Pilgrims of Christ’s Mission

karya pelayanan

Realino SPM

Menjadi Sahabat: Pendengar dan Utusan Kasih

Saya dan teman seangkatan memilih pengabdian sosial (pengabsos) di Yayasan Realino, pendampingan anak-anak Komunitas Belajar Realino (KBR) Bongsuwung dan Jombor. Pengalaman sebagai volunteer di Realino Seksi Pengabdian Masyarakat (Realino SPM) membawa saya pada refleksi mendalam tentang hidup. Sebagai volunteer, saya tidak hanya bertindak sebagai pendidik, tetapi juga teman, pendengar, dan pemberi kasih tulus. Pengalaman ini mengingatkan saya pada semangat dan dedikasi pendiri kongregasi saya, Pater Leo John Dehon. Dia memperjuangkan kehidupan kaum buruh dan orang miskin. Pater Dehon merupakan teladan bagi kami, para Dehonian dalam memperhatikan dan menyelesaikan masalah sosial. Saya berusaha meneladan semangatnya, terutama dalam mengabdi masyarakat dan Gereja.   Mengajar anak-anak di KBR Bongsuwung dan Jombor bukanlah tugas mudah. Di tengah keceriaan dan semangat mereka, saya sering menemukan tantangan. Banyak anak-anak terpengaruh budaya toxic yang menjauhkan mereka dari nilai kesopanan dan penghormatan pada sesama. Saya menyaksikan antara mereka berperilaku kurang sopan, kadang-kadang dengan kata-kata menyakitkan. Di sisi lain, ada pula kebahagiaan selama pengabsos. Saya bangga dan bahagia bisa berbagi, mendapat pengalaman baru, menjalin relasi dengan sesama volunteer dan anak-anak KBR. Kerja sama mengajar dan mendampingi anak-anak menyatukan komunitas volunteer dan membangun solidaritas satu sama lain. Kami saling mendukung untuk terus berkomitmen memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Momen-momen lucu penuh tawa bersama menciptakan kenangan tak terlupakan. Saya merasa terhormat jadi bagian hidup mereka.   Anak-anak KBR Bongsuwung dan Jombor sangat aktif dan periang. Mereka punya semangat luar biasa dan imajinasi tak terbatas ketika saya mengajak membuat handycraft bahan-bahan alam, seperti terrascape tumbuhan hidup atau kapal pesiar daun pisang kering (klaras). Mereka antusias mengerjakan dan memberikan ide-ide kreatif. Saya menyadari mereka membutuhkan bimbingan, perhatian, dan kasih sayang. Banyak dari mereka kurang diperhatikan orang tua yang mungkin terjebak kesibukan tuntutan hidup harian. Saya terpanggil memberikan dukungan sebagai sahabat. Saya belajar jadi pendengar, memberikan perhatian penuh saat mereka berbicara, menciptakan lingkungan aman tempat mereka merasa diterima, dihargai dan dicintai.   Sebagai mahasiswa Teologi, saya belajar bahwa Teologi pun bersuara tentang bagaimana saya menciptakan dampak positif di masyarakat, khususnya bagi yang terpinggirkan. KBR Bongsuwung dan Jombor jadi ruang penghayatan nilai-nilai teologis dan manusiawi, aneka pengalaman perjumpaan kesedihan dan kebahagiaan yang kerap berjalan beriringan. Ada masa saya merasa sedih dan lelah karena terik panas dan habis energi. Namun, ada saat pula ketika saya merasa terinspirasi semangat anak-anak. Saya mensyukuri setiap pengalaman, suka maupun duka. Saya berkomitmen terus berjuang menghargai setiap pribadi dan perhatian pada mereka yang kecil. Sebagai frater SCJ, lewat semangat Pater Dehon, saya berniat memperjuangkan kehidupan lebih baik bagi mereka yang terpinggirkan dan memberikan suara kepada mereka yang tidak terdengar. Saya belajar tidak hanya menjadi pendamping, tetapi juga sahabat yang dapat dipercaya.    Pengalaman menjadi volunteer di Realino SPM telah menjadikan saya lebih peka pada kebutuhan sosial di sekitar saya. Saya lebih sadar akan berbagai isu yang dihadapi masyarakat, terutama anak-anak dan remaja. Ini mendorong saya berpikir lebih kritis bagaimana saya bisa berkontribusi menciptakan perubahan positif. Saya berefleksi bahwa pengalaman ini bukan hanya tentang memberikan, melainkan juga tentang menerima. Setiap interaksi dengan anak-anak dan relasi sesama volunteer telah memberikan pelajaran berharga tentang kebersamaan, kasih, dan harapan. Saya belajar lebih bersyukur atas setiap momen saya jalani. Pun saya menyadari bahwa setiap usaha kecil saya lakukan bisa berdampak besar bagi hidup sesama. Dengan semangat kasih, saya siap menjadi utusan kasih di tengah masyarakat dan Gereja. Setiap hari adalah kesempatan menciptakan perubahan berarti dalam hidup pribadi yang kita jumpai, terlebih mereka yang terpinggirkan.   Kontributor: Fr Faustinus Trias Windu Aji, SCJ – Volunteer Realino SPM

Pelayanan Masyarakat

Tumbuh Dalam Cinta Sejati

Pengalaman melayani anak-anak marginal lewat Komunitas Belajar Realino (KBR) di wilayah Jombor dan Bongsuwung merupakan panggilan yang mencerminkan nilai-nilai Kristiani. Ini adalah kesempatan meneladani Yesus yang selalu hadir bagi mereka yang tersingkir, menderita, dan dilupakan masyarakat. Dalam Matius 25:40, Yesus berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Ayat ini menekankan pentingnya memperhatikan mereka yang terpinggirkan. Di dalam diri mereka yang tersingkir, kita menemukan wajah Kristus sendiri.   Melayani anak-anak marjinal mengajarkan saya membuka hati dan mata pada realitas ketidakadilan dan penderitaan. Sebagai biarawan SCJ yang menghayati spiritualitas Hati Kudus Yesus, Hati yang terbuka menjadi semangat saya untuk mau menerima semua orang ke dalam hati saya. Selain itu saya juga diundang membagikan kasih Tuhan lewat diri saya kepada mereka tanpa membeda-bedakan latar belakang dan budaya.   Dalam pengalaman pengabdian sosial ini, saya belajar bukan hanya untuk memberi, melainkan juga menerima. Melalui pertemuan dengan anak-anak di Komunitas Belajar Realino, saya menyadari bahwa dari mereka saya dapat belajar tentang kekuatan, keberanian, dan pengharapan. Saya belajar melihat manusia bukan dari penampilan luar atau status sosial, melainkan nilai dan martabat yang melekat pada setiap pribadi sebagai ciptaan Allah yang luhur.   Pengabdian sosial kepada anak-anak marjinal ini saya refleksikan sebagai tindakan nyata mengikuti jejak Yesus. Secara khusus ini merupakan bentuk mengikuti Dia memperjuangkan keadilan, memperlihatkan kasih yang nyata, dan memberi harapan. Saya tidak hanya hadir membantu mereka yang membutuhkan, tetapi juga mengingatkan diri saya bahwa keberadaan saya memiliki tujuan yang lebih besar. Tujuan mulia itu adalah menjadi perpanjangan tangan kasih Allah di dunia ini.   Dalam refleksi ini, penting juga mengingat bahwa pengabdian sosial adalah panggilan mengasihi tanpa syarat. Kasih ini tidak mengharapkan balasan atau penghargaan, melainkan tumbuh dari keinginan melihat orang lain hidup dengan martabat dan sukacita. Setiap kali saya berbagi waktu, perhatian, dan kasih kepada anak-anak dan kaum marginal, saya berpartisipasi dalam misi Kristus di dunia ini. Misi itu adalah membawa terang dan harapan kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Let us become a true light.   Akhirnya, pengalaman ini memanggil saya untuk berkomitmen lebih dalam terhadap semangat pelayanan. Saya dipanggil membawa transformasi tidak hanya bagi mereka yang saya layani, melainkan juga bagi diri saya sendiri agar semakin bertumbuh dalam cinta sejati.   Kontributor: Fr. Charles Oktavianus Markus Tada Wadan, SCJ – Volunteer Realino SPM 

Pelayanan Gereja

Tidak Ada Salahnya Mencoba

SHARING ANAK MUDA DIDIKAN ALA PAROKI JESUIT Perkenalkan, nama saya adalah Alberta Pangestika Silvera Putri. Biasanya saya dipanggil Alberta atau Silvera. Selain aktif sebagai Lektor di Paroki St. Yusup Gedangan, saya juga merupakan seorang siswi kelas XII salah satu SMK di Semarang. Tulisan ini adalah sharing saya sebagai salah seorang anak muda yang mengalami didikan ala paroki yang dikelola Jesuit. Salah satu didikan yang saya alami adalah dalam hal kesiapsediaan dan kemauan berproses saat diberi tanggung jawab. Didikan itu sangat terasa ketika saya terlibat menjadi bagian dari kepanitiaan Lomba Baca Kitab Suci yang diselenggarakan oleh Tim Lektor Gereja St. Yusup Gedangan. Tepatnya saat itu saya menjadi Ketua Panitia.   Jalannya Acara Lomba Baca Kitab Suci ini sendiri berlangsung pada 8 Desember 2024. Dibuka oleh MC, serta diawali doa bersama, sambutan pendamping dan Ketua Panitia, lomba dijalani para peserta dengan begitu semangat dan antusias. Mulai dari anak-anak, remaja, orang muda, sampai orang tua menunjukkan kemampuan terbaik dari segi teknik vokal, penghayatan, dan penyampaian isi perikop yang dibacakan. Mereka maju bergantian sesuai kategori dan tata tertib yang sudah diterangkan panitia di awal acara. Penampilan mereka dinilai oleh Ibu Tessa dan Pak Widodo, dua Lektor senior yang pernah aktif di Gedangan, dibantu Romo Dodo, SJ sebagai salah satu Pendamping Lektor.   Dengan mengikuti lomba ini, para peserta ditanamkan rasa percaya diri dan keberanian tampil di depan umum. Para peserta dan penonton juga diajak menumbuhkan semangat membaca, merenungkan, dan mencintai Firman Tuhan, memperdalam iman, serta memupuk rasa persaudaraan satu sama lain. Menjadi Bagian dari Kepanitiaan Menjadi ketua atau koordinator suatu kepanitiaan sebenarnya bukan pengalaman pertama bagi saya. Baik ketika terlibat di Pendampingan Iman Anak (PIA) maupun di sekolah, saya pernah menjadi koordinator kegiatan. Akan tetapi, bagi saya, semua itu tidaklah seberapa menantang dibandingkan dengan menjadi Ketua Panitia Lomba Baca Kitab Suci kali ini.   Yang menjadikan Kepanitiaan kegiatan ini menantang adalah hubungan kami dengan pihak eksternal, bukan hanya internal tim Lektor Gedangan. Oleh karena itu, bagi saya, keseluruhan acara perlu dipikirkan secara matang. Jika perencanaan dan pelaksanaannya kurang matang atau detail, bisa jadi ada yang mengkritik kegiatan ini. Dengan kemungkinan menerima kritik itu pula, sebagai ketua, saya juga harus menyiapkan hati dan mental. Jadi, tanggung jawab yang diemban memang besar. Selain itu juga, terkadang saya yang masih belajar ini kewalahan dalam membagi waktu dengan beberapa tugas lain di luar Lektor.   Oleh karena itu, saya sadar bahwa mulai dari mempersiapkan hingga memastikan acara dapat berjalan dengan baik, semuanya membutuhkan kerja keras dan koordinasi dalam sebuah  Kepanitiaan. Sesekali, dalam proses persiapan itu memunculkan perbedaan pendapat dalam beberapa hal di antara kami, tapi semua itu bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Setiap orang menjalankan perannya masing-masing dan mendukung satu sama lain.   Perasaan saya pribadi campur aduk saat terlibat dalam kepanitiaan ini. Ada perasaan bangga karena diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari kegiatan besar ini. Selain itu, kebanggaan pun muncul saat melihat para peserta tampil dengan optimal atau ketika penonton dan juri memberikan apresiasi atas kelancaran acara. Perasaan hangat dan haru juga muncul saat melihat kerelaan, semangat, dan kerja sama yang hebat antara sesama panitia. Rasa lelah seakan hilang saat melihat antusiasme dari semua pihak yang terlibat. Proses jatuh bangun yang dialami bersama juga membuat hubungan kami sebagai tim kepanitiaan semakin erat.   Dari teman-teman di dalam Kepanitiaan, saya belajar, terutama tentang pentingnya saling pengertian dan kerja sama. Momen lucu, jengkel, tegang, gugup, dan cemas dialami bersama sebagai satu-kesatuan Tim Kepanitiaan. Demikian pula, kebahagiaan dan rasa syukur menjadi milik kami bersama ketika acara berhasil berjalan dengan lancar.   Saya juga menjadi paham rasanya memikul tanggung jawab, yang menurut saya agak berat. Dari situ saya belajar untuk lebih percaya diri. Saya juga mengembangkan keutamaan dalam diri, yaitu berani mencoba hal-hal positif baru yang ditawarkan dalam hidup. Saya dididik untuk menyadari bahwa kegagalan mungkin bisa terjadi saat mencoba, tetapi kesempatan belum tentu datang untuk kedua kalinya. Walaupun agak takut untuk memulai dan mengakhiri semuanya, tetapi saya percaya, semua akan baik-baik saja saat selalu berserah kepada Tuhan. Bagi saya, pengalaman itu pembelajaran hidup yang sangat berharga dan  bisa membuat pemikiran saya menjadi lebih dewasa.   Saya juga bersyukur karena para Jesuit turut mendampingi saya sebagai anak muda. Bukan hanya soal bagaimana membawa diri di depan umat, saya juga belajar mengenai makna yang mendalam dari setiap tugas yang saya jalani. Para Jesuit selalu memberi nasihat yang sangat menyentuh dan membuat saya jadi paham apa arti melayani dengan hati. Nilai-nilai khas Jesuit yang diajarkan tidak hanya membantu saya berkembang sebagai bagian dari Lektor, tetapi juga mengubah cara pandang saya dalam banyak hal. Ada beberapa momen kecil saat pendampingan yang membuat saya berpikir, “Oh, iya ya, benar juga”. Selain itu, mereka juga selalu ada dan benar-benar mau mendengarkan ketika saya mencurahkan isi hati. Hal itu membuat saya sangat merasa didukung dan dipahami.   Penutup Bagi saya, berproses sebagai anak muda merupakan perjalanan hidup yang sangat bermakna. Saya bersyukur bisa belajar melalui berbagai sarana, mulai dari menjadi lektor sampai koordinator Lomba Baca Kitab Suci. Saya berharap pengalaman ini akan terus memberikan inspirasi dan motivasi dalam kehidupan saya ke depan. Saya juga terdorong untuk semakin mencintai dan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui Sabda-Nya yang hidup.   Selain itu, saya juga dapat belajar bahwa tidak ada salahnya mencoba apa yang sudah dimulai. Walaupun masih muda dan belum mempunyai banyak pengalaman, saya dididik untuk berusaha semaksimal mungkin yang saya bisa. Setidaknya, saya sudah berani bertanggung jawab dengan baik sampai akhir.   Kontributor: Alberta Pangestika Silvera Putri – Lektor Paroki St. Yusup Gedangan

Penjelajahan dengan Orang Muda

Orang Muda Menunda Menikah?

Akhir-akhir ini kita disuguhi beberapa data dari Badan Pusat Statistik terkait turunnya angka pernikahan orang muda di Indonesia. Hal ini dibarengi dengan berbagai liputan surat kabar yang memotret kekhawatiran kaum muda untuk menikah atau memiliki keturunan. Akibatnya, selama sepuluh tahun terakhir juga terjadi penurunan angka perempuan melahirkan dari 70,6% pada tahun 2012 menjadi 66,4% pada tahun 2022 (turun 4,2%).   Menanggapi fenomena ini, Sabtu, 9 November 2024 lalu para skolastik di Kolese St. Ignatius mengajak orang muda untuk berdiskusi bersama dalam acara Dialog untuk Aksi (DIKSI) bertajuk “Keluarga, Masihkah Harta yang Paling Berharga?” Fr. T.B. Pramudita, S.J. sebagai moderator diskusi membuka dengan data pemantik: banyak peserta berpandangan bahwa berkeluarga itu menakutkan karena harus menghadapi berbagai tantangan hidup keluarga (tantangan ekonomi, perselingkuhan, perceraian, dan kekerasan rumah tangga).   Untuk memahami fenomena ini dengan lebih dalam, dialog ini menghadirkan beberapa pembicara: Rm. Yoseph Aris, MSF, Pak Paulus Eko Ananto (Disdukcapil Bantul), dan pasangan suami istri Pak Albert dan Bu Erna Prajartoro. Dari para pembicara, para peserta belajar bahwa di satu sisi tantangan hidup berkeluarga memang nyata adanya. Di sisi lain, sukacita justru hadir bukan karena kesenangan superfisial, tetapi ketika tantangan itu dihadapi dengan tanggung jawab, kesetiaan, dan komitmen bersama sebagai jalan kekudusan.    Perceraian Sipil: Keprihatinan Gereja Pak Eko memulai diskusi dengan menyajikan analisis Disdukcapil atas data perceraian di Bantul. Sejak tahun 2017 hingga 2024, sudah ada 417 kasus perceraian yang dicatat di Bantul. Faktor terbanyak yang menyebabkan perceraian adalah ekonomi (30%), perselisihan (17%), perselingkuhan (14%), KDRT (13%), dan agama (8%).   Pak Eko sebagai pegawai Disdukcapil juga merasa prihatin karena dari total kasus perceraian di Bantul, 190 (45%) di antaranya dilakukan oleh pasangan yang pernikahannya dilakukan secara agama Katolik. “Sebagai seorang Katolik, awalnya saya merasa ‘berdosa’ saat menerbitkan akta perceraian sipil karena tidak ada perceraian dalam Gereja Katolik,” ungkapnya.   Menyambung keprihatinan tentang perceraian sipil, Romo Aris menegaskan bahwa tidak ada perceraian dalam Gereja Katolik. Perceraian yang terjadi secara sipil memang menjadi keprihatinan Gereja. Meski demikian, yang terpaksa telah cerai sipil, “selama tidak menikah lagi atau tidak hidup dalam konkubinat boleh menerima komuni,” ujar Romo Aris. Dalam Gereja Katolik tidak ada perceraian dan yang dikenal adalah pembatalan perkawinan. Namun, pembatalan perkawinan dalam Gereja Katolik bukanlah standar ganda, karena ada sesuatu yang tidak sah dalam hukum Gereja dan dibuat dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa.   Panggilan Menuju Kekudusan Alih-alih terkungkung dalam ketakutan akan perceraian, Romo Aris mengajak orang muda untuk lebih memahami perkawinan sebagai panggilan menuju kekudusan agar tidak melihatnya sebagai hal yang menakutkan. Romo Aris menegaskan, “Perkawinan adalah panggilan Allah yang membutuhkan tanggapan dari pasangan suami-istri dengan bebas, sadar, dan bertanggung jawab.” Sebagai panggilan Allah, perkawinan bertujuan untuk kebaikan suami-istri, keterbukaan pada keturunan, dan pendidikan anak. Yang harus dilakukan orang muda dalam menyiapkan perkawinan adalah mengenal kedalaman pasangan, membangun komitmen bersama, dan jujur dalam berelasi. Komitmen dan kejujuran dalam berelasi harus sungguh dibangun hingga terkait kesepakatan tentang keturunan. Jangan sampai childfree atau menunda berkepanjangan hanya karena alasan pragmatis atau menyalahkan situasi ekonomi.   Saat ini Keuskupan Agung Semarang semakin serius mendampingi calon pasangan suami-istri dengan program Katekese Persiapan Hidup Berkeluarga (KPHB), Discovery (program untuk semakin dalam mengenal pasangan), komunitas Marriage Encounter, Couple for Christ, dan pendampingan setelah perkawinan dengan acara/rekoleksi keluarga dan ulang tahun perkawinan. Berbagai program ini dibuat untuk semakin mempersiapkan dan menemani perjalanan pasangan suami-istri. “Memang tidak ada sekolah khusus untuk menjadi suami/ayah dan istri/ibu. Namun, sekolah yang paling penting adalah pengalaman hidup untuk saling mengenal dan berkomitmen,” kata Romo Aris.   Core Values dan Sejarah Hidup Pak Albert dan Bu Erna selanjutnya membagikan pengalaman hidup berkeluarga yang penuh dinamika. Mereka memulai keluarga baru dengan perjuangan ekonomi dari nol hingga perlahan memperoleh kesejahteraan bagi keluarga. Karena pekerjaan, Pak Albert harus dinas di Merauke dan menjalani long distance marriage selama 20 tahun. Di masa-masa ini ada banyak tantangan di lingkungan pekerjaan yang menguji kesetiaan. “Kesetiaan pahit saat dijalani tetapi manis buahnya,” ujar Pak Albert. Karena komitmen, Pak Albert dan Bu Erna mengusahakan untuk tetap bertemu secara berkala meski dengan harga tiket pesawat yang tidak murah. Tantangan lain muncul saat mendidik anak-anak. Keluarga ini dikaruniai 3 anak. Anak bungsu mereka memiliki kebutuhan khusus dan di masa awal pertumbuhan harus menjalani operasi sebanyak 10 kali. Tantangan juga muncul saat karier Pak Albert dijatuhkan oleh pihak-pihak yang tidak suka padanya karena ia bekerja dengan bersih dan tidak korup. Setelah menjalani berbagai situasi sulit, Pak Albert dan Bu Erna bersyukur karena selalu ada orang baik yang memberikan solusi dan hadir untuk mereka. Situasi sulit dapat mereka hadapi karena kesetiaan mereka pada nilai yang disepakati bersama (core values).    Bu Erna mengatakan bahwa “pasangan harus menyatukan nilai-nilai yang akan dicapai bersama untuk selanjutnya didoakan dan dicetak-dipasang sebagai pengingat kesepakatan.” Kesepakatan terjadi jika pasangan saling menerima dan memahami sejarah hidup. Dengan demikian tidak boleh ada salah satu pihak yang mengalah atau terpaksa karena core values adalah kesepakatan bersama. Beberapa contoh core values yaitu kejujuran, sederhana, tanggung jawab, dan kerja keras. Berkat core values Pak Albert dan Bu Erna dapat menjalani hidup berkeluarga dengan penuh kesetiaan dalam berbagai situasi. Hidup berkeluarga memang tak lepas dari tantangan, tetapi juga banyak pengalaman sukacita. Pengalaman sukacita bukan hanya kesenangan superfisial, tetapi justru ketika sebagai pasangan tetap setia dan mengusahakan core values bersama di tengah berbagai tantangan hidup. Maka orang muda, jangan takut untuk menikah karena ada banyak sukacita dan tanda kehadiran Allah dalam hidup berkeluarga.   Kontributor: Sch. Ishak Jacues Cavin, S.J.

Pelayanan Masyarakat

Satu Jam Bersama Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J.

Sekian waktu setelah kami menerbitkan buku Berjalan Bersama Ignatius yang berisi percakapan Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J. dengan jurnalis Dario Menor, kami mendapatkan kesempatan untuk berjumpa langsung dengan Pater Jenderal Arturo Sosa, S.J. pada 25 Oktober 2024, di sela kepadatan agenda beliau dalam Sinode para uskup di Roma. Sungguh ini merupakan momen yang sangat berharga. Bersama Pater Jose Cecilio Magadia, S.J., asisten regional untuk Asia Pasifik dan Pater Leo Agung Sardi, S.J., pembimbing rohani di Collegio Internazionale del Gesù, kami menikmati perbincangan intens dengan Pater Jenderal tidak kurang dari satu jam di Curia Generalizia, Borgo Santo Spirito 4, Roma.   Isi perbincangan itu sungguh mengesankan, meneguhkan, dan sekaligus menggerakkan. Oleh karena itu, kami ingin membagikannya melalui tulisan ini. Berikut tiga hal penting yang disampaikan Pater Jenderal dalam perbincangan tersebut.   Perutusan Bersama atau Shared mission (la mission compartida) Sebagaimana yang dipaparkan dalam buku Berjalan Bersama Ignatius, Pater Jenderal menjelaskan secara menakjubkan tentang makna Perutusan Bersama. Dalam konteks perbincangan kami, hal ini merujuk secara khusus pada “perutusan bersama para Jesuit dan awam”. Topik ini juga terasa sangat relevan dengan perhatian kami, para awam yang bekerja di lembaga karya milik Serikat Jesus.   Pater Jenderal mengungkapkan bahwa makna “Perutusan Bersama” bukanlah semata-mata membagikan misi Serikat Jesus ke seluruh anggota institusi, atau dapat dicontohkan misalnya dalam bentuk kegiatan sharing misi yang kerap dilakukan antarlembaga karya. Lebih dari itu. Perutusan Bersama berarti para Jesuit dan awam bersama-sama menyadari dan menyediakan diri sebagai instrumen (alat) Allah dalam menjalankan misi-Nya di dunia, yaitu membawa kabar sukacita. Perutusan ini bukan hanya milik Jesuit tetapi untuk Gereja dan seluruh umat Allah yang menjalankan misi Yesus di dunia.   Bagi kami yang selama ini kerap merasa diri sebagai pekerja profesional di lembaga karya milik Serikat Jesus, ungkapan Pater Jenderal terasa menyentak. “Sekadar menyumbangkan kemampuan profesional” dalam dinamika manajemen perusahaan saja tidaklah cukup. Lebih dari itu. Semua anggota karya Serikat sangat perlu mengambil bagian dalam makna karya, identitas khas, dan sumber inspirasi Serikat Jesus. Dengan bekerja di lembaga karya Serikat Jesus, setiap orang tidak boleh hanya menjadi outsider atau bersikap apatis, tetapi mesti menjadi pribadi yang proaktif untuk berjalan bersama sebagai “sahabat-sahabat dalam perutusan”, menjadi saksi keselamatan (companeros en la mission) di dunia melalui pekerjaan sehari-hari.   Kolaborasi (Jesuit-awam) Konsekuensi dari kesadaran akan “Perutusan Bersama” ini adalah terjalinnya kolaborasi antara Jesuit dan para awam di sekelilingnya. Kolaborasi bukanlah sekadar bekerja sama (co-working), melainkan sungguh menyediakan diri bekerja bersama orang lain. Tidak cukup sekadar memiliki banyak kolaborator, namun yang lebih penting adalah adanya keterbukaan, kualitas, kedalaman, dan ketulusan dalam proses bekerja bersama dengan orang lain.   Bagi para Jesuit, kehadiran rekan kerja awam bisa menjadi semacam “vaksin” penangkal klerikalisme atau feodalisme. Bagi para awam, kehadiran Jesuit menjadi semacam “kompas” penunjuk arah dan tujuan. Kedua belah pihak perlu terus berjuang untuk makin terbuka terhadap perbedaan perspektif satu sama lain. Di antara para Jesuit sendiri, perlu terus didorong hasrat untuk berjuang dalam dinamika berbagi misi perutusan dengan rekan kerja awam.   Berjalan Bersama Orang Muda Bagi kami yang menggumuli pergaulan dengan para karyawan muda dari generasi Y dan Z, salah satu tantangan yang tidak mudah adalah mengenalkan mereka pada Spiritualitas Ignatian yang menjadi roh institusi. Dihadapkan pada orientasi sebagian besar karyawan muda yang cenderung lebih tertarik pada hal-hal sekular dan profesional, terkadang Spiritualitas Ignatian terasa “tak begitu menarik” dalam memotivasi kerja mereka. Menanggapi hal ini, Pater Jenderal menegaskan bahwa dalam situasi apapun, terutama yang sangat menantang, tetaplah perlu konsisten menjalankan proses formasi Ignatian. Spiritualitas Ignasian adalah cara untuk menunjukkan jalan menuju Allah. Cara ini tidak perlu dipaksakan kepada orang lain, namun sangat perlu terus menerus ditawarkan dan dikenalkan kepada banyak orang, termasuk kaum muda.   Pater Jenderal mencontohkan, bahwa di semua lembaga pendidikan milik Serikat Jesus, para murid sejak dini dikenalkan pada dasar-dasar Latihan Rohani, seperti examen, refleksi, dan percakapan rohani. Dalam konteks Perusahaan, contoh ini meneguhkan kami agar sejak dini terus mengenalkan para karyawan baru pada dasar-dasar Latihan Rohani. Ungkapan Pater Jenderal menjadi semacam penegasan bagi kami, untuk memperhatikan detail proses dan dinamika formasi Ignatian bagi para karyawan, sejak pertama kali mereka bergabung.   Perjumpaan mengesan ini diakhiri dengan makan malam bersama para anggota kuria generalat. Bersyukur kami bukan hanya dikenyangkan secara jasmani oleh makanan yang sehat, namun lebih-lebih secara rohani oleh pesan-pesan yang disampaikan Pater Jenderal. Malam itu kami pulang dengan membawa konsolasi mendalam.   Kontributor: Mg. Sulistyorini dan Peter Satriyo Sinubyo – PT Kanisius

Feature

Kebersamaan Dalam Keceriaan

Refleksi HUT ke-58 Perkampungan Sosial Pingit Pada 19-26 Oktober 2024, Perkampungan Sosial Pingit (PSP) mengadakan rangkaian kegiatan untuk memperingati hari ulang tahun (HUT) ke-58 Pingit. Tema yang diangkat tahun ini adalah “Kebersamaan dalam Keceriaan.” Para pengurus dan volunteer Pingit merefleksikan sukacita yang dialami selama mengadakan kegiatan belajar dan mengajar di PSP. Semangat tema tersebut dituangkan dalam tiga kegiatan utama: (1) cek kesehatan gratis; (2) perlombaan rakyat; dan (3) malam tirakatan.   Cek Kesehatan Gratis Pada Sabtu, 19 Oktober2024, para volunteer bekerja sama dengan Klinik Pratama Realino menyelenggarakan cek kesehatan gratis bagi lansia dan warga di sekitar Pingit. Layanan kesehatan yang diberikan mencakup pemeriksaan asam urat, gula darah, kolesterol, serta tekanan darah. Pemeriksaan dilanjutkan dengan konsultasi personal oleh para dokter Klinik Pratama Realino. Setelah pemeriksaan, resep yang didapatkan dari dokter dapat ditukarkan dengan obat-obatan yang sudah disediakan.   Antusiasme warga dalam mengikuti kegiatan ini menunjukkan tingginya kebutuhan akan kesehatan diri. Acara ini menjadi pengingat bahwa perhatian terhadap masyarakat jangan hanya terfokus pada usia produktif, melainkan juga pada warga lansia yang kerap terabaikan. Seperti yang tercermin dalam doa penutup acara, “[…] melayani mereka, lansia di sekitar kita, yang jarang diperhatikan oleh masyarakat,” acara ini membawa pesan tentang pentingnya memperhatikan kesejahteraan lansia sebagai bagian penting dari masyarakat.     Perlombaan Rakyat Selain cek kesehatan gratis, HUT ke-58 Pingit juga dimeriahkan dengan perlombaan rakyat untuk anak-anak para warga pada Minggu, 20 Oktober 2024. Acara sempat tertunda karena hujan. Syukurlah Semangat semua yang hadir tidak pudar begitu saja. Setelah cuaca agak terang, para volunteer segera mempersiapkan sejumlah perlombaan sesuai dengan kategori usia. Anak TK berlomba makan kerupuk dan sedotan warna. Anak SD kecil bermain estafet sedotan dan paku botol. Anak SD besar bermain kocok kardus dan estafet koran dalam barisan.   Saat cuaca sudah terang, semangat anak-anak dan warga semakin membara hingga perlombaan dapat selesai dengan lancar. Kegiatan diakhiri dengan seru-seruan bermain voli air. Rasa bahagia yang terpancar dari anak-anak dan warga merupakan sebuah kenangan yang mengesan bagi volunteer. Tidak lupa, anak-anak dan warga mendapat snack yang sudah disiapkan oleh panitia. Walau lelah, para volunteer bersyukur karena dapat menjalankan tugas dengan baik hingga menciptakan sebuah pengalaman yang mengesan dan tidak terlupakan.     Malam Tirakatan  Puncak rangkaian kegiatan HUT ke-58 Pingit dirayakan dengan malam tirakatan pada Sabtu, 26 Oktober 2024. Kami sangat terkesan dengan semangat para volunteer yang memberikan waktunya selama satu bulan untuk mempersiapkan tampilan dari anak-anak. Latihan tampilan bersama anak-anak menjadi tantangan tersendiri yang berhasil kami lalui dengan baik. Pada hari H, para volunteer dan warga pingit saling membantu untuk menyiapkan panggung dan tenda malam tirakatan. Hal ini menjadi pengalaman berharga di mana semua pihak saling peduli untuk saling membantu dalam menyukseskan serangkaian acara HUT ke-58 Pingit. Keceriaan itu berpuncak pada malam tirakatan. Kebersamaan adalah salah satu hal yang kami dapatkan selama berkegiatan di Pingit. Setelah kurang lebih satu tahun bertemu dengan warga serta anak-anak, kami merasakan adanya kedekatan dan keakraban dengan mereka. Di awal kami menjadi volunteer Pingit, kami selalu melihat antusiasme anak-anak yang kami dampingi. Setelah lama mendampingi mereka, kami mulai mengetahui beragam cerita anak-anak Pingit mulai dari kondisi keluarganya hingga hingga pergulatan mereka. Selain berjumpa dengan ragam cerita anak-anak, kami juga berjumpa dengan warga Pingit yang ramah dan peka untuk terlibat dalam kegiatan di Pingit. Selain anak-anak dan warga Pingit, kami juga merasa nyaman berada bersama para pengurus dan volunteer Pingit. Kami sering berbagi cerita dan pengalaman yang tak jarang membawa keceriaan. Kami sangat bersyukur karena setiap volunteer juga memiliki kepekaan untuk saling membantu. Salah satu buah kepekaan itu adalah suksesnya rangkaian kegiatan HUT ke 58 Pingit.   Kontributor: Adelia Dwi Maharani, Alessandra Josephine Lie Saragih dan Lidwina Paskarylia Shinta – Volunteer Pingit

Pelayanan Masyarakat

Membawa Kabar Suka Cita di Panggung Literasi

Partisipasi PT Kanisius di Frankfurt Book Fair Perbincangan kecil bersama Pater Stefan Kieschle, S.J., saat sarapan di refter Ignatiushaus, Frankfurt am Main, Elsheimer Straße 9, mengawali dinamika PT Kanisius di Frankfurt Book Fair pada Oktober lalu. Dalam perbincangan itu, Pater Kieschle, S.J., delegatus Spiritualitas Ignatian dan pemimpin redaksi majalah budaya “Stimmen der Zeit,” menceritakan tantangan sekularisme di Gereja Eropa. Saat ini hampir tidak ada lagi kaum muda yang berminat datang ke Gereja. Ekaristi mingguan hanya dihadiri oleh segelintir generasi senior saja. Menanggapi situasi ini, Pater Kieschle, S.J. yang sebelumnya pernah menjabat Provinsial Provinsi Jerman, memilih tetap konsisten memberikan kesaksian perwujudan iman di tengah arus sekularisme. “Yang penting adalah terus melakukan kebaikan Injili,” itulah pilihan tindakan yang diambil bersama oleh komunitas Jesuit di Ignatiushaus. Kalimat ini selanjutnya kami temukan maknanya secara lebih nyata dalam tugas kami sebagai exhibitor di Frankfurt Book Fair 2024.   PT Kanisius hadir ketujuh kalinya di ajang perbukuan internasional tertua di dunia ini sejak Indonesia terpilih menjadi Guest of Honour (GoH) pada 2015. Sejak saat itu, PT Kanisius dikenal sebagai “Penerbit Katolik Indonesia” yang aktif karena setiap tahun hadir berpartisipasi sebagai co-exhibitor pemerintah Indonesia. Momen 2015 menjadi awal keterlibatan PT Kanisius, satu-satunya penerbit Katolik sekaligus satu-satunya yang berasal dari daerah, sebagai rekan kerja Pemerintah Indonesia di forum Frankfurt Book Fair.   Bersyukur bahwa pada tahun 2015 PT Kanisius lolos kurasi sebagai co-exhibitor dalam menampilkan potret budaya literasi Indonesia. Seperti dikatakan Presiden Frankfurt Book Fair, Juergen Boos, perhelatan ini merupakan kesempatan untuk memperkenalkan kekayaan dan keragaman budaya dari berbagai wilayah di belahan dunia yang berbeda. Forum ini menjadi ajang ekspresi untuk memperkenalkan identitas budaya suatu bangsa. Buku dengan beragam konten yang baik, merupakan salah satu unsur penting pembentuk budaya dan peradaban. Kanisius yang telah bergumul sebagai pelaku perbukuan lebih dari satu abad, memang seharusnya memberikan kontribusi yang tampak dalam performa bangsa Indonesia di ajang perbukuan internasional ini. Di era disruptif seperti saat ini, industri buku terasa lesu. Situasi ini sempat membuat kami ragu, akankah terus menyediakan diri berkontribusi menghadirkan wajah Indonesia dengan literatur kekatolikan yang kami hasilkan di forum internasional Frankfurt Book Fair? Tahun ini, entah bagaimana, Indonesia tampak sedang enggan untuk konsisten menghadirkan diri sebagai negara berbudaya literasi. Beberapa teman sesama pelaku perbukuan di Jakarta memperbincangkan kecenderungan pemerintah untuk lebih memperhatikan bidang-bidang usaha kreatif yang lebih cepat memberikan income dan peluang investasi, seperti kuliner atau kerajinan. Buku dengan segala kegiatan literasinya, sekalipun disadari memiliki kekuatan intelektualitas penopang budaya, memang harus diakui lambat memberikan keuntungan ekonomis. Fenomena ini menempatkan para pelaku perbukuan di persimpangan jalan, berada dalam tegangan antara peran idealis dan tuntutan ekonomis yang tak mudah dipertemukan.     Dalam sebuah perjumpaan sebelum keberangkatan ke Frankfurt, Pater Leo Agung Sardi, S.J. sempat menyatakan, “Tindakan baik itu meskipun terus dilakukan, tidak tampak menghasilkan banyak. Tapi jika tidak dilakukan, akan terasa banyak kurangnya.” Ungkapan itu dikemukakan menanggapi kegalauan tim manajemen PT Kanisius menghadapi tantangan sedemikian cepatnya perubahan hingga berdampak pada kecenderungan serba instan. Ungkapan Pater Leo Agung Sardi, S.J. itu sejalan dengan Pater Stefan Kieschle, S.J. di awal tulisan ini, yaitu mengajak untuk tetap konsisten memberikan kesaksian iman di tengah arus zaman. Perjalanan mengikuti Frankfurt Book Fair 2024 kali ini terasa berbeda. Bukan karena besarnya prospek ekonomi dari bisnis buku yang kami lihat, melainkan karena kedalaman makna kehadiran kami, PT Kanisius dengan kekhasan Katoliknya di tengah percaturan literasi dunia. Perbincangan kecil dengan Pater Kieschle SJ di awal kedatangan di Frankfurt, serta ungkapan Romo Leo Agung Sardi, S.J. sebelum keberangkatan ke Frankfurt, terasa seperti percakapan rohani yang membekali kami untuk menyelami Frankfurt Book Fair kali ini bukan semata-mata sebagai perjalanan dinas, namun juga perjalanan rohani yang menegaskan perutusan kami.   Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, tahun 2024, Pemerintah Indonesia tidak lagi menyediakan sponsor bagi pelaku perbukuan untuk menghadirkan eksistensi literasi Indonesia di Frankfurt Book Fair. Namun secara tak terduga, hadir “teman-teman seperjalanan,” sesama pejuang di medan frontier dunia perbukuan, yang rela bahu-membahu berbagi beban untuk dapat tetap hadir bersama di percaturan buku internasional ini. Kami yakin, kehadiran kami tetap diperlukan untuk menghidupi semangat literasi di Indonesia. Jika pada masa pra-awal kemerdekaan, Kanisius mengambil bagian dalam perjuangan eksistensi bangsa Indonesia melalui pencetakan majalah pergerakan dan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), maka saat ini PT Kanisius tetap ambil bagian dalam eksistensi bangsa Indonesia di kancah budaya literasi dunia. Kehadiran di Frankfurt Book Fair menjadi bentuk perwujudan iman dalam perutusan PT Kanisius yang khas, membawa kabar sukacita di panggung literasi, menyuarakan kemendalaman di antara tebaran isu-isu ekonomi, politik, dan gaya hidup.   Bagi PT Kanisius, persimpangan jalan di bisnis perbukuan menjadi momen diskresi mendengarkan suara Tuhan tentang arah yang harus dituju, dalam semangat Kesetiaan Kreatif. Seiring laju zaman, PT Kanisius menghadapi tantangan untuk tetap setia pada jati dirinya, kreatif membuat terobosan yang relevan, dan mempersembahkan karyanya sebagai buah perutusan.   Kontributor: Mg Sulistyorini dan Peter Satriyo Sinubyo – PT Kanisius

Karya Pendidikan

“Dengan Ketekunan, Kita Tumbuh Bersama”

Pada 25 Oktober 2024 lalu, sebanyak 478 orang yang terdiri dari para guru, tamu undangan, dan siswa-siswi menyaksikan momen istimewa Peresmian Gedung di Kolese Le Cocq d’Armandville. Tidak hanya peresmian gedung baru, acara ini juga digelar sebagai puncak Ajang Kreativitas Adhi Luhur (AKAL). AKAL adalah sebuah kegiatan rutin dua tahunan yang bertujuan untuk menyalurkan bakat serta kreativitas para siswa Kolese Jesuit di ujung timur Indonesia ini.   “Dengan Ketekunan, Kita Tumbuh Bersama” menjadi tema Peresmian Gedung dan acara AKAL kali ini. Tema ini mencerminkan semangat kebersamaan dan kerja keras yang menjadi fondasi kesuksesan bersama. Ketekunan ini terpancar dalam berbagai aspek acara, mulai dari penari kolosal yang giat berlatih, hingga panitia yang mempersiapkan segala hal sejak sebulan terakhir.     Tamu Istimewa AKAL kali ini dihadiri sejumlah tamu istimewa, di antaranya Provinsial Serikat Jesus Provinsi Indonesia, perwakilan Perkumpulan Alumni Kolese Jesuit (PAKJ), Pejabat Daerah, Anggota MRP (Majelis Rakyat Papua), Perwakilan PSW YPPK (Pengurus Sekolah Wilayah Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik), dan Kepala Dinas Kependudukan Catatan Sipil Provinsi Papua Tengah.   Acara dibuka dengan Ekaristi yang dipimpin oleh Pater Provinsial, kemudian dilanjutkan dengan pemberkatan gedung baru. Setelah pemberkatan gedung, dilaksanakan pemotongan pita sebagai penanda peresmian gedung ini oleh Pater Provinsial, Rektor Kolese Le Cocq, Perwakilan Pemerintah Provinsi, dan juga Pak Matheus, Wakil Ketua II Majelis Rakyat Papua.   Ketua Panitia AKAL, Elvin Sampary Giyai, dalam sambutannya, menjelaskan makna tema “Dengan Ketekunan Kita Tumbuh Bersama.” Prosesi dilanjutkan dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Tanah Papua. Tampil pula pertunjukan spesial, mulai dari monolog dari Stifani Semboor dan instrumen solo oleh Rika Rinanti Radja serta tari kolosal.     Karya Bersama Sambutan-sambutan penting juga disampaikan oleh beberapa pihak. Dalam sambutannya, Rektor Kolese Le Cocq sekaligus Badan Pengurus YPPK, Pater Johanes Sudrijanta, S.J., menceritakan proses jatuh bangun pembangunan gedung induk yang hampir memakan waktu dua tahun lebih.   Di balik pembangunan paling megah di Nabire ini, Pater Sudri menyampaikan bahwa ada sosok penting penyumbang ide, gagasan, bahkan materi, yakni Pak Frans. Beliau merupakan seorang arsitek yang dulu pernah bersekolah di Kolese Loyola. Berkatnya, anggaran pembangunan yang diperkirakan mencapai 15 miliar bisa dipangkas menjadi 11 miliar tanpa mengurangi kualitas dan fungsinya.     Ketika diwawancarai, Pak Frans menyampaikan bahwa gedung ini dirancang dengan menerapkan ilmu fisika bangunan untuk mempertahankan kualitas dan keamanan sehingga tahan gempa. Mengingat Nabire adalah wilayah gempa yang membuat tidak ada bangunan yang lebih dari dua lantai di gerbang Cendrawasih ini. Pak Frans menambahkan, “Dinding bangunan luar ini dirancang memakai solid glass block agar mengurangi resiko, namun fungsi kaca tersebut diambil alih oleh lubang-lubang kecil sebagai ventilasi untuk tetap menjaga kualitas udara.”     Harapan Pater Benedictus Hari Juliawan, S.J., Provinsial Serikat Jesus Provinsi Indonesia, menyampaikan bahwa bangunan yang baru ini kiranya menjadi semangat dan gairah baru bagi keluarga besar Kolese Le Cocq sehingga mampu menghadirkan pelayanan pendidikan yang bermutu di Papua secara umum dan Papua Tengah secara khusus. Bangunan yang sedemikian megah dan kokoh ini diharapkan mampu digunakan semaksimal mungkin dalam mengembangkan kemampuan siswa dalam segala bidang.   Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua Tengah, Ibu Rita Dessy Fauziah Ananda, S.T. selaku perwakilan Pj. Gubernur Papua Tengah dalam sambutannya menyampaikan bahwa peresmian Gedung Induk ini menjadi bukti keseriusan Kolese Le Cocq sebagai salah satu sekolah Katolik terbaik di Papua untuk ikut memberikan akses pendidikan yang bermutu bagi putra-putri Papua.   Bu Dessy mengapresiasi aneka usaha dan kerja keras para Jesuit dan tenaga pengajar di Kolese Le Cocq yang terus berusaha menghadirkan pendidikan yang berkualitas di kota ini. Ia menambahkan bahwa pemerintah akan selalu mendukung berbagai usaha dan niat baik para pengelola dan pelaksana sekolah ini, baik dalam bentuk dukungan moril dan materil sehingga semakin berkembang dan menghasilkan lulusan bermutu.     Tari Kolosal Acara puncak Peresmian Gedung Induk dan AKAL 2024 ditutup dengan tari kolosal. Sekitar 95 penari menyajikan enam tarian berbeda. Pertama, tarian Hati Su Tatinggal di Papua. Ini menggambarkan betapa indahnya keberagaman yang ada di Nabire dan juga ucapan syukur atas keindahan tanah leluhur mulai dari pegunungan sampai pesisir pantai. Kedua, Orsa Modao. Ini merupakan suatu lagu yang berasal dari Napan yang berarti “Hari yang Baik”. Ketiga adalah Waita, melalui prosesi bakar batu dalam tarian ini, kita menghaturkan ucapan syukur atas damai. Keempat, tari Kecak Sanghyang Dedari, di mana tarian ini terinspirasi dari kisah pertemuan antara Hanoman dan Arjuna. Melalui tarian ini, kita berharap bahwa dengan selalu melibatkan Tuhan terutama dalam acara ini, gedung baru Kolese Le Cocq di Papua ini menjadi gedung yang kokoh dan kuat serta bermanfaat baik.   Yang kelima, tarian Pangkur Sagu, menggambarkan kegiatan masyarakat Papua ketika bersiap memanen Sagu. Tarian ini menggambarkan niat para siswa untuk datang dan memasuki dunia pendidikan untuk menemukan sumber penghidupan. Terakhir, tarian Pergaulan Wi Sisi. Tarian ini dibawakan secara massal di wilayah pegunungan dan berasal dari suku Dani. Tarian ini adalah suatu ungkapan harapan agar rasa syukur dan niat mengumpulkan bekal masa depan bagi generasi muda dapat menular bagi semua orang.   Bertumbuh Bersama Pada akhirnya, acara ini kiranya mampu menjadi gairah baru bagi seluruh keluarga besar Kolese Le Cocq d’Armandville. Aneka ketekunan, kerja keras, dan pengorbanan semua pihak, termasuk panitia, para penari, dan para pendukung, kiranya membuat setiap pribadi di dalamnya bertumbuh.   Kontributor: Tim Dokumentasi AKAL 2024