Pilgrims of Christ’s Mission

Penjelajahan dengan Orang Muda

Penjelajahan dengan Orang Muda

Faith in Action: Transforming Lives Through Volunteering with LP4Y Indonesia

Magis Immersion Experiment 2024: LP4Y (Life Project for Youth) adalah sebuah lembaga sosial yang bergerak untuk menemani dan melayani teman-teman muda yang memiliki keterbatasan dalam mengakses pendidikan maupun ekonomi. Hari pertama saya mengikuti kegiatan Magis Immersion Experiment ini sudah panik dan bingung, apa yang bisa kami berikan kepada teman-teman muda ini? Begitu celetuk saya kepada beberapa teman circle yang mengambil bagian dalam Magis immersion experiment ini. Pada waktu itu kami ada setengah hari untuk mempersiapkan program apa yang dapat kami berikan kepada teman-teman muda. Kami berdiskusi untuk membuat program dengan tujuan meningkatkan kapasitas teman-teman muda yang menjadi dampingan LP4Y. Akhirnya kami memutuskan untuk memberikan training terkait dengan proses interview bagi teman-teman muda supaya mereka dapat memahami bagaimana proses interview pekerjaan yang baik karena tujuan mereka mengikuti pendampingan di LP4Y adalah menemukan pekerjaan yang lebih baik.           Perjalanan persiapan batin menuju Immersion Experiment akan berbeda bagi kami masing-masing yang berpartisipasi. Namun, malam pembekalan pada 22 Mei 2024 itu menjadi malam yang penuh dengan pergolakan batin bagi kami semua. Saat proses circle-sharing di malam pembekalan, rata-rata dari kami memiliki perasaan dominan yang sama terkait rasa tidak siap dan ketakutan. Lantas, kami bertanya, “Apakah kami akan mampu memberikan yang terbaik dalam waktu yang singkat di LP4Y?”   Perjalanan menuju LP4Y masih diwarnai kekhawatiran, keraguan, dan ketakutan. Ketika memasuki area Kampung Sawah ternyata area itu memiliki gambaran yang cukup bertolak belakang dengan kawasan yang biasa kami lihat setiap hari. Permukiman yang cukup padat di pinggir area jalan tol dengan tumpukan sampah menjadi pemandangan yang biasa. Ada proses pembakaran sampah di beberapa tempat dan menimbulkan bau yang kurang sedap dan juga sungai yang berwarna hitam dengan bau yang khas.   Dalam kondisi lingkungan seperti itu dan keadaan ekonomi yang terbatas membuat kami bertanya-tanya seperti apa youth (sebutan orang muda yang dididik oleh LP4Y) yang akan kami temui. Akan tetapi, sejak awal tiba pertemuan kami dengan satu per satu para youth mengubah segalanya. Sosok demi sosok Youth yang kami temui seakan menampar kami tentang pentingnya mensyukuri apa yang telah kami miliki dan kami jalani. Para Youth memiliki mimpi yang luar biasa di tengah kondisi kehidupan yang mereka jalani. Tidak berhenti hanya dengan memiliki mimpi, tetapi keikutsertaan mereka dalam program LP4Y menggambarkan semangat juang untuk bisa mendapatkan sesuatu yang bermakna yang mereka yakini akan membawa mereka untuk menggapai mimpi yang mereka inginkan.     Pada malam pertama, saya tinggal bersama dengan orang muda yang kedua orangtua sudah berpisah. Dia tinggal sendiri dan dibantu oleh saudara untuk kebutuhan sehari-hari. Saya tinggal berdua dengan orang muda yang tempat tidurnya berukuran 2×2 Meter. Bagi saya, ini adalah tempat pertama saya tidur dengan ukuran kamar kecil. Saya mencoba merefleksikan apa yang Tuhan inginkan dari saya dengan mengikuti kegiatan Magis Immersion Experiment ini. Saya mengambil sikap doa untuk memohon rahmat Tuhan agar Tuhan membantu dan melancarkan semua kegiatan yang esok akan dijalankan. Ada perasaan gelisah dan ketakutan dengan kegiatan ini karena takut saya tidak dapat mengikuti sampai selesai kegiatan Magis Immersion Experiment ini. Hingga tiba waktunya untuk berinteraksi dengan teman-teman muda dan ternyata apa yang saya takutkan di malam sebelumnya sangat berbeda 180° dengan apa yang saya jumpai. Teman-teman muda yang menyenangkan dan sangat antusias mengikuti setiap kegiatan di LP4Y dan kegiatan yang diberikan oleh teman-teman Magis.   Program di hari Jumat adalah Micro Company Support di mana kami ikut terlibat dalam proses aktivitas persiapan dan penjualan galon air mineral serta program citizenship yaitu melakukan survei terhadap masyarakat di area Center LP4Y. Sedangkan untuk program di hari Sabtu adalah mock interview yaitu melakukan simulasi interview kerja sebagai HRD, job discovery yaitu membuat seperti job fair kecil-kecilan di mana para youth akan secara bergantian mengunjungi booth yang memperkenalkan profil singkat perusahaan kami. Proses pembekalan tambahan ini cukup membantu kami untuk memberikan gambaran terkait apa yang akan kami lakukan di LP4Y.   Di akhir sesi, saat mendengar satu per satu dari mereka menyampaikan kesan berproses bersama, sungguh ini menjadi kado yang memberi kehangatan bagi kami di formasi Magis. Ucapan terima kasih dengan raut wajah malu-malu dan mendengar mereka menyampaikan insight yang mereka dapatkan sungguh di luar ekspektasi kami. Sebagian besar dari kami awalnya berpikir bahwa apa yang kami berikan adalah hal yang “biasa saja” atau hanya “sedikit” dari apa yang dimiliki, namun ternyata berbeda untuk teman-teman Youth. Dampak yang diberikan sangat luar biasa karena kami bisa merasakan bahwa mereka yang sangat membutuhkan hal tersebut.   Banyak canda dan tawa selama sesi. Ketakutan dan kegelisahan yang selama ini saya pikirkan sirna begitu saja karena melihat teman-teman muda yang sangat menyenangkan. Tidak terasa waktu cepat berlalu dan kami menuju Kolese Kanisius untuk mengikuti acara selanjutnya yaitu pengendapan pengalaman, perasaan, dan rahmat Tuhan yang ditemukan. Dalam dinamika pengendapan ini kami merasakan bahwa rahmat Tuhan benar-benar hadir dalam peristiwa-peristiwa Magis Immersion Experiment ini. Tuhan menunjukkan kasih-Nya dengan luar biasa dan Ia mengajarkan arti kehidupan yang sesungguhnya.     Dengan pengalaman, pertemuan, penemanan, dan keterikatan dengan teman-teman muda, ada satu kata yang dapat menggambarkan akan pengalaman ini yaitu “hope.” Teman-teman muda itu bersemangat tinggi, antusias, dan mau belajar. Walaupun itu semua ada keterbatasan tetapi di sini hope memiliki pengaruh krusial bagi teman-teman muda, yaitu membuat orang menjadi optimistis, memiliki motivasi untuk untuk melakukan sesuatu, mampu melihat potensi untuk mengejar cita-cita sesuai kata hatinya.   Sebagai pribadi yang masih belajar dan terus belajar, ada harapan-harapan kecil dari hati kami, yaitu bahwa suatu saat kami dapat kembali lagi ke LP4Y untuk memberikan dan berbagi sesuatu kepada teman-teman muda. Kami bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan yang sudah menunjukkan jalan yang baik dan mencecap kata hati. Hanya dengan menjadi pribadi bagi orang lain, maka disaat itulah kita bisa menjadi manusia sejati.   “Bukan tentang berapa lama tetapi tentang seberapa dalam.” Kalimat itu menjadi kalimat yang bisa menggambar-kan Immersion Experiment kami di LP4Y. Ketakutan kami tentang keterbatasan waktu yang berakibat akan tidak bisa memberikan yang terbaik ternyata memberikan makna yang sebaliknya. Rahmat yang kami inginkan di awal memulai Immersion Experiment ini berbeda-beda. Namun, di akhir kami menyadari bahwa kami memperoleh rahmat yang sama untuk bisa lebih bersyukur dengan apa yang kami miliki dan apa

Penjelajahan dengan Orang Muda

Aku Melayani-Mu

Magis Immersion Experiment 2024: Saat berjalan memasuki Kolese Hermanum, tempat pembekalan sebelum terjun ke tempat Immersion, berbagai perasaan muncul dan memenuhi diri. Ada rasa takut, khawatir, tertantang, dan setengah hati karena long weekend ini mestinya bisa dipakai untuk liburan. Wajar apabila berbagai perasaan itu muncul karena ruang bernama zona nyaman harus ditinggalkan untuk melakukan immersion, masuk ke dalam pengalaman orang-orang kecil, lemah, dan miskin di kota Jakarta. Sejenak hiruk-pikuk kehidupan ditinggalkan untuk ikut melihat, merasakan, memahami, dan berpikir seperti orang-orang yang menjadi induk semang (istilah bagi keluarga tempat peserta immersion tinggal). Tidak tahu apakah kami -yang orang-orang asing ini- akan diterima dengan baik atau tidak. Meskipun diliputi berbagai perasaan itu, ada kepercayaan bahwa rahmat-Nya akan bekerja dan menyertai selama perjalanan immersion ini. Beberapa rahmat yang kami mohonkan antara lain: rela berkorban, kerendahan hati, keterbukaan, kesabaran, dan kejujuran.   Immersion kali ini dilaksanakan di beberapa tempat yang merupakan lokasi warga binaan Lembaga Daya Dharma (LDD), yaitu Muara Baru, Muara Angke Blok Eceng, Marunda, dan Muara Angke Blok Empang. Tempat-tempat ini mungkin tidak asing di telinga namun asing untuk dikunjungi. Boleh dikatakan bahwa tempat-tempat ini adalah ‘batas wilayah’ terluar dari Kota Jakarta. Dari tempat kami melakukan immersion, terlihatlah bagaimana kesenjangan yang terjadi di Kota Jakarta: gedung pencakar langit berlomba-lomba ditegakkan, pabrik-pabrik industri yang berdiri kokoh disertai dengan berbagai polusinya, pembangunan rumah layak huni di antara rumah kumuh di sekitarnya. Di tempat ini pula mereka harus berdamai dengan keadaan lingkungan sekitar: tumpukan sampah, bau amis menyengat, tikus-tikus yang berkeliaran, sulitnya akses air bersih, dan kondisi jalanan yang hampir setiap hari banjir bahkan airnya sampai masuk ke dalam rumah. Tidak hanya dari bangunan-bangunan yang berdiri namun juga dari pekerjaan yang dihidupi induk semang kami. Mulai dari penjual kopi keliling, pengupas kerang, nelayan, sopir angkot, jasa antar pemancing, pembersih botol dan gelas plastik, penjual nasi uduk, penjual jajanan pasar, hingga pekerja serabutan. Mereka menjadi figur nyata orang-orang kecil yang mungkin selama ini hanya kami lihat dari kejauhan. Kini kami harus immerse dengan kehidupan mereka dan melayani dengan apa yang kami bisa. Belajar mewujudkan perbuatan kasih untuk meneladan Sang Guru yang terus dikenangkan dalam Ekaristi Kudus.     Induk semang kami memang bukan siapa-siapa. Pekerjaan mereka seringkali dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Kata anak-anak muda, pekerjaan mereka tidak ‘seksi’ sama sekali. Namun mereka yang dianggap kecil, terpinggirkan, dan miskin ini justru yang menguapkan berbagai perasaan negatif kami. Perasaan takut, khawatir, dan tidak nyaman yang muncul akibat sudah berprasangka terlebih dahulu, hilang. Kami yang asing ini justru diterima dengan baik oleh induk semang kami. Bahkan kami justru dianggap sebagai anak sendiri oleh mereka. Kami masih diberi makan dengan cukup, masih bisa tidur di tempat yang aman dan nyaman. Padahal mungkin untuk memenuhi makan sehari-hari anggota keluarganya mereka kesulitan. Akan tetapi, kami dapat makan secara cukup bahkan kadang diada-adakan. Kami tidak pernah bertemu dan tidak pernah melakukan perbuatan baik untuk mereka ini sebelumnya, tetapi kami diberikan sampai sebegitunya. Sungguh makanan yang kami makan selama Immersion itu menjadi makanan yang sangat enak justru karena diberikan dari kesederhanaan yang mereka punya. Merefleksikan hal ini membuat kami merasa malu. Seperti ditampar rasanya. Kadang untuk memberi saja kami masih berpikir-pikir tetapi justru mereka memberikan dari hatinya yang terdalam bagi kami orang asing ini.   Di dalam setiap hal yang kami terima dari induk semang, kami merasakan ketulusan dan keikhlasan mereka. Kami merasa bahwa induk semang kami telah begitu mengasihi kami sehingga hati kami tergerak untuk meneruskan rantai kasih ini kepada sesama yang lainnya, melayani dengan tulus dan ikhlas. Benar kata pepatah bahwa kebaikan itu menular. Ajaibnya ketergerakkan untuk melakukan kebaikan itu tidak hanya kepada orang-orang yang telah terlebih dahulu mengasihi kita tetapi juga kepada orang-orang yang tidak kita kenal sebelumnya.   Tidak hanya itu, kami juga merasa bahwa Allah sedang menyapa kami melalui orang-orang di lingkungan sekitar induk semang kami. Mereka menyapa dan memberikan senyuman yang seolah-olah memberi pesan bahwa semua akan baik-baik saja dan tidak ada yang perlu ditakutkan. Senyum ramah inilah yang menjadi salah satu penyemangat kami dalam menjalani pekerjaan di sana.     Melalui immersion ini, kiranya ada beberapa hal yang layak untuk direfleksikan. Pertama, soal melayani atau dikenal dalam pilar Service dalam Magis. Kiranya hal-hal yang kami lakukan selama immersion ini bukanlah hal-hal besar. Cenderung entah dilarang oleh induk semang karena nanti kami kelelahan atau karena membutuhkan keahlian khusus. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan kecil yang kami lakukan itu kiranya menjadi bentuk pelayanan yang dapat kami berikan. Sebab melayani -yang adalah suatu bentuk perbuatan kasih itu- tidak diukur dari besar dan kecilnya tetapi berawal dari niat dan ketergerakan bahwa aku ingin memberikan dari apa yang aku punya.   Kedua, kami juga merasakan bagaimana Allah itu sungguh hadir dan terus berkarya dalam kehidupan kami. Sosok-Nya itu kami temukan melalui kebaikan orang-orang yang dalam perjalanan pergi-pulang maupun selama immersion kami temui,terutama dari induk semang kami masing-masing. Bagaimana kami diterima, boleh mempunyai tempat berteduh dan tidur, boleh makan secara berkecukupan yang semuanya itu dalam suasana kesederhanaan menjadi bukti cinta-Nya untuk kami. Coba saja kami tidak diterima, mana bisa kami berteduh dan tidur di malam hari ketika badan sudah lelah. Mana bisa kami makan dengan berkecukupan untuk mengisi tenaga lagi. Kehadiran orang-orang ini menjadi wujud kehadiran Allah sendiri yang menyapa dan mengasihi kami.    Menutup kisah perjalanan immersion bersama orang-orang yang miskin, kecil, dan terpinggirkan di Jakarta ini kiranya bisa direfleksikan satu pertanyaan untuk melangkah ke depan: apa yang ingin dan bisa kulakukan untuk mereka yang KLMTD di Jakarta ini? Perbuatan kasih apa yang bisa kubagikan untuk sesamaku itu? Dalam gerak inilah kiranya spiritualitas Ignatian itu justru hidup. Sebab spiritualitas Ignatian tidak pernah berhenti hanya pada doa dan teori saja. Ia harus mewujud dalam tindakan-tindakan kasih bagi sesama.   Kontributor: Ancella Trilegio, Flaviantius Iko Marpaung, Basilius Kevin, Fransisca, Stepanus Igo Kewa – MAGIS Indonesia

Penjelajahan dengan Orang Muda

Teach Us to Serve as You Deserve

Dalam rentang waktu 22-26 Mei 2024, Komunitas Magis Jakarta mengadakan Magis Immersion Experiment, terdiri atas pembekalan (persiapan), pelaksanaan (aksi), dan pengendapan (refleksi). Pada 22-23 Mei 2024, setelah jam pulang kantor, para peserta immersion mengikuti pembekalan di Kolese Hermanum Unit Johar Baru. Selain hal-hal teknis, mereka juga dibekali pendalaman materi mengenai tema utama Immersion “Teach us to serve as you deserve” dan lanjutan materi mengenai Kontemplasi Penjelmaan, Meditasi Dua Panji, dan Tiga Golongan Orang. Pada 23-25 Mei 2024, para peserta disebar per kelompok ke beberapa tempat layanan Lembaga Daya Dharma (LDD) KAJ, antara lain ke Muara Angke Blok Eceng, Muara Angke Blok Empang, Muara Baru, dan Marunda. Selain itu, mereka juga disebar untuk melakukan Immersion di rumah orang-orang muda layanan LP4Y (Life Project for Youth), lembaga sosial yang berdomisili di Cilincing, Jakarta Utara. Immersion ini dilakukan di komunitas Lovely Hands Garden di Sunter, Jakarta Utara. Pada dua hari terakhir, para peserta melakukan pengendapan di Kolese Kanisius Menteng dalam bentuk refleksi personal dan komunal, serta ditutup misa bersama di Kapel Kolese Kanisius itu.     Kegiatan Immersion Experiment ini merupakan salah satu program pokok formasi Magis yang baru kembali diadakan setelah lima tahun vakum karena beragam kendala. Immersion ini merupakan sarana menginternalisasi dan mengintegrasikan Spiritualitas Ignasian bagi anggota Magis Jakarta. Konteks kota Jakarta memperlihatkan dengan kentara jurang kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Hal ini menjadi sebuah konteks refleksi yang bagus bagi Magis Jakarta setelah dibekali dan berlatih dalam enam kali pertemuan bulanan dengan pokok-pokok spiritualitas itu. Pada tahun 2024, immersion diikuti sekitar 33 peserta. Dalam kesempatan ini Komunitas Magis Jakarta berkolaborasi dengan Lembaga Daya Dharma (LDD) KAJ, Life Project for Youth (LP4Y), dan Komunitas Lovely Hands Garden. Selain mempertemukan para anggota Magis dengan mereka yang terpinggirkan, immersion menjadi kesempatan berharga dalam membangun kolaborasi sebagai Gereja yang berjalan bersama dengan mereka semua yang berkehendak baik.    Kontributor: S Alfian Ferry, S.J. – Magis Indonesia

Penjelajahan dengan Orang Muda

Cermin ‘Dunia Kerja’ Anak Muda

Seringkali kalau berkendara di jalanan Jakarta, kita bisa melihat ragam aktivitas pekerjaan. Ada yang mengambil tempat pedestrian untuk menggelar lapak berjualannya, sebagian lain menjadi tukang parkir, tukang tambal ban, penjual minum, hingga pengamen. Dari fenomena yang tampak biasa itu dan dianggap lumrah saja kalau sudah demikian adanya, sebenarnya terselip sebuah cermin tentang problematika dunia kerja saat ini.   Dalam upaya membantu merefleksikan peluang dan tantangan ‘dunia kerja’, Life Project 4 Youth (LP4Y) yang merupakan organisasi sosial internasional dari Prancis menyelenggarakan suatu acara bertajuk Youth Inclusion Forum (YIF) di Hotel Cabin, Jakarta (31/5). LP4Y adalah federasi dari 17 organisasi di 14 negara yang memiliki misi pengembangan solusi inovatif untuk inklusi profesional dan sosial bagi kaum muda (usia 17-24) dari kemiskinan ekstrem dan korban pengucilan struktural. Khusus di Indonesia, LP4Y memiliki dua training center, yaitu di Cilincing Jakarta dan Surabaya. Kolese Hermanum sebagai representasi Serikat Jesus Provindo mengambil keterlibatan dalam misi sosial ini dengan mengirimkan sejumlah frater filosofan (studi filsafat) untuk membantu memberikan training dan pendampingan anak-anak muda yang tergabung dalam organisasi LP4Y.   Membantu Menegosiasi Salah satu tantangan dunia kerja saat ini adalah melonjaknya jumlah pekerja sektor informal. Menurut Jumisih, yang merupakan Chief Indonesian Woman Labour dan menjadi salah satu narasumber dalam YIF, dunia kerja saat ini sedemikian fleksibel. “Sekarang, banyak sekali mereka yang tergolong sebagai pekerja informal, yang bekerja tanpa upah yang optimal dan jam kerja yang layak, serta tidak dipayungi hukum.” Ia menekankan bagaimana di jalanan saja kita dapat melihat sebuah ‘dunia kerja.’ Perspektif ini menjadi sangat penting untuk merefleksikan bagaimana corak ‘dunia kerja’ kita saat ini.   Dr. Ratna Sari, sebagai Lecturer Information System – Binus University, juga menggarisbawahi tentang masalah ‘dunia kerja’ saat ini yang masih mengkotak-kotakkan pembagian kerja berdasarkan kualitas gender. “Kita masih berusaha mendapatkan kesetaraan, artinya bekerja dengan cara yang sama. Untuk itu, edukasi dibutuhkan dalam kentalnya budaya patriarki yang masih laten di Indonesia”, tegasnya.     Menurut laporan Harian Kompas (Senin, 20/5), Gen Z (kelahiran 1997-2012) terbukti makin sulit mencari pekerjaan di sektor formal dibandingkan generasi sebelumnya. Dalam catatan Tim Jurnalisme Data Kompas, “selama 15 tahun terakhir, serapan tenaga kerja di sektor formal terus menyusut.” Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi anak-anak muda.   Albertine Corne, selaku Indonesiaan Coordinator LP4Y turut memahami kenyataan masalah sulitnya mendapat pekerjaan di sektor formal. Selama menjadi relawan untuk LP4Y Indonesia sejak 2020 hingga sekarang, ia merefleksikan arti penting tentang sebuah negosiasi. “Di sini, LP4Y membantu menegosiasi dengan beberapa partner karena support system harus diciptakan terutama yang berakar dari keluarga, lingkungan, dan perusahaan di mana Youth akan bekerja. Intinya, membuka akses lebih baik,” ucapnya.   Di samping itu, Youth yang menjadi subjek pendampingan dan advokasi LP4Y turut hadir dalam Youth Inclusion Forum kali ini. Akhmad Mudehir, salah seorang Youth yang baru bergabung dengan LP4Y pada bulan Mei, mengakui bahwa LP4Y memberinya kesempatan untuk membangun rasa kepercayaan diri dan mental yang sehat melalui pelatihan mock interview. “Saya sudah sering melamar pekerjaan dan hasilnya selalu ditolak, tetapi pengalaman di LP4Y membantu saya untuk percaya diri dan belajar bagaimana berkomunikasi dengan baik. Hasilnya saya diterima bekerja di Decathlon,” katanya. Pengalaman Akhmad menjadi suatu aksi berkelanjutan dari upaya membantu anak muda mendapat akses kepada pekerjaan.   Aktualisasi Formasi Religius Kolese Hermanum bekerja sama dengan LP4Y memberikan kesempatan bagi para frater pembelajar filsafat untuk bisa mengalami perjumpaan dengan anak-anak muda yang kesulitan mencari pekerjaan. Frater Klaus Heinrich Raditio, S.J. yang pernah mendampingi Youth LP4Y mengaku bahwa kolaborasi ini “di satu pihak membuat para frater memperoleh pengalaman terlibat dalam kerasulan sosial dan merasakan sentuhan langsung kemiskinan ibu kota, dan di lain pihak LP4Y juga mendapat pendampingan para frater.”   Di lain kesempatan, Pater Setyo Wibowo, S.J. yang merupakan fasilitator awal berdirinya LP4Y di Indonesia, dan pihak yang membantu segi-segi legal, personalia, serta operasional LP4Y menjelaskan bahwa spirit of fighting juga perlu diajarkan pada para frater melalui aneka pengalaman, teristimewa studi filsafat dan ad extra. Baginya, LP4Y adalah model NGO yang matang secara pedagogi. “Dari perjalanan panjang menemani para relawan, saya salut pada keberanian mereka. Makin hari mereka dapat membangun jaringan dengan banyak perusahaan.”   Melalui keterlibatan seperti inilah Jesuit ingin hadir dalam urgensi situasi masa kini. Dengan cara inilah Jesuit muda belajar untuk merealisasikan panggilan Paus Fransiskus bahwa Gereja membutuhkan anak muda. Seperti diungkapkan Paus Fransiskus bahwa Gereja tidak bisa membuang muka terhadap anak muda yang punya mimpi namun kerap takut mimpi itu tidak terwujud dan anak muda yang ingin mengubah dunia tapi terkadang terasa kurang.1. Kalau misalnya belum bisa melakukan hal-hal besar, kiranya benar seperti kata-kata Bruder Petrus Partono, rasul Vinsensian di pesisir Utara Jakarta yang membangun banyak rumah perawatan bagi para lansia, yaitu tetap menyalakan lilin-lilin kebaikan. Mungkin maksudnya meskipun lilin itu kecil, toh bisa menyala dengan percaya diri.   Kontributor: S Beda Holy Septianno, S.J. – Sukarelawan Life Project for Youth (LP4Y), Cilincing. 1. Diolah dari pesan Paus Fransiskus kepada 500,000 pemuda yang menghadiri acara resmi World Youth Day (WYD) di Lisbon, Portugal, 3 Agustus 2023.

Penjelajahan dengan Orang Muda

Kemiskinan: Harta Dalam Hidup Bersahaja

Kaul kemiskinan? Menjadi orang miskin? Atau gimana? Apa sih maksudnya, ter?” Itulah pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak ketika poster Café PuNa edisi Mei 2024 yang mengambil tema kaul kemiskinan mulai dibagikan di berbagai platform media sosial.   Kamis, 30 Mei 2024 malam, dengan wajah sumringah dan penuh kehangatan, para Pater dan Skolastik Jesuit di Komunitas Pulo Nangka menyambut umat yang hadir ke Komunitas Pulo Nangka untuk mengikuti acara Café PuNa. Acara ini diadakan rutin setiap semester sekali. Café PuNa edisi bulan Mei 2024 ini mengangkat tema Kaul Kemiskinan: Harta Dalam Hidup Bersahaja. Tema ini dipilih untuk melengkapi dua edisi Cafe PuNa sebelumnya yang telah membahas kaul ketaatan (Mei 2023) dan kaul kemurnian (November 2023).   Membahas kaul kemiskinan selalu menarik dan relevan bagi siapa saja. Hal ini terbukti dari kehadiran dan antusiasme umat yang berpartisipasi baik secara luring maupun daring via Zoom. Mulai dari yang muda hingga yang tua hadir memeriahkan dan larut dalam presentasi yang dibawakan oleh Frater Alexius Aji dan Frater Matthias Zo Hlun. Frater Kevin yang menjadi MC pun mampu membawakan acara dengan baik, menarik, dan menghibur.   Kemiskinan: Harta dalam Hidup Bersahaja Presentasi dari Fr. Alex dan Fr. Matthias dibuka dengan sebuah pembahasan mengenai kemiskinan pada umumnya untuk memberi konteks besar. Fr. Matthias menjelaskan bahwa kemiskinan pada umumnya dipahami sebagai “kondisi tidak berharta, serba kekurangan, atau berpenghasilan sangat rendah”. Lalu, pertanyaan yang muncul adalah “Jika kemiskinan digambarkan sebagai kondisi serba berkekurangan, apakah ada orang yang mau ‘mengambil pilihan’ untuk hidup miskin, khususnya dengan kapitalisme dan konsumerisme di zaman ini?” Kemiskinan yang dipahami demikianlah yang kadang kala menjadi padanan atau perbandingan bagi kaul kemiskinan yang secara sukarela diikrarkan oleh para religius. Maka sudah tentu dan pasti akan muncul beragam pertanyaan terkait kaul kemiskinan.   Kalau begitu, kaul kemiskinan itu yang seperti apa sih? Apakah sama seperti kemiskinan yang digambarkan dan dipahami sebagai keadaan serba berkekurangan? Fr. Alex mencoba membahas hal ini dengan menarik dalam bagian selanjutnya. Frater Alex mengawalinya dengan sebuah cerita tentang Sannyasi yang berhasil menggelisahkan hati dan pikiran karena dengan rela dan begitu saja memberikan batu permatanya kepada seseorang.   Fr. Alex melanjutkan presentasinya dengan memberikan penjelasan mengenai kaul kemiskinan yang diikrarkan oleh para religius sebagai usaha Imitatio Christi atau meniru Kristus. Kaul kemiskinan merupakan kaul yang diinspirasikan oleh Yesus Sang Allah Putera yang menjelma ke dunia dan mengosongkan diri menjadi manusia miskin. Kedekatan Yesus dengan orang miskin pada zaman-Nya banyak digambarkan di dalam Injil. Inilah yang menjadi sumber inspirasi dari kaul kemiskinan para religius.     Kemiskinan a la Jesuit Dengan mendasarkan pada Konstitusi Serikat Jesus, Fr. Alex mengupas lebih dalam mengenai kemiskinan yang khas Jesuit atau yang dihayati oleh para Jesuit. St. Ignatius menulis di dalam Konstitusi SJ bahwa kemiskinan merupakan benteng hidup religius yang harus dicintai dan dipelihara [Kons. 553]. St. Ignatius meminta para Jesuit untuk melepaskan keterikatan pada barang-barang duniawi dan menyerahkan hidup sepenuhnya pada penyelenggaraan Ilahi melalui komunitasnya.   Kekhasan lain dari kemiskinan a la Jesuit, yang juga dihayati oleh kaum religius lain, adalah kaul kemiskinan sebagai ungkapan rasa syukur yang ditandai dengan kemurahan hati untuk mewujudkan kebebasan batin dan lahiriah saat menjalankan karya kerasulan. “Seorang Jesuit bekerja bukan untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan demi cintanya pada Kristus dan sesama,” demikian Fr. Alex memberikan penjelasannya.   Tentu kaul kemiskinan memiliki tegangannya sendiri, yaitu penggunaan sarana duniawi sejauh mendukung pelayanan dalam kerasulan yang dijalankan oleh seorang Jesuit. Tidak ada halangan bagi seorang Jesuit untuk menggunakan sarana duniawi apapun apabila sarana tersebut mendukung pelayanannya dalam mengembangkan institusi dan komunitas dan bukan untuk memperkaya diri sendiri.   Dengan demikian, kaul kemiskinan menjadi harta dalam hidup bersahaja bagi seorang Jesuit karena kemiskinan bukan hanya berarti menjadi miskin seperti yang dipahami oleh kebanyakan orang. Kaul kemiskinan juga dihayati sebagai sebuah cara hidup yang diinspirasi oleh Yesus dengan tujuan apostolis. Dengan sarana yang dimiliki, kaul kemiskinan menuntut ketekunan dan kerja keras setiap Jesuit dalam mengusahakan perkembangan karya kerasulan dan komunitas. Fr. Alex menambahkan bahwa ada hal yang tidak bisa dilepaskan dari kaul kemiskinan, yaitu akuntabilitas dan option for the poor. Lebih lanjut Fr. Alex membagikan beberapa usaha untuk menghidupi kedua hal tersebut, yaitu pembuatan laporan keuangan bulanan yang dibuat oleh para skolastik Jesuit dan program Nasi Berkah yang saat ini dijalankan semua unit skolastik SJ di Jakarta.   Panggilan untuk Dekat dengan Orang Miskin Fr. Matthias membagikan pengalamannya hidup bersama para penderita kusta di Myanmar saat dia masih seorang novis. Pengalaman tersebut membawanya pada refleksi akan Yesus yang menginspirasinya untuk dekat, membantu mereka yang membutuhkan, dan mau bersama mereka yang miskin. Pengalaman kedekatan dengan orang miskin ini memberinya rasa bahagia karena ada cara pandang baru mengenai kaul kemiskinan sebagai rasa syukur dan undangan untuk menerima orang lain seperti yang dilakukan Yesus sendiri.   Fr. Alex juga memperkaya refleksi mengenai kaul kemiskinan dengan membagikan pengalaman menghidupi kemiskinan secara konkret sebagai skolastik di Jakarta. Misalnya, dengan membuat laporan keuangan bulanan, menumbuhkan sense of belonging, keterbukaan pada pembesar dan komunitas, dan undangan untuk terus memiliki pengalaman kedekatan dengan orang miskin lewat kerasulan ad extra yang dijalaninya di Lembaga Daya Dharma-Keuskupan Agung Jakarta.     Penutup Café PuNa kali ini juga terasa istimewa karena bukan hanya kedua Pater Unit komunitas Pulo Nangka yang hadir. Ada juga Pater Hendricus Satya Wening, S.J., Pater Windar Santoso, S.J., serta Pater Antonius Siwi Dharma Jati, S.J. yang hadir secara daring dari Perancis dan Pater L. A. Sardi, SJ yang juga hadir secara daring dari Roma. Kehadiran mereka sangat meneguhkan para umat yang hadir, khususnya ketika para Pater ini membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para umat yang hadir.   Ketika berbicara mengenai kaul kemiskinan, kita tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari kemurahan hati. Karena itulah, Café PuNa edisi Mei 2024 ditutup dengan acara menikmati santapan berkat kemurahan hati yang dibawa oleh para umat yang hadir. Semua hidangan dinikmati secara bersama-sama dan penuh kehangatan serta obrolan seru. SAMPAI JUMPA LAGI DI CAFÉ PUNA EDISI BERIKUTNYA!!!!!!!   Kontributor: S Yohanes Deo Yudistiro Utomo, S.J.

Penjelajahan dengan Orang Muda

“By Lifting Others, We Rise Together”

Reportase Ekaristi Kaum Muda Unit Johar Baru Malam minggu, 20 April 2024 yang lalu, lebih dari 100 orang muda dari berbagai komunitas hadir di Unit Johar Baru Kolese Hermanum untuk mengikuti Ekaristi Kaum Muda (EKM). Tradisi tahunan unit Johar Baru itu kali ini terasa spesial karena mengangkat tema By Lifting Others, We Rise Together. Tema ini terinspirasi dari Universal Apostolic Preferences (UAP) Serikat Jesus Berjalan bersama dengan mereka yang terpinggirkan. Selain untuk semakin mengenalkan Serikat Jesus kepada orang muda, EKM kali ini juga bertujuan untuk membangun kesadaran bersama tentang orang-orang yang terpinggirkan di kota Jakarta.   EKM dilakukan dengan semangat kolaborasi yang melibatkan aneka komunitas orang muda yang dijumpai para frater Kolman dalam kerasulannya. Mereka adalah MaGis Jakarta, PERSINK KAJ, PMKAJ Unit Barat dan Unit Selatan, PMKRI, mahasiswa STF Driyarkara, teman-teman dari SMA Gonzaga, OMK Paroki Kampung Duri, OMK Paroki Duren Sawit, dan OMK Paroki Rawamangun. Semangat kolaboratif sangat terasa sebagai cara bertindak dalam acara ini. Para frater menginisiasi dan setiap anggota komunitas terlibat bekerja sama satu dengan yang lain. Dengan antusias mereka menyediakan diri untuk mempersiapkan dekorasi, among tamu, koor, pengisi acara hingga membereskan tempat seusai acara.     Dalam perayaan Ekaristi, para orang muda diajak lebih mengenal siapakah orang terpinggirkan. Homili dibuat interaktif dengan mengajak beberapa orang muda membagikan cerita inspiratif pengalaman bersama mereka yang terpinggirkan. Untuk pendalaman makna, setelah EKM mereka diajak untuk melakukan aksi nyata. Secara berkelompok mereka diajak berjalan di sekitar perkampungan Johar Baru yang padat. Mereka diberi ruang untuk berinteraksi dengan realitas kemiskinan dan berbagi nasi kotak ke orang-orang dari keluarga pra-sejahtera. Kegiatan aksi nyata tersebut kemudian diperdalam dengan sesi sharing dan refleksi. Salah satu pertanyaan reflektif yang diajukan adalah, “Apa yang telah kulakukan bagi orang miskin, apa yang sedang kulakukan untuk orang miskin, dan apa yang akan kulakukan bagi orang miskin?” Refleksi diakhiri dengan menggambar simbol pada kertas sebagai kesimpulan dan kehendak yang akan dibangun setelah acara EKM ini selesai.   Setelah acara selesai, selanjutnya diadakan ramah tamah dan makan malam bersama dengan kemasan menarik, yaitu model ‘pesta rakyat.’ Hidangan-hidangan yang disediakan berasal dari para pedagang kecil sekitar Johar Baru. Selain untuk memberdayakan para pedagang kecil, mereka diundang untuk memuaskan selera ‘kuliner jalanan’ orang muda. Siomay, cilok, bakso, sate, nasi goreng tek-tek, dan es campur laris manis diserbu orang muda yang hadir. Diundang juga kesenian Ondel-Ondel yang biasa ngamen sekitar Johar Baru untuk memeriahkan suasana.   Pater Magnis yang ikut hadir pun turut memberikan pesannya kepada orang muda. “Coba tanya sama Mother Theresa di Kalkuta, apakah ia bahagia? Saya kira dia akan kaget sedikit! Kemudian ia mungkin menjawab, “Belum pernah saya pikirkan karena saya nggak punya waktu untuk itu!” Barangkali dia memang bahagia tapi tidak pernah dia pikirkan. Karena kalau ada yang merasa berterima kasih bahwa Tuhan mengirim kita lewat di dalam hidupnya, maka kita sudah bahagia.”     Malam ‘pesta rakyat’ semakin meriah dengan pertunjukan bakat dari teman-teman muda yang ternyata memiliki talenta luar biasa seperti menyanyi dan berpuisi. Acara menjadi semakin gayeng dengan joget bersama yang dipimpin langsung oleh Frater Pond dari Thailand dan Frater Danish dari Pakistan. Semua yang hadir turut bergoyang dan tertawa.   Dean Yeremia, mahasiswa STF Driyarkara, mengungkapkan kesannya terhadap EKM. “Saya mengikuti Ekaristi Kaum Muda sebagai seorang Protestan. Awalnya saya ikut karena saya diundang untuk ikut bernyanyi dalam acara, namun ternyata EKM benar-benar meninggalkan kesan yang berharga bagi saya. Pengalaman membagikan makanan kepada orang-orang sekitar yang membutuhkan, membuat saya yakin bahwa kebaikan itu universal, jauh melampaui batas-batas agama, suku, ras atau batasan apapun. Saya juga kagum dengan makanan-makanan yang dipilih untuk makan bersama setelah berefleksi. Jesuit memilih mendatangkan pedagang-pedagang makanan di sekitarnya. Ini keren dan berbeda. Jika biasanya setelah acara ditutup dengan makan makanan dari catering, Jesuit memilih menghadirkan Pesta Rakyat termasuk ondel-ondel di dalamnya. Keren”   Sementara itu, Ibu Ong Priscilia, salah satu umat, memberi kesan, “Acara Ekaristi Kaum Muda yang diinisiasi oleh para Frater Unit Johar Baru sangatlah menginspirasi dan menggerakkan kami untuk berpartisipasi. Oleh karena itu, saat dihubungi oleh salah satu frater untuk berpartisipasi, tanpa berpikir lama, kami langsung menyanggupi dan juga tergerak untuk ikut dalam acara. Kami sangat bersyukur bisa menjadi saluran berkat secara langsung lewat acara ini. Semoga acara ini tidak hanya berhenti di sini tetapi tetap diadakan secara berkelanjutan, kami akan selalu siap berkontribusi dan berpartisipasi. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan sehingga kami bisa menjadi berkat dalam acara EKM 2024 ini.”   Kontributor: SS Franky Njoto, S.J. & Petrus Guntur Supradana, S.J. – Johar Baru

Penjelajahan dengan Orang Muda

F.O.M.O. : Filter Out Masalah dan Obsesimu 

Kolaborasi MAGIS Jakarta dan OMK HSPMTB Tangerang Gaya hidup fancy, seperti fashion terbaru, liburan keluar negeri, gadget termutakhir, pencapaian seseorang, dan lainnya, banyak bermunculan di media sosial. Bagi sebagian orang, hal tersebut menimbulkan tekanan emosional tersendiri, seperti perasaan terobsesi untuk mengikuti tren atau merasa kurang update terhadap sesuatu. Perasaan emosional yang muncul itu merupakan salah satu dampak  penggunaan media sosial. Bagi orang muda khususnya, ketika tidak bisa mengikuti  tren terbaru, muncullah perasaan tertinggal dan tidak percaya diri.  Menghindar dari media sosial mungkin sulit bagi sebagian besar orang muda. Apalagi kini, media sosial menjelma menjadi sarana yang efektif guna mengekspresikan dan membangun citra diri (personal  branding). Tak sedikit orang muda terobsesi dengan media sosial dan menjadikannya sebagai ajang pamer. Di lain sisi, perasaan terobsesi berlebih atau kecenderungan untuk terus membandingkan diri sendiri dengan konten media sosial akan memberikan dampak pada kesehatan mental orang muda.  Berangkat dari fenomena itu, Magis Jakarta berkolaborasi dengan Orang Muda Katolik Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda (HSPMTB) Paroki Tangerang menggelar talkshow tentang penggunaan media sosial yang berpengaruh pada  kesehatan mental, dengan tema ‘’FOMO: Filter Out Masalah & Obsesimu’’. Acara ini diselenggarakan pada Minggu, 4 Februari 2024 di Selasar Gereja HSPMTB Tangerang dan dihadiri oleh 90 orang peserta yang mayoritas adalah orang muda.  Talkshow yang diselenggarakan ini juga merupakan rangkaian kegiatan Ekaristi Kaum Muda yang menjadi ajang kolaborasi MAGIS Jakarta dengan OMK berbagai paroki di Keuskupan Agung Jakarta. Dalam kesempatan ini, Alexander Yosua (MAGIS Jakarta 2021), menggandeng Angelia Juwita dari OMK Paroki HSPMTB menjadi ketua panitia EKM. Persiapan telah dimulai sejak akhir tahun 2023. Pengurus dan alumni MAGIS Jakarta berpartisipasi aktif dalam kepanitiaan EKM dalam kolaborasi dengan teman-teman OMK serta Seksi Kepemudaan (SieKep) Paroki HSPMTB.  Talkshow ini difasilitasi oleh Kak Inca Agustina Arifin, M.Psi dan Fr. Albertus Alfian Ferry Setiawan, SJ. Pembahasan berangkat dari tema “Self-love” dan semakin mengerucut pada tema “FOMO (fear of missing out) yang diasosiasikan perasaan takut terasing karena ketinggalan berita atau tren. Istilah tersebut muncul di kalangan Gen Z yang lekat dengan media sosial. Banyak orang di zaman ini yang seakan tidak bisa lepas dari gawai dan media sosial, selalu haus dengan berbagai update. Kelekatan tersebut memunculkan perasaan fomo, yang kemudian mengganggu kesehatan mental seseorang.  Dalam sesi diskusi, para peserta yang hadir diajak memahami pentingnya kesehatan mental, menyadari fenomena fear of missing out, dan cara pencegahannya. Kak Inca mengawali sesi dengan mendefinisikan fomo sebagai rasa “takut merasa “tertinggal’’ karena tidak mengikuti aktivitas tertentu, sebuah perasaan cemas dan takut yang timbul di dalam diri seseorang akibat ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita, tren, dan lainnya.” Rasa takut ketinggalan ini mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal yang lebih baik, sedangkan dirinya sendiri tertinggal.  Para peserta talkshow juga diajak Kak Inka agar bisa melakukan deteksi mandiri apakah kita sudah terkena dampak fomo, yakni dengan cara menjawab benar atau  tidak pertanyaan-pertanyaan berikut :  Cara mengetahuinya, apabila kita memiliki sebanyak 3 jawaban benar atau lebih  maka bisa dikategorikan kita telah terkena fomo.  Diketahui ternyata fomo tidak hanya berkaitan perasaan terobsesi saja. Fomo juga menimbulkan dampak-dampak negatif, seperti gangguan pola tidur, kesulitan dalam mengambil keputusan yang benar dan bijaksana, gangguan pada hubungan dengan  orang-orang sekitar yang berarti, produktivitas terganggu, dan sulit fokus. Guna  menghindari itu, Kak Inka memberikan tips atau practical steps to overcome fomo,  yakni dengan cara melatih mindfulness, memahami apa yang dapat memicu perasaan negatif, membatasi penggunaan media sosial, menuliskan jurnal rasa  syukur untuk secara rutin menyadari aspek-aspek positif yang dimiliki, terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang berarti dan sesuai dengan tujuan atau nilai kehidupan, serta memelihara hubungan-hubungan yang berarti dalam hidup.  Fr. Ferry juga menawarkan latihan doa ala Ignatian sebagai  cara ampuh “penangkal” fomo, yaitu Examen Conscientiae. Examen dapat menjadi sarana bagi orang muda zaman sekarang untuk menyadari peristiwa yang dialami, beserta pengalaman dan perasaan dominan. Dalam Examen, orang diajak untuk  menemukan hal-hal yang disyukuri dalam sehari, juga berani menyesali perbuatan perbuatan buruk yang mungkin dilakukan, dan diakhiri dengan membuat niat untuk  menjadi pribadi yang lebih baik. Dominasi perasaan syukur diharapkan dapat  membantu orang muda untuk tidak terobsesi atau tidak lekat pada hal tertentu, atau  setidak-tidaknya mampu membedakan mana yang harus dilakukan dan tidak.  Talkshow yang dimulai pada pukul 14.00 WIB itu selesai pada pukul 16.30 WIB dan dilanjutkan dengan Ekaristi Kaum Muda, yang juga di dalamnya menampilkan teater dari OMK Paroki HSPMTB. EKM dipimpin oleh Pater Alexander Koko, SJ,  moderator MAGIS Jakarta. Dalam homilinya, Pater Koko berharap agar umat semakin dapat mengerti  bentuk cinta dari sekitar dan semakin mampu memberikan cinta pada orang-orang terdekatnya. Bisa jadi ada cinta yang tidak saling memberi dan menerima apabila kita, pelaku cinta, tidak memahami bentuk cintanya, seperti contoh bahasa cinta dari orang muda yang tidak dipahami oleh orangtua.  Suasana senang dan bahagia terlihat dari senyuman dan raut wajah para panitia kegiatan ini setelah seluruh rangkaian acara telah terlaksana. Para peserta dan panitia menutup acara dengan mengabadikan momen bersama. Rasanya tidak ingin mengucapkan “sayonara”. Gerimis di malam itu membuat acara perpisahan Magis Jakarta dan OMK HSPMTB menjadi haru. Usailah euforia persiapan dan pelaksanaan  EKM MAGIS Jakarta dan OMK Paroki HSPMTB. Kini yang  harus terus diupayakan adalah keberanian untuk melepaskan kelekatan dan menggenggam harapan. Esok akan bertemu di lain kesempatan. Kontributor: Samuel Rajagukguk dan Monica Yosinayang

Penjelajahan dengan Orang Muda

Mengkaji Larangan Pernikahan Beda Agama

Pada 11 November 2023, Kolese St. Ignatius mengadakan “Dialog untuk Aksi” (DIKSI) yang membahas topik mengenai pernikahan beda agama. Acara ini menghadirkan tiga narasumber antara lain Pendeta Dr. Murtini Hehanussa (Gereja Kristen Jawa), Rm. Dr. Tri Edy Warsono, Pr. (Dosen Hukum Kanonik) dan Dra. Mayawati Jati Lestari, M.T. (Kabid Dukcapil Sleman). Peserta dialog ini juga terdiri atas beragam kelompok orang muda, antara lain mahasiswa UKDW, Sanata Dharma, GMKI Yogyakarta, dan komunitas lintas agama YIPC. Pemilihan topik pernikahan beda agama merupakan upaya untuk menanggapi Surat Edaran Mahkamah Agama (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023. SEMA tersebut berisi larangan kepada semua hakim dalam mengizinkan pencatatan pernikahan beda agama. Padahal, perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pendeta Murtini menyampaikan pandangannya bahwa “SEMA tidak sesuai dengan hak asasi manusia, juga kondisi bangsa Indonesia yang sangat plural dan berdasarkan Pancasila.” Meskipun Gereja Kristen memiliki pandangan yang beragam, menurut Pendeta Murtini negara mestinya menghormati dan melindungi pilihan masing-masing warga negara, termasuk pilihan untuk menikah beda agama. Pernikahan adalah urusan manusia, peran negara adalah mencatat dan Gereja hadir untuk memberkati. Namun, Pendeta Murtini juga menekankan pentingnya komitmen pernikahan karena realitas pernikahan tak jarang penuh dengan kompleksitas dan tantangan. Dalam Gereja Katolik, pernikahan beda agama termasuk dalam perkawinan campur. Ada dua jenis perkawinan campur, yaitu perkawinan beda Gereja (membutuhkan izin) dan perkawinan beda agama (membutuhkan dispensasi). Dengan izin atau dispensasi, secara gerejawi tidak mengharuskan mereka yang non-Katolik berpindah agama. Ketentuan di Gereja Katolik ini menurut Rm. Tri Edy merupakan “wujud penghormatan terhadap agama masing-masing yang dilindungi oleh hukum Gereja.” Terkait SEMA, Rm. Tri Edy berpendapat bahwa produk hukum terkait pernikahan beda agama seharusnya tidak hanya dipandang oleh satu sudut pandang agama saja. Meskipun saat ini SEMA melarang pencatatan pernikahan beda agama, Ibu Mayawati memiliki pandangan hukum bahwa larangan dalam SEMA ini tidak mematuhi UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975. Ibu Mayawati menyebutkan bahwa “dalam PP No. 9 tahun 1975 pasal 10 dan 11 diatur tentang tata cara perkawinan yang menegaskan tentang status pencatatan perkawinan secara resmi.” Perkawinan tercatat secara resmi bila setelah perkawinan terjadi penandatanganan akta perkawinan oleh kedua mempelai, kedua saksi, dan pegawai pencatat. Artinya tata cara dan keabsahan perkawinan diatur menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaan, bukan diatur oleh negara. Selain itu, pencatatan secara resmi merujuk pada penandatanganan akta perkawinan, bukan pada regulasi yang lain. Dengan menguraikan argumentasi hukum ini, Ibu Mayawati mengajak agar generasi muda sungguh-sungguh paham dan ‘melek’ hukum, agar hak mereka untuk menikah tidak diintervensi dan dibatasi oleh kebijakan hukum yang tidak mematuhi regulasi yang telah berlaku. Dalam dialog bersama dengan para narasumber dan peserta dari kalangan muda ini ditegaskan bahwa larangan pencatatan pernikahan beda agama dianggap tidak terbuka pada realitas kemajemukan dan melanggar hak asasi serta ketentuan hukum. Saat ini masyarakat modern memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi dengan berbagai perjumpaan elemen hidup dan perubahan yang begitu cepat. Denyut perubahan dan kemajemukan ini seharusnya diikuti dengan keterbukaan dan keluwesan lembaga keagamaan dan kehadiran negara dalam menyesuaikan kebutuhan dan tuntutan zaman. Berhadapan dengan konteks masyarakat modern ini, heterogenitas dan kompleksitas sosial hendaknya diakomodasi secara bijaksana sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang selaras dengan nilai-nilai dalam berbagai agama. Jangan sampai produk hukum pernikahan beda agama tidak mengakomodasi keragaman perspektif berbagai agama, sehingga membuat kehidupan publik yang majemuk diatur hanya dengan satu perspektif agama tertentu. Kontributor: S. Ishak Jacues Cavin, S.J.