Pilgrims of Christ’s Mission

Author name: Komunikator Serikat Jesus

Karya Pendidikan

Kehangatan Kasih dari Mereka yang Tersingkir

Compassion Week Sekolah-sekolah yang dikelola oleh para Jesuit di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan sekolah-sekolah lainnya. Salah satu kekhasannya adalah memiliki nilai-nilai dasar (core values) yang dikenal dengan istilah 4C (Competence, Conscience, Compassion, Commitment). Nilai-nilai dasar tersebut juga dirumuskan dalam profil pelajar SMK Katolik St. Mikael Surakarta. Dalam rangka pengembangan core values 4C yang berkelanjutan dengan berfokus pada pengolahan hati nurani dan belarasa siswa terhadap sesama, SMK Katolik St. Mikael Surakarta mengadakan kegiatan Compassion Week yang dilakukan oleh siswa-siswi kelas XI dengan tujuan untuk melatih dan mengembangkan kepekaan siswa dalam bersimpati serta berempati terhadap orang-orang yang kurang mendapatkan perhatian. Pada kegiatan ini, siswa dan siswi dikirim ke tempat-tempat karya sosial yang berada di dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti SLB Karya Bhakti (Purworejo), Hellen Keller Indonesia (Yogyakarta), School of Life (Semarang), Pangon Utomo (Surakarta), Adullam Ministry (Sukoharjo), Panti Wredha (PW) Dharma Bhakti (Wonogiri), PW Salib Putih (Salatiga), PW Maria Sudarsih (Ambarawa), SLB Dena Upakara (Wonosobo), dan lain lain.   Compassion Week tahun 2024 ini dibagi menjadi dua gelombang. Gelombang pertama diadakan pada 5-9 Agustus 2024 dan gelombang kedua akan diadakan pada 11-15 November 2024. Selama kegiatan itu, para siswa tidak diperkenankan membawa alat komunikasi apapun agar mereka dapat fokus dan masuk ke dalam dinamika tempat mereka diutus. Pada kesempatan kali ini, penulis mendapatkan kesempatan melakukan Compassion Week gelombang pertama yang bertempat di The School of Life, Semarang. School of Life merupakan rumah sekaligus sekolah untuk orang-orang yang memiliki gangguan jiwa dan orang-orang terbuang. Banyak pengalaman luar biasa yang didapatkan penulis selama mengikuti Compassion Week. Pengalaman-pengalaman itu sangat berharga bagi kami dan dapat digunakan sebagai sarana untuk menyelami lebih dalam (duc in altum) lingkungan sosial di sekitar kita. Selain itu, muncul pula pergulatan batin dalam diri kami selama mengikuti Compassion Week yang ternyata tanpa sadar menumbuhkan rasa peduli terhadap orang-orang yang tersingkir.   Di School of Life, kami berjumpa dengan Ibu Priskilla Smith Jully yang merupakan pendiri tempat ini. Ibu Priskilla banyak bercerita kepada kami mengenai kisah hidupnya yang sangat inspiratif. Kami sangat terkesan dengan Ibu Priskila yang meskipun tunanetra sejak lahir namun memiliki banyak prestasi yang luar biasa. Kami terinspirasi oleh dedikasi dan keberanian beliau dalam membangun School of Life.     Di awal kedatangan, kami diajak berkeliling memasuki kamar teman-teman disabilitas yang ada di sana. Awalnya kami merasa sedikit takut. Namun setelah masuk, berkenalan, dan bersalaman dengan mereka, pandangan kami mulai berubah. Ternyata mereka tidak mengerikan seperti yang kami bayangkan. Mereka merupakan pribadi-pribadi yang menyenangkan dan unik.   Selama lima hari tinggal di sana, kami banyak berdinamika dengan para penghuni School of Life. Kami membantu merawat para penghuni, memandikan, menyuapi, dan membimbing mereka dalam membaca Alkitab. Kegiatan harian dimulai sejak pagi hingga malam hari. Awalnya kami merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan rutinitas yang ada di panti, terutama karena harus berinteraksi dengan para penghuni yang membutuhkan perlakuan khusus. Aroma kurang sedap di kamar mereka dan lingkungan yang berbeda dari biasanya membuat kami merasa tidak nyaman. Namun, seiring berjalannya waktu, kami mulai terbiasa dan menemukan kebahagiaan dalam membantu mereka. Selain itu, kami juga membantu berjualan sembako dan pakaian di halaman depan panti. Hasil dari penjualan tersebut nantinya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan para penghuni School of Life. Di malam terakhir, kami tidur bersama mereka di satu ruangan yang sama tanpa adanya pembatas. Hal itu menjadi pengalaman berkesan bagi kami dan tidak terlupakan. Bukan kami yang berbagi dengan mereka melainkan merekalah yang berbagi dengan kami.   Compassion Week ini mengajarkan kami banyak hal, terutama mengenai arti dari compassion. Kami belajar bagaimana memberikan hati dan waktu untuk mereka yang membutuhkan dan juga menerima orang lain tanpa melihat perbedaan. Kami juga banyak belajar dari Ibu Priskilla yang memiliki keterbatasan namun dapat berbuat sesuatu yang berguna bagi orang lain. Kami pun juga belajar arti sebuah keluarga dari para penghuni School of Life. Mereka saling membantu satu sama lain dan berkegiatan bersama dengan mencuci piring, mengepel, dan menyapu ruangan bersama. Mereka hidup bersama layaknya satu keluarga. Kami bersyukur atas perjumpaan kami dengan para penghuni School of Life yang penuh kasih dan kehangatan. Perjumpaan ini sangat singkat, namun sangat bermakna bagi hidup kami yang masih panjang.   Kontributor: Pamela Desiana Christy dan Muhammad Dafa Raditia –  SMK Kolese Mikael Surakarta

Karya Pendidikan

“Berguru di Pegunungan Seribu”

Live-in Kolese Gonzaga 2024 Mentari mulai merekah di ufuk timur ketika tujuh bus yang membawa rombongan siswa kelas XI SMA Kolese Gonzaga mulai mendaki Bukit Pathuk dan melewati slogan bertuliskan Gunung Kidul – Handayani. Panorama indah kota Yogyakarta yang terlihat dari Bukit Bintang seakan menyambut para peserta live-in, yang terlihat masih menyimpan rasa kantuk namun juga penasaran tak sabar ingin segera sampai di lokasi.    Kerja sama Sekolah dengan Paroki Santo Petrus Kanisius Wonosari Live-in Kolese Gonzaga merupakan kegiatan rutin sekolah bagi siswa kelas XI. Pada tahun 2020, sebenarnya Kolese Gonzaga juga merencanakan live-in di Gunung Kidul, namun dua hari menjelang keberangkatan, pemerintah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat Covid-19, sehingga live-in Kolese Gonzaga saat itu, terpaksa harus dibatalkan.    Tahun ini live-in Kolese Gonzaga yang diselenggarakan pada 8-13 September 2024, mengambil tema “Peduli Lingkungan, Peduli Sesama, Peduli Diri Sendiri.” Live-in tahun ini terselenggara berkat kerjasama antara sekolah dengan Paroki Santo Petrus Kanisius Wonosari, Gunung Kidul. Romo Nobertus Sukarno Siwi, Pr. dan Romo Yohanes Riyanto, Pr. yang merupakan pastor paroki memberikan izin penyelenggaraan live-in Kolese Gonzaga, sehingga 275 siswa dan 18 pendamping dapat berkegiatan di 14 lingkungan yang berada di desa Gunungsari, Trengguno, Kalangbangi, Nitikan, Kwangen, Semanu, Pokdadap, Jati, Petir, dan Cuwelo.     Live-in sebagai Sarana Formasi Karakter  Kurikulum Merdeka memberi keleluasaan sekolah untuk mengimplementasikan Proyek Penguatan Pelajar Pancasila (P5) dengan tujuan untuk membentuk Pelajar Pancasila yang beriman, berkebhinekaan global, mampu bergotong royong, mandiri, kritis, dan kreatif. Hal ini terwujud lewat penanaman core values sekolah yakni Competence, Conscience, Compassion, Commitment, dan Humility serta Integrity dalam  live-in.    Gunung Kidul dipilih sebagai lokasi live-in karena konteks masyarakatnya yang beragam, agraris, dan cukup terbuka. Mereka terlibat dalam dinamika harian keluarga dan masyarakat desa. Pada bulan September di wilayah Gunung Kidul yang sistem pertaniannya tadah hujan, tidak ada aktivitas penanaman. Pekerjaan pertanian yang ada adalah memetik kacang hijau, menggemburkan tanah ladang, mengolah hasil pertanian, seperti membuat gaplek, mengupas kacang, memipil jagung, membuat keripik-keripik singkong, dan mencari pakan ternak.    Berkegiatan bersama keluarga dalam masyarakat pedesaan menghadapkan para siswa dengan suatu pengalaman merasakan perjuangan para penyedia bahan pangan bagi banyak orang. Nasi, sayur, buah, dan lauk pauk yang tersaji di meja makan sesungguhnya adalah hasil proses yang panjang. Petani dan peternak menempati garda depan di dalamnya yang menguras peluh dan kadang juga air mata. Mereka tak pernah takut bekerja di bawah sengatan sinar matahari. Ada berbagai perbincangan yang terjadi saat para siswa diajak wedangan bersama keluarga asuh. Perbincangan tentang bagaimana mengatasi kegagalan panen, menghadapi kemarau panjang dan kekeringan, bagaimana bertahan saat harga hasil panen anjlok di pasaran, maupun saat terjadi wabah tetelo ataupun anthrax pada ternak.       Setiap malam, siswa merefleksikan berbagai peristiwa yang mereka alami sepanjang hari tersebut. Ada banyak hal menyentuh dari hasil refleksi para siswa. Banyak yang merasa tertampar dengan apa yang mereka saksikan. Betapa selama ini ada banyak kenyamanan hidup yang mereka nikmati di kota, baik akses transportasi yang mudah, kamar ber-AC yang sejuk, makanan yang sudah tersaji, serta berbagai kemudahan lainnya. Tiara dan Abel yang menempati rumah Mbah Rubiyem, tekun membantu mbah Rubiyem membuat tempe. Mereka membungkus kacang kedelai yang sudah direbus dan diberi usar dengan daun jati serta daun awar-awar. Meskipun tangan mereka bekerja, namun pikiran dan hatinya tertuju pada sosok Mbah Rubiyem yang sudah berumur 80 tahun yang tak pernah mau berdiam diri. Beliau masih mengurus ladang dan ternak, meskipun anak-anaknya di perantauan mengirimkan uang setiap bulan.     Pater Eduard Calistus Ratu Dopo, SJ. selaku Kepala Sekolah dan Pater Yulius Suroso, SJ. selaku moderator Kolese Gonzaga, secara terpisah mengunjungi siswa secara acak dari desa ke desa dan berdialog dengan siswa. Aradea dan Aquinas menyatakan rasa syukurnya ditempatkan di rumah Keluarga Hartono di Dusun Pokdadap yang berjarak 15 km dari kota Wonosari. Mereka belajar dari keluarga tersebut mengenai arti kebahagiaan di tengah situasi “Adoh ratu, cedhak watu”. “Adoh Ratu” artinya jauh dari pemerintahan sehingga fasilitas terbatas, sedangkan “cedhak watu” atau dekat bebatuan. Di Gunung Kidul memang banyak batu. Bukit-bukitnya pun berupa bukit batu kapur sehingga tidak semua lahan dapat dipakai untuk bercocok tanam.    Dalam live-in ini para siswa juga mengikuti pertemuan lingkungan dalam rangka Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN), dan berlatih seni budaya. Ada berbagai kesenian yang diperkenalkan dan dipelajari, antara lain tari Reog, Jathilan, tari Nawang Jagad, bermain gamelan, mewiru kain dan mengenal busana adat Jawa. Kegiatan ini bertujuan untuk mengolah rasa, dan menanamkan kecintaan akan budaya tanah air. Ada tradisi-tradisi yang kemudian diperkenalkan juga kepada para siswa untuk menjaga lingkungan, misalnya Tradisi Rasulan atau memetri desa dan tradisi Gugur Gunung yang dilakukan secara berkala untuk membersihkan lingkungan desa.      Live-In sebagai Sarana Formasi Intelektual  Alam dan masyarakat adalah sumber belajar dan laboratorium yang sangat bagus. Live-in, tidak hanya untuk mem-formasi karakter, tetapi juga mengembangkan kemampuan intelektual siswa dengan penerapan metode ilmiah. Sebelum berangkat live-in, para siswa diwajibkan untuk mempelajari berbagai hal terkait Gunung Kidul, baik kondisi geografis, sosial ekonomi budaya, keberagaman masyarakat, ekologi maupun keanekaragaman hayatinya. Mereka juga belajar menggunakan analisis SWOT dan design thinking secara sederhana. Saat berada di lokasi live-in, mereka melakukan observasi sederhana, melakukan konfirmasi teori yang telah mereka pelajari, serta melakukan analisis terhadap berbagai fenomena yang mereka temukan.    Sepulang live-in, kelompok-kelompok kerja mengumpulkan berbagai informasi hasil observasi dan melakukan diskusi. Permasalahan-permasalahan yang mereka temukan saat live-in dikumpulkan, lalu setiap kelompok memilih satu permasalahan yang kemudian dibahas secara ilmiah untuk menemukan alternatif-alternatif solusinya. Alternatif solusi ini kemudian diwujudkan dalam ide rancangan prototype. Permasalahan yang paling banyak dipilih oleh siswa adalah masalah keterbatasan air untuk pertanian. Berbagai ide yang muncul antara lain adalah penggunaan sistem drip irigation, desalinasi air laut, dan penangkapan uap air. Banyaknya anak muda yang meninggalkan desa merupakan masalah sosial yang teramati dengan jelas. Petani yang ada saat ini mengolah lahan pertanian sebagian besar adalah lansia. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan krisis sumber daya manusia di bidang pertanian yang berujung pada krisis pangan di masa depan. Ide-ide yang muncul sebagai solusi antara lain, bagaimana mengubah image petani agar menarik anak muda menjadi petani keren berteknologi tinggi dengan penggunaan AI, drone untuk penyemprotan hama, dan

Provindo

“Dewanto Pastor Bonus”

Pater Tarcisius Dewanto, S.J. dilahirkan pada 18 Mei 1965 di Magelang. Ia masuk novisiat Serikat Jesus di Girisonta pada 7 Juli 1987 dan menjalani dua tahun masa novisiatnya di Girisonta. Ia ditahbiskan menjadi imam di Yogyakarta, Indonesia pada 14 Juli 1999 bersama sepuluh Jesuit lainnya. Setelah tahbisan imam, Pater Dewanto mendapatkan tugas pertama membantu pelayanan pastoral di Paroki Suai, Keuskupan Dili.   Keadaan menegangkan di Suai dan semakin meningkat sejak 4-5 September 1999 setelah jajak pendapat diumumkan. Situasi memanas hingga timbul huru-hara antara kelompok Pro-kemerdekaan dan pro-integrasi. Menjelang sore, tujuh anggota milisi beserta komandannya bersenjata lengkap mengepung Gereja dan Pastoran Suai. Pater Dewanto melihat ada keributan kemudian keluar dan berusaha melerai. Namun seketika itu ia diberondong tembakan dan terlihat orang mengayun-ayunkan parang kepadanya. Penyerangan ini memakan korban jiwa, dua imam diosesan tewas dan satu Jesuit, Pater Dewanto.    Pada 20 Agustus 2024 yang lalu, Pater Sarmento, Jesuit dari Regio Timor Leste, bersama dengan enam orang imam Jesuit merayakan 25 tahun tahbisan di Gereja Santa Perawan Maria Ratu, Jakarta. Berikut ini adalah kutipan homili Pater Sarmento, S.J. dalam perayaan Ekaristi 25 tahun tahbisan Imamat.   Beberapa hari yang lalu, dalam rangka mempersiapkan perayaan 25 tahun tahbisan Imamat, teman-teman mendaulat saya untuk menjadi homilist. Saya mengatakan, kalau Pater Provinsial yang memimpin misa berarti beliau yang akan menyampaikan homili. Namun Pater Provinsial ternyata meminta salah satu dari para Jubilaris untuk menyampaikan homili. Dan saya bilang seharusnya tuan rumah Paroki Blok Q, yaitu Pater Kris. Tapi Pater Kris beralasan umat sudah bosan dengan homilinya. Saya masih menego, “Perintah Provinsial Benny itu ditujukan kepada anggota Jesuit Indonesia, saya kan sudah bukan anggota Provindo, hahahaha.” Dan akhirnya saya menerima, satu lawan enam orang saya tidak bisa. Dan saya menerima ini dengan syukur sebagai tanda kepercayaan. Kalau memilih saya, ya harus siap menanggung risikonya, karena kami orang tinggi ini, untuk bicara pendek itu susah sekali. Pater-pater semakin bertambah usia, semakin panjang bicaranya. Ada yang bicara panjang seperti radio rusak, dicopot baterainya ya tetap bunyi.     Ya, 25 tahun lalu, kami bersebelas ditahbiskan menjadi imam di Yogyakarta oleh Mgr. Ignatius Suharyo, sekarang beliau seorang Kardinal. Dalam perayaan ini hanya 7 orang yang hadir, yaitu PP Adrianus Suyadi,S.J.,  Roberthus Rimmin, S.J., Antonius Widyarsono. S.J., Gregorius Soetomo, S.J., Adrianus Herry Wijayanto, S.J., Augustinus Setyo Wibowo, S.J.,Athanasius Kristiono Purwadi, S.J.,  dan Joaquim Sarmento, S.J.. Pater Gregorius Soetomo, S.J. sekarang ini sedang bertugas di Manila, Filipina, dan Pater Yohanes Sudriyanto, S.J. bertugas di Nabire. Dua orang yang lain, yang satu sudah memutuskan untuk meninggalkan imamat, dan satu lagi tewas terbunuh di Timor Leste pada 6 September 1999 (kurang dari dua bulan setelah ditahbiskan), Pater Tarcisius Dewanto, S.J.   Kurang dari dua bulan usia tahbisannya, Pater Dewanto sudah menjadi martir di Timor Leste bersama satu Jesuit lainnya, Pater Carolus Albrecht Karim Arbie, S.J.  yang saya lihat namanya diabadikan di sebelah Gereja Blok Q ini. Sesudah tahbisan, kami bertiga bersama dengan Pater Robert Rimmin, diutus ke Timor Leste. Ketika Dewanto tiba di airport Dili, saya yang menjemputnya terheran-heran karena dia membawa empat koper besar dan satu koper kecil. Saya bertanya, “Kok barangnya banyak banget?’” Ia jawab singkat dalam bahasa Jawa, “Omahku neng kene kok!” (Rumahku di sini kok). Dia sungguh serius tampaknya.   Dia lalu diutus untuk belajar bahasa Tetum di Suai dekat perbatasan, tempat yang suhu kekerasannya tinggi menjelang referendum. Selama terjadi kekerasan setelah pengumuman referendum, dia terkurung di dalam gedung gereja bersama ratusan pengungsi. Ketika datang para milisi untuk mengancam, mereka tidak bisa keluar. Ketika milisi mulai menembak ke dalam, Pater Dewanto keluar untuk menenangkan para milisi. Karena dia orang Indonesia, ia berpikir tidak akan diapa-apakan. Walau ada yang teriak, “Jangan, itu orang kita!” tetapi para milisi tetap menganiayanya hingga mati di dekat pintu gereja. Dia mati untuk melindungi umat di dalam gedung gereja.    Memperingati sepuluh tahun kemartiran dua Jesuit ini (2009), saya mengumpulkan kisah dan kesan, apresiasi dan refleksi dari banyak kalangan dalam sebuah buku kecil dan sekarang sudah diterjemahkan ke dalam Inggris dan Jerman untuk kepentingan penggalangan dana untuk misi, dengan judul “Passion for Christ, Passion for Humanity.” Dalam buku itu, saya memilih untuk judul artikel saya Dewanto Pastor Bonus.   Kita tidak menyangka bahwa misa yang dipimpin Pater Dewanto di Jogja itu adalah misa perpisahannya. Saya tidak menyangka bahwa Pater Dewanto akhirnya memang menjadi ‘pastor bonus’, memberikan nyawanya sendiri demi membela domba-dombanya di tanah di mana dia diutus. Kita tahu, menurut Injil, pastor bonus atau gembala yang baik itu adalah Tuhan Yesus sendiri. Gembala yang baik memiliki delapan peran yaitu mengenal domba-dombanya dan domba-dombanya mengenal dia, berjalan di depan domba-dombanya, membawa ke rumput hijau, menuntun ke air jernih, mencari yang hilang, merawat dan menyembuhkan yang terluka, membela domba-dombanya dari serigala buas, dan mengumpulkan semua domba dalam satu kandang. Pater Dewanto dengan kisah kemartirannya di Timor Leste, telah sungguh mendekati Imam Agung Yesus Kristus, dengan memberikan nyawanya demi domba-dombanya.      Terasa atau tidak, sadar atau tidak, sejak tidak lama sesudah kami ditahbiskan, imamat kami selama 25 tahun ini telah diperkaya, diinspirasi, dan dikuatkan oleh kemartiran sahabat kami Pater Dewanto. Berbicara mengenai kemartiran dalam sebuah misa syukur imamat seperti ini, bukanlah berbicara mengenai dua hal berbeda. Karena imamat pada dasarnya adalah kemartiran itu sendiri. Dalam hidup membiara saja, kita mengenal apa yang disebut ‘kemartiran putih’, yaitu penyerahan diri total kepada Allah walau tidak harus mengucurkan darah seperti Pater Dewanto. Imamat dan kemartiran bertemu dalam sikap penyerahan diri secara total kepada Allah, mempersembahkan korban bukan saja Ekaristi di meja altar, tetapi hidup kita seluruhnya. Imamat pelayanan berarti meneladani Imam Agung dalam peran-perannya yang kita sebutkan tadi, mematikan diri demi pelayanan kepada umat Allah. Pater Dewanto telah memberikan contoh nyata kepada kita dengan kemartirannya.   Kita semua umat Allah. Sekali menerima sakramen pembaptisan, kita diikutsertakan dalam fungsi-fungsi Kristus sebagai imam, raja, dan nabi. Oleh karena itu, persembahan dan pengorbanan kita sehari-hari, besar dan kecil, kita pahami dan hayati dalam rangka itu.   Saya berterima kasih atas dukungan dan doa bagi imamat saya semua teman-teman Jubilaris. Semoga kami dianugerahi sekurangnya 25 tahun lagi melayani Allah dan umat-Nya. Bukan saja 25

Feature

Bapa Suci bersyukur kepada Tuhan atas kunjungannya ke empat negara di Asia-Pasifik

Lawatan Paus Fransiskus menebarkan belas kasih dan persaudaraan di Indonesia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura   Paus Fransiskus, kini berusia 87 tahun, bersyukur kepada Tuhan karena telah mengizinkannya melakukan apa yang ingin ia lakukan sebagai seorang paus yang sudah sepuh, sebagaimana yang ingin dilakukan seorang Jesuit muda pendahulunya, yaitu melakukan perjalanan ke Asia untuk mewartakan kabar gembira.   Seperti biasa, Paus memanfaatkan audiensi publik pertamanya dalam kunjungannya ke Asia Pasifik pada 2-13 September 2024 untuk membagikan hal-hal yang ia lakukan, ia lihat, dan semua hal yang paling menarik yang ia temui selama perjalanannya.   Berbicara kepada ribuan orang di Lapangan Santo Petrus pada 18 September, ia menamai perjalanannya sebagai “lawatan kerasulan” karena memang bukan perjalanan wisata melainkan perjalanan untuk mewartakan sabda Tuhan sehingga Dia dikenal sekaligus menjadi kesempatan bagi Paus untuk mengenal jiwa-jiwa. “Itu semua sangatlah indah,” katanya.     Paus mengunjungi Indonesia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura. Paus mengatakan bahwa beberapa orang “masih terlalu Eurosentris” ketika berpikir tentang Gereja Katolik. Namun kunjungannya menunjukkan kenyataan bahwa ternyata Gereja itu jauh lebih besar, jauh lebih besar daripada Roma atau Eropa, dan jauh lebih hidup di negara-negara itu.   Di Indonesia, negara dengan penganut Islam terbesar di dunia, Paus mengatakan, “Saya menerima penegasan bahwa belas kasih adalah jalan yang dapat dan harus dilalui oleh umat Kristiani untuk memberikan kesaksian tentang Kristus sang juru selamat, dan pada saat yang sama untuk bertemu dengan tradisi-tradisi agama dan budaya yang sungguh luhur.”   “Seorang beriman Kristiani tetapi tanpa belas kasih tidaklah berharga. Iman, persaudaraan, belas kasih menjadi moto yang dipilih para uskup Indonesia untuk perjalanan ini, sebagaimana terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta,” kata Paus Fransiskus. “Mengunjungi terowongan dan Masjid, saya melihat bahwa persaudaraan adalah masa depan dan menjadi jawaban untuk melawan anti peradaban, kebencian, persekutuan jahat, dan perang.”   Di Papua Nugini, ia mengatakan kepada umat bahwa ia terkesan dengan pengabdian para misionaris, termasuk sekelompok imam dan biarawan-biarawati dari Argentina, dan para katekis sebagai pewarta Injil utama.   Di hadapan kaum muda negara itu, ia berkata, “Saya melihat masa depan yang baru, tanpa kekerasan rasial, tanpa ketergantungan, tanpa penjajahan ekonomi dan ideologi. Masa depan yang penuh dengan persaudaraan dan kepedulian terhadap lingkungan alam yang menakjubkan.”     Paus Fransiskus mengatakan bahwa di Timor-Leste, sebagai sebuah negara yang masih berjuang dengan mayoritas penduduk beragama Katolik, ia sangat terkesan dengan keanggunan para penduduknya, yaitu orang-orang yang telah mengalami banyak hal namun tetap mampu bersukacita, orang-orang yang bijaksana meski dalam penderitaan.   “Orang Timor Leste adalah orang-orang yang tidak hanya melahirkan banyak anak, ada lautan anak-anak, tetapi juga mengajarkan mereka untuk tersenyum. Di Timor-Leste saya melihat Gereja dengan jiwa muda: keluarga, anak-anak, OMK, banyak seminaris dan calon-calon religius. Saya tidak berlebihan dengan mengatakan bahwa saya menghirup ‘udara musim semi,” kata Paus.   Meskipun kemakmuran Singapura sangat kontras dengan tiga negara lainnya, katanya, minoritas Katolik di negara itu membentuk “Gereja yang hidup, terlibat dalam memupuk kerukunan dan persaudaraan di antara berbagai etnis, budaya, dan agama. Bahkan di Singapura yang makmur pun terdapat ‘orang-orang kecil’ yang mengikuti Injil, menjadi garam dan terang, menjadi saksi akan harapan yang lebih besar daripada yang dapat dijamin oleh keberhasilan ekonomi.   Paus Fransiskus memulai pertemuannya dengan memperkenalkan para pegawai Vatikan yang membacakan ringkasan pidatonya dalam bahasa Spanyol dan Polandia. Arturo López Ramírez dan Monika Nowak dijadwalkan akan menikah pada hari Sabtu, dan paus mengatakan, “Sungguh indah ketika cinta menuntun dua orang untuk memulai sebuah keluarga baru.”     Seperti biasanya, Paus mengakhiri audiensinya dengan berdoa untuk perdamaian di Israel, Palestina, Ukraina, Myanmar, dan banyak tempat lainnya di mana ada perang yang mengerikan.   Dengan memejamkan mata, ia berdoa, “Semoga Tuhan memberi kita semua hati yang mengusahakan perdamaian demi mengalahkan peperangan, di mana perang selalu merupakan kekalahan.”   Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel “‘Old Pope’ thanks God for four-nation trip to Asia-Pasific” https://www.ucanews.com/news/old-pope-thanks-god-for-four-nation-trip-to-asia-pacific/106452 Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 17 September 2024.

Feature

Pantang Mundur, Arif Tanpa Kenal Takut

Pertemuan Paus Fransiskus dengan Jesuit Indonesia Rabu pagi (4/9) sekitar pukul 11.30 WIB setelah menemui Presiden Indonesia, para pejabat pemerintah, dan korps diplomatik, Paus Fransiskus kembali ke Wisma Kedutaan Vatikan untuk menemui sekitar 200 Jesuit Provinsi Indonesia yang telah menunggunya. Mereka ini, sekitar 2/3 dari keseluruhan Jesuit di Indonesia, hadir bersama Provinsial Pater Benedictus Hari Juliawan, S.J. Paus Fransiskus hadir di ruang pertemuan berbentuk “T” dengan penuh senyum sambil menyapa mereka. Komentar pertamanya adalah, “Ada banyak orang muda di sini!” Demikianlah, karena 1/3 dari yang hadir adalah para Jesuit muda yang sedang menjalani formasi filsafat, teologi (magisterium), dan regensi atau orientasi kerasulan yang dilaksanakan setelah lulus filsafat sebelum masuk teologi. Karena waktu terbatas, Paus Fransiskus segera mempersilakan mereka untuk mengajukan pertanyaan.   “Yang ingin bertanya, silakan tunjuk jari!”   Dialog berlangsung dalam bahasa Indonesia yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Italia.   Paus Fransiskus, terima kasih berkenan datang ke Indonesia dan menemui kami. Saya skolastik teologan. Pertanyaan saya, bagaimana kita menangani masalah-masalah yang sangat mendesak dalam Gereja saat ini, khususnya dalam membantu mereka yang paling terpinggirkan dan tersingkir? Saya ingin para Jesuit bersuara. Bacalah Kisah Para Rasul untuk melihat apa yang mereka lakukan pada awal Kristianitas! Roh Kudus menuntun kepada “keriuhan” bukannya membiarkan segala sesuatu diam. Singkatnya, ini adalah cara untuk menghadapi isu-isu penting. Ingatlah bahwa para Jesuit harus berada di tempat-tempat yang paling sulit. Ini adalah cara kita untuk “melangkah lebih jauh” demi kemuliaan Allah yang lebih besar. Untuk membuat suara yang baik yang dibimbing oleh Roh Kudus, kita harus banyak berdoa. Saya selalu teringat apa yang dikatakan Pater Arrupe, yaitu agar para Jesuit jangan meninggalkan doa. Pater Arrupe ingin agar Jesuit melayani karya bagi para pengungsi, sebuah kerasulan sulit di tapal batas. Hal pertama dan terutama yang ia minta adalah berdoa dan berdoa. Pidato terakhirnya yang ia sampaikan di Bangkok menjadi wasiat bagi semua Jesuit. Hanya dalam doa kita menemukan kekuatan dan inspirasi untuk menghadapi ketidakadilan sosial. Lihatlah juga kisah hidup Fransiskus Xaverius, Matteo Ricci dan banyak Jesuit lainnya. Mereka mampu bergerak maju karena semangat doa mereka.   Terkait dialog lintas agama dan pentingnya kerukunan antaragama, para Jesuit yang tinggal di Pakistan hidup bersama orang-orang yang menjadi korban penganiayaan. Apa saran Bapa Suci? Saya merasa bahwa jalan orang Kristiani selalu merupakan jalan “kemartiran,” yaitu bersaksi. Kita harus bersaksi dengan bijak dan penuh keberanian. Dua elemen yang berjalan beriringan dan tergantung pada masing-masing orang untuk menemukan jalannya sendiri. Berbicara tentang Pakistan, saya teringat sosok Asia Bibi yang dipenjara selama hampir 10 tahun. Saya bertemu dengan putrinya, yang secara diam-diam membawakannya komuni. Ia menunjukkan kesaksian penuh keberanian selama bertahun-tahun. Maju terus dengan bijaksana dan penuh keberanian! Kebijaksanaan selalu memberikan nyali untuk mengambil risiko. Sebaliknya, jiwa penakut itu bernyali ciut.   Bagaimana Bapa Suci berdoa di tengah kesibukan? Saya sangat perlu berdoa dan benar-benar membutuhkannya! Di usia tua ini, saya bisa tidur nyenyak dan selalu bangun pagi-pagi, sekitar sekitar pukul 04.00, lalu mulai berdoa sejam kemudian. Saya mendoakan brevir dan memanjatkan doa pribadi kepada Tuhan. Jika doa terasa “membosankan,” maka saya berdoa rosario. Kemudian saya pergi ke Istana Kepausan untuk audiensi. Setelah itu saya makan siang dan beristirahat sejenak. Kadang-kadang di hadapan Tuhan saya berdoa hening. Saya berdoa dan tentu saja merayakan Ekaristi. Di malam hari, saya melakukan lebih banyak doa. Dalam berdoa, bacaan rohani juga menjadi sangat penting; kita harus menumbuhkan kerohanian kita dengan bacaan yang baik. Saya berdoa seperti ini, secara sederhana. Sederhana saja dan malah terkadang saya tertidur dalam doa. Tidak masalah karena bagi saya itu menjadi tanda bahwa saya baik-baik saja dengan Tuhan! Saya beristirahat dengan berdoa. Jangan pernah meninggalkan doa!   Bapa Suci, saya seorang formator. Apa saran Bapa Suci agar para formator dapat membentuk para formandi sehingga terbangun interkulturalitas dan rasa saling menghormati latar belakang multikultural dalam sebuah komunitas internasional? Saya punya cerita “lelucon” yang dilakukan oleh Roh Kudus. Tahu apa yang Dia lakukan? Seperti saya katakan sebelumnya, setelah kebangkitan Kristus, hal pertama yang Roh Kudus lakukan adalah membuat “kekacauan.” Saya ulangi lagi, bacalah Kisah Para Rasul dengan saksama. Roh Kudus “menciptakan,” dan dengan cara ini Ia menyertai kita sepanjang hidup. Apa yang diceritakan oleh Kisah Para Rasul kepada kita? Yaitu bahwa di Yerusalem terdapat orang-orang dari segala bangsa: ada orang Partia, Media, dan Elam. Mereka semua berbeda satu sama lain dan berbicara dalam bahasa mereka masing-masing. Inilah anugerah Roh Kudus, yaitu mereka “bersuara riuh,” berbicara dalam bahasa mereka sendiri tetapi semua saling memahami satu sama lain. Hal ini sesuai dengan para Jesuit, yakni menjadi alat Roh Kudus yang berarti membuat keriuhan ini.   Inilah inkulturasi. Jesuit harus memiliki kemampuan untuk berinkulturasi seperti telah dilakukan oleh banyak misionaris di berbagai benua. Ini berarti bahwa seorang Jesuit berkhotbah dalam bahasa dan bentuk yang pas sesuai tempat dan waktunya. Dua pilarnya adalah inkulturasi Injil dan penginjilan kultural. Inilah mengapa Jesuit itu berbeda satu sama lain, dan itu baik. Tidak ada model tunggal. Panggilan kita adalah membiarkan Tuhan memampukan kita mewartakan Injil dengan segala kekayaan yang telah diberikan-Nya kepada kita.   Hal ini juga berlaku untuk kondisi personal, temperamen dan karakter, misalnya, usia. Orang muda tidak dapat membuat dirinya menjadi tua, dan orang tua tidak dapat membuat dirinya menjadi muda sebab jika itu terjadi maka itu konyol. Setiap orang dipanggil untuk mewartakan Injil sesuai dengan usia, pengalaman, dan budayanya masing-masing. Saya garis bawahi inilah mengapa kebijaksanaan itu begitu penting. Seseorang harus mampu ber-discernment untuk melakukan inkulturasi: mencari dan menemukan Allah di mana Ia telah berada dan telah hadir dalam budaya-budaya. Latihan discernment adalah sesuatu yang dinamis. Hal ini membantu kita untuk tidak bersembunyi di balik ungkapan “selalu dilakukan dengan cara ini,” dan terus berjalan seperti yang biasa dilakukan. Ini tidak baik. Kita perlu melakukan discernment setiap saat. Discernment menuntun kita untuk terus maju.   Penting juga berdiskresi bersama dan berdialog dengan pembesar kita. Jika engkau menerima perutusan yang membosankan atau yang menurut kita bukan perutusan yang benar-benar cocok, lakukanlah eksamen. Diskresi yang baik tidak selalu dapat dilakukan sendirian. Dibutuhkan kebersamaan. Saya mengatakan ini kepada mereka yang masih dalam masa formasi dan mereka yang telah selesai menjalani semua

Feature

Audiensi Fraternal Paus Fransiskus dengan para Jesuit Indonesia

Paus Fransiskus mengadakan pertemuan persaudaraan dengan para Jesuit Indonesia pada hari kedua kunjungannya ke Indonesia, tepatnya pada Rabu siang, 4 September 2024, di Wisma Kedutaan Vatikan, Jakarta setelah ia menemui pihak berwenang, pemerintah, dan korps diplomatik Indonesia di Istana Kepresidenan. Di antara mereka yang hadir dalam pertemuan fraternal di kedutaan adalah Pater Julius Kardinal Riyadi Darmaatmadja, S.J., Uskup Agung Emeritus Jakarta (1996-2010) yang kini berusia 89 tahun. Seperti yang biasa dilakukannya, Paus berbicara dengan para Jesuit secara pribadi selama sekitar satu jam dan menjawab beberapa pertanyaan.   Kunjungan persaudaraan di antara para konfrater  Menurut Pater Antonio Spadaro, S.J., Wakil Sekretaris Dikasteri Bidang Kebudayaan dan Pendidikan, pertemuan berlangsung hangat dan akrab. “Paus Fransiskus selalu sangat santai,” kata Pater Spadaro kepada Vatikan News. “Dia merasa seperti di rumah sendiri sehingga dapat memberikan masukan awal tentang kunjungannya ini.” Paus merasa sangat terkejut sekaligus gembira karena ada begitu banyak orang muda di Jesuit Provinsi Indonesia.   “Ini mungkin yang paling mengejutkan Paus. Ada banyak Jesuit muda dalam formasi di Indonesia,” kata Pater Spadaro. Dia mengatakan bahwa Paus berbicara tentang Serikat Jesus dan pentingnya discernment dan doa.   “Jesuit termuda bertanya kepada Paus di manakah ia menemukan waktu untuk berdoa. Paus menjawabnya dengan diselingi beberapa anekdot,” jelas Pater Spadaro seraya menambahkan topik yang dibahas terkait isu-isu penting lainnya di Indonesia, seperti dialog antaragama dan inkulturasi. Dua ini hal yang sangat ditekankan oleh Paus Fransiskus.     “Paus Fransiskus mencintai Gereja-Gereja nol koma (0….%). Di Indonesia, jumlah umat Katolik hanya 3%. Jumlah yang sangat kecil dari keseluruhan populasi, 8 juta orang, Namun jumlah cukup berperan signifikan di negara ini. Tujuan umat Kristiani adalah untuk berkontribusi pada pertumbuhan negara, menjadi seperti ragi yang dicampurkan ke dalam adonan, dan ini benar-benar penting bagi Paus. Pesan bagi umat Kristiani adalah untuk berkolaborasi sepenuhnya demi kebaikan bersama. Bagi Bapa Suci, yang terpenting adalah vitalitas dan kapasitas generatif,” jelas Pater Spadaro.   Setelah dari Indonesia, Paus dijadwalkan mengadakan dua pertemuan lagi dengan para konfraternya, yaitu di Timor Leste dan Singapura. “Paus Fransiskus melihat sebuah potensi di negeri ini, yaitu potensi harmoni dalam konteks yang majemuk,” katanya. “Bahkan presiden hari ini berbicara tentang harmoni dan pluralisme. Saya percaya di sini ada harapan untuk masa depan di tengah berbagai ancaman keterpecahbelahan. Jadi Paus sangat terbuka terhadap realitas dan pencarian akan masa depan.” Transkrip lengkap pertemuan Bapa Suci dengan para Jesuit biasanya diterbitkan di La Civiltà Cattolica beberapa minggu setelah ia kembali ke Roma.   Ditulis oleh Salvatore Cernuzio dan Devin Watkins – Vatican News Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel “Pope Francis holds ‘brotherly encounter’ with Jesuits in Indonesia – Vatican News’ https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2024-09/pope-francis-indonesia-society-jesus-encounter.html Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo pada tanggal 17 September 2024.

Feature

Pelayanan Tanpa Jalan Akhir

Bertatap muka dan bersalaman dengan Paus Fransiskus adalah mimpi yang tidak pernah berani saya bayangkan sebelumnya. Paus sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik sedunia dalam bayangan saya adalah sosok yang nan jauh di sana. Tokoh yang sepertinya tidak mungkin saya temui secara langsung. Namun ternyata saya diberi kesempatan yang indah untuk bisa bertemu dengan pribadi Paus dalam rangka kunjungannya ke Indonesia pada bulan September 2024 ini. Saya ikut menyambut kedatangan beliau bersama kelompok pengungsi, anak – anak yatim piatu, dan kelompok lansia di Nunciatura, Jakarta.   Selama ini, sosok Paus Fransiskus hanya saya lihat dan ikuti dari pemberitaan, sosial media serta film “The Two Popes.” Latar belakang dan pemikiran beliau sebagai orang yang lahir dari Amerika Latin memberi kesegaran dalam pemikiran-pemikiran Gereja Katolik. Pilihan pada kesederhanaan cara hidup adalah hal yang paling mengena bagi saya ketika melihat sosok Paus Fransiskus dari sejak awal terpilih hingga sekarang. Menjadi sederhana adalah sebuah pilihan bijak ketika kita selalu terpapar dengan informasi terbaru dan diperbandingkan dalam segala hal lewat sosial media. Bagi saya kesederhanaan yang ditunjukkan Paus menjadi bukti bahwa pesan yang beliau sampaikan dalam setiap homili bukanlah kata kosong belaka tapi tindakan yang dimulai dari diri sendiri.   Ensiklik Fratelli Tutti yang dikeluarkan tahun 2020 adalah salah satu pemikiran Paus Fransiskus yang mengena bagi saya. Dalam dokumen yang mengulas secara dalam tentang persaudaraan dan persahabatan sosial, kita diajak pertama untuk mengenali bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama, apapun latar belakang, kelas sosial, agama, orientasi, suku, dan ras. Dengan mengenali bahwa semua manusia adalah sejajar maka relasi atau pertemanan antar budaya, komunitas maupun bangsa bukanlah hal yang mustahil. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kemudian kesetaraan martabat dan persaudaraan bisa menjawab tantangan zaman yang penuh dengan persoalan-persoalan pelik mulai kemiskinan, perpindahan paksa, perang dan rusaknya lingkungan bisa dijawab. Menurut saya, Paus tidak menawarkan satu resep mujarab untuk menyelesaikannya. Ia justru mengajukan sebuah konsep solidaritas dan kebaikan bersama yang melampaui individu, kelompok, dan negara untuk menjawab berbagai persoalan tersebut. Solidaritas dan mewujudkan kebaikan bersama ini pun bisa dimulai dari diri sendiri, bersama tetangga, teman, dan rekan kerja.   Perjumpaan saya dengan Paus kali ini mungkin tidak lebih dari lima menit. Saya bersama yang lain turut menyambut beliau sesampainya di Nunciatura. Paus Fransiskus di usianya yang ke-86 tampak kelelahan setelah perjalanan panjang dari Roma ke Jakarta. Namun, perjumpaan singkat ini menjadi pengalaman tak terlupakan seumur hidup saya. Saya masih ingat pasca pertemuan tersebut dan berita tentang penyambutan singkat ini, banyak teman dan saudara menyapa dan mengatakan bahwa saya adalah orang yang dilimpahi berkat karena kesempatan bertemu Paus ini. Semua ucapan selamat dan berkah inilah yang membuat saya bersyukur atas kesempatan tersebut. Tentu saja, kesempatan ini tidak akan datang jika saya tidak bergerak dalam pelayanan pengungsi di JRS Indonesia yang kebetulan ada beberapa pengungsi dampingan JRS yang ikut dalam pertemuan itu.     Saya juga tersentuh dan tersapa dengan apa yang dinyatakan Paus dalam Misa di GBK “….dalam menghadapi berbagai tugas hidup sehari-hari, menghadapi panggilan yang kita semua rasakan untuk membangun masyarakat yang lebih adil, untuk melangkah maju di jalan perdamaian dan dialog, yang telah lama dipetakan di Indonesia, kita kadang-kadang merasa tidak mampu, merasakan beratnya komitmen yang begitu besar yang tidak selalu membuahkan hasil yang diharapkan, atau kesalahan-kesalahan kita yang tampaknya menghambat perjalanan hidup kita. Namun, dengan kerendahan hati dan iman yang sama seperti Petrus, kita juga diminta untuk tidak tetap menjadi tawanan kegagalan kita, dan alih-alih tetap menatap jala kita yang kosong, untuk memandang Yesus dan percaya kepada-Nya.” Apa yang beliau sampaikan tersebut berkorelasi dengan situasi batin yang sedang saya hadapi akhir-akhir ini. Ketika saya memberikan pelayanan kepada pengungsi luar negeri, saya kadang merasa bahwa pelayanan untuk pengungsi adalah pelayanan tanpa jalan akhir. Sering kali saya juga bertanya pada diri saya apakah saya sudah melakukan yang benar? Apakah pelayanan kepada pengungsi ini adalah sebuah usaha yang doomed to fail di mana pada akhirnya membuat saya merasa kecewa, putus asa dan sendiri? Akan tetapi, dalam kotbah yang sama Paus juga mengutip apa yang disampaikan oleh Bunda Teresa dari Kalkuta.   ”Ketika kita tidak memiliki apa pun untuk diberikan, hendaklah kita memberikan ketiadaan itu. Dan ingatlah, bahkan ketika kamu tidak menuai apa-apa, jangan pernah lelah menabur.”   Pada akhirnya, saya kembali pada makna pesan Bapa Paus dalam dalam Fratelli Tutti bahwa saya akan terus menumbuhkan semangat bersaudara bersama mereka yang terpinggirkan, bersentuhan langsung dalam jaringan bela rasa dengan kerendahan hati serta kepercayaan penuh pada kuasa Allah untuk mewujudkan kebaikan bersama yakni dunia dibangun atas solidaritas dan keadilan.   Kontributor: Melani Wahyu Wulandari – JRS Indonesia

Feature

Di Indonesia, Paus Fransiskus Disambut oleh Pengungsi dan JRS Indonesia

Paus Fransiskus terus menunjukkan kepeduliannya yang mendalam terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan terabaikan saat tiba di Indonesia pada Selasa, 3 September 2024. Saat tiba di Jakarta, Paus disambut hangat oleh anak-anak yatim, orang sakit, tunawisma, dan pengungsi di Kedutaan Vatikan (Nunciatura) di Jakarta Pusat. Di tempat itu dan agenda pertamanya, ia menyapa sekitar 40 orang dari komunitas terpinggirkan. Paus menyapa orang-orang di pinggiran eksistensial. Paus selalu memberikan perhatian khusus kepada orang miskin, yang ditelantarkan, pengungsi, dan korban perdagangan manusia.   Beberapa bulan sebelumnya, JRS Indonesia mengusulkan kepada Mgr. Piero Pioppo, Nuntius Tahta Suci untuk Indonesia, agar para pengungsi diberi kesempatan untuk bertemu dengan Paus selama kunjungannya. Ide ini diterima dengan baik. Penyambutan di Nunciatura diperluas untuk mencakup tidak hanya pengungsi tetapi juga tunawisma, orang sakit, dan anak-anak yatim. Nuntius menyatakan, “Biarkan yang terakhir menjadi yang pertama,” menekankan pentingnya simbol dari gerakan ini dalam mempromosikan perhatian kepada kelompok-kelompok yang terpinggirkan.   Didampingi oleh perwakilan dari JRS Indonesia dan komunitas Sant’Egidio, 20 pengungsi dari Myanmar, Afghanistan, Sudan, Somalia, dan Sri Lanka merasa terhormat menyambut Paus Fransiskus dalam perjalanan apostoliknya yang ke-45. Selama 12 hari, Yang Mulia dijadwalkan mengunjungi Indonesia, Papua Nugini, Timor-Leste, dan Singapura, di mana ia akan bertemu dengan yang paling rentan, pejabat pemerintah, pemimpin agama, dan misionaris, serta terlibat dalam dialog antaragama.     Hidup di Indonesia bisa sangat sulit bagi pencari suaka dan pengungsi. Tanpa hak untuk bekerja, mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dan harus bergantung pada bantuan kemanusiaan dari organisasi seperti UNHCR, IOM, dan organisasi non-pemerintah lain seperti JRS Indonesia. Akses terhadap kebutuhan pokok, perawatan kesehatan, dan pendidikan sangat terbatas, dan integrasi tidak mungkin dilakukan di bawah kebijakan saat ini. Bahkan upaya untuk hidup berdampingan dengan penduduk setempat sambil menunggu pemukiman kembali menghadapi banyak kendala.   Beberapa pengungsi mengungkapkan rasa terima kasih dan harapan mereka setelah bertemu dengan Bapa Suci. Feruzul, seorang pengungsi Rohingya, menggambarkan pertemuan dengan Paus Fransiskus sebagai momen berharga dan penuh kehormatan. Ia mengungkapkan antusiasmenya terhadap kunjungan tersebut. Bibi Rahima, seorang pengungsi dari Afghanistan, berterima kasih kepada Paus karena telah menjadi pembela terbaik bagi para pengungsi sambil menekankan perlunya upaya advokasi yang lebih luas dan berkelanjutan. Tariq, seorang pengungsi dari Sudan, mengungkapkan rasa terima kasihnya atas perhatian Paus terhadap situasi pengungsi global dan mendesaknya untuk mendorong peningkatan peluang pemukiman kembali dari Indonesia. Zakaria, seorang pengungsi dari Somalia, menyoroti pemotongan bantuan dari lembaga internasional baru-baru ini, menekankan bahwa pengungsi di Indonesia kini hidup dalam kondisi yang memprihatinkan dan sangat membutuhkan bantuan.   Kontributor: Martinus Dam Febrianto, S.J. – JRS Indonesia