Pilgrims of Christ’s Mission

SMK PIKA

Karya Pendidikan

Keberanian di Tengah Keraguan

Kita tidak pernah sungguh-sungguh siap menghadapi pengalaman pertama. Seperti yang dilakukan oleh para calon pengurus ORSIKA (Organisasi Siswa PIKA) pada Jum’at, 16 Mei 2025 lalu, kedua belas calon pengurus tersebut menjalani masa pembekalan yang unik. Mereka berdiri di tengah keramaian lalu lintas yang padat pada sore hari, mengambil pengeras suara (TOA), dan mulai berbicara di depan orang asing dalam waktu kurang dari satu menit untuk mendengarkan. Mereka diminta untuk melakukan orasi dadakan di lampu merah. Apa yang awalnya mereka kira sebagai latihan berbicara di depan umum, ternyata malah menjadi momen reflektif tentang seorang pribadi dalam menghadapi ketakutan, mengatasi overthinking, dan menemukan makna tentang pentingnya keberanian.   Mengatasi Ketakutan dan Pikiran Sendiri Saking gugupnya, salah seorang peserta bernama Evelyn sampai mengucapkan ‘selamat pagi’ pada saat membuka orasi di depan para pengendara, padahal ia melakukan itu sore hari. Meski salah, ia mendapat dukungan dari teman-temannya sehingga menemukan bahwa keberanian bukan hanya soal lancar berbicara, tetapi soal mengambil langkah pertama. Ia menyadari bahwa lingkungan berpengaruh besar dalam mendorong tindakannya – bukan hanya niat pribadi. Ketika ada seseorang yang mendukungnya untuk maju, maka ia hanya perlu terus melanjutkan apa yang sedang dilakukan.    Peserta lain bernama Galuh pun merasakannya pula. Ia menemukan bahwa seringkali ia membayangkan risiko-risiko terlebih dahulu seperti takut dimarahi karena salah berbicara. Namun, ketika orasi, tidak ada yang memarahinya. Hal ini membuatnya tampil percaya diri.    Sebagai orang pertama tampil, peserta bernama Saka merasakan lemes, panik, dan malu karena merasa ditertawakan oleh orang-orang. Namun ia kemudian belajar bahwa overthinking semacam itu hanya menghambat. Keberanian justru muncul setelah seseorang melewati perasaan-perasaannya sendiri. Pengalaman pertama harus dialami agar seseorang bisa belajar mengelola perasaan dan pikirannya sendiri.     Percaya Diri Tidak Hadir Begitu Saja Tidak ada orang yang tidak ingin tampil percaya diri. Orasi ini mengajarkan bahwa percaya diri itu tidak datang begitu saja. Meski sudah mempersiapkan materi dengan baik, seorang peserta bernama Isa malah blank. Ia belajar bahwa penguasaan diri dan ketenangan tidak datang secara instan, melainkan melalui latihan. Dengan mengalami sendiri, ia menemukan bahwa terkadang “apa yang kita bayangkan tidak seburuk kenyataannya.”    Refleksi tersebut ternyata juga dirasakan oleh Vania. Awalnya ia mengira bahwa semua akan memalukan, tetapi ketika melihat penampilan teman-temannya yang berusaha untuk tampil percaya diri, ia terdorong pula untuk mencoba. Menurutnya, kemauan dari dalam dan lingkungan yang positif adalah kunci untuk bisa berkembang.    Kevin menyebutkan bahwa pengalaman ini mengubah cara pandangnya tentang kebutuhan akan ‘orang yang dikenal’ saat berbicara di depan umum. Meski awalnya merasa bahwa ia hanya bisa berbicara di depan umum ketika ada orang yang ia kenal, ternyata ia pun bisa bicara bahkan di antara orang asing. Peserta lain bernama Kenzi pun menambahkan bahwa pikiran yang tidak-tidak bisa menghambat kemajuan diri.    Membebaskan Diri dari Label dan Ekspektasi Dari hasil sharing, banyak peserta menceritakan bahwa seringkali mereka ragu karena label yang mereka lekatkan pada diri sendiri. Salah satu peserta bernama Joy mengaku bahwa pengalaman pendiam dan menahan apa yang ia ungkapkan saat SD membuatnya menyadari bahwa ia adalah seorang ‘introvert’. Label ini menjadi batas sehingga mekanisme pertahanan diri ini muncul ketika dihadapkan pada rasa tidak nyaman. Dengan bicara spontan saat mengutarakan pendapat ia malah menjadi berani dan merobohkan label yang ia buat.   Peserta lain bernama Brigitta menambahkan bahwa ia mengalami pembebasan dari belenggu ekspektasi orang lain. Ia belajar untuk tidak takut pada pandangan orang lain dan merasa lega karena bisa total tanpa takut dianggap aneh. “Berani tidak disukai justru membebaskan diri,” katanya.   Gio, salah satu peserta, mengingat pengalamannya dahulu saat ia masih pemalu dan membuatnya gagal masuk SMA impiannya. Namun, berkat orasi ini, ia menyadari bahwa ternyata ia pemberani. Ia membuktikan bahwa ternyata Gio bisa lebih percaya diri dan mulai meninggalkan ketakutannya yang dulu karena salah bicara yang sempat membuatnya malu.   Pentingnya Komunitas dan Dorongan dari Sekitar Pengalaman orasi di tengah jalan ini mengajarkan betapa berpengaruhnya lingkungan di sekeliling kita. Jenifer yang punya pengalaman mudah merasa overthinking dan takut dianggap aneh, bisa belajar bahwa orang lain tidak akan terus-menerus mengingat apa yang sudah kita lakukan. Ia merasa disembuhkan oleh kesadaran baru ini dan yakin bahwa tampil di depan umum bukan hal yang memalukan melainkan sesuatu yang bisa dibanggakan.    Dengan jujur, Mulky juga mengakui bahwa meski tidak semua yang telah ia persiapkan dapat tersampaikan dengan baik, ia tidak patah semangat. Dukungan dari teman-temannya membuat ia memiliki semangat dan kekuatan. Ia pun turut menyemangati dan mendukung teman-teman yang lain untuk menemukan potensi yang mereka miliki.    Kesimpulan: Dari Trotoar Menuju Panggung Kepemimpinan Meski hanya berlangsung tidak lebih dari satu menit, ternyata pengalaman orasi berdampak cukup besar dan dalam bagi para calon pengurus ORSIKA. Masing-masing calon pengurus ini menemukan sesuatu yang baru dari dirinya sendiri seperti keberanian, ketenangan, spontanitas, dan penerimaan diri. Bukan hanya soal tampil dan bicara di depan umum, tetapi mereka belajar untuk lebih mengenal diri sendiri dan orang lain.    Dari kedua belas orang tersebut, dari rasa takut hingga rasa syukur, pengalaman ini menjadi awalan baik untuk belajar menjadi pemimpin yang berani. Seorang pemimpin bukan orang yang tidak takut, tetapi orang berani bertindak meski takut. Mereka ingin belajar memimpin bukan karena mampu, tetapi karena berusaha setia pada tugas yang diberikan. Dari lampu merah sore itu, calon pemimpin muda ini telah menunjukkan kita sebuah pertanda bahwa mereka siap untuk melangkah lebih jauh, bukan untuk menjadi pandai berbicara, tetapi membawa pengaruh positif bagi komunitasnya.    Kontributor: Sch. Y. K. Septian Kurniawan, S.J.

Karya Pendidikan

Lulus Sekolah untuk Apa?

Refleksi Retret Penegasan PIKA 49 Retret merupakan salah satu sarana bagi seseorang untuk hening sebelum mengambil keputusan penting. Bagi peserta didik kelas IV SMK PIKA Semarang, kesempatan retret dipakai untuk mengendapkan seluruh pengalaman mereka selama bersekolah guna melihat disposisi batin mereka sebelum mengakhiri pendidikan dan memulai perjalanan baru ke depan. Pengalaman magang tujuh bulan yang sebelum ini mereka alami tentu memberikan wawasan baru yang membantu mereka berdiskresi sebelum melanjutkan hidup mereka sesudah studi selesai.   Tanggal 15-17 April 2024 menjadi momen bagi peserta didik angkatan 49 untuk mengikuti Retret Penegasan. Peserta berjumlah 54 orang didampingi oleh empat pendamping dari Tim Ignatian sekolah yaitu Bp. Andhy, Bp. Eko, Bp. Tanto, dan Fr. Septian. Retret ini berlokasi di Rumah Retret Panti Semedi (RRPS) Sangkal Putung, Klaten.   Retret penegasan bertema Ite Inflammate Omnia (Go Forth and Set the World on Fire) hendak mengajak para peserta untuk mengendapkan seluruh pengalaman mereka selama empat tahun bersekolah di PIKA sehingga dapat memutuskan dengan kemerdekaan batin pilihan hidup setelah lulus. Peserta didik diharapkan tidak hanya memutuskan berdasarkan keinginan emosi sesaat, melainkan sampai pada kesadaran akan tujuan hidup yang ingin Allah tunjukkan pada mereka. Diharapkan mereka tidak hanya menjadi pribadi yang mengejar hal-hal duniawi semata, melainkan sampai pada tataran hidup untuk semakin mencintai Allah dengan segala sarana yang sudah mereka terima dengan lepas bebas. Ite Inflammate Omnia atau maju dan kobarkanlah dunia yang menjadi jargon untuk menumbuhkan kesadaran bahwa mereka diutus oleh Allah sendiri untuk menjadi agen perubahan yang positif di manapun mereka berada nantinya.     Secara umum, peserta retret merasa gembira karena dapat bertemu dengan teman-teman mereka setelah 7 bulan terpisah karena menjalani Praktik Kerja Industri (Prakerin) di berbagai tempat. Salah seorang peserta mengungkapkan bahwa kegiatan ini menjadi kegiatan kebersamaan bersama angkatan yang terakhir sebelum mengakhiri masa pendidikan empat tahun mereka di SMK PIKA Semarang.   Acara diawali dengan melihat konteks angkatan 49 saat ini untuk mengetahui disposisi batin setiap peserta. Sebelum retret, para peserta diminta mengisi form untuk membuat konteks angkatan sebagai bahan dasar berefleksi. Dengan mengetahui disposisi batin, para peserta menyadari seperti apa kondisi angkatan mereka saat ini.   Selanjutnya, dilakukan sharing berdua-dua (Emmausan) agar para peserta bisa saling tukar pikiran dan pengalaman. Sharing ini pun diatur oleh tim agar tiap peserta dipasangkan dengan peserta yang belum begitu akrab. Dengan begitu, mereka bisa saling mengenal dan berbagi cerita pengalaman transformatif yang didapat.   Acara selanjutnya adalah sharing alumni yang dibawakan oleh Kevin dari angkatan 45. Melalui sharing alumni di hari pertama, para peserta memiliki perspektif bagaimana Kevin mengambil keputusan sebagai alumni PIKA. Tentu, PIKA memiliki keuntungan selain bisa kuliah, mereka dipersiapkan bekerja setelah lulus. Kevin juga memberikan motivasi untuk mengambil kesempatan seperti mengambil kerja sambil kuliah atau pun sebaliknya. Peserta diajak untuk tidak perlu malu selagi keputusan itu tidak membawa pada dosa. Selagi masih muda, jangan takut capek maupun gagal. Kalau jatuh 7 kali, berani bangkit 8 kali.   Sharing alumni ini kemudian diperdalam di hari kedua dalam sesi tentang diskresi dan dilanjutkan dengan bimbingan rohani. Melalui materi diskresi, para peserta diajak untuk menyadari berbagai aspek dalam mengambil keputusan penting seturut petunjuk Latihan Rohani (LR) St. Ignatius. Diawali dengan mengenali Asas Dasar LR 23, peserta diajak untuk mengarahkan tujuan pengambilan keputusan semata-mata untuk menanggapi cinta Tuhan yang begitu besar. Lalu dalam sesi diskresi I peserta diajak untuk melihat berbagai aspek dalam menimbang-nimbang keputusan yang tidak hanya didasarkan pada keinginan duniawi tetapi juga menyangkut pengembangan diri yang terarah pada makin lebih besarnya kemuliaan Tuhan. Di dalam diskresi II peserta diajak untuk belajar cara mengambil keputusan yaitu dalam situasi tenang dan kemerdekaan setelah mengenali berbagai aspek positif dan negatif suatu keputusan. Dalam sesi ini dipaparkan tentang berbagai distraksi yang perlu diperhatikan dalam wujud kelemahan yang mereka temukan. Sesi Diskresi III peserta diajak untuk melihat dampak keputusan yang diambil. Apakah keputusan itu terarah pada Tuhan atau keinginan duniawi, dan bagaimana cara mengatasinya, terlebih terhadap motivasi palsu yakni peran Roh Jahat yang menggiring ke arah egoisme pribadi.   Di antara sesi-sesi tersebut, peserta mulai diajak untuk melakukan bimbingan rohani bersama pendamping masing-masing. Peserta telah dibekali panduan serta pertanyaan yang perlu mereka jawab sehingga ketika proses bimbingan dapat terarah pada penegasan atas hal-hal yang sudah mereka refleksikan. Pendamping berusaha untuk mempertajam, mengoreksi, dan menunjukkan aspek-aspek lain yang dirasa belum peserta temukan dalam refleksi mereka. Ternyata hal tersebut amatlah membantu. Tidak jarang peserta juga menemukan kegalauan saat mengambil keputusan ke depan. Kecemasan akan kegagalan, yang terkait latar belakang keluarga yang memberi pengaruh besar pada pengambilan keputusan mereka sehingga belum sampai pada kemerdekaan batin yaitu lepas bebas.   Di hari ketiga, para peserta diajak untuk lebih rileks dengan melakukan outbound. Peserta diajak untuk berjalan berkeliling di luar kompleks Rumah Retret. Peserta dikondisikan untuk benar-benar serius dan dalam suasana reflektif, di hari ketiga ini dengan menikmati kebersamaan dalam wujud games bersama kelompok. Kebersamaan dan kekompakan bersama tim yang di dalamnya bukan merupakan teman dekat ternyata membantu mereka untuk saling mengenal.     Setelah serangkaian games yang menyenangkan, peserta diajak untuk mengevaluasi dan merumuskan niat-niat baru. Bruder Marsono, selaku kepala sekolah juga sempat hadir memberikan peneguhan bahwa hidup perlu disyukuri karena masih banyak orang muda di luar sana yang belum memiliki kesempatan seperti para peserta. Acara kemudian ditutup dengan perayaan Ekaristi oleh Pater Istanto, S.J. selaku Ketua Yayasan. Dalam Ekaristi tersebut ada empat orang perwakilan peserta yang membagikan buah-buah rohani mereka yang amat menyentuh dan mewakili perasaan teman-teman mereka. Kesadaran bahwa mereka dicintai dan dibentuk oleh Allah sendiri, baik saat di sekolah maupun magang tujuh bulan di berbagai tempat menyadarkan mereka bahwa hidup adalah sebuah perutusan. Hidup tidak hanya untuk diri mereka sendiri, melainkan juga untuk dibagikan kepada semakin banyak orang yang membawa pada kebahagiaan sejati. Mereka diajak untuk menjadi manusia bagi sesama.   Akhirnya, kegiatan retret menjadi salah satu kegiatan wajib karena membantu peserta menapaki perjalanan hidup ke depan. Peserta diajak untuk tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, melainkan juga terbuka pada tuntunan Allah. Itulah mengapa pendidikan sebaiknya tidak hanya memberi bekal pada aspek kognitif saja, melainkan juga dalam pendampingan spiritual.   Kontributor: S Yohanes Krisostomus Septian Kurniawan, S.J. – Tim Ignatian

Karya Pendidikan

Jendela Toleransi: Bakti Sosial PIKA ke Pondok Pesantren

Pada hari Rabu, 27 Maret 2024, kami para Pengurus ORSIKA (OSIS SMK PIKA) mewakili sekolah melakukan kegiatan bakti sosial. Kami mengunjungi lokasi yang terdampak banjir di area Demak dengan didampingi oleh Staf Kesiswaan yaitu Pak Divo dan Frater Septian. Lokasi yang akan kami jadikan kegiatan aksi bakti sosial adalah di Pondok Pesantren Roudlotus Sholihin, Jl. KH. Noer, Loireng, Kecamatan Sayung, Demak.   Dalam kegiatan Bakti Sosial ini, kami membawa beras, gula pasir, mie instan, dan sejumlah uang yang diserahkan kepada pengurus Pondok Pesantren Roudlotus Sholihin. Barang-barang tersebut merupakan hasil kegiatan Aksi Puasa Pembangunan di sekolah setiap hari Rabu selama masa Prapaskah.   Sesampainya di Pondok, kami disambut oleh Frater Wahyu, S.J. dan Gus Khodir. Gus Khodir merupakan kyai/guru penanggung jawab pondok. Frater Wahyu tinggal di pondok selama dua tahun. Saat ini ia sedang menjalankan tugas perutusan di pondok pesantren tersebut dalam rangka mendalami dialog lintas agama. Frater Wahyu juga menjadi guru di SMP Roudlotus Sholihin. Di sana kami mendapatkan cerita-cerita menarik tentang kehidupan para santri pondok.     Salah satu cerita yang menarik bagi kami pada saat itu adalah saat Gus Khodir berbagi cerita mengenai radikalisme di lingkungan sekitar dan toleransi terhadap sesama. Misi yang mereka sedang jalankan adalah menjunjung tinggi toleransi dan mengurangi sikap radikal terhadap agama lain. Gus Khodir pun memberi pembelajaran kepada para santrinya tentang toleransi. Beliau mengajak para santri untuk membuka hati dan mau menerima orang walaupun berbeda agama. Apalagi di sekitar kita masih banyak remaja dan orang tua yang masih bersikap ‘radikal’ terhadap agama lain dan mereka ini juga memiliki paham-paham tersendiri. Cara yang mereka lakukan ialah mengunjungi tempat ibadah agama lain seperti pura, wihara, gereja Kristen, dan gereja Katolik. Bahkan dengan agama lokal pun mereka sering melakukan sharing antaragama.   Namun, di balik kerukunan itu, mereka juga merasakan adanya gejala radikalisme yang mencoba merayap di tengah-tengah masyarakat. Pesan-pesan yang bertujuan untuk memecah belah, menghasut, dan menciptakan konflik seringkali tersebar dengan cepat, terutama di era digital ini. Ketika radikalisme merasuki bahkan tempat yang seharusnya dianggap sebagai oase kedamaian seperti pesantren, kesadaran akan urgensi toleransi semakin menonjol. Aksi bakti sosial di pesantren mengajarkan kepada kami bahwa kegiatan sosial bukan hanya tentang memberi bantuan materi, tetapi juga membangun hubungan yang kokoh antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Dalam menghadapi maraknya radikalisme, kita perlu bersama-sama menyadari bahwa pendekatan pendidikan, dialog, dan kolaborasi adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan berbudaya damai.   Pengalaman ini telah mengingatkan kami bahwa kegiatan bakti sosial bukan hanya sekadar memberi tetapi juga belajar dan membawa perubahan. Dalam melangkah maju, mari kita terus menjadi agen-agen perdamaian yang gigih, membawa terang di tengah gelapnya kebencian, dan meneguhkan komitmen kita untuk menjaga keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.   Kontributor: Rayyan dan Ansel – PIKA 51

Karya Pendidikan

‘Orang Muda Menemukan Makna’

Dalam rangka Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024/2025, SMK PIKA Semarang menyelenggarakan Open House (Casa Abierta) yang mengambil tema ‘Orang Muda Menemukan Makna’. Kegiatan Open House yang dilaksanakan di SMK PIKA Semarang ini merupakan ajang promosi dan platform inklusif yang melibatkan berbagai tingkat pendidikan dan memperkuat keterlibatan komunitas pendidikan. Kegiatan ini diadakan pada 27-29 Februari dan 2 Maret 2024 sebagai puncak kegiatan Open House. Selain itu, karya-karya yang dihasilkan dari proyek siswa ini akan dipamerkan kepada siswa/i TK, SD, SMP, orang tua, dan tamu yang berkunjung ke SMK PIKA Semarang sebagai bentuk apresiasi, dengan harapan dapat meningkatkan motivasi siswa/i. ‘Orang Muda Menemukan Makna’ Tema ini dilatarbelakangi oleh pencarian orang muda dalam menentukan masa depan. Masa depan perlu dipersiapkan sejak dini dengan melihat, merasakan, dan menimbang pilihan-pilihan yang ada. Tidak jarang pilihan-pilihan yang tersedia itu perlu disesuaikan dengan bakat, minat, kebutuhan, keadaan, dan tantangan zaman. SMK PIKA Semarang menawarkan salah satu pilihan menjadi seorang spesialis di bidang perkayuan. Di era sekarang, teknologi perkayuan masih memiliki banyak peluang untuk dimasuki mengingat minimnya ahli perkayuan serta luasnya lapangan kerja dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang masuk di dalamnya. Diharapkan dari tema tersebut para siswa/i TK, SD, SMP dan orang tua melihat dan menemukan makna, sehingga dapat lebih mantap dan yakin untuk sekolah dan menyekolahkan putra-putrinya ke SMK PIKA Semarang. Workshop tentang Furniture Selama tiga hari dari 27 – 28 Februari 2024 mulai dari pukul 08.00 – 15.00 SMK PIKA mengundang secara khusus beberapa SMP swasta di Kota Semarang. Dalam kesempatan ini ada beberapa kegiatan yaitu: presentasi furniture dari instruktur, sharing pengalaman siswa/i SMK PIKA, serta keliling (study tour) area bengkel, unit produksi, dan gedung teori di SMK PIKA. Acara diakhiri dengan sesi tanya-jawab di aula dan pemberian souvenir. Berikut merupakan SMP yang berkunjung ke SMK PIKA Semarang: 1 Selasa, 27 Februari 2024 2. Rabu, 28 Februari 2024 3. Kamis, 29 Februari 2024 Workshop dengan judul ‘Tips memilih furniture yang tepat’ dipresentasikan bukan hanya untuk memperkenalkan SMK PIKA, namun memberikan edukasi bagi para tamu yang datang agar dapat mengetahui ciri-ciri furniture yang layak. Dan ternyata sewaktu sesi tanya jawab, masih banyak orang yang belum mengetahui cara memilih furniture yang tepat. Setelah itu sharing oleh siswa/i SMK PIKA mengenai kegiatan-kegiatan yang ada di PIKA dan model pembelajaran yang cukup unik. Study Tour, menjadi rangkaian kegiatan yang sangat ditunggu-tunggu oleh siswa/i SMP. Siswa/i SMP berkeliling dan diperkenalkan beberapa sudut yang ada di SMK PIKA. Siswa/i SMK PIKA selama open house masih berkegiatan belajar mengajar seperti menjalani praktek di bengkel pendidikan, hal ini memperlihatkan model pembelajaran di SMK PIKA sewaktu praktik. Kelas X yang sibuk dengan membuat sambungan serta finishing, lalu kelas XI yang sedang praktek melanjutkan proyek membuat kotak HP, dan kelas XII yang disibukkan dengan proyek membuat kursi yang telah mereka desain. Terdapat juga stand yang memperlihatkan karya/produk yang dibuat oleh para siswa/i SMK PIKA di masing-masing kelasnya. Banyak dari siswa/i SMP tertarik sewaktu mendatangi stand Barisan Suporter Orang-Orang PIKA (BASOOKA) dikarenakan ada maskot yang menari diselingi oleh pukulan drum dan nyanyian dari para penjaga stand BASOOKA. Puncak Perayaan Open House Sabtu, 2 Maret 2024 merupakan puncak dari kegiatan Open House. Beberapa kegiatan di dalamnya meliputi lomba untuk TK – SMP, tour PIKA, pameran produk dari Unit Produksi dan kreativitas anak-anak, stand makanan beraneka macam baik dari siswa/I PIKA dari tiap angkatan, maupun dari luar. Tidak hanya peserta lomba, banyak alumni dan pengunjung umum menyempatkan untuk berkeliling dan menikmati suasana pentas seni dan stand makanan. Berbagai lomba seperti lomba live sketch dan fotografi untuk siswa/i SMP, lalu lomba mewarnai dan menggambar untuk siswa/i TK dan SD. Para guru dari beberapa TK dan SD daerah kota Semarang serta orangtua tampak sangat antusias dalam mendampingi putra/i mereka. Kegiatan Open House kali ini juga melibatkan siswa/i SMK PIKA, mulai dari angkatan 50 sampai 52 untuk menampilkan pentas seni akhir acara. Beberapa ada yang menampilkan tarian modern maupun tradisional dan band. Masing-masing dari penampil mempunyai ciri khasnya yang membuat penampilan pada siang itu meriah. Dapat didengar sorakan-sorakan penonton yang ikut serta dalam menyemangati pada penampil pentas seni Open House ini. Selain pentas seni, di bagian belakang SMK PIKA terdapat bazar makanan. Beberapa stand makanan berasal dari siswa/i SMK PIKA angkatan 49 sampai 52. Masing-masing angkatan memperlihatkan kreativitas dalam berjualan makanan. Terlihat jelas stand Angkatan 51 menarik banyak perhatian dikarenakan ada permainan ‘Serok Ikan’ menggunakan kertas tisu. Beberapa pelanggan ada yang berhasil dan membawa pulang ikan yang dapat diseroknya. Di kantin SMK PIKA juga terdapat stand makanan dari luar yang meliputi bakso, telur gulung, dimsum, es krim, dan masih banyak lagi stand makanan lainnya. Area kantin menjadi area yang terus-menerus ramai dipenuhi oleh para tamu Open House, mulai dari anak kecil hingga orang tua. Ada pula spot dimana para alumni SMK PIKA berkumpul untuk sekedar makan dan bersenda gurau. Open House: Latihan Hospitalitas Acara Open House SMK PIKA bukan hanya untuk PPDB. Open House ini memiliki makna yang lebih dalam, mulai dari tema yang digunakan ‘Orang Muda Menemukan Makna’ hingga serangkaian acara yang dibuat sedemikian rupa untuk memberikan kesempatan bagi siswa/i TK, SD, hingga SMP mengekspresikan kemampuannya. Acara ini juga sarana bagi peserta didik belajar menjadi tuan rumah yang baik, bisa menjadi panitia yang ramah, dan melatih jiwa kepemimpinan dan kerjasama di dalam kepanitiaan sehingga para peserta dan pengunjung merasa terbantu dalam mengenal SMK PIKA Semarang. Kontributor: Angellica Darmawan (PIKA 50)

Feature

Berbakti di Beringharjo

Ceritaku Di Temu Kolese Pagi sekali aku merasakan tepukan ringan di tangan kananku. Karena lelah akan hari yang telah berlalu, aku tidak mengambil pusing dan memutuskan kembali tidur. Lagi-lagi, Aku merasakan tepukan yang lebih keras. Aku pun memutuskan membuka mata. Tidak, bukan malaikat yang membangunkanku pagi itu. Panitia Temu Kolese yang giat melaksanakan tugasnya pagi-pagi dengan membangunkanku karena tanda pita di tanganku. Di tengah lelahnya diriku, walaupun sedikit kesal, aku berusaha menyadarkan diri agar tidak membuat kelompokku menunggu. Aku ingat kala itu pukul 02.00 pagi, tidak sering aku harus bangun sepagi itu. Kemarin aku baru saja sampai di Kolese De Britto, Yogyakarta, setelah perjalanan yang panjang. Aku tersenyum ketika mengingat pelepasan kontingen peserta Kolese Kanisius kemarin lusa, terlebih lagi canda-tawa yang kami bagikan sesaat sebelum tertidur lelap di bus. Sialnya, aku mendapatkan tempat duduk di samping cello (alat musik) berukuran besar milik performer dari SMP. Ya, walaupun sempit, tetapi setidaknya aku masih dapat menikmati perjalanan. Sakit pinggang bukan tantangan jika hadiahnya adalah kunjungan ke Yogyakarta, apalagi menemui rekan-rekan dari delapan kolese dan seminari di Indonesia. Ketika baru sampai, aku merasa sedikit cemas bagaimana nantinya akan menyapa yang lain. Mungkin aku harus belajar cara ngomong yang agak medok… Mungkin aku harus belajar kosakata Bahasa Jawa… Mungkin aku harus belajar sopan santun mereka… Itulah beberapa pikiranku yang mengganggu selama perjalanan. Mungkin suara-suara di dalam kepalaku terkesan aneh bagimu, wahai pembaca, tetapi aku memang sedikit anti sosial. Semua pikiran buruk itu pecah bagaikan balon ketika aku dan kontingen CC lainnya turun dari bus dan disambut hangat oleh panitia, baik oleh tuan rumah De Britto maupun oleh panitia dari kolese yang lain. Sambil menunggu mulainya sesi di aula De Britto, aku merasa bosan. Walaupun bosan tersebut sedikit terobati dengan berbincang bersama teman-teman sekamar di kelas X3, tetapi aku ingin bermain… Aku ingin bermain tenis meja! Ketika terpilih menjadi kontingen CC, bukan maksudku untuk menjalani semua acara Temu Kolese. Maksudku adalah untuk unjuk kemampuan dengan peserta lomba tenis meja dari kolese yang lain. Namun apa boleh buat, semua acara tersebut sudah disiapkan. Oleh karena itu, kuputuskan untuk mencoba ikut seluruh rangkaian acara. Ketika sesi di aula De Britto akhirnya dimulai, aku mencoba mendengarkan apa yang dikatakan Pater Jupri. Namun, mataku tak kunjung menurut dan aku setengah tertidur. Apa yang berhasil kutangkap hanyalah bahwa esok hari akan ada kegiatan immersion, atau semacam live in singkat selama satu hari. Immersion dibagi ke dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok memiliki anggota campuran dari kolese lain, dan aku seorang diri dari CC di kelompokku. Jujur, itu membuatku sedikit khawatir karena mau tidak mau aku harus bergaul dengan tuan rumah immersion sekaligus teman-teman dari kolese lain. Hal lain yang kutangkap adalah bahwa kelompokku, Xaverius dan Faber, diminta bangun jam 2 pagi untuk bersiap-siap ke lokasi immersion. Entah Pater menyebutkan lokasi immersion atau tidak, pokoknya aku tidak menangkap di mana aku dan kelompokku akan pergi keesokan harinya. Kembali ke pukul 02.00 pagi; aku memutuskan untuk tidak mandi karena waktu sudah mepet. Aku membawa tasku dan bergegas menuju titik temu kelompok kami, yaitu di depan perpustakaan De Britto. Jujur, aku masih merasa cemas akan keadaan di lokasi immersion nanti. Setelah diabsen, kami sekelompok beserta pendamping menaiki bus yang telah menunggu. Bus yang kami tumpangi tidak memiliki pendingin, berbeda dengan bus-bus yang biasa dijumpai di Jakarta. Kendati demikian, hawa pagi Yogyakarta membantuku tetap bertahan di dalam bus itu. Sekitar 10 menit kemudian, bus berhenti. Di tengah gelapnya malam, Aku melihat sebuah palang besar yang bertuliskan ‘Pasar Beringharjo’ dengan tulisan yang kukira adalah aksara Jawa di bawahnya. Saat turun, kuhirup udara yang berbau amis, menginjak jalan yang becek, dan mendengar sahut-sahut penjual yang sedang membereskan dagangannya. Kuingat itu sekitar jam 3 pagi. Aku mengalami nostalgia, kembali ketika berumur 10 tahun. Dulu, almarhum kakekku sering mengajakku ikut berbelanja bahan makanan mentah di Pasar Kemiri Depok. Setelah turun, kami dibagi lagi ke dalam beberapa kelompok. Aku bersama kelompokku tiga orang: Jesse, Kidung, Mahe, ditugaskan untuk berjalan menyusuri selasar gelap tempat parkir Pasar Beringharjo. Kami diminta mencari seseorang bernama Pak Ari. Setelah beberapa waktu, kami menemukan beliau sedang membereskan motor di selasar itu. Jesse lah yang menyambut Pak Ari terlebih dahulu. Aku tidak berani menyapa pertama karena takut dibalas dalam Bahasa Jawa. Aku sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Kami berlima berbincang singkat selama 5 menit. Pak Ari ternyata telah bekerja sebagai tukang parkir di Pasar Beringharjo selama 20 tahun. Aku sangat terkejut dengan pernyataan itu. Semua orang di Beringharjo adalah keluarga bagi beliau karena mereka sudah bertemu setiap hari selama 20 tahun. Di Beringharjo, tukang parkir memiliki wilayahnya sendiri-sendiri. Tiap wilayah juga dibagi ke dalam 2 shift: shift pagi dan shift siang. Pak Ari bekerja pada shift pagi, bersama temannya, Pak Mamad. Pak Ari menggunakan kata ‘kartu kuning’ untuk menjelaskan temannya itu. Kami tentu bingung dengan maksud beliau, dan bertanya mengenainya. Pak Ari memperjelas bahwa Pak Mamad adalah orang dengan gangguan jiwa ringan. Jantungku berhenti sejenak ketika mendengar itu. Aku, Jesse, Kidung, dan Mahe kemudian berunding untuk berbagi tugas. Aku dan Mahe membantu Pak Mamad, Kidung dan Jesse membantu Pak Ari. Tidak banyak yang dipesankan oleh Pak Ari untuk kami lakukan, hanya, “Santai aja, kalau ada yang bisa dibantu, ya paling lurus-lurusin motornya.” Wilayah parkir Pak Mamad lebih jauh di ujung lorong gelap itu. Ternyata banyak motor yang sudah diparkirkan di sana, dan para penjual telah datang bersiap-siap sejak pagi. Aku dan Mahe pun duduk di atas dudukan bambu milik Pak Mamad yang beliau gunakan untuk beristirahat. Kami berbincang sedikit bersama Pak Mamad, aku sedikit takut setelah perkataan Pak Ari tadi bahwa Pak Mamad adalah orang dengan gangguan jiwa. Pak Mamad kebanyakan berbicara dalam bahasa Jawa, sehingga aku berkomunikasi melalui Mahe. Untung saja ada Mahe, kalau tidak, tidak mungkin aku bisa bertahan di tengah keadaan itu. Pak Mamad berkata bahwa dia telah bekerja sebagai tukang parkir di sana selama 18 tahun. Beliau bercerita bahwa dulu area parkir tersebut jauh lebih ramai dari yang sekarang, dan sudah tidak banyak orang muda yang masih singgah ke pasar secara rutin. Kebanyakan yang kami lakukan hanya menunggu, berbincang, serta meluruskan

Feature

Sampah Membawa Syukur

Pada awalnya hal ini tidak terkirakan. Maksud dari tidak terkirakan adalah perasaan saya setelah melihat apa yang ditugaskan kepada saya dan teman-teman kelompok immersion. Saya dan teman-teman mendapatkan tempat immersion di TPA Piyungan. Awalnya saya biasa-biasa saja dan beranggapan bahwa suasananya akan biasa-biasa saja. Ternyata tak sebanding dengan apa yang saya pikirkan. Ternyata di TPA masih ada orang-orang yang bekerja seperti memilah-milah sampah untuk dijual. Lebih kagetnya lagi, di TPA ada sapi yang mencari makan di tengah sampah dan ditambah lagi baunya yang sangat menyengat. Sampahnya sangat banyak sampai-sampai membentuk seperti gunung. Saya juga bertanya ke teman kelompok, katanya ini belum seberapa dibandingkan di Jakarta. Hal ini membuat saya teringat ketika mengunjungi TPA di Nabire yang kondisinya tidak seperti ini dan sampahnya tidak sebanyak ini. Ketika di TPA saya dan teman-teman dibagi menjadi 16 kelompok. Kami diminta untuk mengumpulkan plastik, botol kaca, dan botol karet. Kami berhasil mengumpulkan sampai satu trashbag penuh. Keadaan di TPA membuat saya bertanya-tanya di dalam hati, “Kok bisa ya orang-orang di sana bertahan dengan baunya sampah, panasnya matahari, dan debu?” Saya yang baru mengangkat sampah di sana saja sudah merasa malas, mual, dan jijik. Mereka adalah orang-orang hebat yang mencari uang dengan bekerja di tempat itu untuk mencukupi kehidupan mereka. Padahal hasil sampah satu plastik yang mereka dapat tidak cukup untuk makan mereka selama sehari. Saya sangat terharu dengan kerja keras mereka. Saya bersyukur karena melalui kesempatan untuk berinteraksi dengan orang-orang di TPA Piyungan saya dapat mengetahui bahwa masih ada orang yang lebih susah dari saya. Karena itu, saya harus tetap bersyukur dengan hidup saya dan tidak lagi membanding-bandingkan hidup saya dengan hidup orang lain. Juga, tetap merendahkan hati serta berbela rasa kepada sesama yang membutuhkan. Kontributor: Ferdinanda E. Godopia – Kolese Le cocq d’Armandville

Provindo

To be Men and Women for and with Others

Setelah sempat tertunda selama dua tahun karena pandemi, akhirnya Temu Kolese (Tekol) diselenggarakan kembali. Temu kolese kali ini diselenggarakan di SMA Kolese de Britto, Yogyakarta dan mengusung tema “To Be Friend with The Poor!”. Kegiatan ini dilaksanakan pada 16-20 Oktober 2023 dan dihadiri delapan Kolese Jesuit Indonesia, yaitu Kolese Kanisius Jakarta, Kolese Gonzaga Jakarta, Kolese Loyola Semarang, Kolese de Britto Jogja, Kolese PIKA Semarang, Kolese Mikael Solo, Seminari Mertoyudan Magelang, dan Kolese Le Cocq Nabire. Temu kolese adalah kegiatan yang diinisiasi oleh para pamong kolese agar siswa-siswi Kolese Jesuit Indonesia berjumpa dan berkolaborasi. Pater Baskoro Poedjinoegroho, Delegat Pendidikan Serikat Jesus, bercerita bahwa kegiatan ini bermula dari 3 kolese besar (Kolese de Britto, Kolese Loyola, dan Kolese Kanisius) yang saling berkunjung dari satu kolese ke kolese lain secara bergantian. Dalam kunjungan ini diselenggarakan pula pertandingan olahraga sehingga terjadi interaksi antarsiswa kolese. Lambat laun, para pamong kolese menginisiasi pertemuan seluruh kolese Jesuit Indonesia yang terprogram dan rutin sekitar tahun 1980n. Temu Kolese tahun 1985 dilaksanakan di Seminari Mertoyudan Magelang dan dihadiri oleh 6 kolese Jesuit yaitu Kolese Loyola, Kolese de Britto, Kolese Kanisius, SMK PIKA dan STM Mikael. Kegiatan ini dilaksanakan pada 11-13 Oktober 1985 dengan agenda pertandingan olahraga. Pertemuan kolese selanjutnya dilaksanakan di Kolese Loyola Semarang pada 11-13 Oktober 1988 dengan tema “Satu dalam Semangat Yesuit”. Kegiatan ini diikuti oleh Kolese de Britto, Kolese Kanisius, Seminari Pejanten atau Kanisius Unit Selatan, PIKA, STM Mikael, Seminari Mertoyudan dan Kolese Loyola. Sempat beberapa kali temu kolese diselenggarakan di Seminari Mertoyudan karena ada asrama yang mengurangi kesulitan akomodasi dan mck anak-anak. Setelah beberapa waktu, Tekol diselenggarakan di kolese-kolese lain agar dapat mengunjungi sekolah-sekolah yang lainnya. Sempat, pertandingan olahraga menjadi sebuah ajang untuk menunjukkan kehebatan kolese serta mengajarkan para peserta berkompetisi. Lambat laun tidak hanya pertandingan olahraga saja, berbagai kegiatan seperti lomba namun mulai berkembang menjadi berbagai kesenian, debat, refleksi bersama, ekaristi, doa, dan malam ekspresi. Berbeda dengan temu kolese sebelumnya, panitia Tekol 2023 menambahkan sebuah kegiatan baru yaitu immersion. Program immersion ini adalah salah satu ciri khas formasi di SMA Kolese de Britto, di mana para siswa diajak untuk tidak hanya menjadi pengamat namun pelaku yang berinteraksi langsung dengan mereka yang tersingkirkan lewat live in di karya sosial atau slum area. Tujuan immersion dalam kegiatan Tekol 2023 ini adalah agar anak-anak belajar mengasah hati dan sisi compassion mereka serta memperdalam semangat to be men and women for and with others. Kegiatan ini sejalan dengan tema Temu Kolese kali ini yaitu “To Be Friend with The Poor!” sekaligus selaras dengan salah satu fokus Universal Apostolic Preferences (UAP). Saat immersion, para peserta dibagi dalam beberapa kelompok. Ada yang mengunjungi lapas, menjadi pedagang di pasar Beringharjo, buruh pasir, tukang parkir, dan mengambil sampah di TPA Piyungan. Pater Hugo, ketua panitia Tekol 2023 mengatakan, “Semoga setelah mereka berbaur dengan orang sederhana, mencium bau keringat mereka, dan melihat situasi yang ada, akan menggugah mereka. Jika suatu saat mereka menjadi pemimpin, mereka ingat dengan saudara yang menderita dan dengan ringan tangan membantu.” Sebelum peserta terjun langsung ke lapangan, Pater Nano memberikan pengantar bahwa mereka datang ke tempat immersion perlu menyiapkan diri, termasuk mengidentifikasi ketakutan. Selain itu para peserta juga diajak untuk membuka hati, persepsi, dan imajinasi. Setelah immersion para peserta dibantu oleh Pater Pieter untuk menajamkan refleksi mereka sehingga menjadi bekal mereka untuk masa depan. Pater Hugo mengibaratkan anak-anak mendapatkan menu hamburger yang lezat dalam Tekol kali ini, dengan immersion sebagai dagingnya serta refleksi dari Pater Nano dan Pater Pieter Dolle sebagai rotinya. Logo Temu Kolese 2023 ini terinspirasi dari tema “To Be Friend with The Poor”, yang memiliki makna dengan kebersamaan dan saling merangkul, kita dapat mencapai tujuan bersama. Dalam logo ini terdapat bentuk 8 tangan yang melingkar membentuk bunga dengan matahari di tengahnya, dan tulisan melingkar “Temu Kolese 2023” serta tema Tekol tahun ini. Bentuk tangan disusun menyerupai bentuk bunga yang bermakna saling merangkul dan menghasilkan bentuk yang indah. Selain itu tangan yang mengelilingi ini merupakan gambaran bentuk compassion untuk menjadi sahabat bagi mereka yang tersingkirkan. Tangan ini melambangkan 8 Kolese di Indonesia dan menggunakan warna dominan dari masing-masing Kolese. Matahari menjadi representasi tujuan dari Tekol tahun ini yaitu melatih compassion, yang terinspirasi dari logo Jesuit. Bentuk matahari yang menyala dan menyebar merupakan gambaran kepekaan terhadap lingkungan sekitar agar mau berbagi dan memperhatikan mereka yang terpinggirkan. Di bagian kanan kiri terdapat bentuk salib yang melambangkan kegiatan ini dilandasi oleh iman katolik yang kuat untuk menjalankan dan menyebarkan kasih Tuhan kepada sesama manusia dan lingkungan. Tidak hanya para siswa-siswi saja yang berjumpa dan berkolaborasi bersama dalam Temu Kolese ini, juga para guru kolese. Hal ini terlihat dari keterlibatan para guru masing-masing kolese yang ikut menjadi panitia. Para guru yang menjadi panitia dibantu pula oleh siswa-siswi dari berbagai kolese. Temu Kolese ini tidak hanya menjadi ajang untuk berkolaborasi saja namun juga menyatukan energi. “Energi dari kolese-kolese Jesuit begitu positif dan bagus sehingga bila disatukan akan menjadi energi yang besar yang menggerakkan di wilayah masing-masing. Serikat Jesus melalui sekolah-sekolah memberikan kontribusi bagi masyarakat yang lebih luas tidak hanya untuk Gereja saja,” tutur Pater Hugo. Pater Kuntoro, rektor SMA Kolese De Britto, berharap setelah Tekol ini para peserta lebih berani mengambil waktu untuk diri sendiri guna mengendapkan, mengidentifikasi, dan memaknai pengalaman yang mereka peroleh. “Mungkin mereka tidak tahu apa maknanya sekarang, tapi nanti akan menjadi energi bagi mereka dalam menjalani kehidupan.” Pater Baskoro Poedjinoegroho pun menambahkan bahwa perkembangan dunia yang destruktif membutuhkan mereka yang mempunyai bekal yang kuat. Salah satunya berupa pengalaman dicintai. Semoga dalam perjumpaan di Temu Kolese ini, anak-anak merasakan pengalaman dicintai dan persahabatan dari teman-teman dan sesama sehingga mereka merasa diri mereka berharga. Ketika mereka merasa diri mereka berharga, mau mengapresiasi diri serta bersedia untuk bertumbuh, mereka pun akan memberikan kebaikan juga untuk orang lain. Dengan cara itu, mereka menghidupi semangat to be men and women for and with others. Kontributor: Margareta Revita – Tim Komunikator