Pilgrims of Christ’s Mission

Pelayanan Masyarakat

Pelayanan Masyarakat

Stand with Rm. Stan Swamy, SJ

Pembela hak asasi manusia Rm. Stan Swamy, SJ telah ditahan oleh Badan Investigasi Nasional (NIA) India karena diduga memiliki hubungan dengan Maois. Rm. Stan, yang berusia 83 tahun dan dalam kesehatan yang buruk, telah bekerja sangat keras untuk orang-orang yang terpinggirkan, tertindas, dan rentan lainnya, terutama masyarakat adat di Jharkhand selama beberapa dekade. “Kami terkejut dan kecewa mengetahui bahwa Rm. Stan Swamy SJ, yang telah bekerja sepanjang hidupnya untuk mengangkat orang-orang yang tertindas dan rentan lainnya, telah ditahan oleh NIA,” kata Rm. George Pattery SJ, Presiden Jesuit Conference of South Asia (JCSA), dalam surat terbuka tertanggal 9 Oktober menuntut pembebasan segera Rm. Stan. Sekretariat Keadilan Sosial dan Ekologi Serikat Jesus (SJES) di Roma juga telah menyatakan dukungannya. Sebuah pernyataan yang diterbitkan di situs webnya mengatakan: “Kami, sebagai Jesuit yang terlibat dalam dunia pendidikan, peduli dan membela hak-hak orang miskin dan tersingkir di seluruh dunia. Kami bersolidaritas dengan Stan dan pembela hak asasi manusia lainnya di India serta mengutuk keras penangkapan Rm. Stan Swamy. Kami juga menuntut pembebasannya segera, dan menentang penangkapan sewenang-wenang warga negara yang taat hukum dan tidak bersalah. “ Rm. Stan telah diinterogasi beberapa kali selama lebih dari 15 jam oleh NIA di kediaman Jesuit di Bagaicha, Ranchi pada Juli dan Agustus lalu. Penangkapannya pada 8 Oktober diduga terkait dengan kasus kontroversial Bhima Koregaon – Elgar Parishad di mana para penyelidik mengklaim bahwa para perusuh terinspirasi oleh orasi yang menghasut dan pernyataan yang provokatif dari Romo Stan. Rm. Stan membantah keras tuduhan yang mengaitkannya dengan Kelompok Maois dan percaya kalau ia ditangkap karena perbedaan pendapatnya dengan beberapa kebijakan pemerintah. Dalam video yang dibuat sebelum penangkapannya, Rm. Stan menyatakan, “Apa yang terjadi pada saya sangatlah biasa. Banyak aktivis, pengacara, penulis, jurnalis, pemimpin mahasiswa, penyair, cendekiawan, dan lainnya yang juga membela hak-hak Adivasis, Dalit, dan mengungkapkan perbedaan pendapat mereka telah menjadi sasaran pemerintah. ” Rm. Stan selalu setia menangani berbagai masalah komunitas Adivasi tentang hak atas tanah, hak hutan, hak buruh, dan representasi anggota komunitas di negara bagian Jharkhand. Ia pernah bersikap vokal ketika ribuan Adivasis muda ditangkap tanpa pandang bulu karena di-cap ekstremis “Naxals” oleh lembaga investigasi. Rm. Stan juga mengajukan petisi ke Pengadilan Tinggi Jharkhand melawan kebijakan pemerintah serta meminta semua tahanan tersebut dibebaskan, serta menjalankan pelaksanaan persidangan secepat mungkin. Dalam keterangan persnya, Jesuit Conference of South Asia menyebutkan bahwa sangat menyedihkan pria lanjut usia itu dibawa dari kediamannya di Ranchi ke Mumbai walaupun ada arahan dari pemerintah Jharkhand bahwa mereka yang berusia di atas 60 tahun tidak boleh bepergian keluar rumah karena pandemi Covid-19. Rm. Stan telah menginformasikan kepada para pejabat bahwa ia tidak dalam kondisi baik untuk melakukan perjalanan lama dan jauh mengingat usianya yang sudah lanjut dan situasi pandemi ini. Ia juga menyatakan bersedia ditanyai melalui konferensi video. Rm. Stan akhirnya dibawa ke Pengadilan Sesi di Mumbai dan kemudian dipenjarakan di Taloja. Jesuit Conference of South Asia (JCSA) menyatakan pada Senin, 12 Oktober yang lalu menjadi Hari Solidaritas Nasional untuk Rm. Stan. JCSA juga telah membuat situs web dan petisi untuk pembebasan Rm. Stan yang dapat ditandatangani di sini. Jesuits in South Asia (JCSA)

Pelayanan Masyarakat

PESAN BAPA SUCI PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI MIGRAN DAN PENGUNGSI SEDUNIA YANG KE 106, TAHUN 2020

[27 September 2020] Seperti Yesus Kristus,  dipaksa untuk mengungsi. Menyambut, melindungi, mempromosikan, dan  mengintegrasikan pengungsi dalam negeri Pada awal tahun ini, dalam Pidato saya kepada anggota Korps Diplomatik yang terakreditasi ke Tahta Suci, saya mengarahkan perhatian  pada tragedi orang-orang yang mengungsi di dalam negeri  sebagai salah satu tantangan dunia kita saat ini: “Situasi konflik dan darurat kemanusiaan, yang diperburuk oleh perubahan iklim, meningkatkan jumlah pengungsi dan berdampak bagi orang-orang yang sudah hidup dalam kemiskinan yang parah. Banyak negara yang sedang mengalami keadaan ini, menderita  kekurangan sarana yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pengungsi ”(9 Januari 2020). Dikasteri Bagian Migran dan Pengungsi untuk Mempromosikan Pembangunan Manusia Seutuhnya  telah mengeluarkan dokumen “Orientasi Pastoral mengenai para pengungsi di dalam negeri” (Kota Vatikan, 5 Mei 2020), yang bertujuan untuk menginspirasi dan mendorong karya pastoral Gereja di bidang khusus ini. Karena alasan-alasan ini, saya telah memutuskan untuk mempersembahkan  Pesan ini bagi  drama para pengungsi dalam negeri, sebuah tragedi yang sering tidak terlihat dan bahwa krisis global yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 semakin membuat keadaan mereka semakin buruk. Bahkan, karena kedahsyatannya, keparahan dan sebaran  geografisnya, krisis ini telah membawa dampak pada banyak darurat kemanusiaan lainnya yang mempengaruhi jutaan orang. Ternyata urgensi perjuangan internasional untuk menyelamatkan nyawa dikalahkan bahkan ditaruh ke urutan paling bawah pada agenda politik nasional.  Tetapi “ini bukan saatnya untuk menjadi lalai.  Krisis yang kita hadapi seharusnya tidak membuat kita melupakan banyak krisis lain yang membawa penderitaan bagi begitu banyak orang” (Pesan Urbi et Orbi 12 April 2020). Mengingat peristiwa-persitiwa sedih  yang telah menandai tahun 2020, saya ingin pesan ini, meskipun berkaitan dengan orang-orang terlantar dalam negeri, juga untuk merangkul semua orang yang mengalami situasi genting, ditinggalkan, terpinggirkan dan ditolak sebagai akibat  dari COVID-19. Saya ingin memulai dengan gambar yang menginspirasi Paus Pius XII dalam Konstitusi Apostoliknya, Exsul Familia (1 Agustus 1952). Selama pelariannya ke Mesir, kanak-kanak Yesus bersama  dengan orang tua-Nya mengalami nasib yang menyedihkan yang dialami oleh mereka yang terlantar  dan pengungsi, “yang ditandai dengan ketakutan, ketidakpastian dan kegelisahan (lih. Mat 2: 13-15, 19-23). Sayang bahwa di zaman kita sekarang, jutaan keluarga juga mengalami  kenyataan menyedihkan ini. Hampir setiap hari televisi dan surat kabar memuat berita tentang para pengungsi yang melarikan diri dari kelaparan, perang dan bahaya besar lainnya, untuk mencari keamanan dan kehidupan yang bermartabat bagi diri mereka sendiri dan keluarga mereka ”(Angelus, 29 Desember 2013). Dalam diri masing-masing orang ini, yang dipaksa melarikan diri ke tempat yang aman, Yesus hadir sebagaimana Dia hidup  pada zaman Herodes. Dalam wajah orang yang lapar, haus, telanjang, sakit, asing dan tahanan, kita dipanggil untuk melihat wajah Kristus yang meminta kita untuk memberi bantuan (lih. Mat 25: 31-46). Jika kita dapat mengenali-Nya pada  wajah-wajah mereka itu, kita akan menjadi orang yang berterima kasih kepada-Nya karena dapat bertemu, mencintai, dan melayani Dia melalui mereka. Orang-orang yang kehilangan tempat tinggal memberikan kita kesempatan ini untuk bertemu dengan Tuhan, “meskipun mata kita merasa sulit untuk mengenalinya: pakaiannya compang-camping, kakinya kotor, wajahnya cacat, tubuhnya terluka, tidak bisa berbicara dengan bahasa  kita” (Homili, 15 Februari 2019). Kita dipanggil untuk menanggapi tantangan pastoral ini dengan empat kata kerja yang saya sebutkan dalam Pesan saya untuk Hari ini pada tahun 2018: menyambut, melindungi, mempromosikan dan mengintegrasikan. Untuk kata-kata ini, sekarang saya ingin menambahkan enam pasang kata kerja yang berhubungan dengan tindakan yang sangat praktis dan terkait satu sama lain dalam hubungan sebab dan akibat. Anda harus tahu untuk bisa paham. Pengetahuan adalah langkah penting untuk memahami orang lain. Yesus sendiri memberi tahu kita tentang hal ini dalam kisah para murid di jalan menuju Emaus: “Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran,  datanglah  Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan  mereka. Tetapi  ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak mengenal Dia” (Luk 24: 15- 16). Ketika kita berbicara tentang migran dan pengungsi, terlalu sering kita berhenti pada statistik. Tapi ini bukan tentang statistik, ini tentang manusia nyata! Jika kita bertemu mereka, kita akan mengetahui lebih banyak tentang mereka. Dan dengan mengetahui cerita mereka, kita akan bisa memahaminya. Kita ak.an dapat memahami, misalnya, bahwa kerawanan yang kita alami sebagai akibat  pandemi ini ternyata dialami terus-menerus dalam kehidupan para pengungsi. Perlu menjadi dekat agar bisa melayani. Ini mungkin tampak jelas, namun seringkali justru sebaliknya. “Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiramnya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya (Lk 10:33-34). Ketakutan dan kecurigaan  – terlalu banyak kecurigaan  – menjauhkan kita dari orang lain dan sering mencegah kita dari “menjadi sesama” bagi mereka dan melayani mereka dengan cinta. Mendekatkan diri pada  orang lain seringkali berarti bersedia mengambil risiko, seperti yang diajarkan kepada kita oleh banyak dokter dan perawat dalam beberapa bulan terakhir. Kesiapan untuk mendekat dan melayani ini lebih dari sekadar perasaan wajib. Yesus memberi kita contoh terbesar tentang hal ini ketika Dia membasuh kaki murid-Nya, melepas jubah-Nya, berlutut dan mengotori tangan-Nya (lih. Yoh 13: 1-15). Agar dapat berdamai, kita perlu mendengarkan. Allah  sendiri yang mengajar kita dengan mengutus  Anak-Nya ke dunia. Dia ingin mendengarkan permohonan umat manusia yang menderita dengan telinga manusia: “Karena Allah begitu mengasihi dunia  ini, sehingga Ia telah mengaruniakan  Anak-Nya yang tunggal , supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam  dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan supaya dunia diselamatkan melalui Dia” (Yoh 3: 16-17). Cinta yang mendamaikan dan menyelamatkan dimulai dengan mendengarkan. Di dunia sekarang ini, pesan-pesan  berlipat ganda tetapi praktik mendengarkan menjadi hilang. Namun hanya dengan mendengarkan dengan rendah hati dan penuh perhatian kita dapat benar-benar diperdamaikan. Pada tahun 2020, keheningan telah berkuasa selama berminggu-minggu di jalanan kita. Keheningan yang dramatis dan menyedihkan, tetapi yang telah memberi kita kesempatan untuk mendengarkan permohonan dari yang rentan, yang terlantar dan permohonan planet kita yang sedang sakit parah. Mendengarkan memberi kita kesempatan untuk berdamai dengan sesama  kita, dengan semua orang yang telah “dibuang”, dengan diri kita sendiri dan dengan Allah, yang tidak pernah bosan menawarkan kemurahan hati-Nya  kepada kita. Supaya

Pelayanan Masyarakat

Komunitas Le Cocq d’Armandville Papua Tanggap Covid-19

Komunitas Le Cocq d’Armandville Nabire, Papua mau menceritakan pengalaman terlibat dalam Gerak Solidaritas Tanggap Covid-19. Gerakan utama kami adalah mengadakan dan mendistribusikan masker kain gratis bagi masyarakat, khususnya di Kota Nabire dan sekitarnya. Mulai tanggal 12 April sampai 4 Juni kemarin, total 4.445 masker kain sudah kami bagikan. Selain itu ada juga 2 gerakan lain, yakni membagikan bahan makanan bagi umat di Paroki Kristus Sahabat Kita, serta lapangan pekerjaan bagi masyarakat.Pembagian masker kain sebagai gerak utama komunitas merupakan hasil diskresi bersama berdasarkan ketepatan dan relevansi konteks Nabire saat ini. Pertimbangan ketepatan dan relevansi itu berdasarkan kemampuan kami (tenaga dan dana) serta kebutuhan masyarakat yang paling mendesak. Banyak masyarakat di sini yang masih belum sadar akan bahaya Covid-19. Terbukti dengan kerap dijumpainya masyarakat yang bepergian ke luar rumah tanpa menggunakan masker kain. Masker kain yang kami bagikan sebagian berasal dari pesanan di empat tukang jahit sekitar sini, lalu sebagian lainnya adalah sumbangan umat di Jawa (Jakarta, Bandung, dll). Semangat awalnya, kami ingin mencoba juga untuk menjahit sendiri masker-masker tersebut, tapi kemudian kami sadar tidak ada yang terampil menggunakan mesin jahit. Daripada hasilnya kacau dan tidak segera jadi, maka kami putuskan untuk menyerahkan pembuatan masker kepada para tukang jahit tersebut. Pilihan tersebut sekaligus bertujuan untuk mendayagunakan para penjahit yang sepi orderan selama awal-awal masa wabah ini. Masker-masker tersebut selanjutnya kami bagikan kepada masyarakat melalui dua cara. Pertama, kami membagikan langsung kepada mama-mama dan para pedagang di pasar tradisional. Lalu cara kedua, kami menitipkan masker di puskesmas-puskesmas untuk dibagikan kepada masyarakat yang datang berobat tanpa menggunakan masker. Kami membagikan masker kain ini ke semua masyarakat Papua, tidak pandang bulu apakah umat Katolik atau bukan, asli orang Papua atau pendatang. Rasanya campur aduk ketika membagikan masker itu. Heran, keget, sekaligus juga ada sedihnya. Ketika membagikan masker di pasar tradisional, di antara mereka ada mama-mama yang berkata, “dipakai sekarang atau nanti?” Beberapa lainnya menyatakan, “ahh…sa tra (saya tidak) mau pakai masker. Ada Tuhan Yesus, sa tra takut Corona!” Ungkapan-ungkapan itu sepintas tampak lucu. Tapi lebih dalam lagi justru menunjukkan kemirisan: sosialisasi bahaya wabah yang tidak sampai ke mereka dan terlalu beriman lurus tanpa menggunakan akal sehat. Dua realitas yang membuat miris tersebut masih mudah ditemui hingga saat ini, padahal sudah terdapat 20 kasus positif Covid-19 di kota kecil ini.Selain masker kain, kami juga membantu memberikan paket bahan makanan untuk umat di Paroki Kristus Sahabat Kita. Total 230 paket bahan makanan telah disalurkan oleh Paroki. Paket tersebut berisi beras 4 liter, minyak goreng 1 liter, gula pasir 1 kg, teh 250 gram, garam, dan mie instan 10 bungkus. Gerak terakhir yang sesuai dengan konteks masyarakat di sini adalah memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Idenya adalah bukan hanya melulu ikan yang kami berikan, tetapi kami juga mau memberikan pancingnya. Kami mencoba membantu mereka yang kesulitan pekerjaan akibat dampak dari wabah ini. Ada sekitar 6 orang masyarakat yang kami ajak bekerjasama di kebun depan Wisma SJ. Mereka mengolah tanah tersebut untuk ditanami sayuran, ketela, dan buah-buahan. Selain mendapatkan ongkos kerja, nantinya mereka juga akan menikmati hasil panenan kebun tersebut. Demikian cerita singkat yang bisa kami sharing-kan. Kami bersyukur karena di tengah keterbatasan sarana yang ada masih tetap bisa ikut terlibat dalam gerak bersama masyarakat, gereja, dan dunia untuk menghadapi wabah ini. Salam sehat dalam perutusan. A. Agung Nugroho, SJ

Pelayanan Masyarakat

Provinsialat berbagi Masker dan Baju Hazmat

Provinsialat Serikat Jesus mendapatkan sumbangan 100 baju hazmat dan 8100 masker dari Alumni Kolese Kanisius Jakarta. Sumbangan yang didapatkan langsung disalurkan ke tempat-tempat yang membutuhkan. Untuk baju hazmat sejumlah 100 pcs langsung disalurkan ke Rumah Sakit St. Elisabeth, Semarang. Untuk 8100 masker dibagikan berbagai tempat seperti, ke Kelurahan Lempongsari (2000 pcs) dan diterima langsung oleh Pak Dilinov, selaku Pak Lurah, dan disalurkan ke warga-warga kelurahan untuk di Puskesmas, Posyandu, pertemuan-pertemuan dan berbagai kegiatan lainnya. Kemudian masker juga dibagikan ke KPTT salatiga (500 pcs) dan diterima langsung oleh Rm. Sugiarto, SJ yang akan diperuntukan para karyawan KPTT karena dalam suasana seperti ini KPTT tetap berjalan seperti biasa agar tanaman-tanaman dan hewan-hewan yang diperlihara tetap hidup. Juga diberikan ke RS. St. Elisabeth (1000 pcs) untuk karyawan-karyawan yang tidak berhubungan langsung dengan pasien. Untuk paroki-paroki kami membagikan juga ke Paroki St. Yusuf, Ambarawa dan Lapas Ambarawa (1600 pcs), Paroki St. Isidorus, Sukorejo (1200 pcs), Paroki St. Antonius, Kendal (600 pcs), Paroki St. Martinus, Weleri (1000 pcs). Untuk komunitas kami sendiri yaitu para Romo dan Karyawan Argopuro, kami menyisihkan 400 pcs untuk kami sendiri dan untuk tamu-tamu yang berkunjung ke Provinsialat Argopuro.

Pelayanan Masyarakat

Mengenal Eco Camp Mangun Karsa

Awal kisah adalah perjumpaan penulis dengan Rama M. Windyatmaka SJ. Itu terjadi pada awal tahun 2016. “Rama Wir, mbok Grigak njenengan tiliki! Lahane Rama Mangun empun disertifikasi, njur ajeng dianggorke  ngoten mawon napa?” Itulah kira-kira pesan Rama Windy yang terekam dalam memori penulis. Daya tarik paling kuat untuk pergi ke Grigak tentu saja adalah kenangan akan tokoh Rama Mangun. Tokoh ini pernah penulis kunjungi di tahun 1986 bersama mahasiswa Realino dan Syantikara saat  tinggal dan berkarya di pantai bertebing tinggi bernama Pantai Grigak antara tahun 1986 s/d 1990.  Kenangan kuat akan Rama Mangun dengan gubuk kecilnya di Pantai Grigak akhirnya mendorong penulis untuk secepatnya mengunjungi tempat itu dengan ditemani oleh Pak A. Tripriantoro selaku Ketua Prodi Pendidikan Biologi USD, tiga orang mahasiswa, Pak Pur tokoh umat, dan Pak Sukirno, pak dukuh Karang teman dekat Rama Mangun. Dari kunjungan ini diperoleh gambaran tentang Pantai Grigak yang telah berubah total.   Di tahun 1986, tempat ini sangat gersang, berbatu, sangat kering di musim kemarau. Hanya rumput kolonjono, ketela pohon, dan jagung yang bisa dibudidayakan di musim hujan. Kini tempat ini menjadi sangat hijau karena telah menjadi hutan dengan dominasi pohon pule, keben, akasia, asem kranji, dll. Saat kunjungan itulah dilontar pertanyaan Pak Pur kepada penulis : “Rama Wir, tulung dipenggalih lahan sekawan hektar berstatus hak milik PGPM niki kedahe dinapakke! Rama Wir rak mantan provinsial lan mantan rektor, mestine kagungan wawasan  jembar!” Dari sentilan Pak Pur ini penulis mengajak teman-teman dosen di USD dan UAJY mengembangkan gagasan tentang sebuah eco-camp sebagai wadah untuk melanjutkan karya, cita-cita, dan semangat pengabdian Rama Mangun di Pantai Grigak. Gayung pun bersambut. Tanggal 07 September 2016 diselenggarakan musyawarah masyarakat Dukuh Karang dengan acara membahas kesepakatan masyarakat tentang sebuah eco-camp di lahan bekas milik Rama Mangun dan pemberian namanya oleh masyarakat.   Pertemuan ini dihadiri oleh tim lapangan dari LPPM UAJY, wakil Fakultas Sains & Teknologi USD, wakil Rotary Club Yogyakarta Malioboro, tokoh-tokoh kunci masyarakat yakni Bpk. Sukap selaku mantan Lurah, Bpk. Priyadi selaku Lurah Kelurahan Girikarto,  Bpk. Martosukirno selaku Kepala Dukuh Karang, seluruh Ketua RT/RW Dukuh Karang, segenap tokoh informal masyarakat Dukung Karang. Masyarakat Dukung Karang menyatakan kesepakatan mendukung penuh eco camp dan memberikan nama Eco Camp Mangun Karsa. Mengapa dipilih nama ini? Pertama, nama “Mangun Karsa” dimaknai sebagai ungkapan kebulatan hati masyarakat untuk bisa mewujudkan kehendak (bahasa Jawa : “karsa”) Rama Mangun  yakni pelestarian sumber air dan tercukupinya kebutuhan air masyarakat. Kedua, kata “Mangun Karsa” juga diartikan sebagai usaha bersama masyarakat untuk membuat Pantai Grigak “wangun” atau pantas dikunjungi masyarakat.  Ketiga, kehadiran sebuah Eco-Camp dengan nama “Mangun Karsa” bisa dimaknai sebagai usaha membangun kehendak kuat di tengah masyarakat  untuk bisa melestarikan wilayah pantai Grigak yang hijau sebagai model yang pantas dicontoh untuk Kabupaten Gunung Kidul. Dalam musyawarah ini diputuskan pula pendirian perkumpulan milik masyarakat bernama Perkumpulan Eco Camp Mangun Karsa. Perkumpulan ini disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI melalui SK Nomor AHU-0002939.AH. 01.07.TAHUN 2019 TENTANG PENGESAHAN  PENDIRIAN BADAN HUKUM PERKUMPULAN  ECO CAMP MANGUN KARSA. Kesungguhan masyarakat mendukung gagasan eco-camp mendorong teman-teman di UAJY dan USD untuk memohon dukungan pimpinan Keuskupan Agung Semarang. Pada hari Senin, tanggal 24 Oktober 2016 berhasil diselenggarakan pertemuan khusus yang dihadiri oleh wakil-wakil dari UAJY, USD, Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED), dan Masyarakat Dukuh Karang. Melalui pertemuan ini disepakati pembentukan panitia khusus bernama Panitia Penyiapan Lokasi Eco-Camp Mangun Karso di bawah naungan Keuskupan Agung Semarang. Panitia ini baru mendapat pengesahan oleh Bapak Uskup KAS yang baru yakni Mgr. R. Rubiyatmoko, melalui Surat Keputusan No. oo12/B/IV/b-43/18. Tugas pokok panitia ditetapkan : a) menyusun proposal penggalangan dana, b) mengadakan penggalangan dana, c) melakukan penyiapan fisik lokasi, d) membentuk struktur organisasi, dan e) membangun jaringan kemitraan. Sejauh penulis diserahi sebagai ketua panitia, langkah pertama yang diambil adalah mengirimkan proposal penggalangan dana ke sejumlah rekan nostri yang memiliki relasi dengan perorangan, umat, atau lembaga yang bisa diharapkan bantuan dananya. Di sini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada nostri yang banyak membantu pencarian dana seperti Rm. J. Maryana SJ, Rm. A. Mardisantosa SJ, Rm. M. Maharsono Probho SJ, Rm. S. Bb Ponco Santosa SJ, Rm. Y.W. Wartaya Winangun, SJ, Rm. E. Didik Cahyono W., SJ, Rm. M. Irwan Susiananta, SJ, Rm. FX. Widyatmaka, SJ, dan Rm. St. Bagus Aris Rudijanto, SJ. Dari bantuan rama-rama ini panitia berhasil menggalang dana sekitar 1,6 milyar. Lewat jalur Serikat Jesus, panitia mengajukan proposal bantuan dana ke FACSI. Pada bulan Juni mendatang ini akan diputuskan nasib proposal tersebut. Bantuan berupa dana talangan senilai 5,5 milyar diberikan oleh Keuskupan Agung Semarang untuk membeli tambahan lahan seluas 10 ha bagi perluasan Eco Camp Mangun Karsa sehingga kini luas keseluruhan mencapai 14 ha. Bantuan dana lain sejumlah 500 jutaan berasal dari mitra panitia yakni Rotary Club Cabang Malioboro, USD, dan UAJY. Bantuan khusus dalam bentuk pembangunan embung diberikan oleh Yayasan Obor Tani dan Yayasan Coca Cola.   Selain penggalangan dana kegiatan utama panitia adalah penyiapan lokasi. Kegiatan meliputi seperti pengeboran sumur, pelebaran serta pengerasan jalan masuk, penataan landscape, pembuatan kolam-kolam untuk budidaya ikan dan permainan anak-anak, pembuatan gardu pandang, pemasangan PATS (Pompa Air Tenaga Surya), dan pembangunan embung. Ada dua sumur bor yang berhasil digali. Sumur pertama sedalam 90 m sedangkan sumur kedua sedalam 243 m. Mgr. J. Sunarko SJ diundang secara khusus untuk mendeteksi titik-titik sumber air yang bisa digali. Saat ini yang tengah dilakukan adalah  pembangunan embung yang sepenuhnya ditangani oleh Yayasan Obor Tani milik Pak Budi Darmawan dari Semarang dengan menggunakan dana dari Yayasan Coca Cola. Kegiatan non fisik  panitia adalah penyiapan organisasi dan pembangungan jaringan kemitraan. Penyiapan organisasi di lapangan sudah dianggap selesai dengan pembentukan Perkumpulan Eco-Camp Mangun Karsa milik masyarakat yang nanti akan diserahi tugas sebagai pengelola eco camp. Penyiapan organisasi di tingkat keuskupan masih dalam proses. Jaringan kemitraan yang telah dibangun antara lain kemitraan dengan Rotary Club, Yayasan Obor Tani, Yayasan Coca Cola, Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, Yayasan Sanata Dharma, Yayasan Slamet Riyadi, Yayasan Karya Bakti, dan Yayasan Sandjojo. Cukup banyak mahasiwa yang tertarik untuk mendukung proyek ini. Dari berbagai kampus di Yogyakarta mereka menghimpun diri dalam suatu kelompok bernama Kelompok Relawan Peduli Grigak. Ketertarikan bergabung dalam kelompok

Pelayanan Masyarakat

Paroki Kampung Sawah berbagi Makan Siang

Pater Provinsial Serikat Jesus dalam suratnya mengajak kita mendukung berbagai inisiatif yang muncul untuk menanggulangi bencana ini. Kita patut menghargai dan mendukung inisiatif dari berbagai karya yang berupaya mewujudkan solidaritas dalam krisis ini. Paroki St. Servatius Kampung Sawah juga membagikan makan siang kepada para sopir ojol yang lewat di depan Gereja. Namun tidak hanya mereka saja, para sopir angkot yang lewat juga diberikan karena mereka saat ini sulit mendapatkan penumpang saat pemerintah mengatakan #dirumahaja.  

Pelayanan Masyarakat

Solidaritas Magis Indonesia

Komunitas Magis Jakarta (Komunitas Orang Muda Katolik Ignasian) hari ini memberikan sumbangan berupa logistik hazmat dan surgical mask untuk Rumah Sakit Palang Biru Kutoarjo, Jawa Tengah yang disalurkan lewat Jaringan Katolik Melawan Covid-19 (JKMC) serta kelompok rentan dampingan Lembaga Daya Dharma Jakarta. Sumbangan logistik ini diberikan langsung oleh Frater Cavin, SJ beserta Frater Boni, SJ mewakili komunitas Magis Jakarta dengan kerjasama dengan LDD Jakarta dan JKMC.⁣⁣@magis.indonesia@gueldd@covid19.catholicfight #dirumahaja⁣#solidaritascovid19⁣#JesuitIndonesia⁣#JesuitSolidarity⁣#JesuitStories⁣#JesuitInitiatives⁣#lawancorona⁣#IndonesiaLawanCovid19⁣#bersatumelawancovid19