Pilgrims of Christ’s Mission

August 6, 2020

Pelayanan Spiritualitas

Webinar 1: Life in the Time of Pandemi

Jumat, 12 Juni 2020, diadakan webinar untuk para skolastik yang mengundang juga keluarga Ignasian dari berbagai kelompok seperti CLC, Magis, Mitra Ignasian, Kelompok Ignatius dan lainnya. Kegiatan ini dinamakan bincang bersama yang bertemakan “Faith in the Time of Pandemic” bersama Pater Luis López-Yarto Elizalde, SJ (Editor Jurnal Manresa) dan Pater Dominico Octariano, SJ, langsung dari Salamanca, Spanyol. Pater Luis López-Yarto Elizalde, SJ, adalah seorang editor Jurnal Manresa, sebuah jurnal spiritualitas Ignatian di Provinsi Spanyol, dan Pater Dominico Octariano, kandidat master spiritualitas. Mereka mengajak kita berbincang-bincang tentang pengalaman St. Ignatius yang identik dengan masa-masa pandemi Covid-19 serta melihat dan kemudian membadankan discernment tersebut dalam hidup kita sehari-hari. Luka dan Trauma St. IgnatiusLuis-Yarto mengawali aktualiannya dengan mengisahkan situasi tiga luka yang dialami Ignatius, yaitu luka batin karena ibunya yang meninggal saat ia lahir, luka fisik saat di pamplona dan luka jiwa saat ia di Manresa. Berbagai penyakit yang dialami Ignatius selalu mengajarkan sesuatu bagi dirinya. Maka, Ignatius memberikan teladan kepada kita, bukan dari pemahamannya akan sesuatu, melainkan dari pengalamannya akan sakit dan penyakit yang dideritanya. Bukan Ignasius yang mengajarkan sesuatu pada kita, tetapi dia yang selalu belajar sesuatu dari sakit-penyakit. Luka awal yang dialami Ignatius adalah kematian Ibunya. Hal ini telah mengajarkan Ignatius untuk selalu bertindak sendiri dan mandiri. Tindakan ini, bisa dikatakan, menjadi cikal bakal dari magis, karena ia belajar untuk bisa melakukan sesuatu lebih dari yang lainnya, tanpa dukungan orang-orang terdekatnya. Tujuannya agar ia bisa disukai orang lain, terutama oleh ayahnya, sehingga ia dapat dihargai. Dengan demikian, ada tiga tahapan yang dialami Ignatius, yaitu luka (yang membuatnya shock) kemudian lockdown (yang membuatnya harus terisolasi, harus menyendiri dan merenung-berefleksi) dan akhirnya itu semua mengubah sikap dan pandangannya akan hidupnya. Dalam berbagai pengalaman yang dialaminya, pola yang dialami Ignasius, selalu seperti ini, yaitu Luka (kaget, shock), lockdown (sendirian, isolasi, refleksi) dan perubahan sikap dan tujuan hidup. Tiga tahap ini selalu berulang lebih dari sekali. Dalam konteks tersebut, Serikat Jesus dilahirkan dalam situasi pandemi. Gereja yang sedang sakit membuatnya merasakan suasana yang rentan, terisolasi, dihina, harus berubah dan berusaha menolong yang lemah. Dilihat dari situasi ini, Serikat Jesus lahir bukan karena sebuah kekuasaan atau prestasi yang telah dicapai namun karena Ignatius dan kawan-kawan merasa dirinya rentan dan tak berdaya. Jika kita belajar dari situasi ini maka kita bisa melihat kalau manusia itu rapuh. Namun, dari kerapuhannya ini bisa lahir belas kasih. Penyintas Covid-19Luis-Yarto sendiri mengatakan bahwa ia sendiri harus berjuang dengan Covid-19. Pada awalnya ia merasakan desolasi dengan Covid-19. Namun seiring waktu, dengan adanya waktu hening dan sendiri, ia mulai menerima penyakitnya tersebut dan mengatakan dalam dirinya bahwa penyakit Covid ini merupakan “a real gift” dari Allah. Hadiah yang membuatnya merasa rentan dan sepertinya kematian sudah di depan mata. Seperti Yesus di taman Getsemani, ia juga mengatakannya, “Saya tidak ingin berada dalam situasi ini namun jika Engkau menginginkannya, marilah kita bersama-sama berjuang dengan penyakit ini, tidak saya sendirian”. Rasa takut membuat kita makin manusiawi. Janganlah takut dengan rasa takut. Dalam suasana desolasi, kita harus belajar dari Ignatius. Jangan pernah lari dari apa yang terjadi. Jangan ada penolakan. Penolakan adalah musuh kita (Discernment 12).Maka menurutnya kita tidak berlu berubah banyak dalam situasi pandemi ini. Kita tetap akan menjadi manusia yang sama seperti sebelum pandemi. Namun yang membuat kita bisa berdamai dengan situasi ini adalah kemauan kita untuk menerima dan berjuang dengan situasi pandemi yang tidak mengenakan dan situasi ini harus kita perjuangkan bersama-sama. Sangat tidak mungkin untuk keluar dari situasi desolasi sendirian. New NormalityMenghadapi new normality, mari kita menjadi diri kita sendiri, sama seperti sebelumnya, tapi lebih kuat. Kita perlu membangun kesadaran baru kita setelah pandemi ini. Kita harus bisa melawan dan memproteksi diri terhadap virus tersebut. Meskipun tidak ada jaminan apakah kita akan bertahan atau tidak melawan virus tersebut, namun setidaknya kita dapat mengajak banyak orang untuk memiliki harapan untuk masa depan mereka masing-masing. Jangan pernah meyakinkan orang lain dengan mengatakan “setelah adanya vaksin, semua akan kembali seperti sedia kala kembali”. Saya rasa tidak semudah itu karena lewat pandemi ini kita diajak untuk percaya akan adanya berbagai perubahan yang mengarahkan kita pada hal-hal yang lebih baik lagi.Kita harus tetap setia kepada Tuhan kita, Yesus Kristus. Jangan memuja berhala. Uang, penghargaan, dan mungkin juga agama adalah berhala. Kita harus semakin mendalam dengan Yesus. Kita harus lebih loyal kepada komunitas kita. Perbarui hubungan kita dengan orang yang menggerakkan perhatian dan keyakinan kita. Temukan kedalaman iman kita. Kita dapat melakukannya jika saya kita bisa mengolahnya bersama orang-orang disekitar kita. Ini yang baginya disebut sebagai “rasa humor transendental”. Karena selera humor memberikan nilai nyata bagi semua yang ada di dunia ini. Tuhan memiliki selera humor tinggi. Dia tahu pandemi ini “kecil” dibandingkan dengan hal-hal lain dalam sejarah, dulu dan sekarang.

Pelayanan Spiritualitas

Webinar 2: Kepemimpinan Solidaritas St. Aloysius Gonzaga

Pada minggu, 21 Juni 2020, di hari raya St. Aloysius Gonzaga, Provinsi mengadakan acara webinar bersama Provinsial, Rm. Petrus Sunu Hardiyanta untuk para Jesuit, rekan berkarya, dan seluruh keluarga besar Ignasian di Indonesia. Tujuan acara ialah bersama-sama merefleksikan kehadiran Allah dalam hidup dan keterlibatan kita pada karya-karya Serikat Jesus Provinsi Indonesia selama enam tahun terakhir. Rm. Sunu akan mengajak kita belajar dari hidup dan teladan St. Aloysius Gonzaga (1568-1591), seorang frater muda yang wafat karena memilih mewujudkan solidaritas ketika wabah pes dan bencana kelaparan melanda Italia. Teladan hidupnya akan membantu kita melihat lebih jauh bagaimana “Kepemimpinan Solidaritas yang Mengobarkan Harapan” diwujudkan dalam karya-karya Jesuit Indonesia, termasuk di masa pandemi Covid-19 ini. Dalam webinar ini, Rm. Sunu ditemani oleh Geraldine Rachel Gutama. Ia bercerita tentang inspirasi yang ia alami sebagai siswi SMA Kolese Gonzaga, sehingga sebagai orang muda ia dapat mulai menghidupi kepemimpinan solidaritas yang mengobarkan harapan. Menelusuri Sejarah Hidup St. Aloysius GonzagaPada usia 11 tahun, Gonzaga sudah membuat sebuah keputusan yaitu untuk menjadi Imam, bahkan menjadi Jesuit di usia 15 tahun. Kemudian di usia 17 tahun, ia masuk novisiat. Lewat aktivitas ini, kita bisa melihat ada leadership di dalam dirinya atau bisa kita sebut juga ia memiliki kemampuan leadership within. Dari usia 10-17 tahun ia memperjuangkan kehendaknya untuk hidup murni, untuk menjadi Imam, untuk menjadi Jesuit dan dengan rendah hati ia mendengarkan penolakan ayahnya. Selain itu ia juga melakukan bimbingan rohani dengan Kardinal Boromeus. Dengan demikian, kita di sini dapat melihat adanya leadership among. Ketika wabah pes melanda Eropa, Aloysius Gonzaga memutuskan untuk menolong korban yang terlantar. Ia membopong mereka, sekalipun tahu ada resiko akan tertular, untuk dirawat di Rumah Sakit yang dikelola oleh Serikat Jesus. Solidaritasnya yang kuat menunjukkan dalam dirinya memiliki kemampuan leadership ahead karena ia melakukannnya untuk orang lain. Keputusan Aloysius Gonzaga untuk ‘solider’ atau setia kawan dengan para korban yang terkena wabah sampar (PES), bukan hanya menghibur mereka yang ditolong, tetapi juga menggerakkan para sahabat untuk berani bergerak dan mengambil Resiko. Dalam kesaksian Tiberio Bondi, sahabat Aloysius, ia mengatakan bahwa Aloysius sama sekali tidak takut ‘tertular’. Semangat solidaritasnya sama sekali tidak ‘tergoyahkan’ oleh apapun untuk menolong para korban wabah pes. Pripadi-pribadi yang tergerak/ tersentuh oleh Kepemimpinan St. Aloysius Gonzaga: Ludovico Corbinelli (imam), Kardinal Scipio Gonzaga, Kardinal della Rovere, Don Ferrante (Bapak St. Aloysius Gonzaga yang bertobat setelah memahami sepenuhnya bahwa panggilan anaknya adalah dari Allah). Inspirasi St. Aloysius Gonzaga dalam 6 tahun terakhirAda banyak sekali aktivitas yang dilakukan oleh Serikat Jesus karena inspirasi dari St. Aloysius Gonzaga. Kami, para Jesuit –Rekan Berkarya, Komunitas dan Karya-Karya Provindo pernah melakukan Novena selama 9 bulan untuk memohon rahmat keterbukaan batin untuk mengubah diri agar mendalam secara rohani, mendalam secara intelektual dan berakar dalam pada spiritualitas Ignatian, supaya hidup dan karya menjadi atraktif, relevan dan transformatif, agar mampu berbagi kharisma Serikat, untuk menemani dan memformasi orang muda, dalam semangat hospitalitas, kolaborasi dan jejaring dalam mengentaskan kemiskinan, berjalan bersama yang paling tersingkir, serta memelihara Rumah Kita Bersama, Bumi. Juga, di masa Pandemi ini, meneladan St. Aloysius Gonzaga, PROVINDO membentuk gugus tugas Gerak Solidaritas dan Belarasa bagi korban Wabah Covid 19. Proses Pengambilan Keputusan dilakukan berawal dari adanya gagasan atau ide dari beberapa teman, kemudian kami bersama-sama menimbang baik dan buruknya. Setalah itu kami mencoba mengambil keputusan dengan meneliti pengalaman nalar, rasa, kehendak. Akhirnya, keputusan terjadi oleh Provinsial dan kemudian diumumkan untuk dieksekusi oleh panitia. Sungguh tak terduga, ternyata banyak sekali sahabat yang ikut serta bergerak dan memberi bantuan bagi para korban yang paling terdampak oleh Covid-19. Kami hingga saat ini terus memperhatikan dan membantu mereka-mereka yang paling tersingkir dan paling tidak diperhatikan. Kami mengundang anda semua untuk terus membangun solidaritas membantu para korban yang paling tersingkir dan paling menderita karena Covid 19.

Pelayanan Spiritualitas

Webinar 3: Kepemimpinan Solidaritas St. Ignatius Loyola

Pada Hari Raya St. Ignasius Loyola, Jesuit Indonesia mengadakan acara diskusi bersama Pater Provinsial, P. Benedictus Hari Juliawan, SJ dan salah satu pakar pendidikan Indonesia, Prof. Dr. Anita Lie dalam webinar bertema “Kepemimpinan Solidaritas St. Ignasius Loyola”. Webinar ini dipandu oleh Ibu Gregoria Arum Yudarwati, dosen Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Acara ini berlangsung pada 31 Juli 2020 pukul 17:00-18:30 yang merupakan kesempatan bagi kita untuk bersama-sama merefleksikan relevansi teladan kepemimpinan St. Ignasius Loyola bagi hidup bersama saat ini, serta bagaimana kita bisa mengusahakan kepemimpinan solidaritas yang diwariskannya dalam hidup pribadi, komunitas, dan karya kita. Kepemimpinan St. IgnatiusSt. Ignatius merupakan orang eropa dan orang Spanyol pada abad ke 16. Abad 16 adalah abad yang penuh gonjang ganjing. Saat itu ada skisma besar dalam gereja yang melahirkan gerakan protestantisme dan sebelumnya juga ada skisma besar antara gereja barat dan gereja timur. Di zaman itu, sains juga berkembang. Banyak orang saat itu mempertanyakan banyak hal dan menganalisanya dengan konteks ilmu pengetahuan. Banyak orang menjelajah dunia dan menemukan dunia baru. Saat-saat ini adalah abad yang penuh gejolak. Pada saat seperti itu, munculah St. Ignatius Loyola. Lewat masa yang seperti itu, Ignatius Loyola memberikan warisan yaitu sebuah spiritualitas. Spiritualitas yang dipahami St. Ignatius pertama-tama adalah cara kita memahami Allah dan dunia. Jika dunia dalam kacamata Allah dapat kita pahami maka kita juga dapat mengerti bagaimana kita dapat membuat dunia ini lebih baik seturut kehendak Allah. Kemudian yang terpenting adalah bagaimana peranku di dunia ini dalam praktik-praktik hidup sehari-hari. Kepemimpinan Ignatian merupakan kepemimpinan yang digerakkan oleh cara pandang kita terhadap Allah, dunia dan diri kita sendiri yang diperkenalkan oleh St. Ignatius. Semua hal itu sebenarnya dapat didalami lewat Latihan Rohani, Konstitusi Serikat Jesus dan juga surat-surat yang ditulisnya sendiri. Lewat hal-hal inilah kita bisa menemukan inti dari Spiritualitas Ignatian. Inti dari kepemimpinan Ignatius berasal dari LR 234, yang berbunyi “Ambilah ya Tuhan kebebasanku, kehendakku, budi ingatanku…” Kutipan doa ini menampilkan inti dari Spiritualitas St. Ignatius. Yang pertama bisa kita lihat adalah kemerdekaan batin, yaitu agar kita semua tidak terikat oleh segala hal yang menghambat kemajuan kita, tidak terikat oleh hal-hal yang mengganggu dan fokus kita adalah persembahan kita kepada Tuhan. Jika seseorang sudah merdeka secara batin, maka ia sudah berani memberikan diri kepada orang lain. Pemberian diri muncul dari kebebasan atau kemerdekaan batin untuk mengikuti Yesus. Jika seseorang sudah mau memberikan diri, maka ia dikatakan bebas untuk mengikuti Yesus.Latihan Rohani tidak hanya populer di kalangan Gereja, namun juga dikenal di kalangan yang lebih politis maupun bisnis karena Latihan Rohani menyediakan sebuah grammar atau rumus untuk perubahan diri. Kepemimpinan seringkali didefinisikan sebagai kemampuan melakukan transformasi yang dimulai dari diri sendiri. latihan Rohani memegang kunci atau isi penting untuk melakukan perubahan. Banyak penulis politik maupun bisnis menulis bukunya dengan berdasar pada Latihan Rohani.Begitu juga dengan konstitusi, yang yang menggambarkan bagaimana seorang Jenderal Serikat Jesus dekat dengan Tuhan. Kedekatan tersebut merasuki tindakan dan kata-katanya sehingga dalam mengambil keputusan seorang pemimpin berorientasi kepada Allah. Kepemimpinan di masa PandemiApa yang perlu kita lakukan sebagai seorang pemimpin di situasi pandemi ini. Tentu saja kita diajak untuk mendengarkan kehendak Allah. Kita tidak perlu mendengarkan berbagai keputusan orang lain, cukup hanya dengan mendengarkan kehendak Allah. Mulai dari kegembiraan dan juga kekhawatiran yang ada dalam diriku. Kemudian meluas dengan melihat orang-orang yaitu apa yang sebenarnya mereka butuhkan selama pandemi ini. Apa yang mereka harus dilakukan dalam situasi yang tidak kita inginkan ini. Tentu saja kita juga harus paham secara ilmu pengetahuan atau kedokteran apa yang baik kita lakukan seperti bagaimana kita menggunakan masker, juga bagaimana kita diajak untuk wajib mencuci tangan. Dengan demikian, spiritualitas Igantian tidak berhenti pada hal-hal saleh yang semuanya serba Allah, melainkan spiritualitas yang mengajak kita menemukan bagaimana Tuhan kita akan mengambil tindakan dalam situasi kita yang seperti ini. Spiritualitas Ignatian harus menghasilkan tindakan konkrit yang mengikuti aturan setempat dan yang tidak memunculkan kebodohan atau berpaling dari yang umum. Seperti juga telah diungkapkan oleh Ignatius bahwa “Cinta harus lebih diwujudkan dalam perbuatan daripada kata-kata” (LR 230).Dalam situasi ini juga, kita perlu memperhatikan saudara/i kita yang terpapar pandemi ini. Serikat Jesus secara konkrit melakukan moratorium dengan menghentikan pembangunan besar. Kita tidak ingin apa yang kita lakukan akan melukai orang-orang kecil yang tidak bisa melakukan berbagai hal seperti yang kita lakukan. Kemudian, masa pandemi ini membuat kita mengalami masa dunia yang lebih hening karena semuanya serba terhenti. Bahkan kita sendiri harus mengadakan perayaan ekaristi secara daring. Lewat pengalaman ini, Tuhan yang online ini mengajak kita melakukan perjamuan dalam communion satu sama lain yang terhubung lewat sarana-sarana teknologi yang ada. Solidaritas kita semakin berkembang ketika kita hidup dalam kesatuan dengan yang lainnya artinya Tuhan mengajak kita untuk menemukan Allah dalam diri orang lain kita. Kita diajak untuk memberi waktu dalam hidup kita agar hidup kita berharga dengan merawat kedekatan kita dengan Allah lewat berbagai sarana apapun.

Formasi Iman

Kisah Tertiat 2020

Perjalanan Tertiat Girisonta angkatan 2020 secara resmi telah berakhir pada Kamis (30/7) dan ditutup dengan Ekaristi sekaligus pembaruan kaul. Ekaristi dipimpin oleh Rm. Priyo Poedjiono. Selain beliau, kami bertujuh (Rm. Adri, Rm. Andri, Rm. Niko, Rm. Sani, Rm. Suryadi, Rm Suryanto, Rm. Tomi) juga merasa didukung dengan kehadiran Rm. Putranto secara langsung dan Rm. Wiryono dalam doa. Pengalaman Tertiat tahun 2020 ini terasa unik dan menarik. Unik karena sebagian besar Tertiat berlangsung dalam suasana pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan akan berakhir. Pandemi ini mengubah banyak program, terutama probasi dan aktivitas ke luar. Pelayanan Pekan Suci di Keuskupan Ketapang dan Banjarmasin yang menjadi probasi luar tidak dapat dilaksanakan; begitu juga dengan rencana untuk mengunjungi keluarga setiap Tersiaris. Setelah Retret Agung yang berakhir pada 31 Maret, praktis kedua instruktur, Rm. Priyo dan Rm. Putranto, dan para tersiaris melanjutkan program di Girisonta. Jadi, bisa dikatakan bahwa selama 5 bulan kami “di-lockdown”. Langkah ini diambil juga sebagai bagian dari upaya untuk menjadikan Komunitas Girisonta sebagai rumah aman. Apa yang menarik dari Tertiat 2020? Kondisi “lockdown lokal” menantang para instruktur dan tersiaris untuk tidak menjadi mutung atau nglokro. Kreativitas kemudian muncul untuk menyikapi langkah Komunitas Girisonta yang mengurangi keterlibatan karyawan di kompleks Novisiat, Domus Patrum (DP), dan Emaus. Dalam koordinasi dengan Minister, beberapa tugas yang biasanya dikerjakan oleh karyawan kemudian ditangani oleh para tersiaris dan instruktur. Tugas tersebut berupa menyapu taman dalam DP dan taman Emaus, mengepel selasar, ruang rekreasi, serta ruang tamu. Ada juga pengalaman “nguli” untuk angkut-angkut berkardus-kardus anggur dari lantai dua perpustakaan ke gudang anggur di belakang wash yang cukup membuat menggeh-menggeh para tersiaris yang berbadan subur. Menyapu, mengepel, dan mengangkat kardus lalu menjadi opera sekaligus pengganti probasi luar. Biasanya opera mulai pukul 07.30 sampai 08.15 lalu ada waktu jeda sebelum kelas yang berlangsung dari pukul 10.00 sampai sebelum makan siang. Yang juga menarik, ternyata dua instruktur kami ini juga ikut melakukan tugas opera. Rm. Putranto, yang notabene sampun sepuh, juga tanpa canggung ikut mengepel selasar sebelah selatan Kapel Ignatius. Sementara itu, Rm. Priyo mengambil tugas mengepel selasar sebelah utara Kapel Ignatius dan selasar depan Kapel Maria. Jadilah para tersiaris dan instruktur berubah menjadi ‘James Bon’ atau istilah plesetan dari ‘jaga mes dan kebon‘, menggantikan tugas dan pekerjaan karyawan rumah. Opera dan beberapa pekerjaan harian yang dikerjakan secara mandiri lalu kami sadari sebagai latihan untuk hidup lebih sederhana, untuk mengasah kesadaran akan peranan sebagai abdi, untuk memelihara rumah bersama, dan menjadi sebuah bentuk solidaritas dengan mereka yang harus bekerja dan berjerih payah setiap hari. Situasi pandemi dan lockdown juga memunculkan kreativitas untuk tetap dapat menerima masukan dari beberapa nostri, yaitu secara daring atau online. Dengan cara itu, Rm. Suyadi memberi kami wawasan dan refleksi tentang karya sosial; Rm. Herry Priyono mengajak kami mendalami KJ 36 dan Preferensi Apostolis Universal; Rm. Haryatmoko menuntun kami untuk mengenali pengaruh disrupsi digital yang mengubah sistem pendidikan; Rm Wiryono mengundang kami untuk kembali mendalami dan merefleksikan Laudato Si. Metode daring juga menjadi sarana bagi kami, tersiaris, untuk menemani para frater dan bruder di Kolese Hermanum dalam oktiduum. Oktiduum kali ini mengajak para skolastik untuk menyadari dan menyikapi aneka distraksi sehingga kembali menempatkan Allah sebagai pusat. Setiap hari setiap tersiaris memberikan bahan dan mengadakan pembicaraan rohani dengan setiap frater dan bruder yang didampingi secara daring. Ini menjadi pengalaman baru bahwa retret terbimbing secara penuh (full guided retreat) dilaksanakan secara daring. Kami bersyukur atas olah raga bersama para Novis, Bruder, Rama, dan pegawai; juga atas rekreasi-rekreasi bersama di Girisonta. Dari beberapa anggota komunitas ini, kami menerima juga masukan berharga; dari Bapak Kardinal Darmaatmadja tentang gubernasi; dari Rm. Krispurwana tentang Sejarah Serikat; dari Rm. Nano tentang pars ketiga Konstitusi; dari Rm. Zahnweh tentang mimpi dan kemurnian; dari Rm. Eko tentang protokol safeguarding. Kami mengucapkan terima kasih kepada Komunitas Girisonta yang telah menerima dan menemani selama tertiat ini. Terima kasih kepada Rm. Sunu yang telah mengundang kami untuk memasuki “sekolah afeksi” ini; kepada Rm Beni yang mengutus kami kembali atau masuk perutusan baru; juga kepada Anda semua para nostri Provindo atas dukungan dan doa-doa Anda. Rikhardus Sani Wibowo, SJ

Formasi Iman

Society of Love

Pada tanggal 27 Juli sampai 1 Agustus lalu, para Skolastik Filsafat, TOK, dan Teologi Provindo menjalani Kursus Spiritualitas dengan tema Spirit Looking for Body di bawah bimbingan Pater Hung, SJ, seorang Jesuit Amerika berdarah Vietnam. Kursus Spiritualitas kali ini diikuti 78 peserta. Mayoritas pesertanya adalah skolastik Indonesia, ditambah beberapa skolastik dan Romo dari Vietnam, Laos, Myanmar, dan Thailand. Tidak lupa juga Fr. Sapto, teologan Provindo yang kini studi di Manila ikut dalam kursus ini. Pada mulanya, kursus ini diperuntukan bagi Skolastik Provindo saja dan dilaksanakan di Sangkal Putung. Namun, karena pandemi Covid-19, panitia memutuskan untuk melaksanakannya daring. Rahmat Jalur DaringTentu saja ada sedikit kekecewaan karena tidak bisa bertemu langsung dengan Pater Hung Pham, SJ dan sahabat yang lain. Namun, rupanya Tuhan sudah menyediakan rahmat luar biasa di balik pertemuan daring ini, skolastik luar negeri dapat turut terlibat; merasakan dan mencecap kembali kharisma dan kekayaan Serikat secara bersama-sama dalam ruang dan waktu yang sama. Ada kesatuan hati dan budi sebagai Friends in the Lord dalam Serikat universal yang menembus batas budaya, ras. Kembali ke NovisiatAda banyak sekali poin menarik dalam kursus kali ini, mulai dari Autobiografi, Latihan Rohani, Konstitusi, Kongregasi Jendral 36, dan nilai-nilai keserikatan lainnya. Pemaparan materi yang diselingi dengan guyonan berisi serta refleksi kritis nan mendalam dari pemateri membuat kursus ini amat menyenangkan.Dalam percakapan rohani di unit, ada banyak teman yang merasa seperti kembali lagi ke novisiat. Materi-materi seperti Latihan Rohani, Konstitusi, Autobiografi, Kongregasi Jendral digarap dengan serius, tajam. Bahkan ada yang berkata, “Wah kursus seperti mendalami kembali materi-materi di Novisiat dalam waktu yang sangat singkat, lima hari saja.” Society of LoveDi antara banyaknya hal menarik dalam kursus kali ini, perkataan Rm. Hung bahwa Serikat kita ini bukan hanya Society of Jesus, tetapi juga Society of Love, amat mengesankan. Hal ini tampak sekali dari tingginya frekuensi kata kunci dari para peserta ketika merangkum dinamika selama kursus ini.Bagi saya pribadi Society of Love itu benar karena pertama, setiap dari anggota Serikat itu dipanggil karena cinta Allah. Karena cinta pada Allah-lah kita menanggapinya dengan bergabung dalam Serikat ini. Tidak ada seorang pun dalam serikat ini yang mau masuk Serikat tanpa adanya cinta pada Allah dan Serikat. Itu satu paket lengkap yang tak terbantahkan. Kedua, Cura Personalis. Karena cinta yang sama pada Kristus, kita dimampukan untuk mencintai, mendoakan, dan melayani yang lain. Setiap superior dan anggota selalu mendoakan dan memperhatikan keselamatan jiwa saudara-saudara se-Serikat. Perhatian yang personal dan mendalam itu adalah bukti adanya cinta yang hidup dan menyapa. Inilah harta cinta yang indah dalam serikat; setiap pribadi berharga dan pantas dicintai. Kita ingat St. Fransiskus Xaverius selalu menjatuhkan air mata dan menangis hari ketika membaca surat yang ditulis Ignatius yang disimpan di kalungnya. Ada rasa cinta pada para sahabat dalam Tuhan yang sama-sama berjuang bagi kemuliaan nama Tuhan. Di sini sebagaimana Hung katakan, “Serikat menjadi jalan bagi anggotanya menuju Allah.” Kepedulian antar anggota memampukan kita merasakan Allah yang menyapa. Ketiga, cinta itu pada Tuhan dan Serikat itu mempersatukan. Perbedaan budaya, ras, bahasa disatukan dalam sebuah misi yang sama, cinta akan Kristus yang mempersatukan dan mengutus kita. Saya sudah sering mendengar sharing Nostri yang ketika pergi ke luar negeri tidak perlu merasa takut, sebab di sana ada saudara dalam Tuhan yang siap menerimanya. Memang dari segi bahasa, budaya, latar belakang tentu berbeda, tetapi kesatuan hati dan budi (cinta) dalam serikat itulah yang membuat mereka bisa saling memahami dan melayani. Keluar dari Diri SendiriPengalaman pribadi tentang Society of Love ada banyak sekali. Salah satunya saat Paskah tahun ini. Saat itu, tiga anggota komunitas kami sakit, termasuk saya. Di saat yang bersamaan, karyawati masak unit sedang cuti. Demikian, makan-minum komunitas disiapkan oleh anggota komunitas sendiri. Setiap pagi mereka bahu-membahu memasak air panas untuk kami yang sakit agar bisa mandi, menyiapkan makanan; pagi sampai malam, dan mengurus tugas-tugas yang kami tinggalkan untuk sementara waktu. Saya merasakan cinta Tuhan lewat anggota se-Serikat di dalam komunitas. Saya menemukan Yesus yang menyiapkan sarapan bagi para murid di tepi Danau Tiberias. Adanya rasa cinta terhadap saudara se-Serikat itu amat terasa. Cinta itu membuat anggota komunitas keluar dari diri sendiri untuk siap melayani yang lain. Engelbertus VIktor Daki, SJ Mungkin baik bila kita merenungkan kembali makna Society of Love dan bertanya, apakah aku sebagai pribadi sungguh merasa dicintai? Apakah sudah menghadirkan wajah love ini terhadap yang lain?