Pilgrims of Christ’s Mission

Feature

Feature

Tidak Perlu Menunggu Sempurna untuk Mulai Melayani

Perkenalkan, nama saya Cliff, salah satu dari admin dan pendiri SaintPedia. Izinkan saya berbagi cerita tentang akun SaintPedia beserta timnya berdasarkan sudut pandang saya dan Hendy, rekan diskusi yang membantu penulisan ini. Mungkin teman-teman yang lain akan menyampaikannya dengan cara yang mirip atau bahkan sangat berbeda. Namun, semoga apa yang saya dan Hendy sampaikan cukup mewakili apa yang hendak disampaikan oleh mereka.   SaintPedia awalnya berasal dari inisiatif dan kerinduan dua admin pertama yakni Reynald dari Semarang dan Alvino dari Padang yang terhubung di sosial media tanpa sengaja, atau mungkin lebih tepatnya, dari penyelenggaraan Ilahi. Keduanya sama-sama berminat akan devosi kepada para kudus dan memiliki beberapa relikwi. Saya kurang tahu bagaimana tepatnya mereka bisa tiba pada obrolan mengenai relikwi, tapi yang pasti mereka sepakat bahwa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas karunia relikwi yang telah mereka terima, mereka hendak membuat suatu akun Katolik di Instagram guna memperluas informasi mengenai devosi-devosi kepada para kudus dan sarana-sarananya. Tidak lama dari pembahasan itu, saya yang berada di Jakarta dihubungi oleh Reynald yang baru saja saya kenal, juga lewat sosial media. Dari sanalah kami membahas dengan lebih serius hingga pada 8 September 2020 kami mulai launching akun dengan nama SaintPedia beserta konten pertamanya, yakni katekese dasar mengenai penghormatan pada para kudus dan relikwi. Orang kudus pelindung kami adalah Beato Carlo Acutis, mengingat beliau sendiri dianggap sebagai perintis dari katekese berbasis daring. Sosok beliau tampak pada logo kami yang didesain oleh Reynald dan Josephine. Ketika tim awal mulai terbentuk, kami juga ingin memastikan bahwa akun kami akan selalu sejalan dengan ajaran Gereja. Oleh karena itu, kami meminta kesediaan RP. Antonius Hermanto, CDD untuk menjadi imam pembimbing sekaligus yang memastikan tulisan-tulisan kami tidak “nyeleneh” atau bertentangan dengan ajaran Gereja.   Lewat bantuan dan kolaborasi dari rekan-rekan akun Katolik lainnya akun kami berkembang. Kami merekrut beberapa tim tambahan dari teman-teman dan followers yang kami rasa dapat membantu kami. Perlahan, jumlah kami bertambah menjadi sepuluh orang, termasuk romo, dengan kontribusi yang berbeda-beda. Xenia membantu kami sebagai admin, Thomas membantu sebagai MC jika kami mesti melakukan live-streaming, Josephine membantu Reynald dalam proses pengeditan Canva, Hendy, Nilsen, Alvino, dan Michael membantu saya dan Reynald dalam proses penulisan artikel. Kami tidak membagi rata sejak awal peran masing-masing. Kami sepakat bahwa semua akan memberi bantuan sesuai kesanggupannya. Grup WhatsApp kami juga tidak pernah kekurangan pembahasan setiap harinya sejak awal, kecuali jika semuanya sedang sibuk dengan kewajiban masing-masing.   Saat ini, saya rasa tim SaintPedia sudah melangkah cukup jauh dari titik awalnya. Peziarahan bersama kami telah memberikan kesempatan untuk melakukan pewartaan, baik sebagai tim maupun secara individu. Beberapa kali kami menerima undangan untuk berkolaborasi dengan akun-akun katekese lainnya, akun-akun Orang Muda Katolik, akun-akun tarekat, dan lain-lain. SaintPedia juga sudah diajak untuk membawakan materi, baik di paroki maupun komunitas-komunitas. Kesempatan untuk memperluas bentuk pelayanan kami, dari hanya upload konten menjadi interaksi dengan dialog secara langsung, baik secara daring maupun luring, menjadi berkat tersendiri. Pada momen-momen seperti ini, kami diteguhkan karena menyadari bahwa kami berbicara kepada sesama saudara dalam Kristus, bukan sebatas username pada akun media sosial.     Jika kami membuka kolom komentar atau DM, kami menemukan bahwa ada juga dari antara followers yang merindukan suatu bentuk interaksi yang lebih manusiawi. Tidak sedikit yang mengambil kesempatan untuk terhubung dengan kami, baik dengan memulai diskusi maupun sekadar sambat kepada admin yang sedang membuka akun. Kami merasa terhormat jika ada di antara mereka yang merasa terbantu lewat dialog yang terjadi sehingga mengalami pertumbuhan iman dan devosinya atau dapat menemukan seorang pendengar pada kami untuk keluh kesah mereka. Kami juga merasa senang atas apresiasi-apresiasi yang sering diungkapkan oleh para followers. Sekadar “Terima kasih, Min!” sudah cukup menyemangati kami. Tentunya, semua ini kami hayati sebagai berkat yang kami terima dari Allah.   Hal lain yang tidak kalah menyenangkan adalah ketika kami berjumpa secara langsung. Meskipun anggota kami akhirnya selain Reynald, Alvino, dan Josephine berasal dari Jakarta, tetapi kebanyakan dari kami memiliki jadwal yang sangat padat. Momen-momen tertentu seperti ketika Reynald yang di Semarang atau Romo Hermanto dari Malang sedang datang ke Jakarta menjadi ajang bagi kami untuk menyempatkan diri bertemu. Reynald sendiri juga biasanya akan menyambut kami jika kami sedang berada di Semarang untuk berziarah bersama. Begitu juga dengan Romo Hermanto. Tambah menyenangkan lagi jika sedang ada event di mana kami bertemu langsung dengan rekan-rekan admin atau tim dari akun Katolik lain. Disaat-saat seperti inilah kebersamaan kami sebagai satu komunitas paling terasa.   Tentu ada saat-saat di mana semangat kami menjadi kendor. Sebagai mahasiswa dan orang muda yang baru memulai karier, kami harus pintar-pintar mengatur waktu. Ada saat di mana beberapa di antara kami terasa ‘menghilang’ karena memiliki kesibukan yang berbeda dengan anggota yang lain. Hal ini terasa menyedihkan, terlebih ketika mengingat waktu saat semuanya masih memiliki waktu senggang yang sama, sehingga terasa lebih ramai. Misalnya, dulu kami akan rutin mengadakan misa daring komunitas, tetapi semenjak pandemi berakhir sudah tidak lagi. Adanya perbedaan waktu senggang ini juga kadang menyebabkan perasaan sedih karena ada kalanya merasa kurang berkontribusi dibanding rekan-rekan yang lain. Ada kalanya juga malah perasaan yang muncul adalah kecewa dengan diri sendiri karena merasa kurang banyak berkontribusi. Meskipun demikian, kami tahu bahwa apa yang kami upayakan adalah sesuatu yang baik sehingga selalu worth it untuk memperjuangkannya.   Ada juga saat-saat di mana umat dan bahkan kalangan klerus yang meragukan atau meremehkan upaya kami. Terkadang ada pihak yang meragukan konten katekese yang kami berikan karena kami awam dan muda. Tentu secara manusiawi kami dapat saja merasa tersinggung. Namun, dalam refleksi bersama, kami menyadari bahwa hal ini merupakan tantangan bagi kami untuk menyikapi bentuk pelayanan ini lebih serius. Kami berupaya untuk memperlengkapi diri kami semaksimal mungkin agar cukup siap untuk melakukan tugas katekese ini, selain selalu memeriksakan draft konten kami kepada Romo Hermanto. Misalnya, beberapa dari kami mengambil kursus-kursus katekese dan saya sendiri mengambil kursus khusus hagiografi (riwayat hidup orang-orang suci). Sebagai pelengkap, kami juga mengambil kelas-kelas cara penulisan, pembuatan konten, dan sejenisnya. Kami berusaha untuk dapat menyajikan katekese dengan baik dan akurat.   Untuk ke depannya, kami berharap dapat terus melayani dengan cara yang sama. Rasanya, dinamika kami, sekalipun tidak sempurna,

Feature

Dunia Digital dalam Masyarakat

1. Dunia digital dan dampaknya bagi penggunaan media digital bagi masyarakat Kini zamannya media, disebut era komunikasi mandiri massal. Media menjadi penting sebagai sarana utama membangun identitas dan berbagi narasi secara online. Pada gilirannya hubungan yang dimediasi ini terwujud dalam kehidupan offline sehari-hari (McQuail & Deuze, 2020). Tanda-tandanya, makin lama makin banyak orang, tapi tidak semua, menggunakan cellphone (HP). Kita mudah menjumpainya, di keramaian, kampus, sekolah, gereja, juga di jalanan.   Itulah sedikit gambaran tentang dunia digital. Para pengguna bertukar pesan atau informasi dengan memakai perangkat digital yang tersambung internet. Berkat internet, pertukaran informasi tak hanya terjadi antarkota, tapi antarnegara. Tanpa batas. Dunia digital juga dikenal sebagai era informasi (information age). Sebuah era masa kini di mana kehidupan kita semakin dikelilingi lebih banyak perangkat digital ketimbang generasi sebelumnya. Keadaan yang membuat kita terhubung dengan dunia yang penuh dengan gagasan, pembelajaran, dan peluang-peluang (dictionary.cambridge.org).   Keberlimpahan informasi membuat seseorang memiliki banyak pilihan, meskipun sebaliknya bisa mengakibatkan kebingungan. Hidup terasa lebih mudah dan nyaman. Media sosial menghubungkannya. Ingin membaca buku, koran, menonton film, video, podcast, pesan makanan, membeli barang, atau curhat dengan teman yang jauh di seberang lautan hingga seberang negara, semuanya terkoneksi.   Dunia virtual memiliki dampak. Banyak dampak yang positif, namun ada juga yang merugikan terhadap individu, kelompok, dan organisasi. Juga dalam berbagai bidang, antara lain pendidikan, politik, ekonomi, dan agama. Dampak positif sekaligus negatif di bidang pendidikan terekam nyata saat pandemi Covid-19 dan setelahnya. Pembatasan di mana-mana. Orang sulit atau bahkan tidak bisa berpindah tempat atau beranjak dari rumah ke pasar, ke toko, apalagi ke luar kota. Media digital menjadi penolong, menerobos jarak dan hambatan tersebut. Pekerjaan kantor, kampus, dan sekolah tatap muka diganti daring. Dosen, mahasiswa, dan siswa tetap berada di rumah, di kos, dan malahan sambil mengerjakan aktivitas lain. Kerugiannya, konsentrasi atau fokus siswa dan mahasiswa terganggu oleh kondisi di sekitar, teman kos, saudara, tamu, termasuk gangguan suara. Dosen ngomong sendiri karena mahasiswa tak ada di layar dengan alasan jaringan terganggu.   Dampak buruk lanjutannya, murid SD makin akrab dengan telepon seluler dan membuatnya nyaris tak terpisahkan. Waktu bermain game lebih banyak ketimbang waktu belajar, apalagi bila tidak didampingi orang dewasa. Situasi ini juga terjadi di kalangan mahasiswa. Sebelum Covid, mahasiswa cukup berdisiplin tidak menggunakan HP di ruang kuliah. Tapi saat ini hampir tak ada mahasiswa yang mau melepaskan gawainya di kelas. Mereka menunduk, sibuk berkomunikasi dengan dunia di luar kelas.   Dampak lanjutannya terus berlangsung. Pertemuan tatap muka di kelas makin tak bernilai karena dianggap bisa digantikan pertemuan dalam jaringan. Laporan UNESCO tentang Pemantauan Pendidikan Global 2023 bertajuk Technology in education – A tool on whose term? mengatakan pentingnya belajar hidup, dengan teknologi digital maupun tanpanya. Namun diingatkan untuk mengambil yang diperlukan dari informasi yang berlimpah, mengabaikan yang tidak dibutuhkan, membiarkan teknologi mendukung, namun tidak menggantikannya. Hubungan antarmanusia tetap menjadi dasar pengajaran dan pembelajaran. Fokusnya harus pada hasil pembelajaran bukan masukan digital. Laporan juga mengingatkan bahwa untuk meningkatkan pembelajaran, teknologi digital tidak boleh menjadi pengganti melainkan pelengkap interaksi tatap muka dengan guru.   Dalam konteks Indonesia, dampak buruk di dunia pendidikan maupun sosial kemasyarakatan telah berjangkit sejak media digital masuk ke negeri kita melalui aplikasi media sosial yang semula terbatas untuk kelompok kecil lalu berkembang untuk jumlah besar. Aplikasi media sosial yang membatasi jumlah huruf atau karakter memaksa pengguna menghemat kata dan kalimat, melahirkan berbagai singkatan yang tidak wajar. Lebih buruk dari itu adalah pemakaian kata dan kalimat tidak baku. Kebiasaan sementara yang terus berulang dari waktu ke waktu membentuk kebiasaan permanen. Menulis dengan buruk, lalu membawanya ke forum resmi di lembaga pendidikan. Tulisan anak sekolah, makalah mahasiswa, artikel jurnal para dosen, hingga komunikasi tulisan di kantor pemerintah, lembaga bisnis, dan masyarakat luas tersusun dengan kacau.   Komitmen sebagai orang terpelajar maupun warga negara untuk menulis secara baku mengikuti kaidah bahasa Indonesia semakin merosot. Jumlah orang yang mengabaikan bahasa tulis standar ini semakin bertambah. Sebagai warga negara, mereka melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Sungguh memprihatinkan karena penyikapan atas pengabaian penghormatan kepada bahasa nasional amat minim atau hampir tidak ada. Semestinya, Bahasa Indonesia yang baku merupakan Bahasa Indonesia yang digunakan orang-orang terdidik serta dipakai sebagai tolak ukur penggunaan bahasa yang benar. Di dalam ragam yang standar ini terdapat sifat kemantapan dinamis dan ciri kecendekiaan. Bahasa selalu mengikuti aturan yang permanen, tetapi terbuka menerima perubahan yang bersistem. Ciri ragam ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk mengungkapkan proses pemikiran yang rumit di berbagai bidang kehidupan dan ilmu pengetahuan (Aminah dkk dalam Devianty, 2021).   2.Situasi dan kondisi komunikasi digital saat ini, khususnya di Indonesia  Dalam pergaulan global, negara kita menduduki posisi keempat terbesar di dunia sebagai pengguna internet setelah China, India, dan Amerika Serikat. Posisi ini membutuhkan sejumlah prasyarat, seperti mengatasi kesenjangan, menjaga keamanan dan kemerdekaan berinternet, dan mengembangkan perekonomian digital.   Merujuk Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), terdapat 221.563.479 pengguna internet dari total populasi 278.696.200 orang dengan penetrasi sebesar 79,5% (apjii.or.id, 7 Februari 2024). Urutan penetrasi tertinggi berada di Jawa (83,64%), kemudian Kalimantan (77,42%), Sumatera (77,34), Bali dan Nusa Tenggara (71,80%), Maluku dan Papua (69,91%), terlemah di Sulawesi (68,35%) (katadata.co.id). Keadaan ini menggambarkan kesenjangan digital. Bagi Afzal dan kawan-kawan (2023), kesenjangan digital (digital divide) menyoroti kesenjangan antara kelompok terpelajar dan tidak berpendidikan. Perbedaan kepemilikan komputer, akses teknologi informasi, dan metrik dasar konektivitas internet yang menjelaskan stratifikasi sosial di tingkat nasional maupun internasional. Maka kesenjangan digital harus diselidiki. Kesenjangan di negeri kita menggambarkan ketidaksetaraan gender karena perempuan memiliki waktu lebih lebih sedikit dalam menggunakan gawai lantaran bertumpuknya pekerjaan.   Kegairahan bermedia sosial (medsos) warga terutama melalui WhatsApp, sebagai aplikasi paling disukai (90,9%), disusul Instagram (85,3%), Facebook (81,6%), TikTok (73,5%), Telegram (61,3%), X atau Twitter (57,5%), Facebook Messenger (47,9%), Pinterest (34,2%), Kuaishou (32,4%), dan Linkedl (25%) seyogianya dibekali dengan keterampilan literasi media. Dalam peristiwa besar pandemi Covid-19 atau pemilihan umum, para ahli dan praktisi komunikasi mendorong masyarakat membekali diri dengan literasi media agar tidak terjerumus ke dalam berbagai kerugian. Literasi digital menjadi aspek krusial saat menghadapi infodemik. Ia mencakup kemampuan memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara bijaksana dari berbagai sumber online (Birowo, 2023).

Feature

Ketika Kepentingan dan Kemurnian Bercengkrama di Jombor

Tulisan ini hasil refleksi pandangan kami sebagai pihak yang ‘berkepentingan.’ Mulanya, kami datang sebagai tamu yang ‘terpaksa’ terlibat karena sebuah tuntutan dalam organisasi yang menaungi kami, KEMANT UGM. Namun, kepentingan inilah yang pada akhirnya membawa kami mengenal sebuah ‘penerimaan’ berharga dari keluarga Realino SPM. Kami merasa keluarga ini terbentuk karena sebuah panggilan dengan akar kasih dan kerinduan melayani. Panggilan itulah yang terus Realino pegang sebagai sebuah prinsip, ketaatan, dan komitmen dari tahun ke tahun. Bukan suatu kebetulan ketika Keluarga Mahasiswa Antropologi (KEMANT UGM) diperkenalkan salah satu volunteer dari Realino SPM. Dia adalah ketua organisasi kami sendiri. Jika memang disebut kebetulan, maka kebetulan ini layak untuk dirayakan. Proses merayakan dan dirayakan pada tulisan ini, akan kami fokuskan pada kegiatan di Komunitas Belajar Realino (KBR) di Jombor yang berlangsung pada Sabtu, 28 Oktober 2023. Tepatnya saat itu adalah hari Sumpah Pemuda. KEMANT UGM berkolaborasi dengan Realino SPM melakukan sebuah pengabdian sekaligus kontribusi kepada saudara-saudara kita yang terpinggirkan. Tema yang kami angkat adalah keberagaman. Tema ini kemudian dibungkus dalam sebuah aktivitas yang secara tidak langsung melatih kognitif, psikomotorik, dan afektif anak. Pada jenjang TK, kami ajak mereka mewarnai gambar yang melambangkan kebhinekaan. Di kelompok SD kecil, kami kenalkan mereka tentang wayang. Sedangkan di SD besar kami berbagi ilmu ragam motif batik. Sayangnya, anak-anak pada jenjang SMP yang rencananya akan kami perkenalkan pada bentuk-bentuk wilayah Indonesia, tidak hadir hari itu. Aktivitas-aktivitas di atas sepertinya terkesan sederhana. Dalam persiapan, ternyata rencana kegiatan terus mengundang revisi dan perdebatan ringan antara kami KEMANT UGM. Konsep dan rundown yang kami rancang, pada akhirnya tak bisa jadi pegangan. Kami melaksanakannya tanpa ancang-ancang yang cukup baik. Hal-hal tak terduga, kendala yang muncul di hari-H, cukup membuncah dan menguras tenaga. Semua perasaan dan pikiran itu tidak sekejap lenyap ketika kami sudah berada di lokasi. Kami akui ini pengalaman kami yang pertama kali. Rasanya sangat asing. Ada kesulitan membangun relasi dan melakukan pendekatan kepada anak-anak untuk berinteraksi. Kami belajar mencoba memahami setiap pribadi, membuka diri saling menghargai. Kami belajar membiasakan menanggapi dan membangun hubungan emosional dengan anak-anak yang masih polos. Hal paling penting adalah memposisikan diri tidak menjadikan mereka merasa berbeda dari kami, melainkan sahabat. Kami merasa layak dirayakan karena disambut hangat ketulusan Komunitas Realino SPM yang mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan. Kami juga merasa dirayakan sebab mendapat kekuatan dan kebahagiaan dari ketulusan anak-anak di Jombor. Kami mampu berproses karena mendapat bimbingan dan arahan teman-teman volunteer Realino. Kami sanggup menjalankan rencana ini karena belajar dari kejujuran dan keterbukaan anak-anak tentang bagaimana mengungkapkan perasaan dan pemikiran mereka. Kami merayakan pengalaman ini dengan penuh sukacita, gelaran tikar sebagai alas bincang-bincang. Ada banyak warna yang tertuang, sekaligus tawa yang terlukis manis. Kepentingan awal kami dan ketulusan perjumpaan berhasil dipersatukan, bersinergi dan bercengkrama untuk satu tujuan sama, kasih yang memanusiakan sesama. Kami, awalnya, merasa kegiatan ini sebatas tanggung jawab pada organisasi. Namun kemudian, ini berubah menjadi rasa empati dan ingin melakukan yang terbaik bagi anak-anak di Jombor. Kami menyadari bahwa mereka memiliki hak dan kelayakan yang sama untuk meraih mimpi sama seperti anak-anak lainnya. Pasti bukan perkara mudah terus berinovasi supaya dapat menarik minat anak-anak setiap minggunya. Bukan perkara mudah pula terus berkomunikasi di tengah kesibukan pribadi dan kuliah. Realino berhasil bertahan di Jombor dan kami harap akan berkembang untuk waktu yang lama. Inilah perayaan yang kami ingin tuangkan melalui tulisan. Kami harap ini dapat memberikan kelegaan dan kekuatan bagi semua yang membaca, juga dapat merasakan ikatan emosional yang kami rasakan selama berdinamika di Jombor. Kontributor: Keluarga Mahasiswa Antropologi (KeMAnt) UGM

Feature

Diskusi & Deklarasi Kebangsaan di STF Driyarkara Jakarta

Pada hari Senin, 5 Februari 2024, STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara Jakarta menggelar sebuah diskusi dan deklarasi kebangsaan mengenai situasi demokrasi akhir-akhir ini. Diskusi dan deklarasi ini bertajuk “Seruan Jembatan Serong II: Nurani Memanggil.” Diskusi dan deklarasi ini sebenarnya bukan yang pertama kalinya karena pada 27 November 2023, STF Driyarkara telah menginisiasi “Seruan Kebangsaan: Forum Lintas Generasi”, mengenai harapan bangsa di tengah situasi bangsa yang sedang tidak baik-baik saja. Dalam seruan yang kedua ini, Pater Augustinus Setyo Wibowo, S.J. dan Stefanus Pramono (wartawan Tempo) turut-serta menjadi narasumber forum diskusi, dilanjutkan dengan pernyataan, dan konferensi pers oleh perwakilan civitas academica STF Driyarkara Jakarta. Menyoal Etika Politik dan Bernegara Dalam diskusi mengenai etika politik dan bernegara, Pater Setyo mengawali pemaparannya mengenai etika dan politik Aristoteles. Seperti di dalam kuliah-kuliah Filsafat Yunaninya, Pater Setyo menyegarkan kembali ingatan hadirin yang sebagian besar civitas academica STF Driyarkara dan pernah belajar mengenai ide-ide Filsafat Yunani Kuno. “Etika dan politik bagian rumpun pengetahuan Aristoteles yang tak-terlepas satu sama lain karena bagi Aristoteles hanya lewat hidup berkeutamaan kita bisa bahagia,” kata beliau. Pada akhir pemaparannya, Pater Setyo mengingatkan cita-cita bangsa yang memuat etika politik dan bernegara serta tertuang dalam “Tujuan Negara Alinea ke-4 UUD 1945.” “Itulah tujuan hidup bangsa Indonesia. Itulah kebahagiaan yang hendak dituju saat kita berkomitmen hidup dalam NKRI. Sejak Reformasi 1998, kita berkomitmen bahwa sarana untuk mencapai tujuan tersebut adalah demokrasi yang inspirasi pokoknya adalah kesetaraan. Visi STF Driyarkara adalah mencerahkan budi, mengasah nurani, dan menggerakkan aksi. Peristiwa MK (Mahkamah Konstitusi) dan MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) yang mengaburkan nalar serta mengusik nurani rakyat membuat mulut kami harus berbicara,” tegas Pater Setyo. Apabila Pater Setyo mengantar diskusi dengan pemaparannya seperti di dalam ruang kelas, Stefanus Pramono lebih banyak bercerita sebagaimana profesinya sebagai wartawan Tempo dengan analisis-analisisnya yang bernas. Mas Pram, sapaan akrabnya, juga menyoroti bagaimana kecemasan mengenai demokrasi ini “semakin menjadi” melalui pengalamannya menyimak laporan-laporan Majalah Tempo yang sudah terverifikasi. Mas Pram bercerita bahwa bermula dari 2019, sinyal pelemahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah kuat. Selain itu, bagi Mas Pram berpikir tiga periode saja sudah salah, apalagi mengobrak-abrik konstitusi negara melalui MK. “Ini merupakan proses penghancuran demokrasi dengan melangkahi konstitusi,” tandas Mas Pram yang sering tampil dalam podcast Tempo bernama “Bocor Alus” di YouTube. Mengakhiri cerita-ceritanya, Mas Pram berkata, “Saya tidak anti-Jokowi, saya tidak anti-Prabowo, tapi saya anti-Dinasti Politik.” Pernyataan Terbuka untuk Demokrasi Setelah diskusi di aula STF Driyarkara berakhir, segenap civitas academica STF Driyarkara juga melakukan mimbar bebas berisi pernyataan dan konferensi pers oleh perwakilan mahasiswa dan para dosen STF Driyarkara. Prof. Dr. Magnis Suseno, Dr. Simon L.P. Tjahjadi, dan Dr. Karlina Supelli turut serta berorasi dan menyampaikan pernyataan. Aida Princessa Leonardo sebagai perwakilan mahasiswi STF Driyarkara membuka mimbar bebas melalui orasinya. Dia berorasi tentang keprihatinannya mengenai keadaan demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini menjelang Pemilu 2024, “Kebebasan sipil sedang dilukai.” Pada bagian akhir, dia menyampaikan sebagaimana direfleksikan oleh Prof. Dr. Driyarkara bahwa “Manusia adalah kawan bagi sesamanya.” Selain itu, alumni STF Driyarkara, Pak Arief Susanto, pengajar di Universitas Paramadina, juga turut hadir dan memberi orasi. Pater Magnis menyampaikan tiga hal. Pertama, dalam demokrasi kita harus menerima hasilnya. “Memang perlu dengan kritis dan harus kritis,” kata beliau. Kedua, beliau menghimbau supaya pemilu dapat terselenggara dengan syarat-syaratnya, yakni jujur, adil, sesuai peraturan, dan transparan. Kita mengawasi yang paling bertanggung jawab, yakni Presiden. Ketiga, dalam memilih hendaknya kita mencegah yang paling buruk berkuasa, sebuah ungkapan yang seringkali disampaikan Pater Magnis dan didengarkan masyarakat. Mimbar bebas diakhiri dengan orasi Bu Karlina yang mengingatkan kita semua akan tanggung jawab perguruan tinggi. Beliau juga menuturkan bahwa perguruan tinggi punya sejarah panjang, mengembangkan tradisi, moral, dan kemampuan intelektual. Semua ini tertuang dalam satu: kebenaran demi kemaslahatan bersama dan terejawantahkan dalam moralitas. Perguruan tinggi itu sudah seharusnya mencerahkan masyarakat demi kebaikan umum. Mengutip kata-kata Ki Hajar Dewantoro, ia menuturkan, “Tujuan pendidikan warga-negara yang sejati adalah untuk negara dan masyarakat. Dosen dan mahasiswa punya tanggung jawab moral intelektual, apalagi melihat di negeri ini jabatan telah terdesak luangan-angan kegelapan yang tercederai. Seruan ini disampaikan sebagai seruan moral dan tugas pengabdian masyarakat-nusa-bangsa, bukan kepentingan politik. Marilah kita mendengarkan dan melaksanakan, terutama guru besar dan dosen.” Ia mengajak agar segenap civitas academica jangan membiarkan demokrasi dirusak dan penguasa mempertahankan kekuasaan. Setelah orasi-orasi dalam mimbar bebas dinyatakan, mewakili Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi-seluruh Indonesia, Pater Simon L.P. Tjahjadi sebagai Ketua STF Driyarkara memimpin deklarasi, yang memuat tiga hal pokok, antara lain; Pertama, ingatlah kembali sumpah jabatan Anda untuk berbakti kepada Nusa dan Bangsa serta memenuhi kewajiban Anda seadil-adilnya. Kami meminta Anda berkompas pada hati nurani dan berpegang secara konsekuen pada Pancasila, dasar filsafat dan fundamen moral kita. Kedua, kembalikan keluhuran eksistensi Indonesia dengan menghormati nilai-nilai politik yang diwariskan para Pendiri Bangsa Kita, bukan malah merusaknya lewat berbagai pelanggaran konstitusional dan akal-akalan undang-undang yang menabrak etika berbangsa dan bernegara. Hentikan penyalahgunaan sumber daya negara untuk kepentingan pelanggengan kekuasaan. Selain kepada hukum dan prinsip demokrasi, Anda bertanggung jawab kepada Tuhan. Ketiga, kepada segenap warga Indonesia kami menyerukan agar memanfaatkan hak pilih Anda pada Pemilu 2024 secara bijak, dengan antara lain mencermati rekam jejak para calon presiden dan partai pendukungnya, dalam kesetiaan mereka pada penegakan HAM dan komitmen menghapus praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang telah merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai bersama. Mari berdoa, berjuang dan bersaksi bagi Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, dan adil. Sebagaimana deklarasi ini merupakan perumusan oleh Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi se-Indonesia, pokok-pokok deklarasi itu juga telah ditandatangani oleh (1) Prof. Dr. Armada Riyanto, STFT Widya Sasana, Malang; (2) Dr. Elias Tinambunan, STFT St. Yohanes, P. Siantar; (3) Dr. Otto Gusti Madung, IFTK Ledalero, Maumere; (4) Dr. C.B. Mulyatno, Fakultas Teologi Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma; (5) Dr. Barnabas Ohoiwutun, STF Seminari Pineleng, Minahasa; (6) Drs. Y. Subani, Lic. Iur. Can., Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandira, Kupang. Pemilu: Orkestrasi Moral, bukan Orkestrasi Elektoral Belaka Diskusi dan deklarasi ini semakin mendesak mengingat masyarakat Indonesia tengah merayakan pesta demokrasi dalam pemilu. Di tengah pesta demokrasi ini, situasi demokrasi di Indonesia tampak sedang tidak baik-baik saja, mendung kian gelap di langit politik Indonesia. Ada

Feature

Dari Pingit Kami Belajar Melayani

Pingit merupakan tempat yang pasti banyak dikenang oleh seluruh anggota kelompok kami. Bagaimana tidak? Tempat tersebut menjadi destinasi pelayanan yang paling berbeda karena waktu pelayanannya di malam hari dan tentu saja pengalaman-pengalaman kami menghadapi anak-anak di kelas SD besar secara spesifik. Permulaan pelayanan kami bisa dibilang tidak baik. Keterlambatan beberapa anggota mengharuskan anggota lainnya meninggalkan mereka di hotel untuk berangkat lebih dahulu. Tentu keputusan tersebut sulit dilakukan apalagi setelah tahu bahwa anggota-anggota yang terlambat ini sebenarnya berada di belakang bus. Keterlambatan juga tidak hanya terjadi sekali di dalam Mission Trip ini, tetapi lebih dari sekali. Perlu adanya konsekuensi supaya kami semua bisa belajar dari kesalahan-kesalahan dan menumbuhkan sikap disiplin sebagai karakter. Kelas SD besar ini menjadi semacam spotlight bagi kami karena kericuhan yang terjadi di dalamnya. Kelas yang diawali dengan hanya enam orang yang mengurusnya, berubah menjadi hampir sekelompok yang harus turun tangan untuk membantu. Kelas SD besar ini diawali dengan bersih-bersih dan di situlah enam anggota awal mulai merasa kewalahan. Kelas yang harus dibersihkan dipenuhi dengan benturan meja, teriak anak-anak dalam bahasa Jawa, teriakan kata-kata kotor, dan juga bercandaan tidak pantas di dalam kelas. Mungkin tidak dikatakan secara verbal, tetapi tatapan mata dari enam anggota awal itu kepada satu sama lain mengatakan hal yang sama bahwa ini akan menjadi kelas yang sulit. Dengan suara yang sedikit lebih tegas, akhirnya kelas tersebut bisa dikendalikan dan semua sudah mulai tenang. Sejujurnya, kelas tersebut walaupun sudah mulai tenang tetap diisi oleh sahutan dari sana-sini dalam bahasa yang tidak kami mengerti artinya. Ada beberapa kata yang terdengar kasar tetapi tidak bisa juga kami menafsirkan makna asli dari kata tersebut. Perhatian kami tertuju kepada salah satu anak di dalam kelas itu. Ia bernama Adit. Adit tiba-tiba lari keluar kelas saat sedang pengenalan. Jika boleh jujur, tim kami sudah tidak menghiraukannya karena memang dialah si pembuat onar dan susah diatur. Dia pulalah tersangka utama pelaku candaan tidak pantas. Saat Adit kembali, dia membawa kipas angin besar, menempatkan di mejanya, dan menyalakannya. Tentu saja, kelas yang sudah mulai bisa diatur kembali kacau. Anak-anak berlari mengerumuni kipas tersebut, membentur-benturkan meja, dan semua jadi berantakan lagi. Semua anggota tim saling menatap dan bisa ditebak apa yang mereka pikirkan. Akhirnya, tim memulai aktivitas pertamanya, yaitu cerdas cermat. Baru saja memasuki pertanyaan matematika ketiga, kami semua sepakat bahwa anak-anak benar-benar tidak akan menghiraukan kami dan terus berteriak-teriak. Kami tahu bahwa anak-anak lebih menyukai pelajaran IPS. Oleh karena itu, kami berbalik ke arah situ saja. Semua berjalan lebih lancar. Dari menebak negara berdasarkan bendera hingga mengingat Pancasila. Lalu sampailah pada permainan rantai kata. Anak-anak membentuk sebuah rantai dimana setiap orang akan mengucapkan kata menurut kategori yang diberikan. Pertama-tama, kategori yang diberikan adalah kata yang diawali dengan huruf K. Kucing, kancing, keledai hingga sampailah giliran Adit. Dengan santai dan percaya diri, ia menyebut kata tidak sopan dan tidak pantas. Permainan berlanjut dan akhirnya para anggota memutuskan untuk melakukan kategori binatang dalam permainan rantai kata ini. Kucing, babi, burung. Akhirnya kembali lagi kepada Adit. Adit ini menunjuk salah satu anggota dan dengan lantangnya mengatakan anjing tetapi dalam bahasa Jawa kasar. Pada titik itu, sudah banyak dari para anggota kelompok kami yang sudah mengerumuni pintu dan melihat penyebab dari keributan ini sambil siap-siap membantu enam orang anggota tim awal ini. Disambut juga oleh Adit yang melemparkan pakaian dalam di area kelas. Akhirnya, para anggota menegur anak-anak di kelas itu dengan keras. Kami menginginkan mereka tahu bahwa perilaku mereka tidak pantas dilakukan. Anak-anak ini masih muda dan Perkampungan Sosial Pingit ini seharusnya sebuah tempat belajar, tempat mereka mendapat edukasi. Kami menjadi penasaran, hal apa saja yang mempengaruhi mereka sehingga tidak ada rasa hormat atau tata krama, setidaknya kepada kami? Di tempat pelayanan ini, kami benar-benar diajarkan bagaimana caranya bersabar dan tentu banyak pembelajaran yang kami dapatkan. Kami belum pernah menjadi guru. Ketika menjadi guru seperti saat ini, kami jadi tahu perasaan mereka saat menghadapi kelas yang begitu sulit diatur. Kini kami mengerti betapa lelah dan sulitnya mengontrol emosi dengan baik dalam situasi-situasi seperti ini. Selain belajar bersabar, kami juga bisa lebih mengapresiasi guru-guru yang tidak hanya mengelola satu kelas, tetapi banyak kelas dalam waktu delapan jam. Kami juga ingin menyebut nama yang sangat bangga untuk kami tuliskan di sini, Olivia. Olivia adalah salah satu anak kelas SD besar yang sangat ribut dan sulit untuk tenang. Ia tetap diam dan justru menasehati teman-temannya saat mereka berkata kasar atau berperilaku tidak sopan meskipun ia tidak dihiraukan. Ia juga menghampiri anggota-anggota yang bertugas dan menyemangati mereka yang sudah terlihat kewalahan menghadapi anak-anak lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memang dipengaruhi lingkungan mereka, tetapi semua kembali lagi kepada sikap dan reaksi individu sendiri atas pengaruh lingkungan. Olivia membuktikan bahwa ia bisa dan tetap tegas kepada karakternya dan tidak menjadi seperti yang lain di dalam kelas itu. Ia membuat kami percaya bahwa kami juga bisa demikian dan tidak membiarkan hal negatif mempengaruhi kami dan menyalahkannya hanya karena lingkungan kami. Sebuah perjalanan naik dan turun melayani Perkampungan Sosial Pingit. Emosi-emosi yang meluap dan juga kejadian-kejadian tidak diduga terjadi di sini. Mungkin ada banyak hal yang bisa dikatakan jika ditanya, “Bagaimana pengalamanmu di Perkampungan Sosial Pingit?” Dari sekian banyak kata yang bisa diungkapkan, seluruh kelompok kami pasti setuju dengan satu kata: mengesankan. Kontributor: Siswa-siswi Universitas Pelita Harapan College

Feature

Kebersamaan, Menghargai dan Menerima Sesama

Toleransi!!! Kata toleransi sudah tidak asing lagi di telinga kita. Tentang toleransi ini, pada suatu kesempatan, saya terkesan dengan kalimat sebuah artikel di laman bola.com, “Toleransi mengajarkan kita kebersamaan, menghargai, dan menerima sesama.” Kalimat ini berkesan bagi saya karena negara kita, Indonesia adalah negara dengan dasar Pancasila dan tersusun dari berbagai perbedaan masyarakatnya. Ada perbedaan suku, ras, agama, sosial, ekonomi, pulau, budaya, bahasa, pendapat, dan banyak perbedaan lainnya. Perbedaan itu membuat kita semakin kaya dalam keberagaman. Saya ingin bercerita tentang pengalaman saya mengenai toleransi dan perbedaan, khususnya di Asrama Realino Yogyakarta. Saya seorang mahasiswi Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma. Saya biasa disapa Echa, berasal dari Bomomani, Mapia, Papua. Sejak awal di Yogyakarta, untuk menjalani pendidikan, saya tinggal di Asrama Realino. Sebelumnya, selama menempuh pendidikan sekolah menengah atas saya sempat tinggal di asrama sekolah di Nabire. Saya beranggapan, waktu itu, bahwa saya sudah punya sikap dan jiwa toleransi. Namun, setelah merantau, saya merasa ada yang kurang. Alasannya, lingkungan pergaulan saya hanya sebatas lingkungan asrama, sekolah, dan keluarga yang mayoritas beragama Katolik dan dari daerah yang sama. Memang ada pula kenalan dari daerah lain tetapi itu sedikit sekali. Hati saya agak ketar-ketir ketika mengetahui saya diterima di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Situasi ini mengajak saya keluar dari zona nyaman pergaulan dan bertemu banyak orang dari latar belakang sangat berbeda. Apalagi di Prodi Pendidikan Agama Katolik, saya berjumpa dengan teman-teman dari seluruh nusantara. Saya belajar tentang kebersamaan, menerima, dan menghargai setiap proses perjumpaan dengan teman-teman baru. Tentu hal pertama yang saya lakukan adalah menerima diri sendiri supaya bisa mengalami kebersamaan, menerima, dan menghargai pribadi yang lain. Ketika saya refleksikan lagi, saya ingat frase menerima diri sendiri sebelum menerima orang lain ini dari renungan Pater Setyawan, S.J. saat retret angkatan kami di Syantikara. Beliau menyampaikan, “kalau belum bisa menerima diri bagaimana mau menerima orang lain.” Sama halnya dalam toleransi. Belajarlah kebersamaan, menghargai, dan menerima dirimu sendiri baru kemudian belajar kebersamaan, menghargai, menerima sesama. Pengalaman bertoleransi kemudian semakin nyata saya rasakan di Asrama Realino. Saya sangat bersyukur tinggal di Asrama Realino. Di sini, saya belajar lebih percaya diri dan menerima diri apa adanya lewat perjumpaan dengan pribadi dan kebersamaan di Realino SPM. Saya belajar dan mengalami kebersamaan, menghargai, dan menerima perbedaan di Asrama Realino. Asrama ini unik, menarik, sekaligus menantang saya untuk berkembang. Di sini saya berjumpa dan hidup bersama dengan teman-teman dari suku, budaya, ras, agama, dan latar belakang yang berbeda. Ini berbeda dari pengalaman di lingkungan sebelumnya di Nabire maupun lingkungan kampus. Asrama Realino mendorong saya untuk semakin mengembangkan diri lagi. Saat ini ada 16 teman saya di asrama dengan latar belakang berbeda. Mereka berasal dari Sumatra, Nias, Sleman, Ganjuran, Ketapang, dan Kendal. Ada teman-teman yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik. Selain teman-teman asrama, kami didampingi para romo, bruder, karyawan Realino, teman-teman bengkel, Komunitas Volunteer Realino, para perawat, dan dokter Klinik Pratama Realino. Hal yang menarik bagi saya adalah ketika makan bersama kami bisa belajar berbagai bahasa daerah. Sesekali kami juga mengenalkan makanan khas daerah masing-masing. Saat memberikan jawaban kepada teman-teman yang bertanya asal dan identitas, saya bisa jujur menjelaskan dan lebih percaya diri. Selain itu, kami belajar bersama untuk saling menghargai dan mengalami toleransi secara nyata. Menarik juga bahwa kadang teman-teman asrama yang beragama Islam atau Kristen sesekali mengingatkan kami yang Katolik untuk misa harian dan misa mingguan di Gereja. Perbedaan yang ada di lingkungan Realino justru telah membentuk saya menjadi pribadi yang bisa menghayati toleransi. Dari situ saya menyadari bahwa saya bukan lagi belajar toleransi namun menjadi pelaku toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Terima kasih kepada setiap pribadi yang bermurah hati membantu Asrama Realino. Ad Maiorem Dei Gloriam Kontributor: Theresa Kegiye

Feature

Berbakti di Beringharjo

Ceritaku Di Temu Kolese Pagi sekali aku merasakan tepukan ringan di tangan kananku. Karena lelah akan hari yang telah berlalu, aku tidak mengambil pusing dan memutuskan kembali tidur. Lagi-lagi, Aku merasakan tepukan yang lebih keras. Aku pun memutuskan membuka mata. Tidak, bukan malaikat yang membangunkanku pagi itu. Panitia Temu Kolese yang giat melaksanakan tugasnya pagi-pagi dengan membangunkanku karena tanda pita di tanganku. Di tengah lelahnya diriku, walaupun sedikit kesal, aku berusaha menyadarkan diri agar tidak membuat kelompokku menunggu. Aku ingat kala itu pukul 02.00 pagi, tidak sering aku harus bangun sepagi itu. Kemarin aku baru saja sampai di Kolese De Britto, Yogyakarta, setelah perjalanan yang panjang. Aku tersenyum ketika mengingat pelepasan kontingen peserta Kolese Kanisius kemarin lusa, terlebih lagi canda-tawa yang kami bagikan sesaat sebelum tertidur lelap di bus. Sialnya, aku mendapatkan tempat duduk di samping cello (alat musik) berukuran besar milik performer dari SMP. Ya, walaupun sempit, tetapi setidaknya aku masih dapat menikmati perjalanan. Sakit pinggang bukan tantangan jika hadiahnya adalah kunjungan ke Yogyakarta, apalagi menemui rekan-rekan dari delapan kolese dan seminari di Indonesia. Ketika baru sampai, aku merasa sedikit cemas bagaimana nantinya akan menyapa yang lain. Mungkin aku harus belajar cara ngomong yang agak medok… Mungkin aku harus belajar kosakata Bahasa Jawa… Mungkin aku harus belajar sopan santun mereka… Itulah beberapa pikiranku yang mengganggu selama perjalanan. Mungkin suara-suara di dalam kepalaku terkesan aneh bagimu, wahai pembaca, tetapi aku memang sedikit anti sosial. Semua pikiran buruk itu pecah bagaikan balon ketika aku dan kontingen CC lainnya turun dari bus dan disambut hangat oleh panitia, baik oleh tuan rumah De Britto maupun oleh panitia dari kolese yang lain. Sambil menunggu mulainya sesi di aula De Britto, aku merasa bosan. Walaupun bosan tersebut sedikit terobati dengan berbincang bersama teman-teman sekamar di kelas X3, tetapi aku ingin bermain… Aku ingin bermain tenis meja! Ketika terpilih menjadi kontingen CC, bukan maksudku untuk menjalani semua acara Temu Kolese. Maksudku adalah untuk unjuk kemampuan dengan peserta lomba tenis meja dari kolese yang lain. Namun apa boleh buat, semua acara tersebut sudah disiapkan. Oleh karena itu, kuputuskan untuk mencoba ikut seluruh rangkaian acara. Ketika sesi di aula De Britto akhirnya dimulai, aku mencoba mendengarkan apa yang dikatakan Pater Jupri. Namun, mataku tak kunjung menurut dan aku setengah tertidur. Apa yang berhasil kutangkap hanyalah bahwa esok hari akan ada kegiatan immersion, atau semacam live in singkat selama satu hari. Immersion dibagi ke dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok memiliki anggota campuran dari kolese lain, dan aku seorang diri dari CC di kelompokku. Jujur, itu membuatku sedikit khawatir karena mau tidak mau aku harus bergaul dengan tuan rumah immersion sekaligus teman-teman dari kolese lain. Hal lain yang kutangkap adalah bahwa kelompokku, Xaverius dan Faber, diminta bangun jam 2 pagi untuk bersiap-siap ke lokasi immersion. Entah Pater menyebutkan lokasi immersion atau tidak, pokoknya aku tidak menangkap di mana aku dan kelompokku akan pergi keesokan harinya. Kembali ke pukul 02.00 pagi; aku memutuskan untuk tidak mandi karena waktu sudah mepet. Aku membawa tasku dan bergegas menuju titik temu kelompok kami, yaitu di depan perpustakaan De Britto. Jujur, aku masih merasa cemas akan keadaan di lokasi immersion nanti. Setelah diabsen, kami sekelompok beserta pendamping menaiki bus yang telah menunggu. Bus yang kami tumpangi tidak memiliki pendingin, berbeda dengan bus-bus yang biasa dijumpai di Jakarta. Kendati demikian, hawa pagi Yogyakarta membantuku tetap bertahan di dalam bus itu. Sekitar 10 menit kemudian, bus berhenti. Di tengah gelapnya malam, Aku melihat sebuah palang besar yang bertuliskan ‘Pasar Beringharjo’ dengan tulisan yang kukira adalah aksara Jawa di bawahnya. Saat turun, kuhirup udara yang berbau amis, menginjak jalan yang becek, dan mendengar sahut-sahut penjual yang sedang membereskan dagangannya. Kuingat itu sekitar jam 3 pagi. Aku mengalami nostalgia, kembali ketika berumur 10 tahun. Dulu, almarhum kakekku sering mengajakku ikut berbelanja bahan makanan mentah di Pasar Kemiri Depok. Setelah turun, kami dibagi lagi ke dalam beberapa kelompok. Aku bersama kelompokku tiga orang: Jesse, Kidung, Mahe, ditugaskan untuk berjalan menyusuri selasar gelap tempat parkir Pasar Beringharjo. Kami diminta mencari seseorang bernama Pak Ari. Setelah beberapa waktu, kami menemukan beliau sedang membereskan motor di selasar itu. Jesse lah yang menyambut Pak Ari terlebih dahulu. Aku tidak berani menyapa pertama karena takut dibalas dalam Bahasa Jawa. Aku sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Kami berlima berbincang singkat selama 5 menit. Pak Ari ternyata telah bekerja sebagai tukang parkir di Pasar Beringharjo selama 20 tahun. Aku sangat terkejut dengan pernyataan itu. Semua orang di Beringharjo adalah keluarga bagi beliau karena mereka sudah bertemu setiap hari selama 20 tahun. Di Beringharjo, tukang parkir memiliki wilayahnya sendiri-sendiri. Tiap wilayah juga dibagi ke dalam 2 shift: shift pagi dan shift siang. Pak Ari bekerja pada shift pagi, bersama temannya, Pak Mamad. Pak Ari menggunakan kata ‘kartu kuning’ untuk menjelaskan temannya itu. Kami tentu bingung dengan maksud beliau, dan bertanya mengenainya. Pak Ari memperjelas bahwa Pak Mamad adalah orang dengan gangguan jiwa ringan. Jantungku berhenti sejenak ketika mendengar itu. Aku, Jesse, Kidung, dan Mahe kemudian berunding untuk berbagi tugas. Aku dan Mahe membantu Pak Mamad, Kidung dan Jesse membantu Pak Ari. Tidak banyak yang dipesankan oleh Pak Ari untuk kami lakukan, hanya, “Santai aja, kalau ada yang bisa dibantu, ya paling lurus-lurusin motornya.” Wilayah parkir Pak Mamad lebih jauh di ujung lorong gelap itu. Ternyata banyak motor yang sudah diparkirkan di sana, dan para penjual telah datang bersiap-siap sejak pagi. Aku dan Mahe pun duduk di atas dudukan bambu milik Pak Mamad yang beliau gunakan untuk beristirahat. Kami berbincang sedikit bersama Pak Mamad, aku sedikit takut setelah perkataan Pak Ari tadi bahwa Pak Mamad adalah orang dengan gangguan jiwa. Pak Mamad kebanyakan berbicara dalam bahasa Jawa, sehingga aku berkomunikasi melalui Mahe. Untung saja ada Mahe, kalau tidak, tidak mungkin aku bisa bertahan di tengah keadaan itu. Pak Mamad berkata bahwa dia telah bekerja sebagai tukang parkir di sana selama 18 tahun. Beliau bercerita bahwa dulu area parkir tersebut jauh lebih ramai dari yang sekarang, dan sudah tidak banyak orang muda yang masih singgah ke pasar secara rutin. Kebanyakan yang kami lakukan hanya menunggu, berbincang, serta meluruskan