Pilgrims of Christ’s Mission

karya pelayanan

Feature

Kebersamaan, Menghargai dan Menerima Sesama

Toleransi!!! Kata toleransi sudah tidak asing lagi di telinga kita. Tentang toleransi ini, pada suatu kesempatan, saya terkesan dengan kalimat sebuah artikel di laman bola.com, “Toleransi mengajarkan kita kebersamaan, menghargai, dan menerima sesama.” Kalimat ini berkesan bagi saya karena negara kita, Indonesia adalah negara dengan dasar Pancasila dan tersusun dari berbagai perbedaan masyarakatnya. Ada perbedaan suku, ras, agama, sosial, ekonomi, pulau, budaya, bahasa, pendapat, dan banyak perbedaan lainnya. Perbedaan itu membuat kita semakin kaya dalam keberagaman. Saya ingin bercerita tentang pengalaman saya mengenai toleransi dan perbedaan, khususnya di Asrama Realino Yogyakarta. Saya seorang mahasiswi Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma. Saya biasa disapa Echa, berasal dari Bomomani, Mapia, Papua. Sejak awal di Yogyakarta, untuk menjalani pendidikan, saya tinggal di Asrama Realino. Sebelumnya, selama menempuh pendidikan sekolah menengah atas saya sempat tinggal di asrama sekolah di Nabire. Saya beranggapan, waktu itu, bahwa saya sudah punya sikap dan jiwa toleransi. Namun, setelah merantau, saya merasa ada yang kurang. Alasannya, lingkungan pergaulan saya hanya sebatas lingkungan asrama, sekolah, dan keluarga yang mayoritas beragama Katolik dan dari daerah yang sama. Memang ada pula kenalan dari daerah lain tetapi itu sedikit sekali. Hati saya agak ketar-ketir ketika mengetahui saya diterima di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Situasi ini mengajak saya keluar dari zona nyaman pergaulan dan bertemu banyak orang dari latar belakang sangat berbeda. Apalagi di Prodi Pendidikan Agama Katolik, saya berjumpa dengan teman-teman dari seluruh nusantara. Saya belajar tentang kebersamaan, menerima, dan menghargai setiap proses perjumpaan dengan teman-teman baru. Tentu hal pertama yang saya lakukan adalah menerima diri sendiri supaya bisa mengalami kebersamaan, menerima, dan menghargai pribadi yang lain. Ketika saya refleksikan lagi, saya ingat frase menerima diri sendiri sebelum menerima orang lain ini dari renungan Pater Setyawan, S.J. saat retret angkatan kami di Syantikara. Beliau menyampaikan, “kalau belum bisa menerima diri bagaimana mau menerima orang lain.” Sama halnya dalam toleransi. Belajarlah kebersamaan, menghargai, dan menerima dirimu sendiri baru kemudian belajar kebersamaan, menghargai, menerima sesama. Pengalaman bertoleransi kemudian semakin nyata saya rasakan di Asrama Realino. Saya sangat bersyukur tinggal di Asrama Realino. Di sini, saya belajar lebih percaya diri dan menerima diri apa adanya lewat perjumpaan dengan pribadi dan kebersamaan di Realino SPM. Saya belajar dan mengalami kebersamaan, menghargai, dan menerima perbedaan di Asrama Realino. Asrama ini unik, menarik, sekaligus menantang saya untuk berkembang. Di sini saya berjumpa dan hidup bersama dengan teman-teman dari suku, budaya, ras, agama, dan latar belakang yang berbeda. Ini berbeda dari pengalaman di lingkungan sebelumnya di Nabire maupun lingkungan kampus. Asrama Realino mendorong saya untuk semakin mengembangkan diri lagi. Saat ini ada 16 teman saya di asrama dengan latar belakang berbeda. Mereka berasal dari Sumatra, Nias, Sleman, Ganjuran, Ketapang, dan Kendal. Ada teman-teman yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik. Selain teman-teman asrama, kami didampingi para romo, bruder, karyawan Realino, teman-teman bengkel, Komunitas Volunteer Realino, para perawat, dan dokter Klinik Pratama Realino. Hal yang menarik bagi saya adalah ketika makan bersama kami bisa belajar berbagai bahasa daerah. Sesekali kami juga mengenalkan makanan khas daerah masing-masing. Saat memberikan jawaban kepada teman-teman yang bertanya asal dan identitas, saya bisa jujur menjelaskan dan lebih percaya diri. Selain itu, kami belajar bersama untuk saling menghargai dan mengalami toleransi secara nyata. Menarik juga bahwa kadang teman-teman asrama yang beragama Islam atau Kristen sesekali mengingatkan kami yang Katolik untuk misa harian dan misa mingguan di Gereja. Perbedaan yang ada di lingkungan Realino justru telah membentuk saya menjadi pribadi yang bisa menghayati toleransi. Dari situ saya menyadari bahwa saya bukan lagi belajar toleransi namun menjadi pelaku toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Terima kasih kepada setiap pribadi yang bermurah hati membantu Asrama Realino. Ad Maiorem Dei Gloriam Kontributor: Theresa Kegiye

Pelayanan Gereja

Menjadi Kaum Muda yang 100% Katolik 100% Indonesia

Pada 14 Februari 2024 nanti, negara kita akan mengadakan Pemilu untuk menentukan pemimpin negara yang baru. Dalam rangka menyambut Pemilu ini, Gereja St. Yusup, Gedangan menyelenggarakan Talkshow Kebangsaan dengan tema “Terlibat dan Mewarnai Pemilu 2024”. Kegiatan ini diselenggarakan pada Jumat, 13 Oktober 2023 dengan menghadirkan empat narasumber, yaitu P. Benedictus Cahyo Christanto, S.J., Mas Erasmus, Mas Wempy, dan Mas Indra. Sasaran utama dalam Talkshow Kebangsaan ini adalah kaum muda Katolik dengan rentang usia 17-21 tahun atau biasa disebut dengan pemilih pemula. Pemilih pemula adalah pemilih yang pada pemilu sebelumnya (tahun 2019) belum bisa menggunakan hak pilihnya karena belum terkategori sebagai pemilih. Pengetahuan mereka masih kurang mendalam dan sebagian besar belum memahami pentingnya hak pilih yang dimiliki demi nasib bangsa dan negara Indonesia untuk lima tahun ke depan. Selain itu menjadi keprihatinan dan kekhawatiran bahwa akhirnya para pemilih pemula memutuskan untuk golput (golongan putih) karena kurangnya informasi dan tidak peduli dengan masa depan Indonesia. Tak jarang para pemilih pemula pun menjadi sasaran untuk dipolitisi para calon demi mendongkrak popularitas dan mengikuti kampanye yang dilakukan. Bisa juga menjadi sasaran dalam politik uang yang terkadang masih terjadi. Dalam talkshow ini, ada 49 peserta yang datang. Secara khusus mereka diajak agar mau terlibat dan mewarnai Pemilu 2024 nanti. Dalam talkshow Kebangsaan ini, Pater Cahyo, S.J. memaparkan tentang Ajaran Sosial Gereja (ASG). Pater Cahyo menegaskan bahwa ASG merupakan ungkapan keprihatinan Gereja Katolik atas persoalan sosial kemasyarakatan. “Kita tidak dapat disebut sebagai orang Katolik sejati kecuali kalau kita mendengarkan dan melaksanakan panggilan gereja untuk melayani mereka yang membutuhkan dan untuk bekerja demi keadilan dan perdamaian,” ujarnya. Mas Erasmus dari Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) memberikan wawasan kepada peserta mengenai Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Merdeka berarti menjunjung nilai kebebasan, bersatu dalam arti bersatunya seluruh rakyat Indonesia, adil dalam nilai kesetaraan, serta makmur yang artinya setiap orang harus dapat mencapai hidup sejahtera. Mas Wempy dan Mas Indra perwakilan dari Kevikepan Semarang mengajak kaum muda Katolik mau terlibat dalam kegiatan politik dengan ikut serta dalam Pemilu dan menggunakan hak pilihnya. Mgr. Soegijapranata, Uskup pribumi yang pertama, mencetuskan tentang “100% Katolik, 100% Indonesia”. 100% Katolik berarti kita ikut terlibat dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan menggereja dan 100% Indonesia berarti terlibat dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan berbangsa dan bernegara. Mereka berdua mengatakan kaum muda yang menggunakan hak pilihnya adalah kaum muda yang 100% Katolik 100% Indonesia. Talkshow Kebangsaan membawa angin segar bagi kaum muda. Kaum muda bukan hanya diajak untuk menggunakan hak pilihnya tetapi juga diajak secara sadar menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia. Dengan berbagai materi dari narasumber, kaum muda diharapkan dapat melek politik sehingga mereka menjadi pemilih pemula yang cerdas dan berkualitas. Valen sebagai pengurus misdinar yang mengikuti Talkshow Kebangsaan merasa mendapatkan banyak informasi dan termotivasi untuk ikut serta dalam Pemilu. “Saya harus menggunakan hak pilih saya karena saya mau menjadi 100% Katolik 100% Indonesia,” tegasnya. Kontributor: Fr. Wahyu Mega, S.J.

Pelayanan Masyarakat

Rekonsiliasi dengan Ciptaan melalui Permakultur

“All my life, we have been at war with nature. I just pray that we lose that war. There is no winner in that war,” kata Bill Mollison pendiri gerakan permaculture (permanent agriculture). Melalui pengalamannya, Mollison melihat bahwa manusia dalam sejarah peradabannya telah berusaha keras “menaklukkan” atau berperang melawan alam. Ia berharap bahwa tidak ada pemenang dalam perang itu. Bagi Mollison, alam punya cara untuk mengorganisir dirinya sendiri. Bagi kita, yang saat ini bahkan tanpa sadar “berperang” melawan alam, kiranya perlu menyadari peran kita di alam ini. Yang pasti, kita perlu melakukan rekonsiliasi dengan alam tersebut dan seluruh ciptaan yang ada di dalamnya. Lantas, apa wujud nyata yang dapat dilakukan? Gerakan permaculture bisa jadi salah satu caranya. 10 tahun yang lalu saya menerima sebuah buku tebal dengan judul Permakultur: Menuju Hidup Lestari dari seorang teman Jesuit. Saya tidak sungguh membaca buku tersebut karena saat itu sedang fokus kuliah Pendidikan Biologi. Tahun ini, setelah 10 tahun, saya berjumpa dengan orang-orang muda yang secara khusus mendalami permaculture. Rasa ingin tahu tentang gerakan itu pun terpicu kembali. Kebetulan, saat ini saya berkecimpung di bidang kursus pertanian dan menjadi delegasi perdamaian dengan ciptaan. Kesempatan pun datang secara khusus, saya ditawari oleh Pater Gabriel Lamug-Nanawa, S.J. sebagai Koordinator Reconciliation with Creation JCAP (Jesuit Conference of Asia Pacific). Gayung pun bersambut, dengan senang hati saya mengikuti Permaculture Design Course (PDC) yang diadakan di Alhibe Permaculture, Cebu, Filipina pada tanggal 6-16 September 2023. Dalam kegiatan PDC di atas, ada dua orang Jesuit yang terlibat, yaitu saya sendiri dan seorang romo Jesuit dari Myanmar: Pater Paul Tu Ja, S.J. Sebelumnya, pada bulan Februari yang lalu, Pater Gabriel Lamug-Nanawa, S.J. juga sudah mengambil kursus yang sama. Bersama kami ada 14 orang peserta lain yang datang dari berbagai daerah di Filipina. Secara umum, kegiatan kursus dikemas dengan baik dan suasana yang menyenangkan serta penuh dengan kekeluargaan. Permaculture sendiri adalah konsep yang positif dan terbuka dengan berbagai macam informasi tentang kelestarian dan teknik-teknik ekologis yang selaras dengan alam. Maka, saya sendiri sangat tersentuh dengan bagaimana kita mesti sadar dan membangun hubungan yang erat dengan alam. Tanpa hubungan dengan alam yang erat, saya tidak yakin bahwa seseorang bisa sungguh memiliki opsi dan perhatian dengan alam itu sendiri. Konektivitas dengan alam, bagi saya adalah kata kunci saat kita mesti berbicara tentang rekonsiliasi dengan ciptaan. Alam adalah tempat terdekat bagi kita untuk berinteraksi dengan ciptaan lain, entah itu tumbuhan, hewan atau bahkan mikroorganisme yang mungkin tidak bisa kita lihat dengan jelas. Desain dalam permaculture menjadi salah satu hal yang pokok. Desain yang dimaksud tentunya adalah desain yang berasal dari alam sendiri. Untuk sungguh mengaplikasikan permaculture di sekitar kita, kita bisa belajar dan mengadopsi tatanan yang secara khusus terdapat di alam, misalnya adalah ekosistem hutan. Hutan sendiri memiliki pola-pola ekologis yang secara teratur membuat ekosistem tersebut lestari. Melalui pola-pola yang ada, suatu ekosistem dapat menyimpan atau melepaskan energi yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan hewan yang mungkin terdapat di dalamnya. Melalui pola-pola yang sama, suatu lingkungan hutan bisa melepaskan atau menahan air yang dibutuhkan oleh lingkungan hutan tersebut dan masih banyak lagi peranan pola-pola yang terdapat di alam. Di akhir kegiatan PDC, para peserta diminta untuk mempresentasikan desain-desain permaculture yang dimiliki. Saya sendiri juga sudah membuat desain permaculture yang nantinya akan saya terapkan di Kursus Pertanian Taman Tani Salatiga (KPTT Salatiga). Dalam desain itu, saya menambahkan unsur edukatif. Saya mencita-citakan permaculture yang akan dibuat di KPTT bisa menjadi desain permaculture yang bisa dipelajari oleh banyak orang. Saya merasa optimis, di KPTT sendiri penguasaan terhadap dasar-dasar dan pengembangan pertanian organik sudah lebih baik. Dengan dasar ilmu pertanian yang ada, saya yakin permaculture dapat diintegrasikan dengan lebih mudah. Perpaduan antara permaculture dan pertanian organik ini, saya harapkan bisa menjadi jalan untuk mewujudkan secara nyata perdamaian dengan ciptaan. Saya juga berharap, KPTT nantinya dapat pula menjadi pusat dan rujukan untuk belajar tentang pendidikan ekologis dengan bentuk-bentuk penerapanya yang kreatif. Kontributor: Br. Dieng Karnedi, S.J. – KPTT

Pelayanan Gereja

Global Peace Youth Indonesia – Semarang di Gereja St. Yusup Gedangan

Global Peace Youth Indonesia Semarang (GPYI Semarang) adalah kegiatan berkumpulnya pemuda dan pemudi lintas iman untuk bersilaturahmi, mengenal, dan memahami sesuatu hal di luar komunitasnya seperti agama, suku, budaya, dan rumah ibadah. GPYI – Semarang secara umum memiliki tiga nilai yang nantinya akan diimplementasikan dalam setiap kegiatan. Nilai-nilai tersebut adalah kolaborasi lintas agama, penguatan kekeluargaan, dan budaya melayani. GPYI Semarang menamakan kegiatan ini dengan sebutan Peace Project. Peace Project akan dilakukan secara berkesinambungan di berbagai tempat. Gereja St. Yusup Gedangan menjadi tempat pertama yang dipilih oleh GPYI Semarang untuk melaksanakan kegiatan tersebut. GPYI Semarang ingin bersilaturahmi dan mengenal Gereja Katolik pertama di Keuskupan Agung Semarang. Para peserta Peace Project hadir dari bermacam komunitas, antara lain GPYI Semarang, SMA Kolese Loyola, Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin, dan Misdinar St. Yusup, Gedangan. Total peserta berjumlah 48 orang. Para peserta didominasi para pelajar SMA dan mahasiswa. Namun ada juga beberapa peserta yang masih duduk di bangku SMP dan yang sudah bekerja. Peace project yang dilaksanakan pada Sabtu, 23 September 2023, dikemas secara menyenangkan, hangat, dan penuh semangat kekeluargaan. Peace project diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya lalu sambutan oleh Pastor Kepala Gereja Santo Yusup, Gedangan, Pater Benedictus Cahyo Christanto, S.J. Pater Cahyo sangat mendukung diadakannya kegiatan ini. “Melalui Peace Project kaum muda akan belajar mengembangkan toleransi dan menjalin persaudaraan dengan sesama manusia,” ujarnya. Jingga dari misdinar St. Yusup, Gedangan dan Sri dari GPYI Semarang memandu acara dengan sangat baik. Mereka memberikan aneka games menarik yang membuat peserta tertawa, bersemangat, dan saling mengenal satu dengan lainnya. Para pemandu acara ini mampu membuat acara semakin hidup dan meriah dan tentu saja, hal ini sudah menjadi bentuk nyata dialog lintas iman. Acara inti Peace Project adalah mengenal sejarah singkat Gereja St. Yusup, Gedangan. Frater Wahyu Mega, S.J. memaparkan secara singkat sejarah Gereja St. Yusup, Gedangan. Setelah presentasi selesai lalu diadakan tanya jawab. Sejarah Gereja Gedangan ternyata menarik perhatian peserta. Ketertarikan mereka ditandai dengan banyaknya peserta yang bertanya mengenai Gereja Gedangan dan seputar kekatolikan. Sesi tanya jawab menjadi sesi yang sangat penting karena peserta di luar agama Katolik dapat mengenal katolisisme secara lebih dekat. Para peserta juga diajak masuk ke dalam gereja dan melakukan tour. Ternyata masuk ke dalam gereja menjadi sesuatu yang wow banget bagi peserta. Mereka dapat melihat secara langsung dan berfoto dengan benda-benda antik misalnya organ pipa dan batu nisan Mgr. Lijnen. Namun ada juga peserta yang belum pernah masuk Gereja Katolik manapun dan Gereja St. Yusup, Gedangan menjadi gereja perdana yang mereka kunjungi. Setelah tour gereja, acara dilanjutkan dengan makan siang bersama yang dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas maksimal enam peserta. Mereka makan sambil memberikan kesan dan pesan di dalam kelompok. Yoga, koordinator GPYI Semarang mengungkapkan rasa senangnya karena bisa melaksanakan Peace Project pertama di gereja tertua di Jawa Tengah. “Banyak sekali hal yang saya peroleh ketika berkunjung ke tempat ini, mulai dari sejarah, arsitektur, ilmu, jejaring, pengalaman, dan sebagainya. Saya berharap, ke depan Gereja St. Yusup, Gedangan bisa menjadi salah satu pelopor perdamaian dan toleransi di Jawa Tengah. Gereja St. Yusup, Gedangan dengan sejarahnya yang menarik sangat cocok menjadi tempat generasi muda lintas iman untuk srawung (bersosialisasi) dan saling mengenal,” tegasnya. Peace Project ditutup dengan doa lintas agama kaum muda. Kaum muda dari Katolik, Kristen, Islam, Budha, Konghucu, dan aliran kepercayaan Kabudayaan Jawi Tunggul Sabda Jati berdoa bersama untuk perdamaian dan persaudaraan bagi sesama. Mereka merupakan generasi penerus toleransi dan perdamaian bagi agamanya masing-masing dan negaranya. Mereka akan menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk menyebarkan cinta kepada sesama tanpa perlu membeda-bedakan latar belakang agamanya. Jalaluddin Rumi, mistikus sufisme abad XIII dari Iran, mengatakan bahwa cintalah yang mengubah pahit menjadi manis, tanah menjadi biji emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, dan penjara menjadi taman. Cinta pula yang melunakkan besi dan menghancurkan batu, yang menghidupkan, dan menggairahkan kehidupan. Kontributor: S. Yohanes Crissostomus Wahyu Mega, S.J. – Gereja St. Yusup, Gedangan

Pelayanan Masyarakat

Menjadi Manusia Ekologis dan Mapan

Ulang Tahun KPTT ke-58 Pada 1 September 2023 kemarin, Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga berusia genap 58 tahun. Perayaan HUT KPTT Salatiga tahun ini mengangkat tema “Menjadi Manusia Ekologis dan Mapan.” Serangkaian acara dilaksanakan untuk memeriahkan ulang tahun KPTT ini, mulai dari diskusi bertema lingkungan dengan para pegiat lingkungan di Salatiga dan dinas terkait, seminar untuk meningkatkan kompetensi karyawan, perayaan syukur, edufair, jobfair, dan eco camp untuk kaum muda. Perayaan syukur ulang tahun KPTT dilaksanakan pada 2 September 2023. Hadir dalam acara tersebut antara lain Bapak Drs. Sinoeng Noegroho Rachmadi, M.M. (Pj. Walikota Salatiga), Bapak Dance Ishak Palit, M.Si. (Ketua DPRD Kota Salatiga), perwakilan Jesuit Provinsi Indonesia, Forkompincam, para pegiat lingkungan Salatiga, sekolah, universitas rekanan, perusahaan rekanan, dan para tamu undangan. Dalam sambutannya, Ketua DPRD mengapresiasi peran KPTT di Salatiga pada khususnya selama 58 tahun ini. “Saya mengapresiasi sumbangsih KPTT terhadap masyarakat tentang cara bertani dengan cerdas, dengan teknologi. Sudah banyak hal yang sudah dikerjakan oleh KPTT, bukan hanya khotbah. Semoga dengan adanya KPTT kita lebih menghayati kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita”, ungkap Pak Dance. Penjabat Walikota Salatiga, Drs. Sinoeng Noegroho Rachmadi, M.M. juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas kontribusi KPTT yang tiada henti dan ternyata menembus batas. “Tidak lagi pada sekat-sekat yang sifatnya eksklusif, tapi pada menghidupi kata migunani. Kalau kata anak millennial, tidak peduli dari mana kamu berasal, yang penting ke arah mana kamu menuju. Harapannya jangan pernah berhenti menyebarkan virus kebaikan dan migunani ini,” ujar beliau. Sejenak kilas balik, berdirinya KPTT Salatiga diprakarsai oleh Ikatan Petani Pancasila (badan sosial), IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (lembaga Pendidikan), dan Panitia Waligereja Indonesia (badan sosial keagamaan). KPTT Salatiga didirikan pada 1 September 1965 dan bernaung di bawah Yayasan Taman Tani. Tujuan awal berdirinya KPTT adalah memajukan perkembangan sosio-ekonomi khususnya di bidang agraria dengan menyelenggarakan kursus pertanian untuk membantu para petani dengan cara baru serta menjadikan petani-petani tersebut menjadi kader yang kompeten, mandiri, peduli, dan berhati nurani. Sampai saat ini, KPTT Salatiga menjadi salah satu rujukan untuk belajar modern farming, tidak hanya di bidang pertanian namun juga peternakan. KPTT menerapkan budidaya organik dan kembali ke alam. Salah satu contoh penerapannya adalah KPTT membuat sendiri dan menggunakan pupuk yang diperkaya dengan trichoderma untuk mengatasi bencana fusarium yang melanda tanaman-tanaman di KPTT. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Yayasan Taman Tani, Pater Petrus Sunu Hardiyanta, S.J. dalam sambutannya. Kala tahun 2017, KPTT dibuat pusing karena bencana fusarium ini. Pisang dibelah, dalamnya hitam. Bahkan jika membelah pohon pisang yang terkena fusarium, maka akan kita temukan bagian dalam batang yang juga menghitam. Lalu KPTT mencoba mencari teknologi tepat guna untuk melawan bencana fusarium ini. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa fusarium bisa dilawan dengan jamur juga, yakni trichoderma. Sejak saat itu, KPTT mulai belajar mengekstrak jamur trichoderma dari bahan alami kemudian ditambahkan ke dalam pupuk untuk merawat tanaman. KPTT terus belajar dan beradaptasi dengan tuntutan zaman. Direktur KPTT, Pater F.A. Sugiarta, S.J., mengajak kita semua untuk mendengar dan menanggapi seruan ciptaan. Sesuai dengan ajakan pemerintah Indonesia menuju Indonesia Maju 2045, saat ini KPTT sedang merancang profil manusia ekologis untuk mengembangkan sumber daya manusia Indonesia. Sesuai dengan tema ulang tahun saat ini, KPTT mengajak kita untuk menjadi manusia ekologis. Apa itu manusia ekologis? Manusia ekologis adalah manusia yang mempunyai hubungan harmonis dengan Tuhan, lingkungan alam, dan sesama. Diharapkan KPTT bisa menjadi salah satu pusat pendidikan ekologis, secara khusus di Salatiga dan Indonesia pada umumnya. Semoga Tuhan memberkati niat baik ini. Kontributor: Rosalia Devi – Boemi Svarga

Feature

Love, Service and Obedience

CINTA, PELAYANAN dan KETAATAN. Kata-kata ini mungkin cocok menjadi dasar dari pelajaran sekaligus pengalaman hidup berharga ketika saya menjadi seorang volunteer kurang lebih 1 semester ini. Salam kenal, saya adalah perantau dari salah satu daerah Timur Indonesia, akrab dikenal dengan Nusa Tenggara Timur. Saya datang ke tanah Jawa untuk menimba dan memperdalam pengetahuan saya dan belajar lebih banyak lagi. Kesan pertama saya ketika menginjakkan kaki di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bahwa tempat ini memiliki sejuta keindahan mulai dari tempat wisata, kekayaan kuliner, dan masyarakat yang begitu ramah dan baik. Ada pepatah mengatakan sekali mendayung 2 sampai 3 pulau terlampaui. Bisa jadi itu cocok dengan tujuan saya ke Yogyakarta. Selain melanjutkan studi, saya juga ingin membangun relasi dan memperluas wawasan dengan orang-orang dari daerah lain melalui komunitas yang ada di daerah istimewa ini. Komunitas Realino SPM (Seksi Pengabdian Masyarakat) merupakan salah satu komunitas yang menjadi wadah bagi saya untuk membangun relasi, memperdalam pengalaman, dan mengenal berbagai karakter pribadi yang saya jumpai. Dari awal kegiatan sampai dengan masa akhir ini saya mendapatkan banyak pengalaman berharga yang jadi pelajaran bagi kehidupan saya selanjutnya. Perasaan sedih dan gembira saya rasakan ketika berjalan bergandengan tangan bersama Komunitas Volunteer Realino dan teman-teman di Bongsuwung dan Jombor. Mereka sudah saya anggap seperti keluarga sendiri di tanah rantau. Secara khusus, saya menemukan semangat dan kegigihan anak-anak untuk terus belajar dan bangkit dari ketertinggalan mereka. Atmosfer ini menjadi motivasi tersendiri bagi saya untuk terus berjuang dan pantang menyerah di segala situasi. Di balik kekurangan yang mereka miliki, tidak ada kata mengeluh. Malahan saya melihat senyuman tulus dari kesederhanaan yang mereka pancarkan setiap kali kegiatan bersama. Maka beginilah refleksi pengalaman saya. Cinta. Mungkin ini terdengar agak alay. Namun, setelah sekian lama saya kembali jatuh cinta bukan dengan seseorang tetapi dengan dengan komunitas (Realino SPM). Komunitas ini telah memberikan warna baru bagi kehidupan saya untuk mengabdikan diri dan membagikan kasih kepada mereka, anak-anak dampingan di Komunitas Belajar Realino di Jombor dan Bongsuwung. Pelayanan. Dari cinta yang saya temukan di komunitas ini, hati saya tergerak berbagi kasih dalam bentuk pelayanan kepada anak-anak Jombor dan Bongsuwung. Kasih yang kami berikan kepada mereka adalah wujud pemberdayaan bagi kaum pinggiran yang ingin bangkit dari ketertinggalan. Kegiatan yang dilakukan sederhana, yaitu setiap Sabtu membantu mereka mengekspresikan bakat dan kemampuan yang mereka miliki, khususnya di bidang keterampilan bahasa Inggris. Ketaatan. Dari cinta yang membentuk kasih pelayanan, akhirnya berujung pada sebuah ketaatan bagi pribadi saya dan teman-teman volunteer lain terus berkomitmen membagikan cinta kasih kepada anak-anak Jombor dan Bongsuwung dan akhirnya kepada semua pribadi yang ditemui. Setiap pengalaman belajar yang saya dapatkan saat bersama anak-anak di komunitas ini membuat saya tumbuh lebih dewasa dalam segala hal. Komunitas ini memberikan banyak pelajaran kepada saya. Salah satunya adalah bahwa menjadi pribadi yang tangguh membutuhkan kemauan berkorban, baik dalam bentuk love, service maupun obedience. Saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada anak-anak Jombor dan Bongsuwung yang sudah memberikan warna cerah dalam hidup saya. Mereka juga mengubah pandangan saya terhadap dunia, yaitu bahwa kebahagiaan itu tidak harus mewah. Dalam hal-hal yang sederhana pun bisa ditemukan kebahagiaan. Kontributor: Yohanes Ike Sili Ndarung – Volunteer Realino SPM

Pelayanan Masyarakat

“Rumah Pelepas Kejenuhan”

Circle Volunteer Perkampungan Sosial Pingit Circle muncul sebagai wadah untuk para volunteer PSP untuk saling mengakrabkan diri satu sama lain, mulai dari volunteer baru hingga volunteer lama yang masih aktif. Setelah wacana sebelumnya, Circle akhirnya bisa kembali dilaksanakan dengan sangat baik. Bersama para frater dan para volunteer, kami bermalam di Omah Jawi, Kaliurang. Suasana dingin mulai menyambut ketika kami datang. Setiap orang datang sendiri-sendiri karena belum terlalu mengenal satu sama lain. Selesai menaruh tas di kabin masing-masing, kami pergi makan kudapan ringan sambil berbincang. Kegiatan ini merupakan upaya pembekalan para volunteer di Sekolah Pingit dengan keterampilan mendampingi anak-anak sekaligus mempererat ikatan persahabatan sesama volunteer. Sesi dari Ko Edwin, salah satu pemateri dari Universitas Mercu Buana cukup menarik. Ia memberikan wawasan tentang “kreativitas tanpa batas”. Setiap orang bisa menjadikan kreativitas sebagai sebuah inovasi tersendiri terlepas dari banyak tantangan dan kelemahan yang dimilikinya. Kami diberi kesempatan untuk mengembangkan games dengan menggunakan bahan-bahan yang mudah didapatkan seperti sedotan, karet, bol pingpong, kelereng dan sejenisnya. Setelah pembekalan ini, para volunteer dibagi dalam kelompok untuk mempersiapkan materi-materi pembelajaran bersama anak-anak di Sekolah Pingit. Hasil persiapan itu kemudian dipresentasikan di hadapan kelompok lain untuk mendapat masukan, saran dan perbaikan yang perlu. Dengan cara ini, setiap volunteer bisa memahami dan menemukan cara baru yang kreatif dalam memberikan materi ajar kepada anak-anak di Sekolah Pingit. Acara ditutup dengan misa bersama Pater Pieter Dolle, S.J. Circle Volunteer menjadi tempat para volunteer merasakan ikatan kebahagiaan bersama bahwa Pingit adalah tempat melepas kejenuhan dengan segala kegiatan yang dilakukan. Pingit menjadi rumah untuk para volunteer agar bisa kembali menemukan diri mereka, mengalami kegembiraan tanpa memikirkan beban yang ada sebelumnya. Pingit menjadi rumah candu bagi volunteer, rumah berbagi kisah dan pengalaman, dan rumah yang akan menjadi tujuan akhir bila kami merasa penat dengan kehidupan yang dijalani. Saya berharap agar saya pribadi bisa sungguh tetap berusaha ada dan hadir untuk Sekolah Pingit. Kontributor: Lidwina Paskarylia Shinta – Volunteer PSP, Mahasiswa Fakultas Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Pelayanan Masyarakat

Memelihara Bumi itu Menyenangkan

Laudato Si Kids Eco Camp Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa bumi, rumah kita bersama bagaikan seorang saudari yang berbagi hidup dengan kita. Saudari kita ini menjerit karena segala kerusakan yang kita timpakan padanya. Oleh karena itu, Bapa Paus Fransiskus dalam ensikliknya yang berjudul Laudato Si mengajak setiap orang untuk menjaga Saudari Bumi, rumah kita Bersama. Ensiklik ini sudah dipublikasikan sejak 18 Juni 2015, namun gaungnya masih kurang mengena bagi sebagian besar umat Katolik; terutama anak-anak dan orang muda. Oleh karena itu, KPTT Salatiga bekerjasama dengan Komunitas Bhumi Svarga menyelenggarakan sebuah Kids Eco Camp pada tanggal 8-9 Juli 2023 yang bertempat di Pusat Pastoral Pendidikan Ekologis KPTT, Salatiga. Laudato Si Kids Eco Camp dikemas dengan acara yang menyenangkan melalui berbagai macam permainan dan penugasan yang sesuai dengan tema serta dunia anak & remaja. Kemah ini diikuti oleh 37 anak dan remaja yang berasal dari beragam paroki, antara lain: Paroki Antonius Padua Purbayan, Paroki Stanislaus Kostka Girisonta, Paroki St. Yusup Ambarawa, Paroki Paulus Miki Salatiga, dan Paroki Kristus Raja Semesta Alam Tegalrejo. Dalam kemah hari pertama, anak-anak diajak untuk lebih mengenal ensiklik Laudato Si. Dengan lebih mengenal ensiklik ini, terbersit harapan supaya anak-anak ini bisa menjadi perpanjangan tangan Allah dalam memelihara bumi, melalui tindakan nyata sederhana yang bisa dilakukan oleh anak-anak dan remaja. Ensiklik Laudato Si memang harus diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan nyata. Pada hari berikutnya, anak-anak diajak untuk membuka mata terhadap masalah-masalah yang ada di sekitarnya. Anak-anak ini berkeliling di lingkungan sekitar Area 3 Pusat Pastoral KPTT untuk melihat masalah sampah yang mencemari daratan, sampah yang mencemari saluran air di dekat KPTT; serta masalah polusi dari industri besar yang ada di sekitarnya. Ada satu hal yang menarik: ketika sekelompok anak memunguti sampah di sungai, secara kebetulan mereka bertemu dengan salah satu pegiat lingkungan disana. Beliau bercerita bahwa pada tahun 2020 lalu; ada sekitar 3-4 ton sampah yang masuk ke saluran air itu setiap harinya. Sekelompok anak yang lain merasakan langsung polusi udara yang ditimbulkan oleh pabrik karena limbah yang berbau tidak sedap serta polusi suara yang ditimbulkan dari dampak aktivitas pabrik. Kelompok yang lain menemukan begitu banyak sampah plastik yang susah sekali terurai di tanah dan mengakibatkan pemandangan yang tidak sedap. Di penghujung kemah, anak-anak ini berkomitmen untuk menciptakan surga surga bagi semua makhluk hidup yang hidup di bumi. Tujuan ialah agar melalui keberadaannya, setiap makhluk di bumi bisa memuliakan nama Tuhan dengan caranya masing-masing dan menciptakan bumi yang baik seperti ketika Allah menciptakannya. Komitmen ini ditegaskan oleh Pater Agustinus Wahyu, S.J. dalam Misa Alam sebagai puncak perutusan dari keseluruhan acara ini. Pada akhirnya, Alam – Manusia dan Tuhan adalah satu kesatuan utuh yang saling terkoneksi. Melalui ensiklik ini, kita diajak untuk hidup lebih bijaksana, berpikir lebih mendalam dan mencintai dengan tulus hati. Santo Fransiskus dari Assisi menunjukkan kepada kita betapa tak terpisahkan ikatan antara kepedulian akan alam, keadilan bagi kaum miskin, komitmen kepada masyarakat, dan kedamaian batin. Kontributor: Rosalia Devi – Boemi Svarga