain. Kedua, the Interrupter. Tukang interupsi kerap memotong kalimat lawan bicara. Lawan bicara seringkali belum selesai bercerita atau menuntaskan topiknya, tetapi tukang interupsi sudah menukas atau justru melompat pada topik lain yang ia suka. Kerap kali tukang interupsi langsung menyela ba..bi..bu tanpa pernah mengklarifikasi atau mencari informasi lebih dalam dari lawan bicara. Ketiga, Logical Listener. Tipe pendengar logis selalu mencoba menganalisis, menginterpretasi dan mempertanyakan isi pesan lawan bicara. Fokusnya adalah menilai dan mencocokkan apa yang dikatakan lawan bicara dengan logika atau jalan pikirnya sendiri. Sangat jarang pendengar tipe ini memperhatikan perasaan atau emosi yang menyertai isi pesan lawan bicara. Keempat, The happy hooker. Tipe ini biasa menggunakan kata-kata atau ungkapan lawan bicara sebagai cara menyampaikan isi pikirannya sendiri. Ketika lawan bicara mulai bercerita, tipe ini akan menunjukkan minat, tetapi lantas ia segera mengalihkan fokus pada dirinnya. Ia mulai membelokkan arah pembicaraan untuk menyampaikan sudut pandangnya, pendapat, cerita atau hal-hal lain tentang dirinya sendiri. Frasa

Pelayanan Masyarakat

PESAN BAPA SUCI PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI MIGRAN DAN PENGUNGSI SEDUNIA YANG KE 106, TAHUN 2020

[27 September 2020] Seperti Yesus Kristus,  dipaksa untuk mengungsi. Menyambut, melindungi, mempromosikan, dan  mengintegrasikan pengungsi dalam negeri Pada awal tahun ini, dalam Pidato saya kepada anggota Korps Diplomatik yang terakreditasi ke Tahta Suci, saya mengarahkan perhatian  pada tragedi orang-orang yang mengungsi di dalam negeri  sebagai salah satu tantangan dunia kita saat ini: “Situasi konflik dan darurat kemanusiaan, yang diperburuk oleh perubahan iklim, meningkatkan jumlah pengungsi dan berdampak bagi orang-orang yang sudah hidup dalam kemiskinan yang parah. Banyak negara yang sedang mengalami keadaan ini, menderita  kekurangan sarana yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pengungsi ”(9 Januari 2020). Dikasteri Bagian Migran dan Pengungsi untuk Mempromosikan Pembangunan Manusia Seutuhnya  telah mengeluarkan dokumen “Orientasi Pastoral mengenai para pengungsi di dalam negeri” (Kota Vatikan, 5 Mei 2020), yang bertujuan untuk menginspirasi dan mendorong karya pastoral Gereja di bidang khusus ini. Karena alasan-alasan ini, saya telah memutuskan untuk mempersembahkan  Pesan ini bagi  drama para pengungsi dalam negeri, sebuah tragedi yang sering tidak terlihat dan bahwa krisis global yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 semakin membuat keadaan mereka semakin buruk. Bahkan, karena kedahsyatannya, keparahan dan sebaran  geografisnya, krisis ini telah membawa dampak pada banyak darurat kemanusiaan lainnya yang mempengaruhi jutaan orang. Ternyata urgensi perjuangan internasional untuk menyelamatkan nyawa dikalahkan bahkan ditaruh ke urutan paling bawah pada agenda politik nasional.  Tetapi “ini bukan saatnya untuk menjadi lalai.  Krisis yang kita hadapi seharusnya tidak membuat kita melupakan banyak krisis lain yang membawa penderitaan bagi begitu banyak orang” (Pesan Urbi et Orbi 12 April 2020). Mengingat peristiwa-persitiwa sedih  yang telah menandai tahun 2020, saya ingin pesan ini, meskipun berkaitan dengan orang-orang terlantar dalam negeri, juga untuk merangkul semua orang yang mengalami situasi genting, ditinggalkan, terpinggirkan dan ditolak sebagai akibat  dari COVID-19. Saya ingin memulai dengan gambar yang menginspirasi Paus Pius XII dalam Konstitusi Apostoliknya, Exsul Familia (1 Agustus 1952). Selama pelariannya ke Mesir, kanak-kanak Yesus bersama  dengan orang tua-Nya mengalami nasib yang menyedihkan yang dialami oleh mereka yang terlantar  dan pengungsi, “yang ditandai dengan ketakutan, ketidakpastian dan kegelisahan (lih. Mat 2: 13-15, 19-23). Sayang bahwa di zaman kita sekarang, jutaan keluarga juga mengalami  kenyataan menyedihkan ini. Hampir setiap hari televisi dan surat kabar memuat berita tentang para pengungsi yang melarikan diri dari kelaparan, perang dan bahaya besar lainnya, untuk mencari keamanan dan kehidupan yang bermartabat bagi diri mereka sendiri dan keluarga mereka ”(Angelus, 29 Desember 2013). Dalam diri masing-masing orang ini, yang dipaksa melarikan diri ke tempat yang aman, Yesus hadir sebagaimana Dia hidup  pada zaman Herodes. Dalam wajah orang yang lapar, haus, telanjang, sakit, asing dan tahanan, kita dipanggil untuk melihat wajah Kristus yang meminta kita untuk memberi bantuan (lih. Mat 25: 31-46). Jika kita dapat mengenali-Nya pada  wajah-wajah mereka itu, kita akan menjadi orang yang berterima kasih kepada-Nya karena dapat bertemu, mencintai, dan melayani Dia melalui mereka. Orang-orang yang kehilangan tempat tinggal memberikan kita kesempatan ini untuk bertemu dengan Tuhan, “meskipun mata kita merasa sulit untuk mengenalinya: pakaiannya compang-camping, kakinya kotor, wajahnya cacat, tubuhnya terluka, tidak bisa berbicara dengan bahasa  kita” (Homili, 15 Februari 2019). Kita dipanggil untuk menanggapi tantangan pastoral ini dengan empat kata kerja yang saya sebutkan dalam Pesan saya untuk Hari ini pada tahun 2018: menyambut, melindungi, mempromosikan dan mengintegrasikan. Untuk kata-kata ini, sekarang saya ingin menambahkan enam pasang kata kerja yang berhubungan dengan tindakan yang sangat praktis dan terkait satu sama lain dalam hubungan sebab dan akibat. Anda harus tahu untuk bisa paham. Pengetahuan adalah langkah penting untuk memahami orang lain. Yesus sendiri memberi tahu kita tentang hal ini dalam kisah para murid di jalan menuju Emaus: “Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran,  datanglah  Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan  mereka. Tetapi  ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak mengenal Dia” (Luk 24: 15- 16). Ketika kita berbicara tentang migran dan pengungsi, terlalu sering kita berhenti pada statistik. Tapi ini bukan tentang statistik, ini tentang manusia nyata! Jika kita bertemu mereka, kita akan mengetahui lebih banyak tentang mereka. Dan dengan mengetahui cerita mereka, kita akan bisa memahaminya. Kita ak.an dapat memahami, misalnya, bahwa kerawanan yang kita alami sebagai akibat  pandemi ini ternyata dialami terus-menerus dalam kehidupan para pengungsi. Perlu menjadi dekat agar bisa melayani. Ini mungkin tampak jelas, namun seringkali justru sebaliknya. “Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiramnya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya (Lk 10:33-34). Ketakutan dan kecurigaan  – terlalu banyak kecurigaan  – menjauhkan kita dari orang lain dan sering mencegah kita dari “menjadi sesama” bagi mereka dan melayani mereka dengan cinta. Mendekatkan diri pada  orang lain seringkali berarti bersedia mengambil risiko, seperti yang diajarkan kepada kita oleh banyak dokter dan perawat dalam beberapa bulan terakhir. Kesiapan untuk mendekat dan melayani ini lebih dari sekadar perasaan wajib. Yesus memberi kita contoh terbesar tentang hal ini ketika Dia membasuh kaki murid-Nya, melepas jubah-Nya, berlutut dan mengotori tangan-Nya (lih. Yoh 13: 1-15). Agar dapat berdamai, kita perlu mendengarkan. Allah  sendiri yang mengajar kita dengan mengutus  Anak-Nya ke dunia. Dia ingin mendengarkan permohonan umat manusia yang menderita dengan telinga manusia: “Karena Allah begitu mengasihi dunia  ini, sehingga Ia telah mengaruniakan  Anak-Nya yang tunggal , supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam  dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan supaya dunia diselamatkan melalui Dia” (Yoh 3: 16-17). Cinta yang mendamaikan dan menyelamatkan dimulai dengan mendengarkan. Di dunia sekarang ini, pesan-pesan  berlipat ganda tetapi praktik mendengarkan menjadi hilang. Namun hanya dengan mendengarkan dengan rendah hati dan penuh perhatian kita dapat benar-benar diperdamaikan. Pada tahun 2020, keheningan telah berkuasa selama berminggu-minggu di jalanan kita. Keheningan yang dramatis dan menyedihkan, tetapi yang telah memberi kita kesempatan untuk mendengarkan permohonan dari yang rentan, yang terlantar dan permohonan planet kita yang sedang sakit parah. Mendengarkan memberi kita kesempatan untuk berdamai dengan sesama  kita, dengan semua orang yang telah “dibuang”, dengan diri kita sendiri dan dengan Allah, yang tidak pernah bosan menawarkan kemurahan hati-Nya  kepada kita. Supaya

Pengumuman A24

KAUL AKHIR AGUSTUS 2020

Melalui Vicarius ad Tempus, P. Douglas W. Marcouillier, S.J., Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J. mengeluarkan dekrit yang memutuskan untuk meminta saudara-saudara kita di bawah ini untuk kaul akhir dalam Serikat Jesus. Dekrit tertanggal 4 Agustus 2020: 1. P. Antonius Vico Christiawan, SJ 2. P. Yohanes Agus Setiyono, SJ 3. Br. Ignatius Ulrig Jumeno, SJ Dekrit tertanggal 10 Agustus 2020: 1. P. Agustinus Budi Nugroho,  S.J. 2. P. Elias Ambirat Duhkito, S.J. 3. P. Yosef Andi Purwono, S.J. Kita mengucapkan Proficiat untuk ke-tiga saudara kita ini dan membawa mereka dalam doa-doa kita. Tempat dan tanggal pengucapan kaul akhir akan diumumkan menyusul. Bambang A. Sipayung, SJ

Karya Pendidikan

TILIK.

Hari Orang Tua Seminaris KPP & KPA 2020 Harta yang paling berharga adalah keluarga Istana yang paling indah adalah keluarga Puisi yang paling bermakna adalah keluarga Mutiara tiada tara adalah keluarga Selamat pagi Emak Selamat pagi Abah… Para Nostri Provindo terkasih, lirik lagu karangan (alm.) Arswendo Atmowiloto (OST Film ‘Keluarga Cemara’ yang super hits di layar kaca pada masanya) terdengar mengalun indah di GOR Laudato Si’ Seminari Mertoyudan siang itu. Setelah bernyanyi, para seminaris KPA turun panggung dan memberikan setangkai mawar pada orang tua masing-masing. Suasana syukur, sukacita, dan haru menyelimuti para seminaris Kelas Persiapan Pertama (KPP) & Kelas Persiapan Atas (KPA) beserta keluarga yang hadir. Hari Orang Tua (HOT) menjadi acara tahunan yang diselenggarakan sebagai tanda berakhirnya 40 hari masa inisiasi awal di Seminari Mertoyudan. Para Seminaris KPP dan KPA telah memulai proses formasi sejak tanggal 12 Juli 2020 yang lalu. Selama masa karantina, mereka tidak berkontak dengan “dunia luar” dan orang tua. Apalagi bagi hampir semua seminaris KPP-KPA, ini adalah pengalaman pertama berpisah jauh dari bapak-simbok. Oleh karena itu, HOT yang dilangsungkan hari Minggu, 23 Agustus 2020 ini menjadi obat rindu sekaligus momen tilik (kunjungan) yang penuh rahmat bagi 57 seminaris KPP dan 17 seminaris KPA. “Berani Melangkah karena Cinta-Nya”. Nostri terkasih, tema ini dipilih karena lahir dari refleksi para seminaris selama menjalani masa karantina di Seminari. Inilah “vibrasi” pengalaman yang paling kuat dirasakan oleh para seminaris KPP 109 dan KPA 106 selama 40 hari. Para seminaris telah berani melangkahkan kaki di Seminari untuk menanggapi panggilan Tuhan meski harus meninggalkan orangtua, saudara dan sahabat (bdk. Mat 19:29). Rahmat dan cinta Tuhan sendirilah yang dialami, disyukuri dan menggerakkan para seminaris untuk berani menjadi pribadi yang baru, beradaptasi menghayati hidup dan panggilan di Seminari Mertoyudan.   Di tengah Covid-19 ini, HOT dilangsungkan secara sederhana. Acara berjalan cukup lancar dan dengan tetap memerhatikan protokol kesehatan antara lainmembatasi jumlah kehadiran, mewajibkan rapid test, menggunakan masker dan menjaga jarak fisik. Acara HOT diawali dengan Ekaristi syukur yang dipimpin oleh Rm. Provinsial Serikat Jesus, Benedictus Hari Juliawan didampingi oleh Rm. Sardi sebagai Rektor yang akan purna tugas Rm. Budi Go sebagai rektor seminari yang baru dan para pamong (MP & MU). Dalam homilinya, Rm. Benny menekankan bahwa salah satu ciri kesejatian panggilan adalah ketika seseorang mengalami dirinya berubah. Perjumpaan dengan Jesus selalu mengubah pribadi seseorang. Sama halnya para murid yang diwakili Petrus dalam bacaan Injil, mengalami transformasi dalam hidupnya sebagai abdi Tuhan. Peneguhan lain disampaikan oleh Rm. Budi Go dalam sambutannya bahwa panggilan adalah peristiwa iman yang harus disyukuri karena ini sesuatu yang luhur, personal dan dihayati dalam kemerdekaan batin Panggilan tidak tumbuh karena paksaan dari siapapun termasuk orang tua. Pada dasarnya, kami semakin yakin bahwa keluarga adalah “seminari kecil”, tempat benih panggilan ditabur. Seminari menjadi “rumah formasi” untuk membantu merawat, menyemai benih itu agar tumbuh dan kelak berbuah baik. Boleh menyaksikan dari dekat bagaimana Tuhan sendiri berkarya dalam transformasi hidup dan panggilan seorang seminaris tentulah merupakan konsolasi terbesar bagi kami semua yang berkarya di Seminari Mertoyudan ini. Semoga acara tilik dan perjumpaan hangat seminaris KPP-KPA dengan orangtua meneguhkan langkah orang-orang muda yang kita temani untuk semakin mengenal, mencintai, dan mengikuti Dia lebih dekat lagi. Salam dalam perutusan. St. Petrus Kanisius, doakanlah kami. Paul Prabowo, SJ

Karya Pendidikan

Senyuman De Britto di Tengah Pandemi

SMA Kolese De Britto genap berusia ke-72. Perayaan ulang tahun kali ini agak berbeda karena dilakukan di tengah pandemi corona. Meskipun demikian, semaraknya tidak kalah istimewa. Perayaan yang mengusung nama Nawa Windu JB ini terasa istimewa dengan perayaan ekaristi konselebrasi Romo Kuntoro Adi SJ selaku Rektor bersama delapan romo alumni De Britto secara live stream di channel youtube De Brito. Para romo dari berbagai tempat misi termasuk Romo Tito SJ dari Nabire dapat secara lancar membawakan doa-doa ekaristi secara bergantian. Malam harinya,  perayaan dilanjutkan dengan acara sharing Lintas Masa sembilan Alumni De Britto. Pada kesempatan ini acara daring para guru dan alumni saling bertukar energi melalui sharing dari para alumni De Britto lintas generasi, mulai dari angkatan pertama yaitu angkatan 1951 hingga akan termuda yaitu angkatan 2020. Untuk para siswa panitia menyelenggarakan lomba antar kelas membuat video ucapan selamat ulang tahun SMA Kolese De Britto ke-72. Pemenang lomba video terbaik ditentukan oleh tim guru De Britto, sedangkan untuk kategori video ter favorit ditentukan dari jumlah like terbanyak. Pemenang dari lomba ini mendapat hadiah berupa pulsa bagi anggota kelas, yang kelasnya menjadi juara dari salah satu dua kategori itu. Selain berbagai acara di ruang virtual, perayaan Nawa Windu juga berlangsung secara luring pada hari sebelumnya, yakni acara olahraga bersama para guru di lapangan sepak bola SMA Kolese De Britto. Dengan tetap mengikuti protokol covid-19, para guru dan karyawan JB antusias mengikuti berbagai cabang olahraga bersama mulai dari lari, senam bersama, badminton, ping-pong, dan tentunya gowes atau bersepeda ke Sambi Sari dan Lava Bantal, Brebah. Perayaan Nawa Windu kali ini juga menjadi lebih berkesan dengan beberapa  penyerahan penghargaan kepada para guru yang telah mengajar selama sepuluh tahun, dua puluh tahun dan bahkan tiga puluh tahun. Itulah beberapa mometum kegembiraan kami. Di tengah pandemi Covid-19, kami masih menemukan senyum satu sama lain. AMDG.    Genesius Bagas Waradana (XI MIPA 1)

Karya Pendidikan

Bangga Produk Vokasi

Semua orang merasa bangga menjadi bagian dari pendidikan vokasi. Entah sebagai pelajar ataupun pekerja. Baik sebagai penghasil maupun konsumen produk vokasi. Kira-kira pesan itulah yang ingin disampaikan oleh Wikan Sakarinto, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, saat berkunjung ke Kolese Mikael Surakarta, Selasa (18/8) lalu. Kunjungan tersebut diadakan dalam rangka peluncuran (launching) program “pernikahan” pendidikan vokasi dengan dunia usaha dan industri (DUDI). Selain beliau, hadir pula kepala-kepala SMK di Surakarta, beberapa perwakilan politeknik dan  pelaku industri. Beberapa SMK dan politeknik di Surakarta juga memamerkan karya andalannya. Sebut saja, antara lain, SMK St. Mikael dan Poltek ATMI dengan mesin CNC-nya, SMK Farmasi dengan obat parem kocok yang hangatnya tahan lama, dan Sekolah Vokasi Universitas Negeri Surakarta (UNS) dengan printer 3D. SMKN 8 yang fokus pada seni juga menampilkan tarian Cakilnya. Sementara itu, PT. ATMI Solo dan PT. ATMI-IGI hadir dan secara simbolis mewakili DUDI dalam acara tersebut. Dalam sambutannya, P. V. Istanto Pramuja, SJ sebagai ketua Yayasan Karya Bakti Surakarta mengingatkan mengenai komitmen. “Pernikahan menuntut komitmen,” demikian pesan beliau. Memang diharapkan bahwa “pernikahan” vokasi dan DUDI tidak berhenti menjadi slogan belaka. Lebih dalam lagi, dibutuhkan keberanian pihak yang “menikah”: vokasi berkomitmen meningkatkan kualitas SDM-nya, DUDI berkomitmen menggunakan produk vokasi. Bangga dengan Vokasi “Pesta pernikahan” vokasi dengan DUDI ini memang sarat dengan pesan. Selain menggugah, pesan itu pun menggugat. Pesan Wikan yang disarikan pada awal tulisan ini, misalnya. Pada satu sisi, pesan tersebut menggugah para pelaku vokasi agar terus bersemangat dalam menghasilkan SDM siap kerja dan produk-produk inovatif. Rasa minder dan perasaan diri sebagai warga kelas 2 (di bawah SMA atau S1) dibuang jauh-jauh. Di sisi lain, pesan tersebut juga menggugat mereka yang selama ini enggan mendukung pendidikan vokasi. Pihak-pihak yang meremehkan atau tidak melihat kontribusi pendidikan vokasi bagi kemajuan bangsa ini diajak untuk membuka mata dan pemahaman mereka. Dengan riset berkelanjutan sebagai bentuk kerja sama sekolah vokasi-DUDI-pemerintah, diharapkan kualitas produk vokasi pun meningkat dan layak guna. Tantangan pun diberikan oleh Wikan: menunjukkan kebanggaan sebagai orang Indonesia dengan menggunakan produk vokasi, yang pasti merupakan produk buatan Indonesia. “Pesta pernikahan” vokasi dengan DUDI ini pun menjadi momen yang tepat untuk bersyukur atas kontribusi kita melalui karya-karya vokasi, khususnya lewat Kolese PIKA Semarang dan Kolese Mikael Surakarta. Belum lagi kalau menyebut institusi yang menaungi pendidikan kejuruan, baik yang sedang atau pernah kita layani, seperti Universitas Sanata Dharma, ATMI Cikarang, Strada Jakarta, dan Kanisius Semarang. Rasa syukur tersebut kiranya akan memunculkan kedekatan dan rasa memiliki terhadap karya-karya vokasi, bersama dengan kebanggaan kita atas sumbangsih Serikat kepada masyarakat dan Gereja melalui karya-karya lainnya. Rafael Mathando Hinganaday, SJ

Karya Pendidikan

PERESMIAN KAMPUS TIGA POLITEKNIK ATMI SURAKARTA

Bulan Agustus 2020 menjadi momen bersejarah bagi Politeknik ATMI Surakarta. Kampus 3 Politeknik ATMI Surakarta yang terletak di utara Kampus 2 (Kampus Gonzaga, atau yang dulu dikenal dengan Kampus Intercamp, Blulukan) telah selesai dibangun dan siap digunakan. Pembangunan gedung yang memakan waktu sekitar setengah tahun ini bisa terwujud oleh karena hibah yang diberikan oleh Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia dalam rangka Polytechnic Education Development Project. Kampus 3 ini secara khusus akan digunakan oleh para mahasiswa ATMI dari prodi Mekatronika, Teknik Perancangan Mekanik dan Mesin, dan Perancangan Manufaktur. Sebelum  resmi digunakan, upacara pemberkatan gedung dilaksanakan pada hari Senin, 10 Agustus 2020. Pemberkatan gedung dihadiri oleh para romo, frater, kaprodi, beberapa staf, dan juga perwakilan mahasiswa. Acara yang dihadiri kurang lebih 30 orang tersebut berjalan dengan hikmat dan tentu dengan protokol COVID-19 yang lengkap. Dalam upacara pemberkatan ini, Kampus 3 juga secara resmi disebut sebagai Kampus Arrupe. Pater Pedro Arrupe dipilih menjadi pelindung sekaligus teladan dari kampus ini. Politeknik ATMI menyadari bahwa Politeknik semakin dipanggil untuk berjalan dengan orang miskin dan tersingkir, sesuai dengan Preferensi Kerasulan Universal Serikat Jesus. Oleh karena itu, Pater Pedro Arrupe, seorang Jesuit yang sangat peduli pada orang miskin dan tersingkir, diharapkan menjadi teladan sekaligus pemberi semangat untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Secara khusus, Politeknik ATMI Surakarta ingin mengembangkan pendidikan vokasi maupun industri yang terarah kepada tiga bidang, yakni pertanian, kesehatan, dan teknologi informasi. Ketiga hal tersebut dipilih untuk menjawab tantangan zaman sekarang ini. Pertanian pertama-tama dipilih dengan kesadaran bahwa pertanian menjadi  sumber utama gizi bagi orang muda Indonesia. Tanpa adanya gizi yang baik, tentu orang muda tidak dapat berkembang secara maksimal. Sementara itu, kesehatan dipilih dengan maksud menanggapi situasi pandemi sekarang ini. Terakhir, teknologi informasi dipilih karena melihat perkembangan teknologi yang memang niscaya di dunia kita sekarang ini. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut, diharapkan para dosen, instruktur, maupun mahasiswa secara aktif melakukan penelitian maupun inovasi guna memajukan dan mengembangkan ketiga bidang tersebut. Semoga dengan kehadiran Gedung Arrupe ini, Politeknik ATMI Surakarta bertransformasi menjadi institusi yang semakin peka mendengar panggilan zaman dan memberikan wajah yang semakin manusiawi pada teknologi dan dunia industri. Barry Ekaputra, SJ