Bertatap muka dan bersalaman dengan Paus Fransiskus adalah mimpi yang tidak pernah berani saya bayangkan sebelumnya. Paus sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik sedunia dalam bayangan saya adalah sosok yang nan jauh di sana. Tokoh yang sepertinya tidak mungkin saya temui secara langsung. Namun ternyata saya diberi kesempatan yang indah untuk bisa bertemu dengan pribadi Paus dalam rangka kunjungannya ke Indonesia pada bulan September 2024 ini. Saya ikut menyambut kedatangan beliau bersama kelompok pengungsi, anak – anak yatim piatu, dan kelompok lansia di Nunciatura, Jakarta.
Selama ini, sosok Paus Fransiskus hanya saya lihat dan ikuti dari pemberitaan, sosial media serta film “The Two Popes.” Latar belakang dan pemikiran beliau sebagai orang yang lahir dari Amerika Latin memberi kesegaran dalam pemikiran-pemikiran Gereja Katolik. Pilihan pada kesederhanaan cara hidup adalah hal yang paling mengena bagi saya ketika melihat sosok Paus Fransiskus dari sejak awal terpilih hingga sekarang. Menjadi sederhana adalah sebuah pilihan bijak ketika kita selalu terpapar dengan informasi terbaru dan diperbandingkan dalam segala hal lewat sosial media. Bagi saya kesederhanaan yang ditunjukkan Paus menjadi bukti bahwa pesan yang beliau sampaikan dalam setiap homili bukanlah kata kosong belaka tapi tindakan yang dimulai dari diri sendiri.
Ensiklik Fratelli Tutti yang dikeluarkan tahun 2020 adalah salah satu pemikiran Paus Fransiskus yang mengena bagi saya. Dalam dokumen yang mengulas secara dalam tentang persaudaraan dan persahabatan sosial, kita diajak pertama untuk mengenali bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama, apapun latar belakang, kelas sosial, agama, orientasi, suku, dan ras. Dengan mengenali bahwa semua manusia adalah sejajar maka relasi atau pertemanan antar budaya, komunitas maupun bangsa bukanlah hal yang mustahil. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kemudian kesetaraan martabat dan persaudaraan bisa menjawab tantangan zaman yang penuh dengan persoalan-persoalan pelik mulai kemiskinan, perpindahan paksa, perang dan rusaknya lingkungan bisa dijawab. Menurut saya, Paus tidak menawarkan satu resep mujarab untuk menyelesaikannya. Ia justru mengajukan sebuah konsep solidaritas dan kebaikan bersama yang melampaui individu, kelompok, dan negara untuk menjawab berbagai persoalan tersebut. Solidaritas dan mewujudkan kebaikan bersama ini pun bisa dimulai dari diri sendiri, bersama tetangga, teman, dan rekan kerja.
Perjumpaan saya dengan Paus kali ini mungkin tidak lebih dari lima menit. Saya bersama yang lain turut menyambut beliau sesampainya di Nunciatura. Paus Fransiskus di usianya yang ke-86 tampak kelelahan setelah perjalanan panjang dari Roma ke Jakarta. Namun, perjumpaan singkat ini menjadi pengalaman tak terlupakan seumur hidup saya. Saya masih ingat pasca pertemuan tersebut dan berita tentang penyambutan singkat ini, banyak teman dan saudara menyapa dan mengatakan bahwa saya adalah orang yang dilimpahi berkat karena kesempatan bertemu Paus ini. Semua ucapan selamat dan berkah inilah yang membuat saya bersyukur atas kesempatan tersebut. Tentu saja, kesempatan ini tidak akan datang jika saya tidak bergerak dalam pelayanan pengungsi di JRS Indonesia yang kebetulan ada beberapa pengungsi dampingan JRS yang ikut dalam pertemuan itu.
Saya juga tersentuh dan tersapa dengan apa yang dinyatakan Paus dalam Misa di GBK
“….dalam menghadapi berbagai tugas hidup sehari-hari, menghadapi panggilan yang kita semua rasakan untuk membangun masyarakat yang lebih adil, untuk melangkah maju di jalan perdamaian dan dialog, yang telah lama dipetakan di Indonesia, kita kadang-kadang merasa tidak mampu, merasakan beratnya komitmen yang begitu besar yang tidak selalu membuahkan hasil yang diharapkan, atau kesalahan-kesalahan kita yang tampaknya menghambat perjalanan hidup kita. Namun, dengan kerendahan hati dan iman yang sama seperti Petrus, kita juga diminta untuk tidak tetap menjadi tawanan kegagalan kita, dan alih-alih tetap menatap jala kita yang kosong, untuk memandang Yesus dan percaya kepada-Nya.”
Apa yang beliau sampaikan tersebut berkorelasi dengan situasi batin yang sedang saya hadapi akhir-akhir ini. Ketika saya memberikan pelayanan kepada pengungsi luar negeri, saya kadang merasa bahwa pelayanan untuk pengungsi adalah pelayanan tanpa jalan akhir. Sering kali saya juga bertanya pada diri saya apakah saya sudah melakukan yang benar? Apakah pelayanan kepada pengungsi ini adalah sebuah usaha yang doomed to fail di mana pada akhirnya membuat saya merasa kecewa, putus asa dan sendiri? Akan tetapi, dalam kotbah yang sama Paus juga mengutip apa yang disampaikan oleh Bunda Teresa dari Kalkuta.
”Ketika kita tidak memiliki apa pun untuk diberikan, hendaklah kita memberikan ketiadaan itu. Dan ingatlah, bahkan ketika kamu tidak menuai apa-apa, jangan pernah lelah menabur.”
Pada akhirnya, saya kembali pada makna pesan Bapa Paus dalam dalam Fratelli Tutti bahwa saya akan terus menumbuhkan semangat bersaudara bersama mereka yang terpinggirkan, bersentuhan langsung dalam jaringan bela rasa dengan kerendahan hati serta kepercayaan penuh pada kuasa Allah untuk mewujudkan kebaikan bersama yakni dunia dibangun atas solidaritas dan keadilan.
Kontributor: Melani Wahyu Wulandari – JRS Indonesia