capture imaginations, awaken desires, unite the Jesuits and Collaborators in Christ mission

Menemani Orang Muda di Karya Kerasulan Jesuit

Date

Nama saya Anton, seorang bapak usia 40-an. Saat ini saya bekerja di Universitas Sanata Dharma (USD), sebuah universitas Jesuit di Yogyakarta. Ketika redaksi INTERNOS menghubungi saya untuk menjadi salah satu kontributor tulisan edisi khusus tentang Orang Muda, saya merasa sangat senang. Rasa senang tersebut hadir bukan karena saya merasa mempunyai banyak pengalaman bersama-sama dengan orang muda, namun karena dari pengalaman-pengalaman tersebut saya belajar dan tumbuh sebagai manusia dewasa.

Oleh karenanya, tulisan sederhana ini hanyalah sekadar sharing atas refleksi pribadi saya yang pernah menjadi orang muda, berjumpa dengan para Jesuit, dan sekarang menemani orang-orang muda serta bekerja sama dengan para Jesuit dalam tugas saya sehari-hari di perguruan tinggi.

Menjadi Orang Muda, Menjumpai Allah yang Berkarya Lewat Pengalaman Hidup

Jika ditanya perasaan dominan saya mengemban tugas perutusan melayani orang muda bersama para Jesuit, tentu jawabannya adalah perasaan bersemangat. Sebelum bekerja di USD, saya pernah menjadi orang muda yang didampingi oleh seorang Jesuit dan pengalaman tersebut sangat mengesankan. Sekira 25 tahun yang lalu, saat saya menjadi mahasiswa di sebuah universitas negeri, saya bertemu dengan seorang pastor Jesuit yang caranya memandang dunia dan cara hidupnya banyak mempengaruhi hidup saya. Dari beliaulah, di kemudian hari saya mengenal yang disebut sebagai cara bertindak seorang Jesuit.

Saya menjadi orang muda di tengah situasi perubahan besar dalam kehidupan bangsa ini: krisis ekonomi, krisis sosial, dan krisis demokrasi. Melalui mata kuliah agama Katolik saya bertemu dengan mendiang Pater Joseph Adi Wardaya, S.J. Saya disadarkan pentingnya ikut serta memperbaiki situasi dengan terlibat lebih jauh pada permasalahan sosial masyarakat dan bagaimana itu semua menjadi perwujudan iman dalam hidup sehari-hari. Saya belajar tentang Analisis Sosial, Gerakan Non-Violence, dan Teater Rakyat sebagai media konsientisasi. Saya terpukau oleh bagaimana iman sangat erat kaitannya dengan keprihatinan hidup masyarakat. Namun lebih daripada itu, saya belajar darinya tentang memelihara iman, menemukan Allah melalui pengalaman dalam hidup sehari-hari, dan refleksi sebagai unsur penting dalam setiap aksi.

Dokumentasi: Universitas Sanata Dharma

Sampai akhir hidupnya, Romo Adi, begitu saya biasa memanggilnya, tidak pernah mengatakan – setidaknya secara langsung kepada saya – bahwa cara bertindaknya didasari oleh spiritualitas tertentu. Cara hidupnyalah yang menuntun saya pada akhirnya untuk mencari dan menemukan sendiri dari mana semua itu berasal. Di akhir masa muda saya, saya menemukan bahwa yang menggerakkan semua itu adalah apa yang disebut sebagai Spiritualitas Ignasian.

Di masa muda, saya bersyukur karena mengalami perjumpaan dan didampingi oleh seorang Pastor Jesuit sehingga saya bisa menemukan bahwa menjadi (orang) muda adalah sebuah rahmat dari Allah, rahmat untuk terlibat memperbarui situasi hidup bermasyarakat yang juga pada akhirnya membuat dunia selalu menjadi muda.

Rahmat Keterbukaan: Keberanian untuk Melangkah Lebih Jauh dan Melompat Lebih Tinggi

Bekerja di Universitas Sanata Dharma memungkinkan saya untuk lebih terlibat dan bekerja sama dengan para Jesuit dan orang-orang muda. Kebetulan sebelum di Biro Humas, selama 10 tahun saya bertugas di Campus Ministry dan Asrama Sanata Dharma Student Residence.

Jika ditanya suka duka menjadi pendamping orang muda, tentu lebih banyak sukanya, lebih banyak kegembiraan, dan sukacitanya. Di Campus Ministry saya bertemu dengan berbagai komunitas mahasiswa berbasis agama. Pernah dalam sebuah kesempatan camping yang kami laksanakan di bulan Ramadhan, saya sangat tersentuh dengan inisiatif beberapa teman muda Katolik yang ikut menyiapkan menu sahur bagi teman-teman muslim yang sedang berpuasa. Demikian juga ketika persiapan Tri Hari Suci di Kapel Bellarminus, teman-teman lintas iman banyak terlibat. Saya ingat sekali, dalam Tablo Jumat Agung di tahun 2018, banyak teman muda dari berbagai agama ikut menjadi pemeran dan tim produksi.

Saya juga belajar banyak dari teman-teman di Asrama Sanata Dharma yang dengan segala kesulitannya beradaptasi di tengah situasi pandemi. Selama dua tahun, asrama kami yang diisi hampir dua ratusan mahasiswa yang berasal dari Papua, Nias, Kalimantan, dan NTT bertahan dan mendisiplinkan diri. Beberapa dari mereka harus menjalani isolasi karena terkena covid, yang lainnya harus menjaga mobilitas, menjaga jarak, menjaga kesehatan, dan terus menjalani kuliah secara online di tengah segala keterbatasannya. Saya sangat memahami bahwa sebagai orang muda mereka mempunyai mobilitas tinggi dan hasrat yang besar untuk mengeksplorasi lingkungan sekitarnya. Namun, hal-hal tersebut di atas tidak mengurangi kehendak mereka untuk bisa mendisiplinkan diri selama kurang lebih dua tahun dengan tidak keluar sembarangan dari lingkungan asrama, beradaptasi dengan perkuliahan online, dan saling membantu sebagai sesama anak perantauan.

Apa yang saya pelajari dari pengalaman ini? Saya merasa bahwa orang-orang muda mempunyai kemampuan yang luar biasa di dunia yang terus bergerak dan berubah dengan cepat. Melalui orang muda saya banyak belajar tentang keberanian dan keterbukaan terhadap dunia yang terus berubah. Mereka berani melangkah lebih jauh dan melompat lebih tinggi. Tantangan terbesar orang muda? Tidak dipahami dan dipercaya oleh orang tua.

Menemani Orang Muda di Zaman Ini untuk Sebuah Pengharapan di Masa Depan

Orang-orang muda di zaman ini adalah mereka yang lahir ketika dunia bergerak sangat cepat berkat teknologi informasi. Mereka banyak disebut oleh para ahli sebagai generasi Z, sebuah generasi yang memiliki karakteristik sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, termasuk generasi saya. Mereka di satu sisi memang sangat terbuka dan toleran dengan perbedaan budaya. Gen Z juga adalah penduduk asli era digital yang tumbuh dengan teknologi, internet, dan sosial media sehingga sering distigma sebagai generasi pecandu teknologi dan cenderung anti sosial.

Akrab dengan teknologi dan internet, membuat mereka kaya akan informasi. Namun, ketergantungan terhadap teknologi membentuk karakter yang konon cenderung keras kepala, menyukai sesuatu yang instan, terkesan terburu-buru, dan senang mengumbar hal-hal privat di ranah publik. Sebagai orang yang yang tidak lagi ‘tergolong muda,’ tentu saya harus menerima teman-teman muda ini dengan segala keunggulan dan kelemahannya. Kerendahan hati saya untuk mendengarkan aspirasi mereka dan memahami dunia serta pilihan-pilihan mereka sangatlah dibutuhkan.

Orang muda perlu dipercaya. Bahwa dengan segala potensinya mereka bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa (lagi) dilakukan oleh orang-orang tua. Kekuatan utama orang muda adalah kemampuan mereka untuk mengeksplorasi banyak hal. Mereka tidak takut salah, berani terus mencoba dan berusaha. Mereka perlu percaya pada diri, percaya pada kemampuan dirinya, dan terbuka terhadap situasi dunia, serta terhadap rahmat-rahmat Allah yang bekerja dengan caranya sendiri.

Sebagai orang yang tidak lagi muda, saya merasa tugas saya adalah menjadi teman seperjalanan mereka. Menemani mereka dalam proses pertumbuhan manusiawi sebagai manusia dewasa agar pada saatnya nanti para pemilik masa depan ini ‘tidak menjadi tua tanpa pernah menjadi dewasa,’ seperti ungkapan Uskup Agung Dom Helder Camara.

Menjadi teman adalah menjadi pribadi yang less judgemental dan tidak harus selalu menjadi segala penentu langkah-langkah mereka. Dengan menemani orang muda, saya juga merasa ikut membangun dan memiliki masa depan, seperti yang diungkapkan Pierre Teilhard de Chardin, S.J., “Masa depan adalah milik mereka yang memberikan keberanian bagi orang-orang muda untuk mempunyai harapan.”

Kontributor: Antonius Febri Harsanto – Kepala Humas Universitas Sanata Dharma

More
articles

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *