Pilgrims of Christ’s Mission

jesuit indonesia

Pelayanan Gereja

Bakti Sosial untuk Helen Keller Indonesia dan Pesantren Waria Al-fatah

Minggu, 12 Maret 2023, lektor Gereja Santo Yusup, Gedangan, Semarang mengadakan bakti sosial (baksos). Program baksos merupakan program tahunan. Di tahun ini, baksos dilakukan dengan tidak biasa. Baksos yang out of the box ini dilaksanakan dalam rangka berjalan bersama orang miskin, terbuang dan yang martabatnya teraniaya (UAP 2). Ada dua tempat tujuan baksos, yaitu SLB G-AB Helen Keller Indonesia dan Pesantren Waria Al-fatah. Dalam rangka menggalang dana untuk kegiatan baksos ini, para anggota lektor berjualan makanan di depan gereja. Kami berjualan nasi goreng, siomay, nasi ayam, susu, dan sebagainya. Bahkan, ada anggota yang mengedarkan jualannya di halaman parkir luar gereja dengan bersemangat. Selain itu, kami juga dibantu oleh banyak donatur. Ternyata, tidak mudah mencari donatur untuk baksos edisi spesial ini. Tidak sedikit dari para calon donatur yang tidak setuju jika baksos dilakukan di pesantren dan untuk waria. Syukurlah bahwa pada akhirnya, dengan rahmat Tuhan, kami berhasil mendapatkan donasi yang kami butuhkan bahkan jumlahnya melebihi dari target. Kami dapat membeli barang-barang yang dibutuhkan untuk SLB G-AB Helen Keller Indonesia dan Pesantren Waria Al-fatah. Destinasi pertama baksos adalah SLB G-AB Helen Keller Indonesia. SLB G-AB Helen Keller Indonesia, Yogyakarta berdiri sejak tanggal 25 Juni 1996. SLB ini didirikan oleh para Suster Putri Maria dan Yosef (PMY) dan merupakan pengembangan dari SLB B Dena Upakara Wonosobo. SLB G-AB Helen Keller Indonesia adalah sekolah berasrama yang melayani anak berkebutuhan khusus ganda tunarungu-netra. Baksos di SLB G-AB Helen Keller Indonesia diisi dengan acara bernyanyi, menari, dan bermain games bersama. Dalam segala keterbatasannya, anak-anak tunarungu-netra dibantu oleh para pendamping mengikuti acara yang telah disiapkan oleh anggota lektor. Anak-anak tunarungu-netra ikut hanyut dalam kebahagiaan dan sukacita bersama anggota lektor. Acara ditutup dengan makan siang bersama. Dalam kesempatan ini pula, kami belajar berkomunikasi dengan anak tunarungu-netra dibantu oleh para pendamping. Destinasi kedua adalah Pesantren Waria Al-fatah. Pesantren Waria Al-fatah yang berada di Kotagede, Yogyakarta, berdiri pada 28 Juli 2008. Pesantren ini hadir untuk memberi kesempatan bagi para waria atau yang lebih akrab disapa dengan transpuan untuk beribadah dan memperdalam agama secara nyaman. Para transpuan terkadang merasa tidak nyaman dan seringkali mendapat penolakan dari warga. Acara baksos diisi dengan perkenalan singkat dengan beberapa transpuan, pengenalan profil pesantren, dan diskusi. Kami dapat memahami beberapa keunikan yang ada di Pesantren Waria Al-fatah. Salah satu dari keunikan itu adalah santri tidak tinggal dan menetap seperti pesantren-pesantren pada umumnya. Para santri transpuan tinggal di rumah masing-masing. Mereka datang ke pesantren biasanya pada weekend untuk memperdalam nilai-nilai keagamaan. Dalam acara diskusi singkat, para santri transpuan menceritakan kisah hidupnya, terutama tentang memperdalam agama dan kehidupan hariannya. Ada banyak pertanyaan yang terlontar saat pertemuan dan diskusi dengan para santri. Belajar dari sumber secara langsung membantu pemahaman kami, komunitas lektor, tentang kehidupan para santri transpuan dan terlepas dari prasangka-prasangka. SLB G-AB Helen Keller Indonesia dan Pesantren Waria Al-fatah adalah tempat yang tepat bagi kami, lektor St. Yusup Gedangan, untuk belajar memahami arti dari sesama manusia. Anak-anak tuna rungu-netra dan transpuan adalah orang-orang lemah, terbuang, dan yang martabatnya teraniaya. Anak-anak tersebut memiliki keterbatasan secara fisik. Mereka miskin secara bahasa. Sedangkan transpuan adalah kaum marjinal, mereka ditolak kehadirannya. Secara khusus, transpuan menjadi sasaran empuk bagi banyak orang untuk disingkirkan. Transpuan dianggap berdosa besar, melanggar kodrat, perilaku menyimpang, dilaknat Tuhan, dan sebagainya. Ada begitu banyak hujatan yang ditujukan kepada mereka. Sebagian orang lebih suka menghujat daripada menemani, lebih suka membenci daripada mencintai, dan lebih suka mengucilkan daripada merangkul. Reni, Steven, dan Santi sebagai anggota lektor Gereja Santo Yusup Gedangan mengatakan bahwa pengalaman baksos kali ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Pengalaman berharga yang mampu mengubah sudut pandang terhadap orang-orang miskin, tersingkir dan yang martabatnya teraniaya. Reni secara khusus mengatakan bahwa kaum transpuan butuh dihargai, dihormati, dibantu, terlebih diterima oleh kita sesamanya. Mereka manusia biasa yang juga membutuhkan teman untuk berbagi cerita, teman untuk berkeluh kesah, teman yang mau membantu saat mereka dalam kesulitan. Melalui perjumpaan dengan anak-anak tunarungu-netra dan transpuan, kami belajar bahwa hidup harus diisi dengan rasa syukur dan dijalani dengan gembira. Perjumpaan selalu saja memberikan banyak rahmat. Perjumpaan tersebut adalah undangan pertobatan secara personal. Tidak hanya rasa syukur, kami juga belajar untuk tidak menghujat orang lain dan, yang paling penting, belajar untuk memahami arti menjadi sesama manusia. Menjadi sesama manusia berarti mengasihi dan memperhatikan orang lain tidak hanya terbatas pada hubungan antar anggota sekeluarga, sebangsa, sesuku, segolongan, atau seagama. Kasih bersifat universal, melampaui batas-batas yang ada. Kasih mendekatkan yang jauh, menyembuhkan yang terluka, dan menemani yang kesepian. Dalam dokumen Fratelli Tuti dikatakan bahwa kasih ditujukan kepada semua manusia, tanpa terkecuali. Kasih tidak memanggil kita untuk bertanya siapa yang dekat dengan kita tetapi untuk menjadikan diri kita dekat, menjadi sesama manusia. Kontributor: S. Wahyu Mega, SJ – Pendamping Lektor St. Yusup Gedangan

Kuria Roma

Menuju Loyola – Kongregasi Prokurator ke-71

Bulan Mei 2023 ini para Jesuit dari setiap Provinsi dan Regio di mana Serikat Jesus berkarya akan bersidang di Sanctuario de Loyola Spanyol untuk melaksanakan Kongregasi Prokurator (KP) ke-71. Melalui surat kepada seluruh Superior Mayor bulan Januari 2021, Pater Jenderal Arturo Sosa mengeluarkan konvokasi untuk mengadakan Kongregasi Prokurator. Dalam suasana doa, setiap Provinsi, Regio, dan Misi merefleksikan tentang “status atau keadaan Serikat” di tempat mereka masing-masing dan kemudian memilih satu delegat sebagai wakil yang akan hadir dalam KP. Bagi para Jesuit, KP adalah hal biasa dalam “cara bertindak Serikat.” Akan tetapi bagi mereka yang tidak begitu mengenal tata kelola Serikat, KP mungkin tampak misterius. Apa sebenarnya “Kongregasi Prokurator” itu dan apa yang dapat dihasilkan dari sidang semacam itu? Tidak seperti banyak bagian lain yang merinci cara hidup Jesuit, KP bukanlah bagian dari Konstitusi Serikat Jesus. Sebaliknya, Kongregasi Jenderal ke-2 (tahun 1565) menyadari perlunya sidang yang lebih sering selain 36 Kongregasi Jenderal yang telah diadakan dalam sejarah Serikat Jesus selama hampir 500 tahun ini. KP dapat diadakan setiap beberapa tahun sekali, selain terutama untuk merekomendasikan kepada Pater Jenderal apakah Kongregasi Jenderal perlu diadakan atau tidak, tetapi juga sebagai cara untuk membawa ke hadapan tubuh global Serikat mengenai masalah mendesak yang muncul dalam karya, hidup, dan doa para Jesuit di seluruh dunia. Setelah setiap Provinsi, Regio, dan Misi memilih seorang delegat, maka Jesuit tersebut bertanggung jawab untuk mengunjungi semua komunitas yang ada dalam lingkupnya, yaitu demi mendengarkan tantangan dan peluang, serta mengumpulkan informasi yang nantinya akan disampaikan kepada Pater Jenderal dan delegat lainnya. Dengan demikian, KP menjadi representasi akar rumput yang sangat besar dalam Serikat, yaitu bagian penting dari kehidupan Jesuit seperti yang dilihat oleh banyak orang yang hidup dan bekerja di lapangan. Tahun ini, para delegat diminta memfokuskan laporan mereka pada tema melihat segala sesuatu secara baru di dalam Kristus. Secara khusus, Pater Jenderal telah menugaskan para delegat untuk memberikan laporan bagaimana UAP (Preferensi Kerasulan Universal) – yang diserahkan kepada Serikat Jesus oleh Paus Fransiskus pada tahun 2019 – telah mengubah hidup dan pelayanan di seluruh tubuh universal Serikat. KP 71 akan segera dimulai dengan doa sebagaimana setiap Jesuit mengawali hari mereka. Pada 5 Mei 2023, para delegat bersama Pater Jenderal akan memulai retret Ignasian selama 8 hari. Latihan Rohani digunakan sebagai upaya untuk memberi fokus pada pertanyaan-pertanyaan mereka, memperjelas pemahaman tentang gerak Roh Kudus di wilayah karya mereka, dan bergerak menuju pertobatan yang akan membuat KP menjadi wujud pertemuan hati dan pikiran kita semua. Sidang agung ini akan berlangsung pada 15-21 Mei 2023. Mohon doa bagi Pater Jenderal dan para delegat KP 71 sehingga mereka dapat menemukan cara terbaik untuk menempatkan Serikat Jesus dalam pelayanan Gereja dan semua orang. Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel Towards Loyola the 71st Congregation of Procurators dalam https://www.jesuits.global/2023/04/18/towards-loyola-the-71st-congregation-of-procurators/ Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo, pada tanggal 27 April 2023

Kuria Roma

Paus Fransiskus dan Sepuluh Tahun Perjalanannya bersama Para Pengungsi (Bagian 2)

Seksi Migran dan Pengungsi Segera setelah kunjungannya ke Lesbos, Bapa Suci membuat sebuah seksi baru yaitu Seksi Migran dan Pengungsi (Seksi M&P) yang terkait dengan Dicastery untuk Promosi Pengembangan Keutuhan Manusia (Dicastery for Promoting Integral Human Development). Seksi ini didirikan agar “punya kemampuan menyangkut isu migran, mereka yang membutuhkan, mereka yang sakit, tersingkir dan terpinggirkan, mereka yang dipenjara dan tanpa pekerjaan, dan korban konflik bersenjata, bencana alam dan segala bentuk perbudakan dan penyiksaan.”9 Secara pribadi Paus Fransiskus langsung memimpin Seksi M&P dan secara khusus diarahkan untuk mencapai visi Paus: “Di Lampedusa dan Lesbos, titik utama transit ke Italia dan Yunani, Paus Fransiskus menangis bersama migran dan pengungsi yang berkerumun di sana. Di dalam pesawat ke Lesbos, dia membawa beberapa keluarga pengungsi dari Syria untuk tinggal di Vatikan. ‘Ketika kita menyembuhkan luka para pengungsi, mereka yang terusir dan korban-korban perdagangan manusia,’ katanya ‘kita menjalankan perintah cinta kasih yang diwariskan Yesus bagi kita… Tubuh mereka ialah Kristus.’10 Apa yang Paus ingin ajar dan lakukan, dia ingin agar Seksi M&P membantu orang lain untuk mengatakan dan melakukan di seluruh dunia.”11 Sejak itu, misi seksi M&P ialah membantu Gereja (yaitu para uskup, umat, para klerus, organisasi-organisasi Gereja) dan setiap orang yang berkehendak baik untuk “menemani” mereka yang pergi dan melarikan diri, mereka yang di tempat transit atau menunggu, mereka yang menderita dan berusaha untuk berintegrasi, dan mereka yang kembali. Salah satu capaian utama ialah membantu memelihara dan menumbuhkan bibit yang disemai oleh Paus dalam campur tangannya di Lampedusa. Seksi ini secara khusus amat erat terlibat dalam upaya menolong mengembangkan lebih lanjut basis intelektual dan teologis bagi sebuah pendekatan Katolik yang lebih jelas atas isu-isu pengungsian. Tahun 2020, seksi ini menerbitkan koleksi lengkap ajaran Paus Fransiskus terkait perhatian pastoral untuk migran, pengungsi dan korban perdagangan manusia berjudul Lights on the Ways of Hope. Di tataran lebih praktis, seksi ini terlibat dalam mewujudkan usulan Bapa Suci yaitu Dua Puluh Pokok Aksi untuk Global Compact untuk Migrasi dan Pengungsi dan Orientasi Pastoral mengenai Perdagangan Manusia. Program bagi Bangsa dan Masyarakat Sipil Seperti pendahulu-pendahulunya, Paus Fransiskus menyerap unsur-unsur pokok dari iman Kristiani dan ajaran sosial Katolik untuk mengembangkan sebuah pendekatan alternatif dan lebih manusiawi atas tantangan-tantangan migrasi paksa. Bulan Februari 2017, Bapa Suci menyapa para peserta Forum Internasional mengenai Migrasi dan Perdamaian di Roma. Dia menyatakan bahwa respons atas tantangan migrasi kontemporer harus dibagi di antara komunitas politik, masyarakat sipil dan Gereja, dan harus diartikulasikan dalam empat tindakan yang saling terkait: menyambut, melindungi, mempromosikan, dan mengintegrasikan.12 Seksi M&P selanjutnya menerbitkan Dua Puluh Pokok Aksi yang sudah disebut di atas sebagai sumbangan dalam menyusun draft, negosiasi dan adopsi Global Compact mengenai Migran dan Pengungsi pada akhir tahun 2018. Konsultasi ini dilakukan dengan mendengarkan Konferensi Para Uskup dan organisasi-organisasi Katolik yang bekerja di bidang ini, dan memasukkan refleksi mendalam mengenai praktik-praktik baik Gereja yang telah dikembangkan selama tahun-tahun belakangan. Dua Puluh Pokok Aksi ini didasarkan pada empat aksi – menyambut, melindungi, mempromosikan, dan mengintegrasikan – yang mendukung visi Paus Fransiskus bagi sebuah perbaikan pendekatan yang lebih manusiawi atas pengungsian manusia. Bapa Suci mengelompokkan rekomendasinya untuk Global Compact 2018 sebagai berikut: “Menyapa merupakan seruan untuk memperluas jalur legal bagi pintu masuk dan tidak lagi memaksa para migran dan pengungsi pergi ke negara-negara di mana mereka akan menghadapi bahaya penganiayaan dan kekerasan. Hal ini juga menuntut keseimbangan perhatian kita terhadap masalah keamanan nasional dan keprihatinan atas hak-hak asasi fundamental. Kitab Suci mengingatkan kita: ‘Jangan lupa menunjukkan keramahtamahan kepada orang asing, beberapa dari kita sudah memperlihatkan sikap ramah tamah kepada para malaikat tanpa mengetahuinya.’ Melindungi terkait dengan tugas untuk mengenali dan membela martabat yang tidak bisa diganggu gugat dari orang-orang yang melarikan diri dari bahaya yang nyata, mencari suaka dan keamanan, dan mencegah mereka dari eksploitasi. Saya secara khusus melihat perempuan dan anak-anak yang berada dalam situasi yang membuat mereka terpapar pada resiko dan pelecehan yang bahkan bisa sampai pada perbudakan. Allah tidak mendiskriminasi manusia: ‘Allah menjaga orang-orang asing dan menopang anak yatim dan janda.’ Mempromosikan mencakup dukungan pengembangan manusiawi yang utuh dari para migran dan pengungsi. Diantara cara-cara yang mungkin dilakukan, saya menekankan pentingnya menjamin akses di semua tingkat pendidikan bagi anak-anak dan orang muda. Hal ini akan membuat mereka tidak hanya mampu mengolah dan mewujudkan potensi mereka, tapi juga melengkapi diri mereka untuk bertemu orang lain dan memupuk semangat dialog daripada mengalami penolakan atau konfrontasi. Kitab Suci mengajarkan bahwa Allah mencintai orang asing yang tinggal diantara kalian, memberi makanan dan pakaian. Dan kalian akan mencintai mereka yang menjadi orang asing karena kalian sendiri dulu adalah orang asing di Mesir.’ Akhirnya mengintegrasikan berarti membiarkan pengungsi dan migran untuk berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan masyarakat yang menyambut mereka, sebagai bagian dari proses saling memperkaya dan kerjasama yang berbuah dalam pelayanan pengembangan manusia yang utuh di komunitas lokal. Santo Paulus mengatakan: ‘Kalian bukan lagi orang asing tetapi sesama warga negara bersama dengan umat Allah’.13 Perdagangan Manusia, Pengungsi Internal dan Pengungsi karena Perubahan Lingkungan Sebuah evolusi yang jelas terlihat dalam pendekatan Bapa Suci terhadap migrasi ialah pengakuannya bahwa perdagangan manusia adalah kejahatan dan perlunya menangani isu ini saat berurusan dengan isu migrasi. Para migran sangatlah rentan karena mereka melarikan diri dari situasi yang berbahaya; mereka seringkali mengambil resiko untuk mencoba masuk ke sebuah negara tujuan dan takut dipulangkan (deportasi). Pada tahun 2014, Bapa Suci menggambarkan perdagangan manusia sebagai “sebuah luka yang menganga di tubuh masyarakat kontemporer, bencana bagi tubuh Kristus.”14 Pada tahun 2018, Paus Fransiskus menekankan bahwa “jalur migrasi juga sering dipakai oleh para pedagang manusia dan orang-orang yang suka mengeksploitasi untuk merekrut korban-korban baru.”15 Paus Fransiskus juga mengenali sesuatu yang lebih dalam, sebagaimana dilihat dalam ekshortasi apostolik Evangelii Gaudium. Dia berbicara mengenai budaya “mencampakkan” di mana manusia lebih dilihat sebagai “pemakai barang-barang” yang dapat digunakan dan dibuang (cf. EG 53). “Jejaring kejahatan yang bejat ini sekarang terbentuk rapi di kota-kota kita, dan banyak yang ikut punya andil dalam kejahatan ini sebagai akibat dari keterlibatan senyap dan yang menyenangkan buat mereka.” (EG 211). Pada awal tahun 2015, Paus Fransiskus mendedikasikan Pesan Hari Perdamaian Dunia bagi perdagangan manusia, sambil menekankan bahwa “Kita sedang menghadapi fenomena

Penjelajahan dengan Orang Muda

Bahagia Berjalan Bersama Orang Muda

Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu. Mazmur 119 Pada waktu itu di tahun 2000, angin malam terasa dingin dan suasana gelap gulita karena listrik padam. Di rumah formasi Jesuit, tepatnya di atas dak, di jalan Salemba Bluntas, Jakarta saya memandang langit yang dipenuhi bintang sambil melakukan percakapan antar sahabat. Dalam percakapan tersebut saya mengungkapkan minat mendalam untuk terlibat aktif mendampingi kaum muda. Bagi saya kaum muda adalah recup atau tunas yang bertumbuh. Recup itu perlu dipelihara, dipupuk, dan disiram agar dapat bertumbuh optimal. Berdasarkan diskresi, saya kemudian mengajukan usulan kepada Pater Rektor Kolese Hermanum, agar diperkenankan mendampingi orang muda, khususnya para mahasiswa di PMKAJ (Pastoral Mahasiswa Keuskupan Agung Jakarta) unit Selatan. Di PMKAJ Selatan para intelektual muda berkumpul menimba ilmu di kampus-kampus besar yang berada di wilayah Depok dan sekitarnya. Perjumpaan dengan orang muda membuat saya mengerti betapa mereka membutuhkan perhatian, dan kepedulian mentor yang bersedia menemani perjalanan mereka. Saya, pada waktu itu sebagai frater Jesuit, lebih mudah menyesuaikan diri dengan cara bertindak orang muda. Melalui diskusi-diskusi yang panjang bersama mahasiswa, kami membuat aneka kegiatan seperti temu mahasiswa tahun 2000, napak tilas setelah malam Kamis Putih dari Wisma SJ Depok ke Katedral Jakarta pada tahun 2001; lalu pada tahun yang sama membentuk Ignatian Study Club. Aneka kegiatan yang dilakukan membuat saya semakin mengenali dan memahami kebutuhan orang muda yang sedang bertumbuh menjadi pribadi dewasa dan bertanggungjawab. Perjumpaan yang intens dengan mereka, menginspirasi saya untuk melakukan pendampingan yang pas sesuai kebutuhan mereka. Dalam analisis Buckingham (2008), orang muda perlu dilatih untuk mengetahui cara mengelola hidup, memimpin diri sendiri atau orang lain, dan mempertahankan serta sekaligus mengembangkan apa yang dimiliki orang muda. Menurut Lowndes (2014) orang muda perlu dilatih dan dikembangkan agar mereka yakin dan memiliki kepercayaan tinggi dalam meraih kesuksesan di masa depan. Orang muda yang terlatih akan merasa optimistis, bahwa hidup yang bernilai baik dan mulia layak diperjuangkan. Perasaan dominan berjalan bersama orang muda adalah sukacita. Orang muda mempunyai energi besar untuk bertumbuh. Dalam rentang tahun 2000-2019 saya mengalami interaksi langsung secara intens dengan orang muda di Wisma SJ Depok, Kolese Le Cocq d’Armandville, dan Civita Youth Camp. Semua daya upaya saya lakukan dalam mendampingi orang muda. Hasil pendampingan yang dirasakan tidak didapat secara langsung, tetapi kalau dilihat dari wajah-wajah mereka, setelah melalui proses pendampingan, tampak gembira. Tahun 2019 hingga sekarang, saya tidak lagi secara langsung mendampingi orang muda. Fokus saya sekarang menemani perjalanan para pendidik atau guru TK, SD, SMP, SMA, dan SMK di Perkumpulan Strada. Mereka didampingi agar dapat bekerja melayani secara efektif, efisien, dan mendalam saat mereka mendampingi para murid, generasi muda. Pengalaman puluhan tahun mendampingi orang muda sungguh berguna dalam memberikan aneka inspirasi berupa tulisan opini, kajian, lumbung gagasan, seminar, podcast, semi-lokakarya, dan pendampingan langsung pada guru dan unsur pimpinan di Perkumpulan Strada, khususnya bagaimana menemani perjalanan orang muda. Berdasarkan gagasan C.P. Varkey, S.J. (2012), kekuatan doa mengalir pada realitas. Dia menegaskan bahwa bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Oleh karenanya, lewat doa dan mengandalkan Tuhan, saya merasa mendapatkan energi yang besar dari orang muda yang dijumpai. Selama mendampingi orang muda, saya mendapat begitu banyak insight pembelajaran. Mereka memberikan energi positif pada saya untuk terus bertumbuh bersama mereka. Dalam gagasan Herbert F. Smith, S.J., diungkapkan bahwa pengalaman yang membahagiakan karena dibimbing Roh Allah bergerak menuju pada persatuan lebih mendalam dengan Bapa, menyangkut tindak perilaku tertentu, yang menyatukan saya sebagai person lebih intim dengan Putra yang wafat dan bangkit. Cara bertindak yang didasari kasih Allah, membuat saya belajar banyak hal dari kaum muda. Membuka telinga dan hati yang lebar pada kehidupan mereka, rasa kesatuan relasi menjadi utuh, bukan lagi saya dan dia; atau kami, dan mereka tetapi kita. Coutinho, S.J. (2016) memberikan analisis bahwa manusia itu diberi kebebasan. Dalam kebebasan, orang mempunyai aneka pengalaman ilahi yang mengantar pada perbuatan-perbuatan baik. Tantangan zaman sekarang dan di masa depan sebenarnya merupakan realitas berulang dalam kualitas dan konteks yang berbeda. Pendampingan terhadap orang muda bukanlah segalanya dalam formasi. Akan tetapi, menemani secara formatif perjalanan orang muda sangat bernilai karena dinamika duniawi kerap berubah. Perubahan itu perlu dijawab dengan kematangan berpikir dan bertindak, maka selayaknya sahabat mentor perlu membantu orang muda dalam mengatasi persoalan hidup yang mereka alami. Ada empat pokok persoalan sebagai tantangan orang muda di zaman now, yaitu terkait masalah fondasi hidup, harga diri, relasi, dan orientasi masa depan. Pertama, di era modern banyak orang yang merasa kesulitan untuk menentukan fondasi yang menjadi arah tujuan hidup dalam mencari makna. Terkadang, orang muda merasa kehilangan arah dan bingung dengan apa yang seharusnya dilakukan. Hal ini dapat menyebabkan kecemasan, depresi, atau bahkan ketidakbahagiaan. Kedua, masalah harga diri terkait dengan kepercayaan diri seseorang. Banyak orang merasa tidak cukup baik atau kompeten dalam hal-hal tertentu dan ini dapat menyebabkan keraguan diri dan kecemasan. Selain itu, perkembangan teknologi dan media sosial juga dapat mempengaruhi harga diri seseorang terutama jika mereka merasa tertekan untuk terlihat sempurna atau mendapatkan persetujuan dari orang lain. Ketiga, di era digital seperti sekarang, relasi atau hubungan menjadi hal yang sangat penting. Meskipun teknologi memudahkan orang muda untuk terhubung dengan orang lain, terkadang sulit membangun hubungan yang sehat dan bermakna. Banyak orang muda merasa kesulitan dalam membangun hubungan, baik itu dengan teman, keluarga, maupun pasangan. Tantangan ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, termasuk perbedaan budaya, pola pikir, dan kesulitan berkomunikasi. Keempat, masalah orientasi masa depan bagi orang muda berkaitan dengan kekhawatiran apakah impian hidup mereka tercapai atau tidak. Dalam dunia yang terus berubah dan berkembang, banyak orang muda mengalami kesulitan membuat rencana atau menentukan arah hidup. Sebagian dari orang muda tidak terlalu yakin dengan karir atau pekerjaan yang cocok, bahkan di antara mereka ada yang tidak mengetahui bagaimana mencapai tujuan hidup mereka. Blanchard, Olmstead, & Lawrence (2013) memunculkan gagasan ABCD (Able, Believable, Connected, dan Dependable). Melalui gagasan mereka, saya terinspirasi bagaimana mendampingi orang muda agar mereka memiliki kemampuan olah diri yang baik, dapat dipercaya, terhubung satu sama lain, dan dapat diandalkan. Oleh karenanya, dalam banyak kesempatan kami membuat aneka bentuk kaderisasi berupa Latihan Kepemimpinan Ignatian, Rekoleksi, dan Retret Orientasi Hidup bagi orang muda. Dalam

Penjelajahan dengan Orang Muda

Menemani Orang Muda di Karya Kerasulan Jesuit

Nama saya Anton, seorang bapak usia 40-an. Saat ini saya bekerja di Universitas Sanata Dharma (USD), sebuah universitas Jesuit di Yogyakarta. Ketika redaksi INTERNOS menghubungi saya untuk menjadi salah satu kontributor tulisan edisi khusus tentang Orang Muda, saya merasa sangat senang. Rasa senang tersebut hadir bukan karena saya merasa mempunyai banyak pengalaman bersama-sama dengan orang muda, namun karena dari pengalaman-pengalaman tersebut saya belajar dan tumbuh sebagai manusia dewasa. Oleh karenanya, tulisan sederhana ini hanyalah sekadar sharing atas refleksi pribadi saya yang pernah menjadi orang muda, berjumpa dengan para Jesuit, dan sekarang menemani orang-orang muda serta bekerja sama dengan para Jesuit dalam tugas saya sehari-hari di perguruan tinggi. Menjadi Orang Muda, Menjumpai Allah yang Berkarya Lewat Pengalaman Hidup Jika ditanya perasaan dominan saya mengemban tugas perutusan melayani orang muda bersama para Jesuit, tentu jawabannya adalah perasaan bersemangat. Sebelum bekerja di USD, saya pernah menjadi orang muda yang didampingi oleh seorang Jesuit dan pengalaman tersebut sangat mengesankan. Sekira 25 tahun yang lalu, saat saya menjadi mahasiswa di sebuah universitas negeri, saya bertemu dengan seorang pastor Jesuit yang caranya memandang dunia dan cara hidupnya banyak mempengaruhi hidup saya. Dari beliaulah, di kemudian hari saya mengenal yang disebut sebagai cara bertindak seorang Jesuit. Saya menjadi orang muda di tengah situasi perubahan besar dalam kehidupan bangsa ini: krisis ekonomi, krisis sosial, dan krisis demokrasi. Melalui mata kuliah agama Katolik saya bertemu dengan mendiang Pater Joseph Adi Wardaya, S.J. Saya disadarkan pentingnya ikut serta memperbaiki situasi dengan terlibat lebih jauh pada permasalahan sosial masyarakat dan bagaimana itu semua menjadi perwujudan iman dalam hidup sehari-hari. Saya belajar tentang Analisis Sosial, Gerakan Non-Violence, dan Teater Rakyat sebagai media konsientisasi. Saya terpukau oleh bagaimana iman sangat erat kaitannya dengan keprihatinan hidup masyarakat. Namun lebih daripada itu, saya belajar darinya tentang memelihara iman, menemukan Allah melalui pengalaman dalam hidup sehari-hari, dan refleksi sebagai unsur penting dalam setiap aksi. Sampai akhir hidupnya, Romo Adi, begitu saya biasa memanggilnya, tidak pernah mengatakan – setidaknya secara langsung kepada saya – bahwa cara bertindaknya didasari oleh spiritualitas tertentu. Cara hidupnyalah yang menuntun saya pada akhirnya untuk mencari dan menemukan sendiri dari mana semua itu berasal. Di akhir masa muda saya, saya menemukan bahwa yang menggerakkan semua itu adalah apa yang disebut sebagai Spiritualitas Ignasian. Di masa muda, saya bersyukur karena mengalami perjumpaan dan didampingi oleh seorang Pastor Jesuit sehingga saya bisa menemukan bahwa menjadi (orang) muda adalah sebuah rahmat dari Allah, rahmat untuk terlibat memperbarui situasi hidup bermasyarakat yang juga pada akhirnya membuat dunia selalu menjadi muda. Rahmat Keterbukaan: Keberanian untuk Melangkah Lebih Jauh dan Melompat Lebih Tinggi Bekerja di Universitas Sanata Dharma memungkinkan saya untuk lebih terlibat dan bekerja sama dengan para Jesuit dan orang-orang muda. Kebetulan sebelum di Biro Humas, selama 10 tahun saya bertugas di Campus Ministry dan Asrama Sanata Dharma Student Residence. Jika ditanya suka duka menjadi pendamping orang muda, tentu lebih banyak sukanya, lebih banyak kegembiraan, dan sukacitanya. Di Campus Ministry saya bertemu dengan berbagai komunitas mahasiswa berbasis agama. Pernah dalam sebuah kesempatan camping yang kami laksanakan di bulan Ramadhan, saya sangat tersentuh dengan inisiatif beberapa teman muda Katolik yang ikut menyiapkan menu sahur bagi teman-teman muslim yang sedang berpuasa. Demikian juga ketika persiapan Tri Hari Suci di Kapel Bellarminus, teman-teman lintas iman banyak terlibat. Saya ingat sekali, dalam Tablo Jumat Agung di tahun 2018, banyak teman muda dari berbagai agama ikut menjadi pemeran dan tim produksi. Saya juga belajar banyak dari teman-teman di Asrama Sanata Dharma yang dengan segala kesulitannya beradaptasi di tengah situasi pandemi. Selama dua tahun, asrama kami yang diisi hampir dua ratusan mahasiswa yang berasal dari Papua, Nias, Kalimantan, dan NTT bertahan dan mendisiplinkan diri. Beberapa dari mereka harus menjalani isolasi karena terkena covid, yang lainnya harus menjaga mobilitas, menjaga jarak, menjaga kesehatan, dan terus menjalani kuliah secara online di tengah segala keterbatasannya. Saya sangat memahami bahwa sebagai orang muda mereka mempunyai mobilitas tinggi dan hasrat yang besar untuk mengeksplorasi lingkungan sekitarnya. Namun, hal-hal tersebut di atas tidak mengurangi kehendak mereka untuk bisa mendisiplinkan diri selama kurang lebih dua tahun dengan tidak keluar sembarangan dari lingkungan asrama, beradaptasi dengan perkuliahan online, dan saling membantu sebagai sesama anak perantauan. Apa yang saya pelajari dari pengalaman ini? Saya merasa bahwa orang-orang muda mempunyai kemampuan yang luar biasa di dunia yang terus bergerak dan berubah dengan cepat. Melalui orang muda saya banyak belajar tentang keberanian dan keterbukaan terhadap dunia yang terus berubah. Mereka berani melangkah lebih jauh dan melompat lebih tinggi. Tantangan terbesar orang muda? Tidak dipahami dan dipercaya oleh orang tua. Menemani Orang Muda di Zaman Ini untuk Sebuah Pengharapan di Masa Depan Orang-orang muda di zaman ini adalah mereka yang lahir ketika dunia bergerak sangat cepat berkat teknologi informasi. Mereka banyak disebut oleh para ahli sebagai generasi Z, sebuah generasi yang memiliki karakteristik sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, termasuk generasi saya. Mereka di satu sisi memang sangat terbuka dan toleran dengan perbedaan budaya. Gen Z juga adalah penduduk asli era digital yang tumbuh dengan teknologi, internet, dan sosial media sehingga sering distigma sebagai generasi pecandu teknologi dan cenderung anti sosial. Akrab dengan teknologi dan internet, membuat mereka kaya akan informasi. Namun, ketergantungan terhadap teknologi membentuk karakter yang konon cenderung keras kepala, menyukai sesuatu yang instan, terkesan terburu-buru, dan senang mengumbar hal-hal privat di ranah publik. Sebagai orang yang yang tidak lagi ‘tergolong muda,’ tentu saya harus menerima teman-teman muda ini dengan segala keunggulan dan kelemahannya. Kerendahan hati saya untuk mendengarkan aspirasi mereka dan memahami dunia serta pilihan-pilihan mereka sangatlah dibutuhkan. Orang muda perlu dipercaya. Bahwa dengan segala potensinya mereka bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa (lagi) dilakukan oleh orang-orang tua. Kekuatan utama orang muda adalah kemampuan mereka untuk mengeksplorasi banyak hal. Mereka tidak takut salah, berani terus mencoba dan berusaha. Mereka perlu percaya pada diri, percaya pada kemampuan dirinya, dan terbuka terhadap situasi dunia, serta terhadap rahmat-rahmat Allah yang bekerja dengan caranya sendiri. Sebagai orang yang tidak lagi muda, saya merasa tugas saya adalah menjadi teman seperjalanan mereka. Menemani mereka dalam proses pertumbuhan manusiawi sebagai manusia dewasa agar pada saatnya nanti para pemilik masa

Penjelajahan dengan Orang Muda

Mendampingi Orang Muda Membangun Harapan melalui Pendidikan Tinggi Vokasi untuk Negeri

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia saat ini tidak bisa lepas dari peran dunia pendidikan vokasi. Politeknik Industri ATMI, atau ATMI Cikarang, merupakan lembaga pendidikan tinggi vokasi milik Jesuit yang berfokus pada bidang keteknikan terutama di industri manufaktur. Berbekal pengalaman lebih dari puluhan tahun yang dimiliki Politeknik ATMI Surakarta (ATMI Solo) dan peran para alumninya yang tersebar di berbagai bidang industri, ATMI Cikarang didirikan di kawasan industri Jababeka-Cikarang dua dekade silam. Keberadaannya di kawasan industri ini diharapkan semakin memberikan kesempatan bagi orang muda yang ingin mengembangkan kemampuan dan karirnya di bidang teknologi manufaktur serta mendekatkan diri dengan dunia industri yang kelak akan menjadi tempat bagi para lulusan ATMI berkarya. Memulai karya sebagai seorang instruktur di ATMI Cikarang setelah lulus dari Program D3 Teknik Mekatronika ATMI Solo pada tahun 2011, saya merasa terpanggil bersama para Jesuit dalam proses pendampingan orang muda melalui dunia pendidikan vokasi. Perjalanan karir hingga saat ini menjadi seorang dosen muda memberikan banyak cerita dan pengalaman berharga bagi saya. Tahun pertama berkarya di ATMI Cikarang, saya langsung mendapatkan tantangan dan pengalaman baru dalam mendampingi orang muda yang notabene usianya tidak jauh berbeda dengan saya. Bahkan saat itu, ada salah satu mahasiswa yang ternyata adalah teman seangkatan saya sewaktu di sekolah dasar. Saya pun mencoba memposisikan diri bukan sebagai seorang pengajar, namun lebih seperti kakak kelas yang menjadi mentor dan mendampingi mereka dalam melaksanakan aktivitas perkuliahan. Tahun demi tahun berlalu, saya bersyukur masih dapat mendampingi orang muda di ATMI Cikarang. Melalui refleksi dan evaluasi, saya pun merasakan rahmat dan karunia dari Tuhan melalui proses pendampingan orang-orang muda ini. Semangat jiwa muda yang berani untuk mengembangkan diri dan mencoba tantangan-tantangan baru menjadi salah satu terang dan rahmat yang saya terima dari Tuhan. Puji syukur, pada tahun 2014 saya boleh mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi jenjang S1 Teknik Elektro di Universitas Trisakti – Jakarta dengan beasiswa dari ATMI Cikarang sambil tetap menjadi seorang instruktur. Suka duka bekerja sambil berkuliah tentu menjadi rahmat dan pengalaman tersendiri. Sebagai orang muda, semangat willingness to do and to be more (untuk mau bekerja keras, berbuat lebih, dan berusaha terus belajar) menjadi salah satu pengalaman yang bisa dibagikan dalam proses pendampingan mahasiswa saat itu. Rahmat dan terang dari Tuhan dalam usaha mendampingi orang-orang muda pun kembali saya dapatkan. Tahun 2019 ATMI memberikan saya kesempatan studi jenjang S2 pada bidang Mechatronics and Cyber-Physical System di Technische Hochschule Deggendorf dengan beasiswa dari Jesuit Missionsprokur Jerman. Pengalaman tersebut juga semakin menguatkan dan membuka wawasan saya tentang pentingnya menyiapkan pendidikan yang baik dan berkualitas unggul terutama pada dunia pendidikan vokasi. Jerman-Swiss-Austria adalah contoh beberapa negara maju di Eropa yang memiliki sistem pendidikan vokasi yang kuat yang dikenal dengan model Dual System. Pendidikan vokasi model Dual System, Link & Match dengan dunia industri, menjadi motor bagi perkembangan industri di negara tersebut. ATMI sejak berdiri tahun 1968 hingga saat ini masih mengadopsi model Dual System yang kemudian diterjemahkan menjadi model pendidikan dan pelatihan berbasis produksi atau dikenal dengan Production Based Education and Training (PBET). Model PBET inilah yang sampai saat ini masih menjadikan lulusan-lulusan ATMI siap terjun dan berkarya di dunia kerja dan dunia industri. Selain model pendidikan Dual System, perkembangan teknologi industri di Jerman menjadi salah referensi dan bekal bagi saya dalam mengembangkan karya pendidikan di ATMI Cikarang. Berbagi pengalaman studi, hidup, budaya, dan dinamika bersama orang muda dan masyarakat lintas negara selama dua tahun di Jerman itu, menjadi salah satu usaha yang dapat saya lakukan setelah saya kembali mendampingi para mahasiswa. Saya mengenalkan budaya pendidikan vokasi dan budaya industri di negara maju serta menularkan kebiasaan baik yang ada di sana dalam mendidik orang muda di Indonesia. Tidak dapat dimungkiri bahwa perkembangan teknologi digital di dunia kerja dan dunia industri yang semakin maju, ditambah efek pandemi yang terjadi beberapa tahun yang lalu, tentu menjadi tantangan besar yang akan dihadapi orang muda saat ini. Adanya berbagai kemudahan yang disediakan di dunia digital serta berbagai macam- macam hiburan yang ditawarkan di media sosial memiliki pengaruh yang besar pula pada perkembangan orang muda. Perkembangan teknologi juga memberikan dampak bagi penyediaan lapangan kerja bagi orang-orang muda. Melihat kondisi tersebut, saya sebagai seorang dosen pun merasa harus terus beradaptasi dan mengembangkan diri dalam rangka mendampingi orang-orang muda. Menurut saya, pendidikan yang baik masih menjadi kunci untuk membawa pribadi-pribadi menjadi lebih baik lagi. Sistem pendidikan vokasi mengajarkan orang muda untuk lebih memiliki kemampuan pada suatu bidang keahlian tertentu. Dari sisi pendidikan vokasi model ATMI, standar industri yang ada saat ini masih tetap perlu diberikan supaya mahasiswa semakin siap untuk nantinya berkarya di dunia kerja dan dunia industri. Ditambah lagi, penekanan pada pendidikan karakter sebagai standar pendidikan sekolah-sekolah Jesuit yang berlandaskan pada nilai-nilai Ignatian, 4C (Competence, Conscience, Compassion, Commitment) dan Universal Apostolic Preferences (UAP) juga harus terus dikuatkan dalam setiap proses pendampingan para mahasiswa. Model pendidikan seperti ini diharapkan dapat membentuk orang-orang muda pembaharu dunia yang berstandar industri dan berkarakter unggul. Penghayatan semangat Magis untuk mau belajar, berkreasi, dan berinovasi, serta kemauan untuk selalu menjadi lebih baik perlu terus ditularkan kepada para peserta didik di setiap unit karya pendidikan milik Jesuit. Besar harapannya penghayatan ini akan membantu semakin banyak orang muda yang dapat menemukan potensi-potensi terbaik dari dirinya, membangun harapan baru, dan memberikan manfaat bagi perkembangan dirinya, keluarganya, bangsa, dan negaranya serta ikut berperan menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya di masa yang akan datang demi kemuliaan Allah yang lebih besar. AMDG Kontributor: F.O. Sanctos P. Tukan -Dosen ATMI Cikarang

Penjelajahan dengan Orang Muda

Membersamai “Si Muda” Menemukan Tuhan melalui Dunia Digital

Tiga tahun ini saya banyak berdinamika dan berproses bersama orang muda di Paroki Santa Theresia Bongsari Semarang melalui layanan digital di gereja, khususnya multimedia. Mulai dari membuat jadwal tugas, mendampingi anggota baru, hingga mengolah teks misa agar dapat ditampilkan dengan baik dan nyaman di perangkat multimedia gereja kami. Melayani Orang Muda bersama Para Jesuit Berproses bersama Jesuit membuat saya merasa tertantang karena beberapa Jesuit yang saya kenal adalah pribadi yang inovatif meski kadang ide-ide kreatif itu muncul di menit-menit akhir. Dengan perubahan ide-ide yang datang “mendadak” seringkali membuat saya harus memikirkan cara untuk menyampaikannya kepada si muda tanpa mengecilkan apa yang sudah mereka lakukan. Menemani, berproses, dan saling bekerja sama mewujudkan ide-ide tersebut yang dibumbui “sambat” menjadi pengalaman yang menantang sekaligus mengembangkan. Melihat bagaimana para Jesuit bersemangat dan bersukacita dalam melayani umat juga menjadi motivasi tersendiri. Ketika orang mampu melayani dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati maka orang di sekitarnya pun merasakan buah sukacita. Dari pengalaman melihat itu, saya menyimpulkan bahwa ternyata pelayanan membuahkan sukacita baik bagi yang dilayani maupun yang melayani. Terang dan Rahmat Percaya atau tidak, membersamai si muda yang berdinamika dalam iman pun membawa berkat tersendiri bagi kehidupan. Saya dibawa pada ingatan ketika saat-saat pertama saya menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup saya. Misalnya, menemukan Tuhan dalam hal paling sederhana seperti bisa mengerjakan ujian di saat kondisi otak sudah buntu. Menjadi bagian dari kehidupan mereka dalam era digital membuat saya tersadar bahwa menyebarkan sukacita itu bisa sesederhana membuat IG story ‘By His wounds you have been healed. #GoodFriday.’ See! Tuhan berkarya dalam siapa saja bahkan dalam si muda yang belum banyak usianya. Saya tersentil dengan cara yang kadang kocak dan sederhana. Hal ini mengingatkan saya bahwa di dalam diri saya terdapat jiwa muda yang dipelihara oleh Tuhan untuk terus percaya pada-Nya. Tantangan Terbesar Orang Muda Saat ini Siapa itu orang muda? Apakah yang dikelompokkan menurut usia tertentu? Atau orang-orang yang memiliki jiwa muda di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelitik di dalam pikiran. Terkadang saya menjumpai seorang yang bahkan belum mencapai umur 17 tahun tapi didewasakan oleh perjalanan hidup yang tidak mudah. Kalau di reels Instagram biasanya ditulis “dipaksa dewasa oleh keadaan.” Dia kehilangan binar dan senyum masa muda yang tetap menunjukkan wibawanya. Menjadi muda di era saat ini sangatlah berat terutama berhadapan dengan kondisi dan tuntutan masyarakat. Belum lagi harus menghadapi fase krisis mempertanyakan eksistensi diri, mencari jati diri. Sebetulnya kita diminta jadi apa? Seharusnya langkah apa yang diambil? Apakah ini yang diharapkan untuk memenuhi standar khalayak umum. Menjadi muda saat ini adalah BEBAN! Bergaya dibilang flexing (padahal itu satu-satunya yang dimiliki). Ketika menulis caption “butuh healing” dicap tidak tahu bersyukur atas semua yang diberi. Bikin story Instagram “lelah” pun jadi perkara. ‘Kamu belum tahu zaman kita, dek. Lebih berat! Ini mah belum seberapa!’ Membuat checklist “misa mingguan check” pun dianggap sebagai pamer. Menjadi muda saat ini menguras mental. Jadi, bila kesehatan mental akhir-akhir ini digaungkan pun tidak salah karena menjadi muda yang berbeda, harus memenuhi ekspektasi yang luar biasa dari lingkungan sekitar. Sisi positifnya ialah orang-orang muda ini masih memberi tempat bagi Tuhan. Mereka tahu di bawah sadarnya bahwa mereka harus mengadu ke sana. Itu pula yang menjadi salah satu alasan si muda tidak konsisten dan tidak menindaklanjuti sesuatu yang sudah dipelajari. Mereka cenderung mempelajari sesuatu karena penasaran dan lekas bosan. Beberapa yang bergabung dan telah berlatih untuk bertugas, hanya muncul sebentar lalu menghilang. Mereka hanya penasaran namun kesadaran untuk melakukan pelayanan masih kurang. Mereka lebih memilih untuk bertemu dengan teman daripada harus bertugas sesuai jadwal. Kurangnya motivasi dari diri mereka sendiri membuat pelayanan menjadi tidak menarik dan terasa membosankan. Agaknya bagi mereka pasang IG Story dengan background komputer gereja masih kalah menarik dari background cafe lengkap dengan caption “senja, kopi, dan kamu.” Latar belakang keluarga juga menjadi salah satu faktor yang mendukung anak dalam mengembangkan talenta mereka di gereja. Tidak bisa dimungkiri, keluarga, dalam hal ini orang tua, yang tidak aktif dalam kegiatan menggereja cenderung sulit untuk mendorong anak mereka untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di gereja. Hubungan keluarga yang kurang terbuka juga menjadi hambatan dalam pelayanan di gereja. Beberapa orang muda menggunakan alasan minim dukungan orang tua saat tidak dapat bertugas sesuai jadwal. Usaha dan Suka Duka dalam Menemani Orang Muda Sebagai kolaborator yang juga sedang belajar “lebih dewasa”, menemani orang muda dalam menemukan jalan perutusan melalui pelayanan multimedia di gereja, saya berusaha memberikan pengertian bahwa pelayanan tidak selalu yang “serius” seperti memimpin doa. Saya belajar memberi tanggungjawab dan kepercayaan kepada mereka. Cara pandang bahwa kegiatan gereja akan berjalan lebih baik dan lancar dengan keterlibatan mereka, juga coba saya tularkan kepada mereka. Bahkan memastikan kabel tidak terbakar karena overheat pun termasuk di dalamnya. Saya memberi lebih banyak ruang bagi mereka untuk berdinamika dalam ‘mencari Tuhan’ melalui langkah digital. Membuat konten untuk media sosial, menyiapkan slideshow misa, merekam jalannya tuguran atau mungkin sekadar memastikan bahwa pesan tentang sabda hari ini tersampaikan dengan baik adalah ruang keterlibatan bagi sang muda. Harus kembali ditekankan bahwa melayani Tuhan itu beragam rupanya. Panggilan itu beragam caranya. Bagi saya kolaborator yang menemani si muda dalam ‘mencari Tuhan’ pun diharapkan selalu mengimani dan mendampingi. Si muda adalah energi bukan gulma yang harus dibabat habis. Menemani si muda sebagai kawan perjalanan dalam melayani Tuhan dengan cara yang kreatif tidak lagi harus kaku dan menghakimi. Gereja sebagai wadah pertumbuhan dan perkembangan iman membutuhkan partisipasi mereka sebagai upaya regenerasi. Pada akhirnya masa depan Gereja berada di tangan si muda. Mereka sebetulnya sudah memiliki jawaban dalam diri mereka, mereka hanya butuh waktu untuk menemukannya. Dan tugas kita, menemani. Kontributor: Eugenia Agustina – Koordinator Multimedia Paroki Santa Theresia Bongsari Semarang

Penjelajahan dengan Orang Muda

Be a Blessing for Others

Menjadi berkat bagi orang lain… Ya, itulah yang ada di pikiran saya selama beberapa tahun belakangan ini. Mungkin ini bukanlah suatu hal yang umum bagi teman-teman seangkatan saya di Polin ATMI Cikarang saat ini. Bagaimana caranya saya bisa memberi dampak positif bagi orang lain? Apa yang bisa saya lakukan supaya hidup orang lain terbantu? Apa sebenarnya tujuan hidup saya di dunia ini? Sampai saat ini saya masih belum menemukan jawabannya. Yang terpikir di benak saya adalah saya harus menjadi mapan secara finansial terlebih dahulu untuk bisa membantu orang lain karena menurut saya, banyak hal akan menjadi lebih mudah apabila kita punya uang. Namun, benarkah begitu…? Adakah sesuatu yang bisa saya lakukan saat ini di usia muda untuk dapat menjadi berkat bagi orang lain? Setelah beberapa hari merefleksikan hal ini, saya mendapatkan pencerahan bahwa ternyata ada banyak hal yang dapat saya lakukan sebagai kaum muda untuk bisa menjadi berkat bagi orang lain. Dimulai dari hal kecil seperti membantu teman dalam melakukan cleaning (membereskan perlengkapan pembelajaran dan praktek), membantu teman memahami materi perkuliahan, dan sebagainya. Saya merasa kesadaran seperti ini perlu dibiasakan sejak usia muda supaya kesadaran diri terlatih dan siap untuk menghadapi zaman yang terus berubah. Karena menurut saya, masa muda adalah masa yang menentukan arah tujuan hidup seseorang ke depan. Akan menjadi apakah seseorang di masa depan dan karakter seperti apa yang akan dimilikinya, ditentukan oleh masa muda. Masa muda merupakan masa di mana kita harus banyak belajar terutama belajar dari pengalaman diri sendiri dan dari pengalaman orang lain. Namun permasalahannya adalah banyak dari kaum muda yang masih malas untuk belajar. Tantangan terbesar yang kami hadapi adalah diri kami sendiri. Seringkali kami teralihkan pada hal-hal atau kebiasaan negatif yang menguras waktu dan energi sehingga hilang fokus dalam mencapai tujuan. Seperti misalnya nongkrong hingga larut malam bersama teman-teman, menunda pekerjaan, menonton film biru, dan sebagainya. Bahkan banyak di antara kaum muda yang masih belum tahu arah hidupnya mau ke mana. Hal seperti ini yang harus dijadikan perhatian utama agar para kaum muda dapat lebih terarahkan hidupnya. Saya bersyukur karena jawaban dari problema tersebut perlahan-lahan mulai saya temukan setelah saya masuk ke Polin ATMI Cikarang, salah satu politeknik yang dinaungi oleh Serikat Jesus (Jesuit). Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada banyak orang baik yang sudah membantu proses kuliah saya di sini. Sungguh, tanpa campur tangan Tuhan dan orang-orang baik tersebut, mungkin saat ini saya masih bekerja sebagai staff audit di salah satu perusahaan smartphone di Jakarta dengan kegiatan yang monoton dan melelahkan. Saya merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Saya berasal dari keluarga yang tidak utuh (broken home) dan saat ini tinggal bersama Ibu dan kedua adik saya. Latar belakang khusus ini membuat saya tumbuh menjadi pribadi yang khas pula. Dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya tentu bukanlah hal yang mudah untuk saya. Pikiran untuk mengakhiri hidup pun sempat menghampiri tetapi untungnya saya bisa mengusirnya. Itu semua berkat dukungan dan semangat dari orang-orang yang saya cintai serta keyakinan bahwa broken home bukan berarti broken future. Saya juga bersyukur dapat menjadi bagian keluarga besar ATMI. Saya mendapatkan banyak sudut pandang baru dari civitas ATMI, terutama Pater Kristiono Puspo, S.J. yang mengajarkan betapa pentingnya melakukan refleksi diri setiap hari. Beliau mengatakan bahwa hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalankan (begitu kira-kira pernyataan beliau). Maka dari itu, selama enam bulan pertama para mahasiswa tingkat satu diwajibkan untuk menulis refleksi di sebuah buku setiap hari. Tujuannya sederhana, yaitu agar dapat mengevaluasi kembali aktivitas hari ini, melihat kejadian-kejadian yang memberikan pelajaran berharga pada hari tersebut, dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan sebelumnya. Sejauh ini, pengalaman refleksi ini merupakan pengalaman yang paling berkesan selama berdinamika dengan para Jesuit. Kelihatannya sepele, namun dengan melakukan refleksi setiap hari, kita bisa tahu berapa banyak waktu yang kita hemat untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dan menjadi lebih kenal dengan diri sendiri. Sayangnya, banyak di antara kami yang masih malas untuk melakukan hal tersebut karena masih menganggap sepele kekuatan refleksi. Saya berharap para Jesuit dapat menemukan cara yang semakin kreatif dan tepat dengan perkembangan zaman sekarang dalam mengajarkan betapa pentingnya refleksi harian. Saya juga berharap para Jesuit terus membantu para mahasiswa dalam menemukan arah hidup atau passion masing-masing karena banyak di antara teman-teman (termasuk saya) yang belum sadar apa passion-nya. Dengan mengetahui passion kami, kami akan menjadi lebih terarah dalam melangkah ke depan karena sudah tahu ke mana arah yang dituju dan tentu saja, akan merasa lebih senang dalam menjalani prosesnya. Yang terakhir, sebagai orang muda saya berharap agar 5-10 tahun ke depan Jesuit dapat menjadi berkat yang lebih banyak bagi orang lain melalui karya-karyanya, terutama di bidang pendidikan. Kontributor: Theodorus Nino Alfianto – Mahasiswa Polin ATMI Cikarang