Pilgrims of Christ’s Mission

Author name: Komunikator Serikat Jesus

Feature

A Moment of Joy, Humor, Tears, and Laughter

Kunjungan Bapa Suci Paus Fransiskus menyentuh hati banyak orang lintas generasi, suku, dan bahkan agama. Sosoknya yang sederhana menginspirasi dan menyentuh banyak orang. Pilihan-pilihan atas fasilitas yang tersedia memperlihatkan bahwa ia adalah sosok yang hidup dalam kesederhanaan. Ia berusaha agar dekat dengan semua orang, khususnya anak kecil, orang muda, dan juga mereka yang berkebutuhan khusus. Dalam beberapa momen, Bapa Suci berkelakar, memperlihatkan bahwa ia adalah sosok yang ramah. Sederhana, rendah hati, dan humoris, itulah tiga keutamaan yang saya pelajari dari kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia.   Pada Mulanya “…tambah satu agenda resmi: menyambut Paus Fransiskus di Jakarta. Tanggal menyusul.” Begitu isi chat saya dengan Fr. Popo pada tanggal 26 Februari 2024. Saat itu, saya dan Fr. Benic sedang mempersiapkan proses kepulangan ke Indonesia dari Chuuk, Micronesia. Sebagai bagian proses dari persiapan, saya cukup intens berkomunikasi dengan Fr. Popo mengenai hal-hal yang perlu kami siapkan untuk masuk ke formasi teologi. Saat pesan itu datang, saya sedang mempersiapkan misa di Kapel Xavier High School. Seekor burung Myzomela merah nemplok di altar kapel yang menghadap ke Laguna Chuuk. Kabar mengenai kedatangan Bapa Suci membuat saya antusias. Saya berharap agar nantinya bisa mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Bapa Suci.   Singkat cerita, saya pulang ke Indonesia, mengunjungi beberapa komunitas Jesuit di Jakarta dan Yogyakarta, mengunjungi keluarga di Solo Baru, dan akhirnya bergabung ke komunitas Kolsani. Pembicaraan mengenai kedatangan Bapa Suci di Internos pun perlahan mulai didengungkan. Pater Provinsial lalu memberi detail informasi pertemuan pribadi antara Bapa Suci dengan para Jesuit. Setelah setiap komunitas mendapatkan kuota pertemuan tersebut, Pater Kuntoro Adi, sebagai Rektor komunitas, menyebarkan Google Form untuk mendaftar. Saya lalu mengisi form tersebut dan puji Tuhan saya masuk daftar pertemuan pribadi dengan Bapa Suci Paus Fransiskus.   Momen Kegembiraan Bersama Pada Rabu, 4 September 2024, hampir 200 Jesuit di Indonesia berkumpul di Lobi Gedung Ignasius, Kolese Kanisius. Sejumlah frater filosofan menyambut di meja registrasi. Fr. Kefas setia melayani para Jesuit yang ingin minum secangkir kopi. Pater Gandi, Ketua Panitia, nampak sibuk wira-wiri memastikan segalanya berjalan sesuai rencana. Aneka snack dan sarapan tersedia di beberapa meja. Mereka yang baru datang lantas bersalaman dan bercakap-cakap ringan.   Sebagian besar dari Jesuit yang hadir mengenakan setelan roman kolar dan bersepatu pantofel hitam. Pada saat sesi foto bersama sebelum berangkat ke Nunciatura, Pater Angga berkelakar bahwa baru pertama kali ini Jesuit Indonesia foto bersama dengan setelan yang rapi dan necis. Suasana yang terbangun di Lobi Ignasius pada saat itu sangat menggembirakan. Saya melihat bahwa semua Jesuit yang hadir merasa antusias untuk mengikuti pertemuan pribadi dengan Bapa Suci Paus Fransiskus.   Sesampainya di Nunciatura, para Jesuit duduk sesuai kategori yang sudah ditentukan oleh panitia. Lagi-lagi dalam hal ini Jesuit masih bisa rapi, kata seorang frater filosofan. Ruang pertemuan riuh rendah dengan percakapan para Jesuit. Saya duduk di barisan skolastik muda bersama Frs. Barry dan Kefas. Kami turut bercakap-cakap mengenai antusiasme dan sukacita dalam pertemuan keluarga ini.   Suasana berubah menjadi sedikit lebih hening ketika Bapa Suci tiba di Nunciatura. Berulangkali para skolastik menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Bapa Suci sudah memasuki ruangan. Kami sempat terperanjat saat seseorang berjubah putih memasuki ruangan. Oh, ternyata itu Pater James Spillane. Beberapa saat kemudian, pintu utama terbuka. Seorang dengan jubah putih memasuki ruangan dengan kursi roda. Bapa Suci? Oh ternyata itu Pater James Bharataputra. Suasana semakin menegangkan.   Beberapa saat kemudian, Bapa Suci masuk melalui pintu utara ruang pertemuan. Saya dan Fr. Barry yang duduk bersebelahan saling berbisik, “Pausnya datang.” Perawakannya sederhana. Ia mengenakan jubah putih, sama seperti di foto-foto yang biasanya saya dapatkan di Google. Para panitia berdiri berjejer menyambut Bapa Suci. Ketika lewat, beberapa skolastik seperti Frs. Agung dan Arnold memanfaatkan kesempatan untuk salaman dengan Bapa Suci. Tepuk tangan panjang pun pecah. Ah, akhirnya kami bisa melihat Bapa Suci secara langsung.   Saya lalu bertanya-tanya, bagaimana pertemuan ini akan dimulai. Saya pribadi merasa canggung. Pater Provinsial, dalam pengarahan pertemuan, sudah mengatakan bahwa semua rancangan acara yang beliau siapkan bisa berubah seluruhnya tergantung kersanipun (Jw: kehendak) Bapa Suci. Ternyata memang berubah, walau tidak semua. Bapa Suci berkata bahwa waktu kita tidak banyak, maka ia langsung membuka sesi tanya jawab.     Pertemuan berlangsung dalam suasana kekeluargaan yang hangat. Bapa Suci melontarkan satu-dua anekdot yang membuat para Jesuit terbahak. Pertemuan yang singkat, padat, dan hangat itu diakhiri dengan momen bersalaman satu per satu dengan Bapa Suci. Terima kasih Pater Provinsial karena menyampaikan permintaan ini dengan sangat jelas dan diterima oleh Bapa Suci dengan senang hati, malah sempat berkelakar takut kalau tangannya digigit oleh mereka yang bersalaman.   Selepas bersalaman dengan Bapa Suci dan mendapatkan kotak merah yang berisi rosario, kami keluar teratur dari kompleks Nunciatura. Terlukis rona sukacita di wajah para Jesuit. Satu per satu masuk ke dalam bus yang sudah tiba di depan Nunciatura. Dalam perjalanan menuju Kanisius, saya bisa merasakan betapa gembiranya kami bisa mengikuti pertemuan keluarga dengan Bapa Suci. Salah seorang skolastik dengan berkelakar berkata bahwa berkat yang kita terima dari Bapa Suci sama dengan misa satu minggu, jadi setelah pertemuan tidak perlu misa satu minggu. Bus yang saya tumpangi dipenuhi dengan sukacita. Tangan saya masih menggenggam kuat kotak merah dari Bapa Suci dan surat undangan dari panitia. Fr. Arnold berkata bahwa ia akan memberikan rosario itu kepada ibunya. “Iya, supaya lebih berdaya guna”, sahut seorang frater yang lain. Kami pun kembali ke Kolese Kanisius, melakukan santap siang, foto-foto di lapangan Kanisius, dan satu per satu pulang.     Tiga Keutamaan Paus Fransiskus  Pertemuan keluarga itu memang singkat, tapi sukacita yang saya rasakan sungguh berahmat. Rombongan Kolsani tidak bisa berlama-lama di Jakarta karena kami harus segera kembali ke Yogyakarta. Dalam perjalanan pulang ke Kolsani, saya melihat sejumlah pemberitaan mengenai Bapa Suci di media sosial. Harian Kompas, story Instagram, status Whatsapp, FYP TikTok, dan trending Twitter Indonesia menyajikan pemberitaan dan berbagai cuplikan video Bapa Suci di Jakarta.   Hal yang membuat saya tersentuh adalah cerita-cerita kecil perjumpaan umat dengan Bapa Suci di jalan. Sebagai contoh, ada seorang ibu yang sedang menggendong anaknya. Saat mobilnya melintas, Bapa Suci menepi untuk memberi berkat pada sang anak dan memberinya rosario kecil. Sontak sang

Feature

Paus Fransiskus dan Pesan Hidup yang Mendalam

Paus Fransiskus, melalui berbagai ensiklik dan seruan apostolik, telah menyampaikan pesan hidup mendalam yang menekankan pentingnya cinta, belas kasih, dan solidaritas. Dalam ajarannya, Paus sering menyoroti panggilan untuk merawat orang yang terpinggirkan, lingkungan, dan hubungan manusiawi yang lebih inklusif. Beliau mendorong umat beriman agar hidup dengan kerendahan hati dan keberanian serta meneladani kehidupan Yesus Kristus yang penuh cinta tanpa syarat.   Melalui Christus Vivit, Paus Fransiskus secara khusus mengajak kaum muda agar menjalani hidup dengan sukacita, tidak takut terhadap masa depan, dan terus mendengarkan suara Roh Kudus. Bagi beliau, hidup Kristen bukanlah serangkaian aturan kaku, melainkan perjalanan spiritual penuh kasih, kebebasan, dan keterbukaan terhadap transformasi diri. Pesan Paus mencerminkan keyakinan bahwa setiap orang dipanggil untuk berperan aktif dalam merawat dunia dan membangun persaudaraan sejati antarumat manusia.     Sosok Paus Fransiskus Sejak mendengar kabar bahwa Paus Fransiskus akan datang ke Indonesia pada 3-6 September 2024, perasaan saya mulai berkecamuk. Ada rasa penuh harap agar bisa bertemu dengan beliau meski diiringi kecemasan karena pasti kuota untuk bertatap muka sangat terbatas. Di komunitas Rupert Mayer, tempat saya tinggal, pemilihan kandidat yang berkesempatan bertemu dengan Paus dilakukan melalui undian. Ketika yang terpilih bukan nama saya, saya hanya bisa berpasrah sambil menerima bahwa mungkin belum waktunya untuk mendapatkan kesempatan langka itu.    Akan tetapi, pada 24 Juli 2024, sebuah kejutan datang. Superior dari St. Stanislaus Kostka mengirim pesan melalui WhatsApp bahwa ada anggotanya yang berhalangan hadir sehingga saya ditawari kuota tersebut. Dengan dukungan dari Superior Rupert Mayer, akhirnya saya mendapatkan kesempatan impian tersebut. Inilah salah satu rahmat tak terduga bagi saya.   Sosok Paus Fransiskus dikenal sebagai pribadi yang sederhana tetapi memiliki keberanian luar biasa dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Paus sering kali menunjukkan kepekaan mendalam terhadap berbagai masalah yang dihadapi umat-Nya. Kepeduliannya terhadap kaum miskin dan marginal sangat menonjol.   Hal ini membuatnya menjadi salah satu simbol harapan bagi mereka yang sering kali diabaikan. Dalam setiap tindakan dan keputusan, ia berupaya sungguh mengedepankan kasih dan keadilan bahkan ketika itu harus bertentangan dengan “arus besar” kekuasaan dan kepentingan tertentu.   Keberanian Paus Fransiskus tidak hanya terlihat dalam bentuk retorika, tetapi juga dalam tindakan nyata yang diambil. Banyak dari keputusannya yang menentang status quo memicu perdebatan dan kontroversi. Akan tetapi, ia tetap setia pada prinsip-prinsip kebenaran dan kejujuran. Paus tidak ragu dalam mengambil sikap tegas meskipun sering kali itu harus menghadapi oposisi dari kalangan internal maupun eksternal. Kebijakan terhadap reformasi Gereja dan sikapnya terhadap isu-isu sosial global, seperti krisis migran dan perubahan iklim, menegaskan posisinya sebagai pemimpin yang berani melawan ketidakadilan sekaligus menjaga agar Gereja tetap relevan di tengah perubahan zaman.   Saya bersyukur karena perjumpaan langsung dengan beliau, mengafirmasi dan menguatkan kesan-kesan yang telah saya tangkap sebelumnya. Dalam kesederhanaannya Paus Fransiskus memberi dampak mendalam bagi banyak orang. Saya bersyukur karena perjumpaan ini membuat saya semakin terhubung dengan semangat dan visi pribadi Paus Fransiskus.   Keberanian Paus Fransiskus dalam menyuarakan kebenaran tidak pernah mengurangi kerendahan hatinya. Ia sangat tegas tetapi tetap rendah hati. Ia tidak hanya berbicara tentang keadilan tetapi juga berani mengambil tindakan nyata dalam membela yang lemah dan termarjinalkan. Dengan kerendahan hati yang luar biasa, ia terus menunjukkan kepemimpinan yang dapat membawa perubahan dan menggerakkan banyak pihak ke arah yang lebih baik.     Dokumen Penting Laudato Si’ Salah satu dokumen yang paling mendalam dari Paus Fransiskus adalah ensiklik Laudato Si’ yang menyoroti urgensi untuk menjaga lingkungan hidup secara berkelanjutan. Selain menyerukan urgensi kepedulian pada lingkungan fisik dokumen ini juga menggambarkan kedalaman refleksi Paus atas hubungan manusia dengan alam ciptaan. Dalam ensiklik tersebut, Paus mengajak seluruh dunia untuk merasakan keterhubungan manusia dengan bumi dan sesama makhluk hidup, sambil menekankan bahwa setiap tindakan kita terhadap alam akan mempengaruhi kesejahteraan seluruh umat manusia.   Dokumen ini juga saya rasakan sangat relevan dengan visi Perkumpulan Strada dalam membangun sekolah yang ekologis. Perkumpulan ini berkomitmen untuk menanamkan nilai-nilai ekologi dalam setiap aspek pendidikan, baik dalam kurikulum maupun dalam kegiatan sehari-hari. Saya percaya bahwa melalui pendidikan berwawasan ekologi, generasi muda dapat lebih sadar akan pentingnya merawat bumi serta memahami tanggung jawab mereka sebagai penjaga lingkungan.   Dalam Laudato Si’ Paus juga mengingatkan bahwa pemeliharaan bumi merupakan panggilan moral bagi setiap manusia. Ia mengajak kita untuk memandang bumi sebagai rumah bersama yang perlu dijaga demi keberlanjutan generasi mendatang. Hal ini merupakan panggilan bersama yang memerlukan kerja sama lintas agama, budaya, dan negara, karena krisis lingkungan tidak mengenal batas wilayah atau kepentingan sempit.     Pengalaman Perjumpaan Bertemu secara langsung dengan Paus Fransiskus meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi saya. Uluran tangan beliau memberikan dorongan dan undangan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Saya merasa kehadiran Paus memancarkan rasa damai dan harapan. Ada kekuatan ilahi yang terpancar dalam pribadi dan langkah-langkahnya.   Paus Fransiskus dalam kesempatan pertemuan keluarga dengan para Jesuit di aula Kedutaan Vatikan menyampaikan inspirasi tentang pentingnya doa dalam kehidupan sehari-hari, terlepas dari kesibukan apa pun yang dijalani. Doa menjadi fondasi yang memberikan ketenangan dan keteguhan hati. Jangan sampai doa hanya sekadar ritual, tetapi juga sarana untuk memperoleh kedamaian batin dan kedewasaan spiritual yang memandu setiap tindakan manusia. Dalam setiap aspek kehidupan—baik dalam keberhasilan maupun kegagalan—kepercayaan kepada Tuhan dan keteguhan dalam doa merupakan elemen penting yang dapat membawa orang pada kedewasaan iman dan spiritualitas secara yang lebih mendalam.    Melalui perjumpaan dan teladan Paus Fransiskus, saya semakin menyadari bahwa hidup adalah panggilan untuk melayani dan berbuat baik kepada sesama serta alam kehidupan. Paus Fransiskus mengajarkan bahwa pelayanan tidak hanya terbatas pada tindakan besar tetapi juga pada hal-hal kecil yang dilakukan dengan cinta dan ketulusan. Setiap tindakan yang dilakukan, sekecil apa pun, memiliki potensi membawa perubahan positif bagi dunia di sekitar. Panggilan ini menuntut kita senantiasa waspada akan kebutuhan sesama serta lingkungan yang menjadi bagian dari kehidupan.   Dalam kesempatan Ekaristi bersama di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, Paus Fransiskus menyampaikan pesan mendalam ketika mengangkat pengalaman Petrus yang gagal menangkap ikan sepanjang malam. Kisah ini sangat relevan dengan hidup kita karena mencerminkan realitas kehidupan di mana kegagalan dan kegelapan sering kali tidak terhindarkan. Pengalaman Petrus menjadi cerminan bagi banyak orang yang terjebak dalam “padang gurun” prestasi, di mana segala upaya tampaknya

Feature

Menjadi Pelayan Allah dan Sesama yang penuh dengan Sukacita

Sekitar lima bulan yang lalu sudah terdengar desas-desus bahwa Paus Fransiskus akan melakukan kunjungan apostolik ke Indonesia. Berbagai sukacita mulai terasa dan setiap orang menyambut kabar ini dengan harapan bisa berjumpa dengan beliau. Beberapa Gereja dan lembaga Katolik mulai melakukan berbagai kegiatan dan persiapan untuk menyambut kunjungan ini. Majalah Utusan dan Rohani membuat sayembara surat untuk Paus Fransiskus. Beberapa gereja membuat secara khusus penanda kunjungan ini, misalnya papan hitung mundur peristiwa ini. Paroki-paroki sibuk menyeleksi dan mengundi siapakah yang akan turut hadir dalam misa bersama Paus Fransiskus di GBK. Kuotanya sangat terbatas, sementara yang ingin ikut banyak. Banyak merchandise mulai dibuat dan dijual. Beberapa buku mengenai Paus Fransiskus bermunculan. Ada terbitan baru. Ada terbitan lama. Hal ini masih diikuti dengan berbagai forum diskusi dan dialog mengenai sepak terjang Paus Fransiskus. Tak mau kalah, banyak akun media sosial katolik mulai memberitakan dan mengisi postingan mereka dengan peristiwa-peristiwa seputar Paus Fransiskus. Sukacita. Itulah yang pada umumnya dirasakan.   Secara khusus bagi kami, Jesuit Indonesia, mendapat kabar yang sangat menggembirakan. Di sela-sela kunjungan apostolik Paus tersebut, akan ada pertemuan khusus antara Paus dengan kami, saudara-saudaranya se-Serikat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir dalam setiap kunjungan apostoliknya, Paus selalu mengadakan pertemuan dengan para Jesuit di tempat itu. Pater Provinsial meminta beberapa dari kami untuk mengatur kelancaran pertemuan itu di bawah komando Pater Gandi Hartono sejak akhir Mei 2024. Panitia kecil dibantu dengan beberapa alumni kolese mengatur segala hal yang diperlukan. Meskipun hanya pertemuan antar Jesuit, akan tetapi banyak hal yang harus disiapkan dengan baik. Pertemuan ini tidak bisa diadakan seenak dan sesuka kami. Kami diajak terus menyadari bahwa Paus Fransiskus adalah tamu negara sehingga protokol pengamanannya pun ketat. Selain itu, karena pertemuan berlangsung di Kedutaan Vatikan maka kami pun harus menghormati dan mengikuti tata cara yang ada di sana. Semua harus diatur sedemikian rupa agar rapi, aman, dan nyaman. Data pribadi peserta pertemuan ini harus dilaporkan kepada tim pengamanan sebulan sebelum acara berlangsung. Hanya dua ratus orang saja yang bisa hadir untuk pertemuan tersebut. Tak kalah dari antusiasme umat katolik Indonesia, banyak Jesuit yang ingin hadir. Sayangnya tidak semua bisa hadir. Beruntunglah para Jesuit muda di Provindo karena kelompok ini mendapat prioritas. Dan, ternyata inilah yang menggembirakan dan menyentuh hati Paus Fransiskus karena banyak orang muda, ada hidup, ada gairah, ada harapan, dan ada masa depan.   Proses screening dan verifikasi berujung pada sukacita. Semua peserta mendapatkan ID card untuk pertemuan tersebut dan undangan spesial. Nama setiap peserta tertulis dalam balutan kaligrafi yang sangat indah. “Bapa Suci Paus Fransiskus, dalam rangka Kunjungan Apostoliknya ke Indonesia, dengan senang hati menyambut ….(nama lengkap peserta)…. dalam acara Pertemuan Pribadi dengan para Anggota Serikat Yesus ….”     Kolaborasi dengan banyak pihak Menjadi bagian dari kepanitian kunjungan apostolik Bapa Suci adalah rahmat perutusan tersendiri. Dalam kepanitiaan besar kami juga lebih mengenal banyak pribadi religius dan awam yang secara total menyiapkan kunjungan ini. Kebanggaan di balik seluruh perjuangan menjadi panitia menjadi aura gerak perutusan ini. Dengan tema Faith, Fraternity, and Compassion secara tidak langsung seluruh panitia diajak untuk berproses mewujudkan iman dalam pelayanan ini. Bagaimana tidak? Awalnya berat muncul keraguan, ketidakpastian, dan perbedaan pendapat, ide, serta gagasan akan kehadiran Bapa Suci. Faktor kesehatan dan tuntutan operasional menjadi tantangannya. Namun lewat keyakinan, perjumpaan, dan komunikasi rutin nan efektif seluruh keraguan itu berubah menjadi keyakinan akan kepastian.   Dalam proses menyiapkan pertemuan khusus Jesuit dengan Bapa Suci, kami juga diajak untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan dengan banyak institusi (Paspampres, Kepolisian, Nuncio, KWI, Kepanitiaan Inti, dll). Dalam pertemuan itu seringkali dibutuhkan ide-ide, yang meski sederhana, bisa diwujudkan dengan tetap mengakomodasi kepentingan para pemangku kepentingan (Negara, Vatikan, dan KWI). Maka dalam kepanitiaan ini, kami juga secara tidak langsung “dituntut” untuk berbagi metode Ignasian dalam mengambil keputusan. Diskresi dalam menghadapi pilihan-pilihan yang solutif untuk penyatuan gagasan sangat dibutuhkan. Cara-cara seperti inilah yang menjadi kekuatan kepanitiaan di bawah kepemimpinan Bapak Ignasius Jonan yang menurut kami, mungkin, banyak diinspirasi oleh St. Ignatius Loyola.   Sebagai Jesuit, bersama Pater Provinsial kami lebih mengikuti gerak dinamika yang ada, sesekali tetap memberikan gagasan untuk menemukan jawaban dari seluruh tegangan yang terjadi. Seringkali kami lebih mendengarkan lalu memberi masukan lewat kontak pribadi-pribadi para koordinator sehingga lebih efektif. Seperti yang dikatakan oleh Pak Jonan bahwa kehadiran Jesuit dalam kepanitiaan memberi gambaran perutusan yang tetap pada fokus, jelas arah tujuan, dan sederhana dalam menjawab tegangan.    Action day Proses persiapan terus berlangsung. Pater Gandi mewajibkan seluruh peserta pertemuan ini untuk menyiapkan diri, termasuk menyiapkan pakaian yang pantas. Setiap peserta diminta untuk mengenakan kemeja collar atau jubah. Tampaknya semua peserta nurut. Beberapa frater dan imam tertangkap bergegas membeli kemeja roman collar dan celana panjang formal. Di hari H, semua terlihat sangat rapi dan elegan. “Kapan lagi kita bisa berkumpul sebanyak ini dengan pakaian rapi? Kita harus mengabadikan peristiwa ini dengan foto bersama.” Begitu celoteh panitia sebelum mempersiapkan keberangkatan ke Kedutaan Vatikan.   Kendaraan sudah diatur dengan rapi. Penumpang sudah dibagi dengan jelas. Tanpa tas dan perlengkapan lain, kami semua bergegas. Hanya undangan, tanda pengenal, dan kartu identitas yang bisa meloloskan kami dari screening jajaran petugas.     Kurang lebih satu jam dialog terjadi. Tidak jarang kami tertawa lepas tetapi juga hanyut dalam keheningan khidmat yang teresonansi dari kata, gagasan, dan perasaan Paus. Jangan pernah tinggalkan doa, berani keluar dari zona nyaman (berinkulturasi, masuk ke dalam budaya lain), dan terus mengembangkan kemampuan diskresi adalah tiga pesan kuat yang merangkum pertemuan itu. Semua peserta pertemuan pulang dengan senyum lebar dan hati penuh. Pribadi Paus Fransiskus me-recharge energi dan inspirasi pelayanan kami, para Jesuit, ke depannya.   Film The Two Popes merupakan sebuah film yang dirilis pada tahun 2019 dan menampilkan kisah hidup Paus Fransiskus. Banyak sisi manusiawi, Kardinal Bergoglio (Paus Fransiskus) yang terkisahkan dengan menarik. Ada kerapuhan manusiawi, pertobatan (perubahan), dan pengalaman mendengarkan kehendak Allah. Pribadi Paus yang kami jumpai pada pertemuan keluarga ini adalah pribadi yang, dalam bahasa film The Two Popes, menjadi perwakilan Allah di dunia. Menjadi orang yang bisa menyalurkan bisikan Allah kepada manusia dan sekaligus menjadi pribadi yang sangat manusiawi. Berkali-kali kami bisa menangkap kepedulian besar Paus Fransiskus bagi siapapun, khususnya yang

Feature

Perjalanan Paus Fransiskus sebagai seorang Jesuit

Awal bulan September ini, Paus Fransiskus melakukan kunjungan apostoliknya ke beberapa negara, salah satunya Indonesia. Dalam kunjungan apostoliknya ke Indonesia, Paus Fransiskus tidak hanya bertemu dengan pemerintah dan umat Katolik saja, namun juga dengan tokoh-tokoh lintas agama, kaum muda scholas, dan penerima manfaat organisasi amal. Kunjungan apostolik Paus Fransiskus ditutup dengan Misa Kudus yang diselenggarakan di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta dan dihadiri kurang lebih 80.000 umat Katolik dari seluruh Indonesia.   Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia begitu menarik perhatian dan antusiasme bukan hanya dari umat Katolik saja, namun juga non-Katolik. Banyak orang yang rela menunggu di jalan-jalan yang dilalui Paus agar bisa sekadar melihat atau juga menyapanya. Paus Fransiskus atau Jorge Mario Bergoglio terpilih menjadi Paus pada 13 Maret 2013 menggantikan Paus Benediktus XVI. Beliau adalah Paus pertama dari ordo Jesuit atau Serikat Jesus.   Serikat Jesus atau Societas Jesu adalah ordo religius dalam Gereja Katolik yang didirikan oleh St. Ignatius Loyola bersama sahabat-sahabatnya pada tahun 1540. Anggota Serikat Jesus ini terdiri atas imam, bruder, dan skolastik (frater atau calon imam) yang sedang belajar dalam proses pendidikan yang tersebar di enam benua dan 124 negara. Dalam kesehariannya, para Jesuit, termasuk Paus Fransiskus, meneladani cara hidup atau spiritualitas yang diajarkan oleh Ignatius Loyola dan kemudian lebih dikenal dengan istilah spiritualitas Ignatian. Spiritualitas inilah yang menjadi dasar para Jesuit dalam mengambil keputusan demi kemuliaan Allah yang lebih besar (Ad Maiorem Dei Gloriam).   Berikut akan kami sajikan tulisan singkat mengenai riwayat perjalanan panggilan Paus Fransiskus. Sebagai seorang Jesuit, ia menjalani formasinya sama seperti Jesuit lain. Gambaran proses formasi seorang Jesuit, khususnya berdasarkan praktik yang ada dalam konteks Indonesia adalah sebagai berikut: Formasi pertama seorang Jesuit adalah novisiat (dua tahun pendidikan awal dan masa probasi di mana rahmat panggilan dikembangkan sehingga terlihat buah-buahnya). Di masa novisiat ini para novis, sebutan untuk mereka yang sedang menjalani formasi di novisiat, diberikan dasar pemahaman spiritualitas dan kharisma St Ignatius Loyola melalui berbagai kegiatan, misalnya Latihan Rohani, eksperimen, ratio conscientiae, pengakuan dosa, bimbingan rohani, dan interaksi dengan sesama novis serta anggota komunitas lain. Para novis ini dibimbing oleh magister dan socius magister novisiat.     Setelah menyelesaikan formasi novisiat dan mengucapkan kaul pertamanya, seorang Jesuit akan melanjutkan ke jenjang formasi berikutnya, yaitu formasi intelektual. Formasi pertama adalah studi filsafat selama kurang lebih empat tahun. Mereka yang berada dalam formasi filsafat ini disebut skolastik atau frater. Frater adalah sebutan lain bagi seorang calon imam. Studi filsafat ini bertujuan untuk memperkenalkan para calon imam atau skolastik dengan dunia logika, aneka pemikiran, metafisika, etika, dan lain-lain. Selain fokus belajar ilmu filsafat, umumnya setiap skolastik diutus untuk “merasul”, seperti melakukan pendampingan ke mahasiswa dan pelajar, kerasulan sosial, kerasulan paroki, dan lainnya. Dengan ini setiap skolastik belajar untuk mengintegrasikan hidup studi-rohani-kerasulan.    Setelah selesai studi filsafat, seorang skolastik akan dilantik menjadi lektor-akolit dan melanjutkan ke formasi Tahap Orientasi Kerasulan (TOK) selama dua atau tiga tahun. Dalam masa ini, seorang skolastik bisa saja ditugasi untuk menjalani studi khusus atau terjun dan terlibat penuh dalam karya kerasulan Serikat. Mereka juga hidup dalam komunitas karya di mana mereka ditempatkan. Mereka akan banyak belajar berkolaborasi dengan sesama kolega Jesuit dan non-Jesuit berlandaskan semangat kerasulan Serikat.   Selesai TOK, mereka akan melanjutkan ke tahap formasi teologi selama tiga atau empat tahun. Formasi teologi ini menjadi syarat wajib untuk dapat ditahbiskan menjadi imam. Tujuan formasi teologi ini adalah membantu sesama untuk mengenal dan mengasihi Allah serta mencari keselamatan jiwa-jiwa mereka.   Dalam masa kurang lebih tiga sampai lima tahun setelah tahbisan, seorang imam Jesuit kemudian akan diundang untuk menjalani formasi tahap akhir: tersiat. Tahap ini sering disebut juga “schola affectus (sekolah hati)”. Sebutan lain untuk tahap ini ialah novisiat tahun ketiga. Para Jesuit diajak untuk menyegarkan kembali pengetahuan mengenai Serikat, spiritualitas, Latihan Rohani, dan lain-lain. Tersiat berlangsung enam atau sembilan bulan di bawah bimbingan seorang instruktur tersiat. Tersiat juga menjadi salah satu syarat bagi seorang Jesuit sebelum mengucapkan kaul akhir.   Riwayat Perjalanan Panggilan Paus Fransiskus   Jorge Mario Bergoglio lahir di Flores, Buenos Aires, Argentina 17 Desember 1936. Bergoglio dewasa menemukan panggilannya menjadi imam Jesuit setelah mengaku dosa di sebuah gereja pada 21 September 1953. Keinginannya masuk Jesuit sempat terhenti karena ia mengidap sakit pneumonia dan kista, sehingga sebagian paru-parunya harus dipotong. Akhirnya, ia masuk novisiat Jesuit pada 11 Maret 1958.   Motivasi awal Bergoglio bergabung dengan Serikat Jesus adalah keinginannya menjadi misionaris ke Jepang. Namun rupanya Tuhan memiliki misi yang lain. Setelah menjalani dua tahun formasi Novisiat, Bergoglio mengucapkan kaul pertama pada 12 Maret 1960. Kaul pertama yang diucapkan adalah kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Setelah mengucapkan kaul pertama, Bergoglio melanjutkan tugas perutusan pertama yaitu studi filsafat di College Maximus of San Jose di San Miguel, Buenos Aires.     Setelah selesai filsafat, Bergoglio menjalani formasi TOK di beberapa lembaga karya. Ia mengajar sastra dan psikologi di SMA Colegio de la Inmaculada Concepción di Santa Fe, Argentina dari 1964-1965. Tahun 1966, ia mengajar kursus di Sekolah Menengah Colegio del Salvador di Buenos Aires.   Pada tahun 1967, Bergoglio memulai formasi teologi di Fakultas Filsafat dan Teologi di Colegio San Jose, San Miguel. Selama kurang lebih tiga tahun Bergoglio belajar teologi untuk mengeksplorasi rasio mengenai hal-hal yang berkaitan dengan iman dan keilahian.   Pada 13 Desember 1969, Bergoglio menerima tahbisan imam dari tangan Mgr. Ramón José Castellano, Uskup Agung Cordoba. Satu tahun setelah tahbisan, Pater Bergoglio diundang untuk menjalani formasi tersiat. Ia menjalani tersiat di Universitas Alcala de Henares di Spanyol pada 1970-1971. Setelah tersiat, Pater Bergoglio melanjutkan tugas perutusannya sebagai Magister Novis (pendamping para frater novis) dan Wakil Rektor di Seminari San Miguel, Buenos Aires, Argentina. Dua tahun setelah tersiat, Pater Bergoglio mengucapkan kaul akhir sebagai profes (kaul khusus yang menyatakan ketaatan penuh kepada Paus terkait tugas dan perutusan apostoliknya) pada 22 April 1973. Di tahun yang sama, setelah kaul akhir, pada 31 Juli Pater Bergoglio menjadi Provinsial Serikat Jesus Provinsi Argentina dan Uruguay. Provinsial atau superior mayor adalah pemimpin Jesuit yang dipilih oleh Jenderal (Pimpinan Tertinggi) dan membawahi salah satu provinsi. Provinsi adalah unit teritorial di mana perkumpulan Jesuit ini diorganisir; pengawasan suatu provinsi dipercayakan

Feature

Spiritualitas yang Membebaskan

Setiap malam di bulan Mei dan Oktober, komunitas asrama Realino SPM di Jl. Mataram No. 66, Yogyakarta, mengadakan doa rosario bersama untuk menghormati bulan Maria dan Rosario. Patung Bunda Maria diambil dari lemari di bawah televisi dan ditempatkan di meja panjang di tengah ruangan. Di depannya ditaruh sebuah tempat lilin bercabang dua dengan salib di antaranya. Satu lilin besar lain dinyalakan dengan tatakan piring kecil. Semua anak asrama, dari yang masih SMP hingga yang mahasiswa, berkumpul di aula bersama dengan Romo dan Bruder. Terkadang, turut hadir pula Frater-frater yang sedang live in di tengah komunitas. Mak Sur, yang menjadi ibunya anak-anak asrama, juga tidak pernah absen. Para volunteer yang sedang ada di Realino juga dipersilakan untuk ikut. Setiap harinya tiap anak asrama mendapat giliran untuk memimpin dan membuka doa, sementara semua yang hadir bergantian mendaraskan tiap-tiap butir Salam Maria. Aku adalah salah satu orang yang mendapat kehormatan untuk bisa bergabung dengan pengalaman transformatif ini hampir setiap hari pada bulan Mei tahun lalu, ketika aku sedang berada di Yogyakarta untuk Merdeka Belajar dan mendapat kesempatan untuk turut serta dalam karya-karya Realino SPM sebagai volunteer yang tiba-tiba muncul di tengah semester.   Aku ini Katolik anyaran. Belum lima tahun sejak aku mulai ikut misa dan mempelajari iman Katolik, pun belum tiga tahun sejak aku menerima baptisan. Doa rosario sendiri bagiku awalnya merupakan suatu love-hate relationship. Di satu sisi, kebaktian terhadap Ibu Maria menjadi salah satu yang menggugah hatiku kepada Gereja Katolik. Ibu menjadi sosok yang memberikanku “ruang aman.” Beliau adalah penghibur, penenang, penolong, penunjuk jalan. Kasih ibunya adalah tempat aku dapat diam berserah diri. Di lain sisi, membiasakan praktik doa rosario, walaupun sangat kuinginkan sebagai bentuk kasihku terhadap Ibu, tetap tidak gampang. Meskipun doa-doanya mudah, sulit bagiku untuk “betah” mendoakan rosario. Lima puluh Salam Maria terasa terlalu banyak dan menjemukan. Jarang aku bisa mendoakan satu rosario penuh sendiri karena aku mudah mengantuk. Sulit juga untuk bisa dengan masuk ke dalam kondisi doa kontemplatif ketika pikiran rawan terdistraksi kesibukan sehari-hari. Doa rosario yang membutuhkan waktu dan fokus tersendiri rasanya sangat “mengganggu.”    Ini yang lantas berubah melalui pengalamanku di Realino SPM—tidak hanya dalam doa rosario bersama, tetapi juga dalam keseluruhan karyanya. Tiap butir Salam Maria yang bergulir dan bergantian didaraskan bersama. Suasana yang sakral, namun di satu sisi juga banal: sesekali ada yang salah membaca doa, kemudian dikoreksi oleh yang lain, disusul oleh senyum dan tawa kecil dari yang lain. Ada yang kelebihan membaca Salam Maria. Ada yang lupa sudah sampai mana. Ada yang mengantuk juga. Sesekali anjing-anjing Realino—Polo, Gendhis, dan Cipong—ikut berkeliaran dan rebah di aula, seakan turut mendengarkan doa. Dalam kemanusiaan di tengah yang sakral itu, aku perlahan menemukan keterikatanku dengan rutinitas tersebut. Tanpa disadari, aku ingin dan mengusahakan diriku untuk hadir setiap hari. Sekiranya tidak bisa, aku akan rindu untuk mendoakannya sendiri di kontrakan, dan kendati aku mendoakannya sendiri, tiap doa yang didaraskan selalu membawa suara kawan-kawan terdekat di kupingku untuk turut berdoa bersamaku. Di sini aku menyadari bahwa kecintaan dan kedekatanku kepada yang Ilahi tidak bisa kukerjakan sendiri. Aku harus menemukannya dalam sesamaku, dalam praktik kebersamaan komunal. Gereja adalah rumah bagi para hamba, dan keberadaanku di dalamnya harus menjadi solidaritas bersama mereka. Jika aku ingin dekat dengan Allah, aku harus dekat dengan yang disekitarku juga dan jika aku ingin diam dalam keberadaan Allah, aku juga harus ingin diam dalam kebersamaan dengan orang-orang di sekitarku. Ini yang kupetik dari keterlibatanku dalam karya-karya dan keseharian Realino SPM: sebuah spiritualitas yang membebaskan, dan ini termanifestasi dalam dua pemaknaan.   Pertama, spiritualitas ini “membebaskan” diriku dari diri sendiri. Dalam arti, ia mengeluarkanku dari kekang individualitas semu. Simone Weil, seorang filsuf Prancis yang sangat dekat bagiku, mengatakan bahwa kasih terhadap sesama adalah substansi yang sama dengan kasih terhadap Allah (Weil, Waiting for God, Routledge, 2021:69). Ketika kita mengasihi sesama, adalah Kristus sendiri yang memandang ciptaanNya melalui mata kita (ibid, 72). Kita adalah “antena”, wadah bagi Allah sendiri untuk hadir bagi ciptaanNya. “Kasih terhadap sesama adalah kasih yang turun dari Allah kepada manusia.” (ibid, 100). Dalam kasih terhadap sesamaku, khususnya dalam konteks kebersamaan dalam komunitas, aku menyadari keberadaanku di dunia ini dengan sepenuhnya. Aku menyadari “akarku” sebagai insan manusia, dan mengarahkan atensiku kepada hal-hal yang tepat melalui kesadaran ini: bahwa—tentu tanpa menegasikan pentingnya gerak jiwa individu—komunalitas menjadi aspek yang penting dalam mencapai spiritualitas yang benar. Bahwa kecintaan terhadap Allah harus berangkat dari kecintaan terhadap sesama di tengah-tengah masyarakat. “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ aku ada di tengah-tengah mereka.” (Matius 18:20)   Kedua, spiritualitas ini tidak hanya membebaskan diri sendiri, tetapi juga memanggil kita untuk turut serta dalam karya pembebasan Allah bagi sesama kita. Kita dipanggil untuk saling “membebaskan.” Pembaca mungkin sudah familiar dengan kerja-kerja Realino SPM sebagai karya sosial dari Serikat Jesus Provindo. Aku sendiri telah mendapat kehormatan untuk bergabung dalam karya-karya pendampingan Realino di komunitas sosial Pingit, Bongsuwung, dan Jombor; di bengkel kerja Realino; juga dalam proses registrasi sekaligus kunjungan beasiswa pendidikan Realino. Keberadaan karya-karya Realino mengingatkanku pada ajaran sosial Gereja akan preferential option for the poor, atau keberpihakan Gereja bagi mereka yang miskin, lemah, dan tersingkir. Istilah ini pernah digunakan oleh Pater Jenderal Jesuit, P. Pedro Arrupe, SJ, diartikulasikan oleh Konferensi Uskup Amerika Latin (CELAM) di Medellin, Kolombia pada tahun 1968. Melalui peran teologi pembebasan P. Gustavo Gutierrez, Gereja menyadari bahwa kenyataan ketidakadilan sosial di dunia harus ditanggapi dengan keberpihakan Gereja bersama dengan kaum miskin yang terjerat oleh “kekerasan yang melembaga”—yaitu, lembaga negara dan ekonomi hari ini yang ditandai oleh ketidakadilan sistemik dan kemiskinan struktural. Spiritualitas kita lantas harus direfleksikan dari realitas kemiskinan, ketidakadilan, dan ketertindasan yang dialami oleh banyak dari sesama kita hari ini. Pun ketika kita merenungkan rosario, bukankah kita mengingat Kristus dan Maria yang menderita di bawah kekerasan kaisar dan para pemuka agama? Tidakkah seharusnya penderitaan dan karya pembebasan Kristus juga mengingatkan kita pada kondisi saudara-saudara kita yang juga menderita hari ini, di mana Kristus hidup bersama mereka?      Karya sosial yang dilakukan oleh Realino dan di mana saya terlibat lantas menjadi manifestasi dari suatu spiritualitas yang membebaskan, yakni satu spiritualitas

Karya Pendidikan

Kemerdekaan di Puncak Merbabu

Sebuah Refleksi Diri untuk Negeri Merbabu, Sang Penjaga Langit Jawa Tengah, adalah salah satu anugerah terindah dari Tuhan yang diberikan pada negeri ini. Keindahan alamnya yang menakjubkan membuat kami semakin mencintai Indonesia. Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-79, organisasi pecinta alam SMK Mikael Surakarta atau biasa disebut PASTELLO (Pecinta Alam STM Mikael Solo) mengajak siswa SMK Mikael untuk bersama-sama memperingati hari kemerdekaan Indonesia di Puncak Merbabu. Dengan semangat kemerdekaan, kami berencana untuk mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Gunung Merbabu. Kami mulai merencanakan kegiatan ini sejak 2 minggu sebelum pendakian. Banyak hal yang harus dipersiapkan, mulai dari pemilihan perlengkapan yang tepat hingga aklimatisasi. Dengan persiapan yang matang, pendakian akan menjadi lebih aman dan menyenangkan.   Jumat, 16 Agustus 2024, pukul 14.30 WIB, 11 siswa SMK Mikael dan 3 guru pendamping mulai berangkat menuju salah satu basecamp di kaki Gunung Merbabu. Gunung Merbabu memiliki beberapa pilihan jalur pendakian dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Kami memilih jalur Wekas karena kuota pendakian untuk jalur lain sudah penuh. Jalur Wekas merupakan jalur pendakian tersulit di Gunung Merbabu. Meski begitu, hal itu tidak membuat semangat kami goyah. Kami malah semakin termotivasi dan bersemangat untuk menjalani misi kami.   Setelah makan malam di basecamp, sekitar pukul 18.00, kami memulai pendakian. Pada pendakian ini, kami berencana membangun tenda di pos 2 dan beristirahat sejenak di sana. Agar pendakian lebih efisien, kami membentuk dua tim pendaki. Tim 1 bertugas sebagai porter yang membawa tenda dan berangkat lebih dulu. Dengan begitu, tim 1 akan sampai lebih cepat dan dapat mendirikan tenda terlebih dahulu. Tim 2 bertugas membawa logistik dan peralatan masak. Sepanjang perjalanan pendakian, kami saling membantu satu sama lain. Kami telah berkomitmen untuk saling menjaga dan tidak meninggalkan teman di belakang. Sebagai siswa Kolese Mikael, kami sangat memegang teguh nilai komitmen yang merupakan bagian dari core values SMK Mikael. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, terjal, dan menantang, kami bersyukur karena seluruh anggota tim berhasil mencapai Pos 2. Kami beristirahat di pos ini selama sekitar lima jam.   Sabtu, 17 Agustus 2024, sekitar pukul 04.30, suara burung berkicau mulai menyambut pagi di Pos 2. Petualangan baru pun dimulai. Setelah bersiap, kami pun melanjutkan pendakian menuju puncak. Tantangan demi tantangan kami hadapi, seperti jalur yang sangat terjal, cuaca yang tak menentu, dan kelelahan fisik. Namun, setiap kesulitan yang kami hadapi mengajarkan kami untuk semakin gigih, sabar, dan membangun kerja sama tim. Meski kami seringkali merasa lelah dan pegal, kami tidak pernah berpikir untuk menyerah. Bagi kami, pendakian ini merupakan sebuah perjalanan spiritual untuk menemukan kedamaian dan keharmonisan dengan alam. Dengan penuh semangat, kami terus mendaki menuju puncak sembari menikmati keindahan alam yang disuguhkan oleh Tuhan. Setiap langkah yang kami tapaki membawa kami lebih dekat dengan awan. Pemandangan matahari terbit adalah hadiah terindah yang tak terlupakan. Kabut yang menyelimuti lembah, hamparan sabana yang luas, dan mata air yang segar, semuanya menyatu menjadi sebuah lukisan alam yang sempurna.     Dengan napas tersengal-sengal, kami akhirnya mencapai puncak Merbabu. Kami pun langsung membentangkan bendera kebangsaan Indonesia, Merah Putih. Tak lupa kami juga membentangkan bendera CTE atau bendera SMK St. Mikael Surakarta. Lelah dan keringat yang bercucuran terbayar lunas saat bendera berkibar gagah di atas awan. Pemandangan sinar matahari yang menyinari Sang Saka Merah Putih dan bersanding dengan bendera CTE adalah momen yang tak terlupakan. Ini adalah persembahan kami untuk para pahlawan yang telah berjuang merebut kemerdekaan. Mendaki Gunung Merbabu adalah sebuah perjalanan spiritual yang mengingatkan kami pada perjuangan para pahlawan. Jalur pendakian yang terjal dan cuaca yang tak menentu mengajarkan kami arti kegigihan dan pantang menyerah. Sama seperti para pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan, kami juga harus terus berjuang untuk mencapai tujuan hidup kami. Merbabu mengajarkan kami arti perjuangan.   Misi kami untuk mengibarkan bendera Merah Putih dan bendera CTE di puncak Gunung Merbabu telah tercapai. Namun sayangnya, kami tidak dapat mengikuti upacara bendera peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-79 bersama para pendaki lainnya karena adanya miskomunikasi. Kami pun memutuskan untuk kembali ke Pos 2 dan melaksanakan upacara di sana.   Di tengah keindahan alam merbabu, kami merenungkan arti kemerdekaan dan nilai-nilai apa yang kami dapat selama pendakian. Kemerdekaan dalam konteks pendakian bukan hanya sekedar mencapai puncak, tetapi juga tentang proses perjalanan. Setiap langkah pendakian adalah sebuah tantangan. Menaklukkan setiap tanjakan, melewati medan yang sulit, dan menghadapi cuaca ekstrem adalah simbol perjuangan untuk mencapai tujuan. Dalam sebuah kelompok pendakian, pasti ada perbedaan karakter dan kemampuan. Mampu menghargai perbedaan adalah kunci keberhasilan dalam mencapai tujuan bersama. Mendaki gunung adalah upaya melepaskan diri dari rutinitas sehari-hari, dari zona nyaman, dan dari segala keterbatasan yang mengikat. Ini adalah bentuk kebebasan untuk mengeksplorasi diri dan potensi yang lebih besar. Dalam kesunyian alam pegunungan, kami memiliki banyak waktu untuk merenung dan memahami diri secara lebih dalam. Ini adalah kesempatan untuk menemukan kekuatan dan kelemahan diri, serta menggali potensi yang selama ini terpendam. Nilai-nilai dan semangat kemerdekaan yang kami rasakan saat mendaki gunung dapat kami terapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai tujuan yang lebih besar. MERDEKA!   Kontributor: Raditya Dhamar Alfikri – PASTELLO SMK St. Mikael Surakarta

Karya Pendidikan

Literasi Keuangan Mempersiapkan Masa Pensiun

“Sudah sekian lama guru dan karyawan berbakti di Kanisius. Bukan waktu yang menjadi tolak ukur, namun lebih mengenai kualitas. Pengabdian boleh diukur dengan waktu, tetapi yang lebih bermakna adalah bagaimana kita berupaya berbakti pada Yayasan Kanisius. Yayasan Kanisius Cabang Surakarta mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Kanisius Pusat yang berkenan memberi “ular-ular” literasi finansial, mempersiapkan para guru dan karyawan, pegawai Kanisius yang akan memasuki masa pensiun,” kata Pater Joseph MMT Situmorang, S.J. dalam acara “Pembekalan Pengelolaan Dana Pegawai di Masa Pensiun.”   Pembekalan Pengelolaan Dana Pegawai di Masa Pensiun diselenggarakan oleh Pengurus Yayasan Kanisius Pusat pada Selasa, 13 Agustus 2024 di aula bawah Fransiscus Xaverius Gereja St. Antonius Padua Purbayan Surakarta. Pemateri dalam pembekalan ini yaitu Pater Aria Dewanto, S.J. bersama Bapak Antonius Supardjono, Bapak Felix Yanik Sargunadi, dan Bapak Hariyo Projo Kusumo. Sebanyak 49 orang yang terdiri atas guru dan karyawan Yayasan Kanisius Cabang Surakarta yang akan memasuki masa pensiun tahun 2024 -2031 turut hadir dalam pembekalan ini.   Tujuan Pembekalan “Pengurus Yayasan Kanisius berharap pegawai-pegawai Yayasan Kanisius bisa sejahtera mulai dari pegawai honorer, pegawai tetap, dan pegawai pensiun. Pembekalan yang diberikan bertujuan agar pegawai yang akan pensiun memahami pengelolaan keuangan terutama yang berkaitan dengan Yadapen dan BPJS Ketenagakerjaan. Pembekalan ini bukan pembekalan dari aspek psikologis memasuki pensiun. Akan tetapi, merupakan ajakan bagi peserta untuk membuka akses yang berhubungan dengan Yadapen dan BPJS Ketenagakerjaan sehingga bisa mengetahui aset yang dimiliki serta apa saja yang bisa dilakukan untuk pengelolaan aset yang dimiliki,” kata Bapak Felix Yanik Sargunadi dari Yayasan Kanisius Pusat.   Awal pembekalan Bendahara Yayasan Kanisius Pusat, Pater Aria Dewanto, S.J. mengungkapkan bahwa memasuki usia pensiun tidak berarti hidup sudah selesai. Namun hanya purna karya di Yayasan Kanisius. Masa harapan hidup masih memungkinkan peserta memiliki usia 68 tahun atau 78 tahun, bahkan lebih. Pemikiran perlu dipersiapkan setelah pensiun. Banyak aspek yang mempengaruhi ketika memasuki masa pensiun, di antaranya aspek psikologis, mental, keuangan, spiritualitas atau kerohanian, kesehatan, dan aspek-aspek lainnya. Pembekalan kali ini hanya membahas mengenai aspek finansial saja.   Cek dan Ricek Kekayaan Pater Aria mengajak peserta untuk melakukan cek dan ricek kekayaan pegawai yang memiliki dana di Yadapen dan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan melakukan pengecekan, pegawai yang akan pensiun dapat membuat perencanaan keuangan ke depan. Perencanaan keuangan diperlukan agar dapat mengelola keuangan secara bijak, membuat anggaran, berinvestasi secara cerdas, tidak melakukan hutang yang tidak perlu dan melakukan kontrol secara konsisten. “Ingat jangan terjerat pada pinjol, pinjaman online dan judi online,” pesan Pater Aria Lebih lanjut Pater Aria mengatakan bahwa ketahanan bidang keuangan dapat dilakukan dengan mengupayakan dan mengembangkan passive income, bagi yang memungkinkan. Misalnya berinvestasi yang aman di Yadapen, usaha dagang makanan dan minuman, usaha kost-kostan, usaha laundry, usaha antar jemput anak sekolah, beternak, berkebun produktif, dan lain sebagainya. “Semua itu dilakukan agar memiliki kebebasan dalam bidang keuangan yakni berkecukupan, meskipun tidak berkelimpahan. Selain itu bisa mengembangkan nilai-nilai pribadi,” ungkap Pater Aria.   Iuran Sukarela dan Manfaat Waktu Berkala Yadapen Selanjutnya Pater Aria memaparkan Jaminan Sosial Pensiun dan Yadapen. Pada saat pemaparan Yadapen, Pater Aria menyampaikan ada alternatif-alternatif pengembangan dana di Yadapen. Salah satunya dengan menambah iuran sukarela atau top up bagi peserta aktif Yadapen yang belum pensiun. Bagi yang sudah pensiun, bisa memanfaatkan manfaat waktu berkala.   Dana Kesehatan telah Disisihkan Selain itu juga dipaparkan pemanfaatan dana dari BPJS Ketenagakerjaan dan juga BPJS Kesehatan. Berkaitan dengan BPJS Kesehatan, Pater Aria mengajak peserta untuk memanfaatkan BPJS Kesehatan pada saat jatuh sakit dan memerlukan perawatan karena dana kesehatan telah disisihkan sebagai jaminan kesehatan. Dalam pembekalan ini peserta juga diajak untuk membuka link web Yadapen dan BPJS Ketenagakerjaan menggunakan gawai, untuk mengetahui jumlah aset yang dimiliki peserta. Bapak Antonius Supardjono, Bapak Felix Yanik Sargunadi dan Bapak Hariyo Projo Kusumo dengan penuh kesabaran membantu peserta pembekalan membuka web dan mengetahui jumlah aset yang dimiliki di Yadapen dan BPJS Ketenagakerjaan.   Kontributor: F.X. Juli Pramana – YKC Surakarta

Penjelajahan dengan Orang Muda

Ite Inflammate Omnia!

Rekoleksi Missioning Magis Jakarta 2023-2024 ‘Pergilah dan kobarkanlah seluruh dunia!’ Demikian pesan St. Ignatius Loyola sebelum mengutus sahabatnya, St. Fransiskus Xaverius, untuk menyebarkan Injil ke seluruh penjuru dunia. Ignatius ingin agar Xaverius tidak lupa akan semangat Injil yang mengubah dan mengobarkan hati mereka sebagaimana dua murid Emaus yang berkobar-kobar setelah mereka melek Kitab Suci kala berbincang-bincang dengan Yesus dalam perjalanan (bdk. Luk 24: 13-35). Api semangat yang mereka rasakan itu perlu diwartakan juga kepada yang lain supaya dunia semakin berkobar. Pesan yang sama rupanya ingin dimaknai oleh teman-teman Magis Jakarta untuk menutup rangkaian program Formasi tahun 2023 melalui kegiatan Missioning. Missioning berasal dari akar kata mittere, bahasa Latin, yang berarti mengirim atau mengutus. Kata tersebut kemudian ditafsirkan menjadi missio, yang dalam konteks teologi berarti tugas atau perutusan. Setelah berformasi dan ‘kembali’ pada perutusannya masing-masing, teman-teman Magis Jakarta diharapkan semakin mampu mengobarkan api cinta Allah kepada lingkungan di sekitarnya. Harapannya, terciptalah suatu dunia yang lebih baik dan teman-teman Magis menjadi sebagai salah satu frontliner-nya.    Dari Membangun Disposisi menuju Pembaharuan Hidup Rangkaian kegiatan Missioning Formasi Magis Jakarta 2023 mengambil tempat di Civita Youth Camp, Keuskupan Agung Jakarta. Selama kurang lebih 3 hari 2 malam, teman-teman Formandi dan Pengurus Magis Jakarta 2023 diajak untuk menemukan jejak kasih Allah dan menemukan wajah-Nya melalui pengalaman berformasi selama kurang lebih 9 bulan. Missioning sendiri terdiri dari beberapa sesi yang membantu teman-teman Formandi dan Pengurus Magis Jakarta 2023 mengkristalkan pengalaman formasinya. Sebelum memulai berbagai sesi, Fr. Albertus Alfian Ferry Setiawan, S.J. (Pendamping Magis Jakarta 2023) mengajukan pertanyaan reflektif, “Bagaimana disposisi batinmu sekarang dan rahmat apa yang kamu mohonkan dalam Missioning ini?” Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang penting sebab proses kristalisasi itu tidak dapat berjalan dengan baik dan bermakna kala disposisi batin tidak mendukung. Memang tidak semua dari teman-teman peserta Missioning memiliki disposisi batin yang siap untuk mengikuti kegiatan ini. Ada yang kurang bersemangat. Ada juga yang bertanya-tanya untuk apa. Ada yang setengah hati. Namun, mereka semua mencoba untuk berkomitmen, membangun disposisi untuk ikut masuk ke dalam rangkaian penutup Formasi Magis Jakarta 2023 ini.     Berbagai materi dipaparkan dalam sesi-sesi Missioning untuk membantu teman-teman peserta mengkristalkan pengalaman mereka. Sesi-sesi tersebut antara lain: Collecting Rainbows yang dibawakan oleh Sanita Ayu Burhan (Magis Jakarta 2016), Pendalaman Hidup & Karya Kristus oleh Luisa Catherine (Magis Jakarta 2019), Correctio Fraterna & Reformatio Vitae (Pembaruan Hidup) oleh Pater Alexander Koko Siswijayanto, S.J. (Moderator Magis Indonesia), Contemplatio Ad Amorem yang dibawakan oleh Pater Alexander Koko Siswijayanto, S.J. (Moderator Magis Indonesia), dan ditutup dengan sesi sharing alumni bersama Monica Wibowo (Magis Jakarta 2008), Claudia Rosari Dewi (Magis Yogyakarta 2016), Fr. Ferry, serta dimoderatori Fransiscus Xaverius Siahaan (Magis Jakarta 2015). Di samping berbagai sesi ini, terdapat juga kesempatan untuk melakukan percakapan rohani bersama sahabat rohani (saroh), sharing circle, dan emaus untuk memperkaya proses pendalaman buah-buah pengalaman formasi yang sudah dijalani.   Sesi Collecting Rainbows menjadi saat di mana teman-teman Formandi dan Pengurus Magis Jakarta 2023 diajak untuk melihat buah-buah rahmat formasi yang sudah dijalani. Kegiatan dilanjutkan dengan sesi pendalaman Hidup & Karya Kristus. Pendalaman Hidup & Karya Kristus menjadi hal yang penting sebab Kristus, Sang Pokok Anggur itulah junjungan umat Kristiani. Buah-buah rahmat itu datang karena kemurahan-Nya juga. Maka, untuk dapat membagikan buah-buah rahmat, menjadi garam dan terang bagi orang-orang di sekitar, teman-teman peserta diajak untuk mendalami lagi Kristus, Sang Pokok Anggur. Sesi Correctio Fraterna & Reformatio Vitae juga menjadi salah satu titik penting dalam momen Missioning. Bersama-sama teman seperjalanan dalam terang Roh Kudus, masing-masing menyampaikan apa yang sudah baik dan apa yang masih bisa dikembangkan satu sama lain. Ini menjadi dasar untuk menuliskan Reformatio Vitae, perubahan hidup yang ingin dicapai sebagai salah satu proses on going formation dalam hidup.    Setelah mengumpulkan berbagai rahmat, mendalami Hidup & Karya Kristus, bersama-sama dalam terang Roh Kudus melakukan koreksi diri dan menentukan arah perubahan diri, teman-teman peserta diajak untuk mengkontemplasikan bagaimana cara berbagi kasih yang sudah didapatkan melalui Contemplatio Ad Amorem. Bahwa rahmat dan kasih yang sudah dicecap dan dikristalkan dalam Missioning ini tidak bisa hanya disimpan untuk diri sendiri. Rahmat dan kasih itu perlu dibagikan kepada sesama sehingga berbuah lebih banyak lagi dan Kristus sungguh-sungguh semakin dirasakan kehadiran-Nya melalui teman-teman peserta yang adalah alter Christus, Kristus yang lain. Dengan demikian, pembaharuan hidup merupakan kunci dalam perjalanan teman-teman Magis Jakarta selanjutnya. Untuk semakin memantapkan dan menginspirasi perjalanan panjang proses melatih Spiritualitas Ignasian ini, tidak lupa ada sharing dari teman-teman alumni dan frater. Harapannya, teman-teman peserta terinspirasi untuk dapat berbagi cinta dan rahmat yang sudah dimiliki dalam konteks dan cara masing-masing.     Rekoleksi Missioning juga menjadi kesempatan untuk melakukan regenerasi pengurus Magis lama ke pengurus Magis baru. Berjalanannya formasi Magis selama setahun tentu tak terlepas dari peran-serta para pengurus yang turut belajar mengobarkan apinya dalam proses formasi mereka masing-masing. Pada umumnya para pengurus terdiri dari lintas angkatan formasi. Kepengurusan Magis tahun 2023-2024 yang dinahkodai oleh Hana Putra Wicesa dan Yuyun Dewi Cendana diteruskan oleh Antonius Eko Sunardi dan Editha Mei Indah Banjarnahor sebagai ketua dan wakil ketua pengurus Magis Jakarta tahun 2024-2025. “Nuansa kebersamaan di tengah hujan dalam misa ini merupakan sebuah tanda bahwa Magis tetap bisa terus kompak untuk melangkah ke depan,” ujar Pater Koko, moderator Magis Jakarta. Memang pada saat itu, di tengah-tengah misa, tiba-tiba turun hujan dan membuat seluruh peserta Missioning ini merapat dalam kebersamaan di depan altar Amphitheater Civita Youth Camp.    Kembali ke Hidup Sehari-Hari Missioning diibaratkan sebagai “puncak gunung” dalam perjalanan formasi Magis. Semua peserta pada akhirnya harus kembali ke hidup sehari-hari setelah berformasi. Tak dipungkiri bahwa perjalanan berformasi tidak melulu indah dan menyenangkan. Ada kalanya jatuh dan tersungkur karena jalan yang terjal berbatu-batu. Ada kalanya merasa hilang semangat, bahkan kehilangan arah. Namun kemudian rahmat Tuhan hadir lewat teman-teman seperjalanan yang mendorong dan menolong untuk bangkit kembali. Hadir sebagai sahabat untuk satu sama lain merupakan bagian dari aspek companionship atau persahabatan yang menjadi salah satu pilar Magis. Dalam Missioning, aspek companionship yang telah dibangun dalam circle atau kelompok sharing sejak awal formasi ini kemudian dipadukan dengan aspek spiritualitas. Kedua aspek tersebut memungkinkan para formandi dan pengurus untuk memaknai proses