Pilgrims of Christ’s Mission

SMA Kolese Kanisius Jakarta

Feature

Berbakti di Beringharjo

Ceritaku Di Temu Kolese Pagi sekali aku merasakan tepukan ringan di tangan kananku. Karena lelah akan hari yang telah berlalu, aku tidak mengambil pusing dan memutuskan kembali tidur. Lagi-lagi, Aku merasakan tepukan yang lebih keras. Aku pun memutuskan membuka mata. Tidak, bukan malaikat yang membangunkanku pagi itu. Panitia Temu Kolese yang giat melaksanakan tugasnya pagi-pagi dengan membangunkanku karena tanda pita di tanganku. Di tengah lelahnya diriku, walaupun sedikit kesal, aku berusaha menyadarkan diri agar tidak membuat kelompokku menunggu. Aku ingat kala itu pukul 02.00 pagi, tidak sering aku harus bangun sepagi itu. Kemarin aku baru saja sampai di Kolese De Britto, Yogyakarta, setelah perjalanan yang panjang. Aku tersenyum ketika mengingat pelepasan kontingen peserta Kolese Kanisius kemarin lusa, terlebih lagi canda-tawa yang kami bagikan sesaat sebelum tertidur lelap di bus. Sialnya, aku mendapatkan tempat duduk di samping cello (alat musik) berukuran besar milik performer dari SMP. Ya, walaupun sempit, tetapi setidaknya aku masih dapat menikmati perjalanan. Sakit pinggang bukan tantangan jika hadiahnya adalah kunjungan ke Yogyakarta, apalagi menemui rekan-rekan dari delapan kolese dan seminari di Indonesia. Ketika baru sampai, aku merasa sedikit cemas bagaimana nantinya akan menyapa yang lain. Mungkin aku harus belajar cara ngomong yang agak medok… Mungkin aku harus belajar kosakata Bahasa Jawa… Mungkin aku harus belajar sopan santun mereka… Itulah beberapa pikiranku yang mengganggu selama perjalanan. Mungkin suara-suara di dalam kepalaku terkesan aneh bagimu, wahai pembaca, tetapi aku memang sedikit anti sosial. Semua pikiran buruk itu pecah bagaikan balon ketika aku dan kontingen CC lainnya turun dari bus dan disambut hangat oleh panitia, baik oleh tuan rumah De Britto maupun oleh panitia dari kolese yang lain. Sambil menunggu mulainya sesi di aula De Britto, aku merasa bosan. Walaupun bosan tersebut sedikit terobati dengan berbincang bersama teman-teman sekamar di kelas X3, tetapi aku ingin bermain… Aku ingin bermain tenis meja! Ketika terpilih menjadi kontingen CC, bukan maksudku untuk menjalani semua acara Temu Kolese. Maksudku adalah untuk unjuk kemampuan dengan peserta lomba tenis meja dari kolese yang lain. Namun apa boleh buat, semua acara tersebut sudah disiapkan. Oleh karena itu, kuputuskan untuk mencoba ikut seluruh rangkaian acara. Ketika sesi di aula De Britto akhirnya dimulai, aku mencoba mendengarkan apa yang dikatakan Pater Jupri. Namun, mataku tak kunjung menurut dan aku setengah tertidur. Apa yang berhasil kutangkap hanyalah bahwa esok hari akan ada kegiatan immersion, atau semacam live in singkat selama satu hari. Immersion dibagi ke dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok memiliki anggota campuran dari kolese lain, dan aku seorang diri dari CC di kelompokku. Jujur, itu membuatku sedikit khawatir karena mau tidak mau aku harus bergaul dengan tuan rumah immersion sekaligus teman-teman dari kolese lain. Hal lain yang kutangkap adalah bahwa kelompokku, Xaverius dan Faber, diminta bangun jam 2 pagi untuk bersiap-siap ke lokasi immersion. Entah Pater menyebutkan lokasi immersion atau tidak, pokoknya aku tidak menangkap di mana aku dan kelompokku akan pergi keesokan harinya. Kembali ke pukul 02.00 pagi; aku memutuskan untuk tidak mandi karena waktu sudah mepet. Aku membawa tasku dan bergegas menuju titik temu kelompok kami, yaitu di depan perpustakaan De Britto. Jujur, aku masih merasa cemas akan keadaan di lokasi immersion nanti. Setelah diabsen, kami sekelompok beserta pendamping menaiki bus yang telah menunggu. Bus yang kami tumpangi tidak memiliki pendingin, berbeda dengan bus-bus yang biasa dijumpai di Jakarta. Kendati demikian, hawa pagi Yogyakarta membantuku tetap bertahan di dalam bus itu. Sekitar 10 menit kemudian, bus berhenti. Di tengah gelapnya malam, Aku melihat sebuah palang besar yang bertuliskan ‘Pasar Beringharjo’ dengan tulisan yang kukira adalah aksara Jawa di bawahnya. Saat turun, kuhirup udara yang berbau amis, menginjak jalan yang becek, dan mendengar sahut-sahut penjual yang sedang membereskan dagangannya. Kuingat itu sekitar jam 3 pagi. Aku mengalami nostalgia, kembali ketika berumur 10 tahun. Dulu, almarhum kakekku sering mengajakku ikut berbelanja bahan makanan mentah di Pasar Kemiri Depok. Setelah turun, kami dibagi lagi ke dalam beberapa kelompok. Aku bersama kelompokku tiga orang: Jesse, Kidung, Mahe, ditugaskan untuk berjalan menyusuri selasar gelap tempat parkir Pasar Beringharjo. Kami diminta mencari seseorang bernama Pak Ari. Setelah beberapa waktu, kami menemukan beliau sedang membereskan motor di selasar itu. Jesse lah yang menyambut Pak Ari terlebih dahulu. Aku tidak berani menyapa pertama karena takut dibalas dalam Bahasa Jawa. Aku sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Kami berlima berbincang singkat selama 5 menit. Pak Ari ternyata telah bekerja sebagai tukang parkir di Pasar Beringharjo selama 20 tahun. Aku sangat terkejut dengan pernyataan itu. Semua orang di Beringharjo adalah keluarga bagi beliau karena mereka sudah bertemu setiap hari selama 20 tahun. Di Beringharjo, tukang parkir memiliki wilayahnya sendiri-sendiri. Tiap wilayah juga dibagi ke dalam 2 shift: shift pagi dan shift siang. Pak Ari bekerja pada shift pagi, bersama temannya, Pak Mamad. Pak Ari menggunakan kata ‘kartu kuning’ untuk menjelaskan temannya itu. Kami tentu bingung dengan maksud beliau, dan bertanya mengenainya. Pak Ari memperjelas bahwa Pak Mamad adalah orang dengan gangguan jiwa ringan. Jantungku berhenti sejenak ketika mendengar itu. Aku, Jesse, Kidung, dan Mahe kemudian berunding untuk berbagi tugas. Aku dan Mahe membantu Pak Mamad, Kidung dan Jesse membantu Pak Ari. Tidak banyak yang dipesankan oleh Pak Ari untuk kami lakukan, hanya, “Santai aja, kalau ada yang bisa dibantu, ya paling lurus-lurusin motornya.” Wilayah parkir Pak Mamad lebih jauh di ujung lorong gelap itu. Ternyata banyak motor yang sudah diparkirkan di sana, dan para penjual telah datang bersiap-siap sejak pagi. Aku dan Mahe pun duduk di atas dudukan bambu milik Pak Mamad yang beliau gunakan untuk beristirahat. Kami berbincang sedikit bersama Pak Mamad, aku sedikit takut setelah perkataan Pak Ari tadi bahwa Pak Mamad adalah orang dengan gangguan jiwa. Pak Mamad kebanyakan berbicara dalam bahasa Jawa, sehingga aku berkomunikasi melalui Mahe. Untung saja ada Mahe, kalau tidak, tidak mungkin aku bisa bertahan di tengah keadaan itu. Pak Mamad berkata bahwa dia telah bekerja sebagai tukang parkir di sana selama 18 tahun. Beliau bercerita bahwa dulu area parkir tersebut jauh lebih ramai dari yang sekarang, dan sudah tidak banyak orang muda yang masih singgah ke pasar secara rutin. Kebanyakan yang kami lakukan hanya menunggu, berbincang, serta meluruskan

Feature

Sampah Membawa Syukur

Pada awalnya hal ini tidak terkirakan. Maksud dari tidak terkirakan adalah perasaan saya setelah melihat apa yang ditugaskan kepada saya dan teman-teman kelompok immersion. Saya dan teman-teman mendapatkan tempat immersion di TPA Piyungan. Awalnya saya biasa-biasa saja dan beranggapan bahwa suasananya akan biasa-biasa saja. Ternyata tak sebanding dengan apa yang saya pikirkan. Ternyata di TPA masih ada orang-orang yang bekerja seperti memilah-milah sampah untuk dijual. Lebih kagetnya lagi, di TPA ada sapi yang mencari makan di tengah sampah dan ditambah lagi baunya yang sangat menyengat. Sampahnya sangat banyak sampai-sampai membentuk seperti gunung. Saya juga bertanya ke teman kelompok, katanya ini belum seberapa dibandingkan di Jakarta. Hal ini membuat saya teringat ketika mengunjungi TPA di Nabire yang kondisinya tidak seperti ini dan sampahnya tidak sebanyak ini. Ketika di TPA saya dan teman-teman dibagi menjadi 16 kelompok. Kami diminta untuk mengumpulkan plastik, botol kaca, dan botol karet. Kami berhasil mengumpulkan sampai satu trashbag penuh. Keadaan di TPA membuat saya bertanya-tanya di dalam hati, “Kok bisa ya orang-orang di sana bertahan dengan baunya sampah, panasnya matahari, dan debu?” Saya yang baru mengangkat sampah di sana saja sudah merasa malas, mual, dan jijik. Mereka adalah orang-orang hebat yang mencari uang dengan bekerja di tempat itu untuk mencukupi kehidupan mereka. Padahal hasil sampah satu plastik yang mereka dapat tidak cukup untuk makan mereka selama sehari. Saya sangat terharu dengan kerja keras mereka. Saya bersyukur karena melalui kesempatan untuk berinteraksi dengan orang-orang di TPA Piyungan saya dapat mengetahui bahwa masih ada orang yang lebih susah dari saya. Karena itu, saya harus tetap bersyukur dengan hidup saya dan tidak lagi membanding-bandingkan hidup saya dengan hidup orang lain. Juga, tetap merendahkan hati serta berbela rasa kepada sesama yang membutuhkan. Kontributor: Ferdinanda E. Godopia – Kolese Le cocq d’Armandville

Provindo

To be Men and Women for and with Others

Setelah sempat tertunda selama dua tahun karena pandemi, akhirnya Temu Kolese (Tekol) diselenggarakan kembali. Temu kolese kali ini diselenggarakan di SMA Kolese de Britto, Yogyakarta dan mengusung tema “To Be Friend with The Poor!”. Kegiatan ini dilaksanakan pada 16-20 Oktober 2023 dan dihadiri delapan Kolese Jesuit Indonesia, yaitu Kolese Kanisius Jakarta, Kolese Gonzaga Jakarta, Kolese Loyola Semarang, Kolese de Britto Jogja, Kolese PIKA Semarang, Kolese Mikael Solo, Seminari Mertoyudan Magelang, dan Kolese Le Cocq Nabire. Temu kolese adalah kegiatan yang diinisiasi oleh para pamong kolese agar siswa-siswi Kolese Jesuit Indonesia berjumpa dan berkolaborasi. Pater Baskoro Poedjinoegroho, Delegat Pendidikan Serikat Jesus, bercerita bahwa kegiatan ini bermula dari 3 kolese besar (Kolese de Britto, Kolese Loyola, dan Kolese Kanisius) yang saling berkunjung dari satu kolese ke kolese lain secara bergantian. Dalam kunjungan ini diselenggarakan pula pertandingan olahraga sehingga terjadi interaksi antarsiswa kolese. Lambat laun, para pamong kolese menginisiasi pertemuan seluruh kolese Jesuit Indonesia yang terprogram dan rutin sekitar tahun 1980n. Temu Kolese tahun 1985 dilaksanakan di Seminari Mertoyudan Magelang dan dihadiri oleh 6 kolese Jesuit yaitu Kolese Loyola, Kolese de Britto, Kolese Kanisius, SMK PIKA dan STM Mikael. Kegiatan ini dilaksanakan pada 11-13 Oktober 1985 dengan agenda pertandingan olahraga. Pertemuan kolese selanjutnya dilaksanakan di Kolese Loyola Semarang pada 11-13 Oktober 1988 dengan tema “Satu dalam Semangat Yesuit”. Kegiatan ini diikuti oleh Kolese de Britto, Kolese Kanisius, Seminari Pejanten atau Kanisius Unit Selatan, PIKA, STM Mikael, Seminari Mertoyudan dan Kolese Loyola. Sempat beberapa kali temu kolese diselenggarakan di Seminari Mertoyudan karena ada asrama yang mengurangi kesulitan akomodasi dan mck anak-anak. Setelah beberapa waktu, Tekol diselenggarakan di kolese-kolese lain agar dapat mengunjungi sekolah-sekolah yang lainnya. Sempat, pertandingan olahraga menjadi sebuah ajang untuk menunjukkan kehebatan kolese serta mengajarkan para peserta berkompetisi. Lambat laun tidak hanya pertandingan olahraga saja, berbagai kegiatan seperti lomba namun mulai berkembang menjadi berbagai kesenian, debat, refleksi bersama, ekaristi, doa, dan malam ekspresi. Berbeda dengan temu kolese sebelumnya, panitia Tekol 2023 menambahkan sebuah kegiatan baru yaitu immersion. Program immersion ini adalah salah satu ciri khas formasi di SMA Kolese de Britto, di mana para siswa diajak untuk tidak hanya menjadi pengamat namun pelaku yang berinteraksi langsung dengan mereka yang tersingkirkan lewat live in di karya sosial atau slum area. Tujuan immersion dalam kegiatan Tekol 2023 ini adalah agar anak-anak belajar mengasah hati dan sisi compassion mereka serta memperdalam semangat to be men and women for and with others. Kegiatan ini sejalan dengan tema Temu Kolese kali ini yaitu “To Be Friend with The Poor!” sekaligus selaras dengan salah satu fokus Universal Apostolic Preferences (UAP). Saat immersion, para peserta dibagi dalam beberapa kelompok. Ada yang mengunjungi lapas, menjadi pedagang di pasar Beringharjo, buruh pasir, tukang parkir, dan mengambil sampah di TPA Piyungan. Pater Hugo, ketua panitia Tekol 2023 mengatakan, “Semoga setelah mereka berbaur dengan orang sederhana, mencium bau keringat mereka, dan melihat situasi yang ada, akan menggugah mereka. Jika suatu saat mereka menjadi pemimpin, mereka ingat dengan saudara yang menderita dan dengan ringan tangan membantu.” Sebelum peserta terjun langsung ke lapangan, Pater Nano memberikan pengantar bahwa mereka datang ke tempat immersion perlu menyiapkan diri, termasuk mengidentifikasi ketakutan. Selain itu para peserta juga diajak untuk membuka hati, persepsi, dan imajinasi. Setelah immersion para peserta dibantu oleh Pater Pieter untuk menajamkan refleksi mereka sehingga menjadi bekal mereka untuk masa depan. Pater Hugo mengibaratkan anak-anak mendapatkan menu hamburger yang lezat dalam Tekol kali ini, dengan immersion sebagai dagingnya serta refleksi dari Pater Nano dan Pater Pieter Dolle sebagai rotinya. Logo Temu Kolese 2023 ini terinspirasi dari tema “To Be Friend with The Poor”, yang memiliki makna dengan kebersamaan dan saling merangkul, kita dapat mencapai tujuan bersama. Dalam logo ini terdapat bentuk 8 tangan yang melingkar membentuk bunga dengan matahari di tengahnya, dan tulisan melingkar “Temu Kolese 2023” serta tema Tekol tahun ini. Bentuk tangan disusun menyerupai bentuk bunga yang bermakna saling merangkul dan menghasilkan bentuk yang indah. Selain itu tangan yang mengelilingi ini merupakan gambaran bentuk compassion untuk menjadi sahabat bagi mereka yang tersingkirkan. Tangan ini melambangkan 8 Kolese di Indonesia dan menggunakan warna dominan dari masing-masing Kolese. Matahari menjadi representasi tujuan dari Tekol tahun ini yaitu melatih compassion, yang terinspirasi dari logo Jesuit. Bentuk matahari yang menyala dan menyebar merupakan gambaran kepekaan terhadap lingkungan sekitar agar mau berbagi dan memperhatikan mereka yang terpinggirkan. Di bagian kanan kiri terdapat bentuk salib yang melambangkan kegiatan ini dilandasi oleh iman katolik yang kuat untuk menjalankan dan menyebarkan kasih Tuhan kepada sesama manusia dan lingkungan. Tidak hanya para siswa-siswi saja yang berjumpa dan berkolaborasi bersama dalam Temu Kolese ini, juga para guru kolese. Hal ini terlihat dari keterlibatan para guru masing-masing kolese yang ikut menjadi panitia. Para guru yang menjadi panitia dibantu pula oleh siswa-siswi dari berbagai kolese. Temu Kolese ini tidak hanya menjadi ajang untuk berkolaborasi saja namun juga menyatukan energi. “Energi dari kolese-kolese Jesuit begitu positif dan bagus sehingga bila disatukan akan menjadi energi yang besar yang menggerakkan di wilayah masing-masing. Serikat Jesus melalui sekolah-sekolah memberikan kontribusi bagi masyarakat yang lebih luas tidak hanya untuk Gereja saja,” tutur Pater Hugo. Pater Kuntoro, rektor SMA Kolese De Britto, berharap setelah Tekol ini para peserta lebih berani mengambil waktu untuk diri sendiri guna mengendapkan, mengidentifikasi, dan memaknai pengalaman yang mereka peroleh. “Mungkin mereka tidak tahu apa maknanya sekarang, tapi nanti akan menjadi energi bagi mereka dalam menjalani kehidupan.” Pater Baskoro Poedjinoegroho pun menambahkan bahwa perkembangan dunia yang destruktif membutuhkan mereka yang mempunyai bekal yang kuat. Salah satunya berupa pengalaman dicintai. Semoga dalam perjumpaan di Temu Kolese ini, anak-anak merasakan pengalaman dicintai dan persahabatan dari teman-teman dan sesama sehingga mereka merasa diri mereka berharga. Ketika mereka merasa diri mereka berharga, mau mengapresiasi diri serta bersedia untuk bertumbuh, mereka pun akan memberikan kebaikan juga untuk orang lain. Dengan cara itu, mereka menghidupi semangat to be men and women for and with others. Kontributor: Margareta Revita – Tim Komunikator

Provindo

See, Judge, Act

Temu Kolese 2023 Tahun ini menjadi kesempatan yang istimewa bagi siswa-siswi kolese. Temu Kolese (Tekol) diadakan lagi dengan peserta dari Kolese Kanisius, Kolese Gonzaga, Kolese Loyola, Kolese PIKA, Kolese Mikael, Seminari Mertoyudan, Kolese De Britto, dan Kolese Le Cocq D’armandville. Meskipun berasal dari berbagai macam daerah di Indonesia, kehangatan dan keseruan sebagai anak kolese begitu terasa. Tekol ini diadakan pada 16-20 Oktober 2023 di Kolese De Britto dengan mengangkat tema To Be Friend With The Poor: menjadi teman bagi mereka yang tersingkir. Dinamika dan kegiatan disiapkan sedemikian baik oleh panitia dengan harapan mampu membawa peserta pada pengalaman dan pendalaman nilai bahwa anak muda harus mau terlibat untuk menjadi teman bagi yang tersingkir. Acara ini melibatkan kolaborasi panitia siswa, guru, hingga pamong atau moderator antarkolese. Tekol 2023 merupakan Temu Kolese pertama setelah jeda lima tahun karena pandemi. Ada suatu kerinduan terpendam akan perjumpaan yang dibawa oleh masing-masing Kolese. Banyak peserta dari masing-masing kontingen merasa sangat antusias dan ingin ambil bagian dalam kegiatan Tekol 2023 ini. Oleh karena itu banyak acara di Tekol tahun ini yang dirancang sedemikian rupa dengan harapan bisa memberikan kenangan dan momen berharga bagi setiap kolese terutama panitia dan peserta yang terlibat langsung. Dalam perencanaannya, panitia mulai membahas konsep dan model kegiatan sejak awal tahun 2023. Pertemuan demi pertemuan akhirnya membuahkan konsep rangkaian kegiatan Tekol 2023 dengan berbagai modifikasi dari Tekol sebelumnya. Secara khusus dalam Tekol kali ini, panitia juga mencoba untuk memadukan audio-visual dalam setiap kegiatannya. Sehari sebelum kontingen tiba, panitia sudah sampai di lokasi Tekol 2023 untuk memastikan segala sesuatunya siap. Hari Minggu itu SMA Kolese De Britto menjadi ramai dengan segala kesibukan panitia yang melakukan persiapan. Berbagai penyesuaian dan adaptasi harus dilakukan dalam waktu singkat agar acara dapat berjalan dengan baik dan lancar. Pada hari pertama Tekol 2023, upacara pembukaan dilakukan oleh Pater Baskoro selaku Delegat Pendidikan Serikat Jesus, Pater Kuntoro selaku rektor SMA Kolese De Britto, dan Pater Hugo sebagai ketua panitia. Rangkaian pembukaan diawali dengan sambutan, pemukulan gong oleh sejumlah perwakilan kolese Jesuit di Indonesia, perarakan bendera, menyanyikan mars setiap kolese, menyanyikan mars Tekol 2023, dan defile. Berangkat dari harapan dan antusiasme Jesuit serta panitia perancang acara, Tekol dirancang dengan memodifikasi beberapa tradisi menjadi kegiatan yang lebih inovatif. Salah satu contohnya adalah defile pembukaan Tekol 2023. Pada kegiatan Tekol sebelumnya defile diadakan dengan perarakan kontingen yang diiringi mars masing-masing Kolese. Kali ini defile dibungkus dengan pertunjukan teater gabungan kolese. Teater ini mengusung kisah hidup Inigo di masa modern yang menceritakan perjalanan hidupnya kepada dua orang sahabatnya yaitu Xavier dan Faber. Perjalanan Inigo dipilih karena memuat unsur-unsur khusus immersion Tekol 2023 sesuai dengan tema “To be Friend with The Poor”. Ada tiga narator utama dalam kisah ini yang berperan sebagai Ignatius Loyola, Xavier, dan Faber. Cerita diawali dengan kisah hidup Inigo kecil yang ditampilkan oleh Kolese Kanisius. Kolese PIKA melanjutkan dengan pola asuh orang tua Inigo. Ternyata, lingkungan di sekitar Inigo tidak baik. Inigo tercebur dalam pergaulan yang buruk. Bagian ini divisualisasikan oleh Kolese Loyola dan Gonzaga. Kolese De Britto melanjutkan hidup Inigo yang harus bekerja sebagai kuli demi memenuhi kebutuhan hidupnya hingga mengalami kecelakaan yang membuatnya cacat. Ia juga diringkus oleh pihak berwenang yang menangkap basah ketika ia sedang melakukan transaksi. Penggambaran hidup Inigo dalam sel divisualisasikan oleh Kolese Mikael. Kemudian Kolese Le Cocq D’armandville melanjutkan dengan adegan Inigo menjadi pengemis. Kisah hidup Inigo ditutup dengan visualisasi pertobatan Inigo oleh Seminari Mertoyudan. Pada hari kedua, peserta dan panitia siswa dísebar ke beberapa wilayah di Jogja hingga Muntilan untuk melakukan immersion. Immersion ini mengajak para peserta untuk merasakan dan terlibat dalam keseharian mereka yang kecil dan tersingkir. Bentuk immersion yang dilakukan meliputi kunjungan ke panti jompo, panti asuhan, pasar, TPA, kuli pasir, bersih kota, dan berdialog dengan PSK. Selama immersion, peserta dapat melihat dan merasakan langsung kondisi sebenarnya tanpa terpengaruh stigma yang berkembang di masyarakat. Setiap lokasi immersion memiliki keunikan dan tantangannya masing-masing. Mereka yang pergi ke lokasi kuli pasir harus berangkat sejak pukul dua pagi dan baru kembali pada siang hari. Perjalanan menuju ke lokasi cukup panjang dan memakan banyak waktu. Belum lagi mereka harus belajar untuk menambang pasir dalam waktu singkat. Lokasi TPA juga menyambut dengan bau yang tidak sedap, ditambah lagi panas terik mentari yang kuat. Begitu pula dengan lokasi lainnya, mereka juga memberikan kekayaan ilmu hidup yang mengesan bagi setiap peserta. Sekembalinya ke De Britto, peserta diperbolehkan untuk beristirahat hingga acara talkshow dan pengendapan bersama di malam harinya. Talkshow dibawakan oleh Pater Pieter Dolle bersama dengan relawan dari SPM Realino. Mereka membagikan sepak terjang mereka untuk menjadi teman bagi mereka yang tersingkir. Mereka mengatakan bahwa membantu sesama membuahkan suatu kebahagiaan tersendiri meskipun tidak jarang kesabaran mereka juga diuji khususnya ketika berhadapan dengan anak-anak. Setelah talkshow, para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok untuk sharing dan menuliskan apa yang didapat pada selembar kertas A2. Kertas tersebut kemudian dipajang dan menjadi reminder berharga bagi semua. Seluruh kegiatan di hari itu ditutup dengan adorasi pada Sakramen Mahakudus. Hari ketiga merupakan hari pertandingan olahraga dan non-olahraga. Ada pertandingan olah raga kolaboratif dan ada pula antarkolese. Basket putra, sepak bola, basket putri, dan futsal putri bersifat kolaboratif. Sedangkan voli, lari estafet, atletik lari 2,4 km, tenis meja, dan badminton dipertandingkan antarkolese. Adapun perlombaan non-olahraga meliputi debat Bahasa Inggris, musikalisasi puisi, mendongeng, Tekol Got Talent, stand up comedy, fotografi, dan film pendek. Beberapa pertandingan olahraga juga dimeriahkan oleh pertandingan para Pater/Frater dan beberapa guru. Pertandingan berlangsung dengan penuh semangat dan berjalan dengan baik. Seluruh peserta bersemangat untuk memberikan performa terbaiknya demi tim dan kemenangan. Sejak pagi hari, para peserta telah mempersiapkan diri dengan mengenakan jersey Tekol. Mereka berkumpul di sisi-sisi lokasi pertandingan untuk menonton dan menunggu giliran bermain. Tidak hanya dipenuhi oleh antusiasme para peserta, panitia juga bekerja keras dalam memeriahkan pertandingan. Dentuman serta sorakan khas dari suporter Kolese Mikael dan Kolese De Britto menambah kemeriahan pertandingan di hari itu. Pada Kamis malam diadakan Malam Kesenian yang dibalut dalam kisah perjalanan punakawan saat berjalan-jalan di Jogja. Malam Kesenian ini menyuguhkan lanjutan pesan moral yang diberikan saat defile. Setiap penokohan dan pementasan yang dilakukan berjalan dengan baik.

Prompang

Asa Panggilan di Tengah Tawaran Dunia

Kamu mau jadi dokter? Akuntan? Arsitek? Pengacara? Atau lainnya? Ada banyak tawaran cita-cita pekerjaan yang dimiliki oleh anak muda. Untuk mencapai cita-cita itu, seorang anak harus melalui tahapan pendidikan khusus, seperti pendidikan sarjana. Kolese Kanisius dan Kolese Gonzaga berupaya menjembatani anak-anak didiknya untuk mendapatkan informasi lebih lengkap mengenai kampus-kampus terbaik beserta jurusannya dengan menggelar edufair. Edufair di Kolese Kanisius berlangsung pada 2-3 September, sedangkan di Kolese Gonzaga berlangsung pada 15-16 September 2023. Prompang SJ turut berpartisipasi pada kegiatan edufair di kedua kolese tersebut. Pada kesempatan ini, Prompang SJ mencoba menawarkan pilihan lain yang ditawarkan kampus-kampus lain yang juga ikut berpartisipasi, yaitu pilihan untuk menjadi seorang Jesuit. Pilihan ini terkesan aneh bagi sebagian orang. Di tengah hiruk-pikuk dunia dengan berbagai tawarannya, masih adakah anak muda yang tertarik menjadi seorang biarawan atau religius? Jawabannya adalah “ada.” Edufair di Kolese Kanisius dan Gonzaga memiliki buktinya. Pada gelaran edufair ini, para siswa Kolese Kanisius yang semuanya laki-laki dan para siswa Kolese Gonzaga, khususnya yang laki-laki, sangat antusias mengunjungi booth Prompang SJ. Seperti biasa, Prompang SJ menggelar acara Ngopi Bareng Jesuit di booth-nya. Melalui acara Ngopi Bareng Jesuit itu, para siswa yang berkunjung dapat minum kopi gratis sambil bertanya-jawab dengan para Jesuit mengenai sejarah Serikat Jesus dan Spiritualitas Ignatian. Selain itu, para siswa juga dapat berbagi cerita mengenai pergulatan hidup mereka, terutama mengenai panggilan hidup. Dari cerita-cerita mereka itulah diketahui bahwa beberapa di antara mereka memiliki ketertarikan untuk menjadi seorang Jesuit. Ada yang berencana bergabung ke dalam Serikat Jesus setelah lulus SMA. Ada pula yang berencana bergabung namun dengan terlebih dahulu menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana. Mereka yang berencana bergabung setelah lulus SMA harus terlebih dahulu mengikuti program KPA (Kelas Persiapan Atas) di seminari, sedangkan mereka yang sudah menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana dapat bergabung dengan terlebih dahulu mengikuti program rekoleksi promosi panggilan SJ. Booth Prompang SJ tidak hanya dikunjungi oleh para siswa Kolese Kanisius dan Gonzaga, namun juga dikunjungi oleh para orang tua siswa. Para orang tua siswa yang berkunjung menyatakan dukungannya seandainya anaknya memiliki keinginan untuk menjadi seorang Jesuit. Dukungan orang tua dan keluarga merupakan hal penting bagi para calon Jesuit untuk semakin memantapkan panggilannya. Gelaran edufair di Kolese Kanisius dan Gonzaga menjadi bukti bahwa benih panggilan tersebar di tengah tawaran dunia yang beragam. Panggilan untuk menjadi seorang Jesuit masih menjadi pilihan bagi sebagian anak muda. Kolese-Kolese yang dikelola para Jesuit memiliki peran penting dalam menumbuhkan benih panggilan itu melalui perjumpaan-perjumpaan yang terjadi. Kontributor: S. Mikael Tri Karitasanto, S.J – Prompang SJ

Karya Pendidikan

Ragamuda: Suara Pemuda Merdeka

Jakarta, HUMAS CC – OSIS SMA Kolese Kanisius kembali mengadakan acara Ragamuda bersama SMA Al-Izhar Pondok Labu. Ragamuda kali ini diadakan bersama kolaborator baru yaitu SMA Pangudi Luhur Brawijaya. Kegiatan Ragamuda terdiri atas acara pembukaan di Kolese Kanisius, pawai kebudayaan selama acara CFD (Car Free Day), dan penutupan dengan penampilan budaya di Sarinah. Ragamuda merupakan acara rutin kerja sama antara SMA Kolese Kanisius bersama SMA Al-Izhar Pondok Labu yang diselenggarakan untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi pemuda bangsa. Tema yang diangkat dalam acara Ragamuda kali ini adalah “Suara Pemuda Merdeka.” Tema yang diangkat tidak semata-mata berarti bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan kebebasan dari penjajah kolonial, akan tetapi juga mengajak pemuda-pemudi untuk berperan aktif dalam merawat dan memperkuat demokrasi dengan semangat kebebasan, toleransi, dan keadilan. Pembukaan acara Ragamuda diselenggarakan di Kolese Kanisius Jakarta dengan beberapa kata sambutan dari masing-masing perwakilan sekolah. “Kalian akan menjadi api-api kecil yang nanti akan menjadi api-api besar kemerdekaan Indonesia,” ujar Bapak Thomas Gunawan selaku Direktur Kolese Kanisius. Senada dengan itu perwakilan-perwakilan dari SMA Al-Izhar dan SMA Pangudi Luhur juga menyambut dengan mengatakan bahwa keberagaman harus ada di Indonesia dan harus selalu dijaga, tidak lepas dari genggaman generasi muda. Peresmian yang dilakukan tepat pukul 07.08 WIB dilanjutkan dengan doa lima agama dan persiapan pawai kebudayaan. Pawai kebudayaan yang dilakukan pada saat CFD bertujuan untuk membangun kesadaran masyarakat Indonesia mengenai aspirasi-aspirasi para pemuda dan pemudi. Pawai kebudayaan dibuat oleh siswa-siswi dari masing-masing sekolah. Banyak pesan yang disampaikan melalui pawai, seperti seruan kemerdekaan, ajakan untuk bertoleransi, dan lain-lain. Berbagai penampilan kebudayaan pun juga dilakukan selama kegiatan Pawai Kebudayaan. Tarian kuda lumping, ondel-ondel, dan bentuk keberagaman lainnya ditampilkan untuk menunjukkan kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia. Puncak acara Ragamuda dilakukan di teras Sarinah. Semangat kolaborasi tak luput dalam sesi acara ini. Para siswa dari berbagai sekolah, termasuk dari sekolah-sekolah selain ketiga sekolah inisiator utama kegiatan, menyumbangkan penampilan-penampilan yang menarik. Beberapa di antaranya adalah penampilan dari CWE (Canisius Wind Ensemble), keroncong SMA Pangudi Luhur, modern dance SMA Al-Izhar, tarian tradisional SMAN 6, dan pembacaan puisi kebangsaan dari SMAN7. Esensi Ragamuda pada akhirnya merupakan wadah bagi para pemuda dan pemudi Indonesia untuk menyuarakan keprihatinan, aspirasi, maupun seruan kepada masyarakat luas. Acara yang merupakan kolaborasi antara tiga sekolah berbeda merupakan kerja sama yang merupakan langkah baik dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang abadi. “Saya berharap acara Ragamuda ini tidak mati tetapi bisa berlanjut terus,” ujar Alya Larasati Biwastho selaku Ketua Umum Ragamuda SMA Al-Izhar Pondok Labu ketika menutup kegiatan Ragamuda 2023. Kontributor: Yarra Wiryadenta & Maximillian Calisto – SMA Kolese Kanisius