Pilgrims of Christ’s Mission

ignatian

Provindo

Latihan Rohani: Panduan Cara Doa dan Cara Hidup St. Ignatius Loyola (2)

Berbagi Cara Hidup Jika kita memperhatikan hakikat, isi, dinamika, proses, dan asal usulnya, Latihan Rohani adalah sharing pengalaman St.Ignatius dalam perjalanan rohaninya. Kita memahami dan mengalami bahwa Latihan Rohani merupakan penerusan pengalaman rohani St. Ignatius yang tidak hanya menyajikan cara berdoa tetapi juga cara hidup. Diwariskan olehnya pembelajaran dan cara-cara untuk mempersiapkan jiwa serta menyediakan hati supaya orang bersih dari rasa lekat tidak teratur yang menghambat kerja Rahmat Tuhan, keselamatan jiwa, serta rahmat-rahmat lain yang menyertainya (LR 1). Berkenaan dengan Latihan Rohani sebagai sarana untuk membangun disposisi jiwa, mengingat biasanya seseorang tidak memulai dari nol, Latihan Rohani akan menjadi efektif serta berjalan dan menghasilkan buah ketika didukung oleh persiapan berkenaan dengan hal-hal mendasar. Misalnya, membiasakan diri dalam keheningan dan doa batin (lectio divina, meditasi, kontemplasi dan examen conscientiae) serta wawasan Kitab Suci dan mengakrabinya, mengingat bahan utama Latihan Rohani adalah misteri-misteri hidup Kristus.   Demikian yang ditegaskan di nomor pertama sebelum semua proses latihan rohani dijalankan lengkap dengan pelbagai kemungkinan adaptasinya. Dari segi bentuk dan cara berdoa, Latihan Rohani mencakup banyak hal. Hal penting yang ditegaskan oleh St. Ignatius dari pelbagai bentuk latihan rohani adalah fungsinya, membantu membangun disposisi hati untuk rahmat Tuhan. Karena itu, tidak sulit untuk memahami kebenaran makna latihan rohani yang diperluas pemaknaannya dan menjangkau praksis hidup.   “Yang dimaksud dengan kata latihan rohani ialah setiap cara memeriksa hati, meditasi, kontemplasi, dan doa lisan atau batin, dan segala aktivitas rohani lainnya, seperti yang akan dikatakan kemudian. … semua cara mempersiapkan jiwa dan menyediakan hati untuk melepaskan diri dari segala rasa lekat tidak teratur dan setelah itu, mencari dan mendapatkan kehendak Ilahi dalam hal mengatur hidup, guna keselamatan jiwanya” (LR 1).   Sebagai sharing, adalah jelas bahwa St. Ignatius telah mengalami dulu apa yang ditulis di dalam Latihan Rohani. Lebih daripada itu, St. Ignatius telah menggunakannya untuk membantu orang lain, baik akhirnya orang-orang tersebut bergabung serta bersamanya mendirikan dan menjadi anggota Serikat, seperti misalnya St. Fransiskus Xaverius dan St. Petrus Faber, maupun membantu memperjelas dan memperkuat untuk berkomitmen terhadap panggilan pribadinya. Dalam Serikat Jesus selanjutnya Latihan Rohani menjadi cara untuk merekrut para anggota baru. Setelah Serikat dibubarkan pada 21 Juli 1773 oleh Paus Klemens XIV dengan bulla Dominus ac Redemptor, dan kemudian direstorasi serta dikembalikan lagi oleh Paus Pius VII pada 7 Agustus 1814 dengan bulla Sollicitudo omnium Ecclesiarum, pelan-pelan Serikat dilahirkan kembali dan dibangun lagi dengan pondasi dasar Latihan Rohani. Para Jesuit yang menghilang selama masa Serikat “tidak ada” dan mau kembali lagi, langkah pertama yang dilakukan adalah menjalani Latihan Rohani. Boleh jadi, dalam hal ini kita bisa berkata, Serikat bisa dibubarkan tetapi Latihan Rohani sebagai rahim yang melahirkannya tidak pernah mati dan bisa dimatikan.   Membangun Disposisi Batin Dari keterangan apa itu Latihan Rohani (LR 1), ditegaskan pentingnya menyiapkan hati. Selanjutnya bisa dimengerti, ibarat seorang petani, dalam satu arti latihan rohani adalah bagian menyiapkan tanah supaya siap untuk ditaburi benih-benih rahmat Tuhan dan ditanami pelbagai jenis tanaman. Dalam proses itu ada saatnya menghancurkan batu-batu kecil dan menggemburkan tanah. Namun demikian juga ada saatnya sekedar mengaturnya supaya tidak menghambat penanaman dan proses tumbuh. Ketika memang ada batu besar yang tidak bisa dihancurkan dan diubah menjadi tanah, Latihan Rohani membantu meletakkan pada tempatnya dan tidak membodohi diri atau menghibur diri mengatakan bisa mengubah batu menjadi tanah subur. Dalam hal ini, Latihan Rohani membantu mengenal dan menerima diri lalu berjalan dengan menjadi optimal dalam segala keterbatasannya. St. Ignatius bahkan secara istimewa bisa menerapkan hal ini kurang lebih saat membimbing St. Petrus Faber. Pelbagai kelemahan disposisi psikologisnya ditata sehingga melalui Latihan Rohani dengan persiapan lebih dari tiga tahun, St. Petrus Faber terbantu menjadi pemberi Latihan Rohani terbaik menurut St. Ignatius (bdk. L. A. Sardi, S. J., Jesuit Magis, Pengalaman Latihan Rohani 6 Jesuit Awal, Kanisius, 2023, “Pengalaman Latihan Rohani Petrus Faber, 133-150).   Dalam usaha membangun disposisi ini, salah satu kunci yang penting adalah habituasi, pembiasaan untuk terus membuatnya sehingga tanah yang tidak subur menjadi subur, tanah yang subur dijaga kesuburannya dan dikembangkan. Itulah mengapa Serikat Jesus mewajibkan para anggotanya untuk menjalani Latihan Rohani tahunan selama 8 hari serta banyak sahabat yang terbantu dan terinspirasi oleh spiritualitas Ignatian melakukan retret periodik yang sama dengan pelbagai adaptasinya.   Latihan Rohani untuk membangun disposisi batin ini perlu dimaknai dan ditempatkan juga di dalam proses perjalanan hidup rohani. Karena itu, disposisi tersebut adalah disposisi yang dinamis dan bergerak maju. Disposisi yang terbangun untuk rahmat Tuhan akan membentuk disposisi batin selanjutnya untuk rahmat-rahmat Tuhan berikutnya. Inspirasi ini terkandung di dalam semangat magis (lebih) Ignatian.   Bersama Pembimbing Dalam semua itu, berkenaan buku Latihan Rohani, St. Ignatius telah menjalani lebih dulu dan selanjutnya menggunakannya untuk membantu yang lain dengan bantuan pembimbingnya. Artinya, dalam latihan rohani, salah satu yang juga disyaratkan adalah adanya bantuan pembimbing. Bukan karena Tuhan tidak bisa bertindak langsung tetapi oleh karena yang terjadi di dalam latihan rohani adalah proses olah batin, tepatnya mencermati gerak-gerak roh, diperlukan orang lain untuk membantu menguji, meluruskan maupun menambah wawasan. Secara faktual dan tradisional juga jelas, yaitu bahwa pada dasarnya seperti kelihatan di dalam catatan-catatan pendahuluan Latihan Rohani (1-20), buku kecil ini memang dirancang untuk pembimbing latihan rohani atau dalam Bahasa Spanyol untuk yang memberi bahan-bahan (el que da). Ungkapan ini memuat kebenaran bahwa Latihan Rohani akan menjadi lebih optimal buah-buahnya ketika dijalankan bersama seorang pembimbing.   Pada pengalaman St. Ignatius, peranan pembimbing itu dialami sejak awal pertobatannya, terutama ketika di Montserrat. Untuk pertama kalinya St. Ignatius mengungkapkan pengalaman batinnya dan rencana hidup baru pertobatannya. Ketika itu, pembimbingnya adalah seorang rahib benediktin dan lebih daripada sekadar bimbingan, St. Ignatius mengalami diperluas wawasan rohaninya karena diperkenalkan dengan buku-buku tradisi rohani zamannya, yaitu Devotio Moderna (Bdk. Autobiografi 13-18). Selanjutnya ketika berada di Manresa dengan pergulatan rohaninya yang intens, St. Ignatius dibimbing oleh seorang dominikan dan seperti kita ingat, terutama di dalam keterpilihannya sebagai Jenderal di Roma, St. Ignatius dibimbing oleh seorang Fransiskan. Mengingat di dalam Latihan Rohani seseorang juga menjalankan diskresi, kehadiran pembimbing juga berperan membantu objektivasi pengalaman diskresi.   Penutup Bila kita menempatkan Latihan Rohani sebagai buku istimewa bagi Serikat Jesus dan para anggotanya serta menjadi sarana yang melaluinya

Prompang

Asa Panggilan di Tengah Tawaran Dunia

Kamu mau jadi dokter? Akuntan? Arsitek? Pengacara? Atau lainnya? Ada banyak tawaran cita-cita pekerjaan yang dimiliki oleh anak muda. Untuk mencapai cita-cita itu, seorang anak harus melalui tahapan pendidikan khusus, seperti pendidikan sarjana. Kolese Kanisius dan Kolese Gonzaga berupaya menjembatani anak-anak didiknya untuk mendapatkan informasi lebih lengkap mengenai kampus-kampus terbaik beserta jurusannya dengan menggelar edufair. Edufair di Kolese Kanisius berlangsung pada 2-3 September, sedangkan di Kolese Gonzaga berlangsung pada 15-16 September 2023. Prompang SJ turut berpartisipasi pada kegiatan edufair di kedua kolese tersebut. Pada kesempatan ini, Prompang SJ mencoba menawarkan pilihan lain yang ditawarkan kampus-kampus lain yang juga ikut berpartisipasi, yaitu pilihan untuk menjadi seorang Jesuit. Pilihan ini terkesan aneh bagi sebagian orang. Di tengah hiruk-pikuk dunia dengan berbagai tawarannya, masih adakah anak muda yang tertarik menjadi seorang biarawan atau religius? Jawabannya adalah “ada.” Edufair di Kolese Kanisius dan Gonzaga memiliki buktinya. Pada gelaran edufair ini, para siswa Kolese Kanisius yang semuanya laki-laki dan para siswa Kolese Gonzaga, khususnya yang laki-laki, sangat antusias mengunjungi booth Prompang SJ. Seperti biasa, Prompang SJ menggelar acara Ngopi Bareng Jesuit di booth-nya. Melalui acara Ngopi Bareng Jesuit itu, para siswa yang berkunjung dapat minum kopi gratis sambil bertanya-jawab dengan para Jesuit mengenai sejarah Serikat Jesus dan Spiritualitas Ignatian. Selain itu, para siswa juga dapat berbagi cerita mengenai pergulatan hidup mereka, terutama mengenai panggilan hidup. Dari cerita-cerita mereka itulah diketahui bahwa beberapa di antara mereka memiliki ketertarikan untuk menjadi seorang Jesuit. Ada yang berencana bergabung ke dalam Serikat Jesus setelah lulus SMA. Ada pula yang berencana bergabung namun dengan terlebih dahulu menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana. Mereka yang berencana bergabung setelah lulus SMA harus terlebih dahulu mengikuti program KPA (Kelas Persiapan Atas) di seminari, sedangkan mereka yang sudah menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana dapat bergabung dengan terlebih dahulu mengikuti program rekoleksi promosi panggilan SJ. Booth Prompang SJ tidak hanya dikunjungi oleh para siswa Kolese Kanisius dan Gonzaga, namun juga dikunjungi oleh para orang tua siswa. Para orang tua siswa yang berkunjung menyatakan dukungannya seandainya anaknya memiliki keinginan untuk menjadi seorang Jesuit. Dukungan orang tua dan keluarga merupakan hal penting bagi para calon Jesuit untuk semakin memantapkan panggilannya. Gelaran edufair di Kolese Kanisius dan Gonzaga menjadi bukti bahwa benih panggilan tersebar di tengah tawaran dunia yang beragam. Panggilan untuk menjadi seorang Jesuit masih menjadi pilihan bagi sebagian anak muda. Kolese-Kolese yang dikelola para Jesuit memiliki peran penting dalam menumbuhkan benih panggilan itu melalui perjumpaan-perjumpaan yang terjadi. Kontributor: S. Mikael Tri Karitasanto, S.J – Prompang SJ

Penjelajahan dengan Orang Muda

Mendampingi Orang Muda Membangun Harapan melalui Pendidikan Tinggi Vokasi untuk Negeri

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia saat ini tidak bisa lepas dari peran dunia pendidikan vokasi. Politeknik Industri ATMI, atau ATMI Cikarang, merupakan lembaga pendidikan tinggi vokasi milik Jesuit yang berfokus pada bidang keteknikan terutama di industri manufaktur. Berbekal pengalaman lebih dari puluhan tahun yang dimiliki Politeknik ATMI Surakarta (ATMI Solo) dan peran para alumninya yang tersebar di berbagai bidang industri, ATMI Cikarang didirikan di kawasan industri Jababeka-Cikarang dua dekade silam. Keberadaannya di kawasan industri ini diharapkan semakin memberikan kesempatan bagi orang muda yang ingin mengembangkan kemampuan dan karirnya di bidang teknologi manufaktur serta mendekatkan diri dengan dunia industri yang kelak akan menjadi tempat bagi para lulusan ATMI berkarya. Memulai karya sebagai seorang instruktur di ATMI Cikarang setelah lulus dari Program D3 Teknik Mekatronika ATMI Solo pada tahun 2011, saya merasa terpanggil bersama para Jesuit dalam proses pendampingan orang muda melalui dunia pendidikan vokasi. Perjalanan karir hingga saat ini menjadi seorang dosen muda memberikan banyak cerita dan pengalaman berharga bagi saya. Tahun pertama berkarya di ATMI Cikarang, saya langsung mendapatkan tantangan dan pengalaman baru dalam mendampingi orang muda yang notabene usianya tidak jauh berbeda dengan saya. Bahkan saat itu, ada salah satu mahasiswa yang ternyata adalah teman seangkatan saya sewaktu di sekolah dasar. Saya pun mencoba memposisikan diri bukan sebagai seorang pengajar, namun lebih seperti kakak kelas yang menjadi mentor dan mendampingi mereka dalam melaksanakan aktivitas perkuliahan. Tahun demi tahun berlalu, saya bersyukur masih dapat mendampingi orang muda di ATMI Cikarang. Melalui refleksi dan evaluasi, saya pun merasakan rahmat dan karunia dari Tuhan melalui proses pendampingan orang-orang muda ini. Semangat jiwa muda yang berani untuk mengembangkan diri dan mencoba tantangan-tantangan baru menjadi salah satu terang dan rahmat yang saya terima dari Tuhan. Puji syukur, pada tahun 2014 saya boleh mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi jenjang S1 Teknik Elektro di Universitas Trisakti – Jakarta dengan beasiswa dari ATMI Cikarang sambil tetap menjadi seorang instruktur. Suka duka bekerja sambil berkuliah tentu menjadi rahmat dan pengalaman tersendiri. Sebagai orang muda, semangat willingness to do and to be more (untuk mau bekerja keras, berbuat lebih, dan berusaha terus belajar) menjadi salah satu pengalaman yang bisa dibagikan dalam proses pendampingan mahasiswa saat itu. Rahmat dan terang dari Tuhan dalam usaha mendampingi orang-orang muda pun kembali saya dapatkan. Tahun 2019 ATMI memberikan saya kesempatan studi jenjang S2 pada bidang Mechatronics and Cyber-Physical System di Technische Hochschule Deggendorf dengan beasiswa dari Jesuit Missionsprokur Jerman. Pengalaman tersebut juga semakin menguatkan dan membuka wawasan saya tentang pentingnya menyiapkan pendidikan yang baik dan berkualitas unggul terutama pada dunia pendidikan vokasi. Jerman-Swiss-Austria adalah contoh beberapa negara maju di Eropa yang memiliki sistem pendidikan vokasi yang kuat yang dikenal dengan model Dual System. Pendidikan vokasi model Dual System, Link & Match dengan dunia industri, menjadi motor bagi perkembangan industri di negara tersebut. ATMI sejak berdiri tahun 1968 hingga saat ini masih mengadopsi model Dual System yang kemudian diterjemahkan menjadi model pendidikan dan pelatihan berbasis produksi atau dikenal dengan Production Based Education and Training (PBET). Model PBET inilah yang sampai saat ini masih menjadikan lulusan-lulusan ATMI siap terjun dan berkarya di dunia kerja dan dunia industri. Selain model pendidikan Dual System, perkembangan teknologi industri di Jerman menjadi salah referensi dan bekal bagi saya dalam mengembangkan karya pendidikan di ATMI Cikarang. Berbagi pengalaman studi, hidup, budaya, dan dinamika bersama orang muda dan masyarakat lintas negara selama dua tahun di Jerman itu, menjadi salah satu usaha yang dapat saya lakukan setelah saya kembali mendampingi para mahasiswa. Saya mengenalkan budaya pendidikan vokasi dan budaya industri di negara maju serta menularkan kebiasaan baik yang ada di sana dalam mendidik orang muda di Indonesia. Tidak dapat dimungkiri bahwa perkembangan teknologi digital di dunia kerja dan dunia industri yang semakin maju, ditambah efek pandemi yang terjadi beberapa tahun yang lalu, tentu menjadi tantangan besar yang akan dihadapi orang muda saat ini. Adanya berbagai kemudahan yang disediakan di dunia digital serta berbagai macam- macam hiburan yang ditawarkan di media sosial memiliki pengaruh yang besar pula pada perkembangan orang muda. Perkembangan teknologi juga memberikan dampak bagi penyediaan lapangan kerja bagi orang-orang muda. Melihat kondisi tersebut, saya sebagai seorang dosen pun merasa harus terus beradaptasi dan mengembangkan diri dalam rangka mendampingi orang-orang muda. Menurut saya, pendidikan yang baik masih menjadi kunci untuk membawa pribadi-pribadi menjadi lebih baik lagi. Sistem pendidikan vokasi mengajarkan orang muda untuk lebih memiliki kemampuan pada suatu bidang keahlian tertentu. Dari sisi pendidikan vokasi model ATMI, standar industri yang ada saat ini masih tetap perlu diberikan supaya mahasiswa semakin siap untuk nantinya berkarya di dunia kerja dan dunia industri. Ditambah lagi, penekanan pada pendidikan karakter sebagai standar pendidikan sekolah-sekolah Jesuit yang berlandaskan pada nilai-nilai Ignatian, 4C (Competence, Conscience, Compassion, Commitment) dan Universal Apostolic Preferences (UAP) juga harus terus dikuatkan dalam setiap proses pendampingan para mahasiswa. Model pendidikan seperti ini diharapkan dapat membentuk orang-orang muda pembaharu dunia yang berstandar industri dan berkarakter unggul. Penghayatan semangat Magis untuk mau belajar, berkreasi, dan berinovasi, serta kemauan untuk selalu menjadi lebih baik perlu terus ditularkan kepada para peserta didik di setiap unit karya pendidikan milik Jesuit. Besar harapannya penghayatan ini akan membantu semakin banyak orang muda yang dapat menemukan potensi-potensi terbaik dari dirinya, membangun harapan baru, dan memberikan manfaat bagi perkembangan dirinya, keluarganya, bangsa, dan negaranya serta ikut berperan menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya di masa yang akan datang demi kemuliaan Allah yang lebih besar. AMDG Kontributor: F.O. Sanctos P. Tukan -Dosen ATMI Cikarang

Penjelajahan dengan Orang Muda

Yang Muda Yang Terlibat

Sebagai seorang muda jika ditanya bagaimana pandangan saya tentang masa muda, saya akan mengatakan bahwa masa ini merupakan masa krusial namun potensial. Sependek pengetahuan dan pengalaman saya, masa muda adalah masa di mana kita sedang mengalami banyak perjumpaan dengan hal baru dan masa di mana kita sedang senang mengeksplorasi serta mempelajari banyak hal. Masa itu merupakan saat di mana seseorang secara fisik, mental, emosional, sosial, moral dan, iman sedang berkembangan menuju pendewasaan. Jika menilik pada Kitab Hukum Kanonik Kanon 97 ayat 1-2, seseorang dapat dianggap dewasa ketika berusia genap delapan belas tahun karena dianggap telah mampu menggunakan akal budinya untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Dalam masa ini, begitu banyak impian dan harapan yang dirasakan. Tidak hanya impian dan harapan pribadi tetapi juga menjadi harapan besar bagi bangsa dan Gereja karena orang muda memiliki banyak potensi besar dalam dirinya. Maka dari itu, jika potensi yang dimiliki orang muda mampu dikembangkan secara maksimal, baik potensi fisik maupun kognitif, saya yakin bahwa orang muda mampu menjadi pilar penerus yang kokoh. Namun, untuk menjadi pilar yang kokoh, orang muda tentunya masih membutuhkan bimbingan, arahan, dan pendampingan terlebih dalam perkembangan iman. Sebagai lingkup terkecil dan terdekat, Gereja mengharapkan keluarga mampu mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan menjadi seorang Katolik yang setia sebagaimana kesediaan yang telah dinyatakan dalam pernikahan. Melibatkan anak sejak dini dalam kehidupan menggereja bisa membantu anak mengidentifikasi dirinya. Gereja pun sebenarnya telah memberikan wadah yang variatif bagi setiap jenjang tumbuh kembang anak, seperti PIA (Pendampingan Iman Anak), PIR (Pendampingan Iman Remaja), misdinar, komsos, lektor, pemazmur, OMK (Orang Muda Katolik), dll. Melalui keterlibatannya, meskipun dalam hal-hal sederhana, orang muda akan mempunyai kesempatan untuk belajar dan melatih diri dalam mengusahakan rasa tanggung jawab, disiplin, mampu berempati, percaya diri, ikhlas, berintegritas, tetap mengandalkan, dan semakin mampu menghadirkan kasih Allah dalam hidup sesuai dengan iman Katolik. Tentunya terlibat dalam hidup menggereja tidaklah mudah. Begitu banyak tantangan yang harus dihadapi oleh orang muda. Beberapa tahun ini, saya memberanikan diri untuk terlibat dalam bidang liturgi di Paroki St. Theresia Bongsari sebagai lektor dan OMK. Sebagai orang muda, tantangan yang terasa pada generasi muda Gereja saat ini terlihat begitu beragam. Sering kali saya bersama teman-teman muda antartim pelayanan nongkrong sembari berbagi perasaan dan pengalaman selama berdinamika sebagai pelayan Tuhan. Sayangnya, terkadang keterlibatan orang muda justru dipandang sebelah mata, dianggap tidak mampu, dan diragukan. Orang muda sering dianggap belum berpengalaman terutama oleh generasi pendahulunya. Hal ini juga menjadi salah satu alasan yang sering saya temukan pada teman-teman muda yang merasa enggan untuk menyampaikan argumennya. Mereka merasa tidak didengarkan sehingga pada akhirnya hanya mengikuti saja apa yang telah diinstruksikan oleh yang lebih senior. Usaha awal kami untuk terlibat dalam pelayanan seringkali dibuat maju-mundur, entah karena takut tidak mendapat penerimaan atau takut karena merasa diri kurang qualified ketika mengikuti tim pelayanan. Adanya kemajuan teknologi memang membawa dampak positif bagi perkembangan Gereja. Pelbagai bentuk pelayanan dalam kehidupan menggereja terus meng-upgrade diri demi tetap bisa memberi pelayanan terbaik bagi umat. Misalnya melalui live streaming perayaan Ekaristi sebagai salah satu bentuk usaha Gereja dalam pemenuhan kebutuhan rohani umatnya. Namun perjuangan selama kurang lebih dua tahun menghadapi pandemi, telah membuat kaum muda semakin nyaman dan terbiasa melakukan berbagai hal secara daring termasuk dalam hal bersosialisasi. Orang muda dengan mudahnya dapat membangun relasi secara daring, tetapi kesulitan membangun komunikasi ketika dihadapkan dalam situasi riil. Tidak sedikit orang muda mulai lebih senang berlindung di zona nyamannya seperti mengikuti berbagai kegiatan daring sehingga saat ini, butuh pendekatan yang lebih personal untuk “menjemput bola”. Padahal sesungguhnya, banyak sumber daya muda yang kreatif dan penuh talenta. Berbagai tantangan dalam pelayanan yang saya dan teman-teman muda rasakan akhirnya membawa saya berjumpa dan berdinamika bersama dengan banyak pihak, terlebih dengan para Jesuit. Memang pada dasarnya konflik adalah hal yang wajar terjadi. Namun, jika konflik secara berkelanjutan tidak disikapi secara bijaksana, yang dikhawatirkan adalah hal ini justru akan menjadi bom waktu yang dapat meledak dan menimbulkan ketidakharmonisan sewaktu-waktu dalam Gereja. Dukungan dari para Jesuit terhadap kami kaum mudalah yang meyakinkan kami untuk tetap tampil percaya diri mengemban tugas pelayanan kami. Kami selalu dipercaya dalam banyak kegiatan oleh para Jesuit. Seperti tidak mengenal bosan, para Jesuit meyakinkan umat untuk percaya pada kemampuan kami. Berulang kali Jesuit menekankan pada umat pentingnya peran kami, orang muda, bagi kehidupan gereja sebagaimana dalam Kitab Suci, Tuhan pun memakai orang-orang muda bahkan dalam karya-karya besar-Nya. Contohnya: Samuel, Daud, dan Paulus. Semangat Jesuit yang memperjuangkan eksistensi orang muda, membuat kami terpacu untuk juga memberikan yang terbaik dalam setiap kepercayaan yang diberikan kepada kami. Tidak mudah dan butuh waktu. Akan tetapi, kepercayaan umat yang semakin tumbuh dari tahun ke tahun membuat kami lebih banyak mendapat kesempatan terlibat dan belajar. Semakin banyak pula wajah orang muda yang muncul dalam karya pelayanan, meskipun tentunya masih banyak lagi orang muda yang perlu dirangkul. Saya bersyukur karena ada banyak pengalaman penemanan para Jesuit yang begitu mengesan bagi kami. Bagi saya pribadi, saya mendapat banyak hal yang bisa saya terapkan dalam hidup bermasyarakat, tidak hanya dalam hidup menggereja. Saya belajar bagaimana caranya berefleksi agar dapat menemukan kasih Allah sekalipun dalam hal kecil dan tidak menyenangkan. Ada sebuah kalimat yang pernah dikatakan oleh seorang Jesuit kepada saya dan masih selalu saya ingat: “Hal baik belum tentu yang terbaik, apalagi jika hal baik itu membuatmu menjauh dari tujuan awalmu.” Berdiskresi, membedakan dorongan roh baik dan roh jahat, tidaklah mudah. Apalagi yang jahat pun dapat menyerupai yang baik agar dapat mengecoh kita. Terlebih dalam pelayanan, terkadang kita perlu lebih dalam menelisik hati kita, “Apakah pelayanan yang kita lakukan sungguh benar untuk kemuliaan Tuhan, atau hanya untuk kemuliaan diri kita sendiri?” Sebagai orang muda, banyak hal yang perlu dipelajari dan dipahami menuju kedewasaan. Terkadang kita mungkin melakukan kesalahan tetapi “it’s okay, people make mistakes sometimes, we should regret it then learn from them.” “Jangan takut, sebab Ia mendahului kamu ke Galilea.” Tuhan sudah berdiri di depan kita, di jalan yang kita lalui dan selalu memastikan semua akan baik-baik saja. Kita hanya perlu melakukan bagian kita dan selalu berpegang pada tangan-Nya. Sebagai orang muda, kami membutuhkan kepercayaan, dukungan, dan ruang untuk mengembangkan potensi

Pelayanan Masyarakat

Kenangan dan Pembelajaran sebagai Kekayaan Rohaniku

Februari ini, usia saya 58,5 tahun, usia pra-manula. Sudah sewajarnya berhenti bekerja di institusi formal. Saya akan banyak di rumah. Tak ada lagi pertanyaan dari tetangga atau teman saat berjumpa di kompleks perumahan, “Sekarang tugas di mana, Pak?” Tentu saya sangat berterima kasih kepada JRS Indonesia yang telah memberi saya kesempatan untuk bergabung, sejak pasca Tsunami, Displacement Prevention Program, Need Assessment untuk Returnee Papua, Be Friend with Refugee sampai Journey with de Facto Refugee di Bogor dalam rentang waktu sekitar 16 tahun. Apa Rencana setelah Purna Kerja? Memasuki masa purna kerja, tentu saya akan memasuki ritme baru dalam aktivitas hidup keseharian, dari yang semula bekerja dengan rule of game yang jelas dan tertib, masuk jam 8 dan pulang jam 5 sore, mulai Senin sampai Jumat, dan tinggal di perantauan, kemudian saya akan tinggal di rumah dengan kegiatan yang diatur dan disusun sendiri, tanpa rutinitas berangkat dan pulang. Bangun pagi itu pasti, namun setelah terjaga dan mulai beraktivitas, apalagi yang mesti dikerjakan, nyuci, masak, bersihin rumah atau pekerjaan domestik lainnya, lalu mau ngapain lagi ya? Tentu ritme hidup dengan aktivitas di seputaran rumah BTN yang kecil dan tak ada lahan pekarangan akan sangat membosankan. Belum ada gambaran aktivitas yang bersifat olah pikir atau intelektual, atau kerja meja, mungkin saya sudah nggak mampu. Saya berharap, masih bisa bekerja, meski bekerja kasar, turun ke sawah misalnya, jadi petani penggarap. Alat saya adalah cangkul dan sabit, dan tubuh saya siap dibakar matahari yang terik. Kebernilaian manusia adalah bekerja, meski hanya untuk diri sendiri, dan mungkin tampak tak berguna bagi orang lain, yang penting adalah niat, sehat, dan semangat untuk tetap beraktivitas. Dengan tetap beraktivitas, badan dan pikiran tidak statis sehingga menjadikan badan dan pikiran tetap seiring dan sejalan. Jika banyak bengong tanpa aktivitas, bisa jadi badan duduk atau rebah di mana, pikiran lari ke mana, terlalu banyak melamun adalah awal ketidakberdayaan. Pekerjaan dan Hidup Saya Sepanjang hidup, sudah banyak pekerjaan yang saya jalani. Mulai dari reporter saat koran lagi booming pada akhir tahun 1980an. Usia 25 tahun, saya bergabung dengan koran baru anak usaha Kompas-Gramedia Group di Jawa Timur. Itulah awal saya masuk dunia kerja formal. Lalu pada tahun 1993 selesai kuliah, saya bergabung dengan LSM yang masih ada kaitan dengan dunia pers dan pelatihan reporter di Yogyakarta. Pernah juga jadi kuli pabrik di Korea Selatan akhir dekade 1990-an (semata-mata ingin cari uang setelah krismon). Lalu saya kembali gabung LSM yang berfokus pada penelitian dan bermitra dengan LIN (Lembaga Informasi Nasional) untuk penelitian tentang potensi integrasi dan potensi konflik di beberapa daerah. Saya pernah ke perbatasan Aceh, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumut pada tahun 2002, ke Tapanuli Utara (Tarutung) pada 2003, dan ke Aceh Utara dan Kabupaten Jayapura, Papua pada tahun 2004. Barulah pasca Tsunami, 2005, tepatnya bulan Juli saya bergabung dengan JRS di Aceh. Saya berangkat ke Medan pada 09 Juli 2005 dan selanjutnya ke Meulaboh pada 12 Juli. Saat itu Aceh masih konflik. Setelah Respons Tsunami Aceh selesai 2007, JRS merambah ke wilayah Aceh Selatan untuk Program Displacement Prevention, dengan proyek andalan Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction) setelah UU Penanggulangan Bencana disahkan tahun 2007 ((UU NO 24/Tahun 2007). Saya bergabung sejak need assessment sampai jadi IAO untuk untuk Proyek Komunitas. Pertengahan 2011, saya berhenti dan pulang ke Yogyakarta. Saya sempat berkuliah Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma selama 3 semester. Lalu pada awal 2013, saya bergabung lagi dengan JRS selama enam bulan untuk melakukan need assessment kepada para returnee yang berada di kabupaten perbatasan Provinsi Papua dan Papua Nugini (New Guinea). Saya sempat ke Kabupaten Keerom dan Kota Jayapura, juga ke Kabupaten Merauke. Saya menemani Bung Doni (Donatus Akur) yang sebelumnya juga sebagai koordinator di Proyek Komunitas Program Displacement Prevention di Aceh Selatan. Bulan Oktober dan November, saya ditugasi lagi oleh JRS untuk kembali ke Aceh Selatan untuk penjajagan evaluasi proyek Displacement Prevention setelah ditutup dua tahun. Dua kali saya ke Aceh Selatan, pertama dengan Mbak Elis untuk penjajagan evaluasi eksternal dan yang kedua dengan Bung Enggal (mantan IAO Proyek Aceh Selatan) untuk menemani para evaluator eksternal. Kembali ke JRS Saya mulai aktif bergabung kembali sebagai staf JRS sejak 2014 untuk proyek Be Friend with Refugees, untuk para pencari suaka yang ditahan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Surabaya, tepatnya di Bangil, Kabupaten Pasuruan. Saya bertugas sebagai Information and Advocacy Officer (IAO) dan juga caregivers untuk para refugee yang ditahan di Rudenim dengan memberikan kegiatan psikososial. Di Rudenim ada tiga lembaga yang bertanggung jawab, yaitu Imigrasi, IOM, dan UNHCR. JRS ikut memberikan pelayanan psikososial untuk para pencari suaka. Pernah suatu waktu, seorang pencari suaka mengatakan bahwa UNHCR ibarat ayah karena melindungi pencari suaka, IOM ibarat Ibu karena memberi makan dan fasilitas lainnya, dan JRS hanyalah teman. Tapi pencari suaka paling dekat dengan teman, karena JRS lah yang mau mendengar dan memenuhi yang pencari suaka minta, seperti kegiatan psikososial antara lain turnamen futsal, turnamen bola voli, berenang, berkebun dan juga piknik ke taman Safari di Pandaan Pasuruan. Tiga tahun saya mendampingi pengungsi di Rudenim Surabaya. Setelah itu, awal 2017 saya ditugasi untuk mencoba program yang sama di Rudenim Pontianak, Kalimantan Barat namun tidak dapat terlaksana. Kemudian Program Psikososial untuk deteni di Rudenim dipindahkan ke Rudenim Medan, Sumatera Utara. Di Rudenim Medan, saya jalankan kegiatan psikososial sampai akhir 2018. Pada tahun ini, ada kebijakan Rudenim tidak lagi menahan para pencari suaka sejak Maret 2018 dan pelan-pelan semua pencari suaka yang sudah ditahan dikeluarkan kemudian dipindah ke Community Housing. Praktis Rudenim kosong sampai akhir 2018. Kemudian pada 2019 saya ditugaskan ke PSS (Psychosocial Support) selama tiga tahun, dan pada 2022 ditugaskan sebagai IAO pada proyek Journey with de facto Refugees. Praktis total saya bergabung dengan JRS hampir 16 tahun, hampir setengah dari masa kerja saya. Tentu banyak kenangan dan dinamika yang dirasakan selama kurun waktu tersebut. Selain mengenal teman-teman sekerja dari berbagai latar belakang, saya juga mengenal beberapa Pater dari Serikat Jesus, mulai dari Pater Edy Mulyono, S.J.; Pater Adrianus Suyadi, S.J.; Pater Thomas Aquinas Maswan Susinto, S.J.; Pater Peter Benedicto Devantara SJ, dan direktur baru JRS Pater Martinus Dam Febrianto, S.J. Saya

Penjelajahan dengan Orang Muda

Welcoming New Members OMK Santa Theresia Jakarta

Orang Muda Katolik (OMK) Santa Theresia Jakarta menggelar acara Welcoming New Members di Ruangan Yakobus dan Yohanes pada Sabtu 11 Maret 2023 yang dilanjutkan dengan perayaan Ekaristi bersama pada pukul 18.00 WIB. Ketua seksi Acara Welcoming New Members OMK 2023 Gereja Santa Theresia, Michael Bima Radhitia, mengungkapkan bahwa pelaksanaan kegiatan ini sebagai bagian pengenalan serta pembekalan kepada anggota yang baru bergabung di OMK Santa Theresia Jakarta. “Anggota OMK yang baru bergabung adalah para Misdinar dari PPA Santa Theresia dan umum, ada sekitar 50 orang anggota baru,” ujar Bima di sela-sela pelaksanaan Welcoming New Member. Lebih lanjut, Bima menjelaskan acara Welcoming New Members OMK ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Mareike Widjaja sebagai Dewan Pendamping OMK dan Christina Ayu Novia (Opi) sebagai Ketua OMK Santa Theresia Jakarta periode 2022-2025. Mareike dan Opi berharap para anggota baru OMK dapat berperan aktif dalam kegiatan Kepemudaan Gereja. Opi juga menambahkan usia anggota OMK Santa Theresia berkisar antara 13-35 tahun. Sementara itu, Dewan Pendamping OMK, Mareike Widjaja dalam acara ini memaparkan tentang kegiatan-kegiatan anak muda menjadi sarana supaya kembali ke gereja. Selain itu, agar mereka dapat aktif bersama sebagai kaum muda, menjadi semangat baru untuk gereja, serta menjadi support system dalam menjalani masa muda yang penuh tantangan. OMK Santa Theresia juga mempunyai berbagai kegiatan seru baik yang sedang berjalan maupun yang akan datang. Kegiatan yang sedang berjalan antara lain: T-Pod (Theresia Podcast) yang tayang di YouTube KomSos Theresia setiap sebulan sekali dengan topik-topik seputar OMK masa kini. Ada juga Persiapan Tablo 2023 untuk Ibadat Jumat Agung 7 April 2023 pukul 08.00 WIB dengan latihan yang dilakukan satu minggu tiga kali (Kamis malam, Sabtu sore, dan Minggu pagi). Adapun kegiatan OMK Santa Theresia yang akan diadakan sepanjang tahun ini antara lain: olahraga badminton bersama, menjaga ketertiban dan keamanan pada Pekan Suci, Harmonisasi Lintas Agama, dan Misa Inkulturasi. Setelah pemaparan kegiatan OMK, acara dilanjutkan dengan nonton bareng (nobar) “A Man Called Otto”. Tentunya juga disuguhkan makanan dan minuman dari UMKM yang dikelola oleh beberapa anggota OMK Santa Theresia sejalan dengan himbauan dari Tim Sinergi Bidang Prioritas Keuskupan Agung Jakarta (TSBP 2 KAJ) untuk mendukung UMKM setempat. Bagi teman-teman yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya, apabila ingin bergabung di OMK Santa Theresia Jakarta, bisa menghubungi Calvin 082299553295 atau daftar melalui link bit.ly/kepoinomktheresia sekarang ya. Semoga kita dapat bertumbuh menjadi benih baru bagi Gereja di masa yang akan datang. AMDG. Kontributor: Gregorius Vincent Raka Pratama – Humas OMK St Theresia

Kuria Roma

Paus Fransiskus dan 10 Tahun Perjalanannya bersama Para Pengungsi (Bag. 1)

“Saudara-saudara yang terkasih, masing-masing dari anda mempunyai kisah hidup yang bertutur tentang tragedi perang dan konflik yang amat sering terkait dengan politik internasional. Namun, di atas segalanya, masing-masing dari anda memiliki kekayaan kemanusiaan dan makna religius daripada rasa takut. Kedua hal itu merupakan harta karun yang perlu disyukuri. Banyak dari anda adalah kaum Muslim atau orang-orang beragama lain. Anda berasal dari komunitas yang beragam dan dari situasi yang berbeda-beda. Kita tidak harus takut pada perbedaan. Persaudaraan membuat kita mampu menemukan bahwa perbedaan adalah kekayaan dan menjadi berkat bagi banyak orang. Marilah kita hidup dalam persaudaraan!”1 Kata-kata ini dipakai Paus Fransiskus untuk menyapa para pengungsi di dapur umum tempat pembagian makan bernama Centro Astalli pada tahun 2013. Centro Astalli adalah salah satu tempat yang dikelola oleh Jesuit Refugee Service di Italia dan merupakan salah satu proyek pertama yang didirikan oleh P Pedro Arrupe, S.J. pada awal tahun 1980-an. Pada acara itu, Carol, seorang pengungsi perempuan dari Syria yang baru saja tiba di Italia menjelaskan, “Orang-orang Syria di Eropa ingin bertanggung jawab akan hidupnya sehingga tidak menjadi beban. Kami ingin aktif terlibat dalam masyarakat. Kami ingin menawarkan bantuan, keahlian dan pengetahuan yang kami bawa, termasuk budaya kami dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan ramah terhadap orang-orang yang lari menghindari perang dan penganiayaan seperti kami. Kami orang-orang dewasa masih bisa menanggung penderitaan, jika penderitaan ini membantu menjamin masa depan yang damai bagi anak-anak kami. Kami mohon agar mereka dapat pergi ke sekolah dan bertumbuh dalam lingkungan yang damai.” Sepanjang masa kepemimpinannya sebagai Paus, Fransiskus menunjukkan teladan dan berbicara tentang Allah yang penuh keadilan dan belas kasih. Dia menjadikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi para migran dan pengungsi di seluruh dunia sebagai kunci utama bukan menjadi sekadar kata-kata tetapi mewujud dalam tindakannya. Contoh terbaru ialah kunjungannya ke Sudan dan Republik Demokratik Kongo pada bulan Februari 2023, di mana ia bertemu para pemimpin komunitas dan pengungsi. Pesan yang disampaikannya pada Hari Perdamaian Sedunia 2018 ialah “Migran dan pengungsi: laki-laki dan perempuan yang mencari kedamaian.” Dengan gayanya yang khas dan tanpa tedeng aling-aling, dia bertanya “Mengapa banyak sekali pengungsi dan migran?” Bahkan beberapa tahun sebelumnya, Paus Yohanes Paulus II telah menunjukkan ‘rentetan tanpa akhir dan mengerikan dari perang, konflik, pembunuhan massal, dan pembersihan etnis’.”2 Paus Fransiskus juga mengenali bahwa manusia memiliki keinginan alamiah untuk mencari penghidupan yang lebih baik dan melihat bahwa kerusakan alam dan lingkungan juga menjadi faktor penyebab migrasi. Tekanan pada keadilan sosial ini sangat dalam terpusat pada Kristus. Fransiskus sama sekali tidak mengabaikan karya teologis dari para pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II dan Benedictus XVI, yang memberikan sumbangan penting dan berkelanjutan teologi Katolik selama masa kepemimpinannya, khususnya ajaran sosial. Bahkan, mereka memberi dasar teologis yang menjadi tempat Paus Fransiskus terus membangun ajaran sosial Katolik. Contohnya, Pesan Paus Fransiskus pada Hari Perdamaian Dunia 2018, sebagaimana disebutkan di atas, terinspirasi dari kata-kata Santo Yohanes Paulus II: “Jika ‘mimpi’ akan dunia yang damai dimiliki oleh semua orang, jika sumbangan pengungsi dan migran dievaluasi secara tepat, maka kemanusiaan bisa menjadi sebuah keluarga yang makin universal dan bumi kita menjadi ‘rumah milik bersama’ yang sesungguhnya’.”3 Yang menyedihkan ialah beberapa tahun belakangan ini karena meningkatnya konflik dan faktor-faktor kerusakan berat lainnya seperti perubahan iklim sehingga banyak bangsa dan negara disibukkan dengan urusan orang-orang yang masuk ke wilayah mereka untuk mencari kedamaian dan rasa aman. Kadang-kadang, keinginan untuk mempertahankan diri yang tidak pada tempatnya berakibat pada obsesi untuk menghalangi para migran melewati perbatasan negara. Sikap ini menutup hati dan budi atas realitas harapan, ketakutan dan aspirasi dari sebagian kelompok masyarakat dunia yang sangat membutuhkan. Paus Fransiskus mengusulkan agar kita yang hidup dalam rasa nyaman dan rasa aman untuk mendengarkan kisah mereka dan menghargai gambaran utuh perjalanan mereka. Paus Fransiskus, sepanjang masa kepemimpinannya, secara konsisten telah mempertahankan keikutsertaannya dan mengarahkan sebuah visi radikal dan jelas bagi sebuah pendekatan alternatif dan lebih manusiawi atas tantangan migrasi paksa. Lampedusa, bulan Juli 2013: Globalisasi Ketidakpedulian Di Lampedusa, Fransiskus berkata, “’Kaum migran sekarat di laut. Kapal-kapal yang membawa mereka telah berubah dari kendaraan harapan menjadi kendaraan kematian.’ Demikianlah berita utama yang saya baca. Ketika saya pertama kali mendengar tragedi ini beberapa minggu lalu, dan menyadari bahwa hal ini terlalu sering terjadi, situasi ini terus-menerus kembali ke dalam pikiran saya seperti duri tajam yang menyakitkan menusuk jantung.”4 Pada bulan Juli 2013, yang menjadi perjalanan pertama dalam kepemimpinannya, Bapa Suci dengan kapal mengunjungi Pulau Lampedusa, yang terletak di luar pantai selatan Sisilia. Waktu dan konteks kunjungannya sangat penting. Libya sedang dilanda situasi kekerasan dan ketidakstabilan. Negara-negara Afrika yang lebih miskin, yang sebelumnya tertarik dengan ekspansi ekonomi yang ada di bawah kepemimpinan Gaddafi sekarang mencari tempat-tempat lain, khususnya di seberang Laut Tengah. Sewaktu di Lampedusa, Fransiskus merayakan misa untuk mengenang ribuan migran yang mati dalam upaya menyeberangi Laut Tengah. Dia juga menyampaikan homilinya yang sekarang terkenal di mana dia merasa dipaksa untuk datang “berdoa dan menawarkan tanda kedekatan, tapi juga mengusik suara hati kami sehingga tragedi ini tidak terulang lagi. Tolongkah, agar hal ini tidak terulang!” Dia kemudian merefleksikan dua pertanyaan pertama yang diajukan Allah dalam Kitab Suci kepada manusia. “Ini adalah pertanyaan pertama yang diajukan Allah kepada manusia setelah dia berdosa. ‘Adam dimanakah engkau?’ Adam kehilangan arah, kehilangan tempatnya dalam penciptaan karena dia menyangka dia sangat berkuasa, bisa mengendalikan segala sesuatu, bisa menjadi Allah. Harmoni hilang; dan manusia melakukan kesalahan. Dan kesalahan ini terjadi terus-menerus termasuk dalam relasi dengan sesama. ‘Yang lain bukan lagi menjadi saudara dan saudari untuk dicintai tetapi hanya seseorang yang mengganggu kehidupanku dan rasa nyamanku.” Paus Fransiskus beberapa kali menggunakan narasi Adam dan Kain sebagai analogi termasuk dalam cara dia melihat ekologi secara integral dalam ensikliknya tahun 2015 Laudato Si (LS). “Berapa banyak dari kita,” tanya Paus Fransiskus di hadapan migran di Lampedusa, “telah kehilangan arah. Kita tidak lagi memberi perhatian terhadap dunia tempat kita hidup; kita tidak lagi peduli; kita tidak lagi melindungi apa yang telah diciptakan Allah bagi semua orang, dan kita berakhir dengan ketidakmampuan untuk peduli satu sama lain!” Bagi Paus, “ketika kemanusiaan secara keseluruhan kehilangan arah, akibatnya ialah tragedi seperti yang kita saksikan. […] Kita jatuh dalam kemunafikan imam

Kuria Roma, Uncategorized

Paus dari Belahan Selatan

Paus pertama dalam sejarah yang berasal dari Amerika Latin, Fransiskus, dalam sepuluh tahun masa pontifikalnya di Takhta St. Petrus, telah membantu menggeser pendulum keseimbangan dalam Gereja Katolik. “Apakah Paus Fransiskus benar-benar telah mengubah Gereja?” Puluhan ribu orang berbondong-bondong membanjiri Lapangan St. Petrus. Satu jam sebelumnya, mereka telah melihat kepulan asap putih di atas Kapel Sistina. Paus baru telah terpilih! Saat cuaca yang dingin dan disertai hujan, pada 13 Maret 2013 malam, seorang pria muncul di balkon Basilika St. Petrus. Kebanyakan orang yang berkerumun di bawah balkon, di lapangan Basilika, tidak mengenal pria yang muncul itu. Pria itu adalah Jorge Mario Bergoglio, kardinal Jesuit dari Buenos Aires yang memilih nama Fransiskus sebagai nama panggilannya sebagai Paus. “Seperti Saudara sekalian ketahui bahwa tugas konklaf ialah memilih Uskup Roma,” menjadi kata-kata pertamanya sebagai seorang Paus. “Tampaknya para kardinal telah mengangkat seseorang dari ujung bumi,” tambahnya. Ujung bumi, jelas merujuk tanah kelahirannya Argentina, di Amerika Selatan. Paus baru ini memang sungguh orang asing atau orang luar – dalam tiga arti yang berbeda. Pertama, ia tidak berasal dari Eropa. Kedua, ia bukan orang Italia. Ketiga, ia adalah seorang yang asing dengan budaya Curia Roma, sesuatu yang tidak ia sukai dan ia tidak pernah menyembunyikan ketidaksukaannya pada budaya birokrasi ini sebagai uskup-kardinal di ibukota Argentina. Bahkan, begitu kenalnya orang akan perasaan Bergoglio terhadap birokrasi Vatikan, beberapa orang berharap – dan beberapa yang lain takut – bahwa ia akan menjadi pembawa pergeseran besar Gereja Katolik dari Utara ke Selatan. Eropa Si Anak Manja Sejatinya, hubungan Paus Fransiskus dengan Eropa telah menjadi topik diskusi yang tanpa henti sepanjang sepuluh tahun terakhir ini. “Dia melihat Eropa sebagai anak yang manja,” ungkap salah seorang temannya. Fransiskus selalu merujuk Eropa seperti seorang “perempuan tua” tempat tanpa masa depan yang cerah bagi Gereja. Paus Jesuit ini tidak berusaha menutup-nutupinya: dia takut dengan penutupan besar-besaran Gereja di Barat. Bagi Fransiskus, Gereja di Barat tidak lagi memperlihatkan adanya dinamisme. Karena dia melihat Benua Tua ini telah menjadi “manja” di masa lalu, khususnya karena begitu banyak kunjungan yang dilakukan selama masa para pendahulu-pendahulunya. Fransiskus memilih melakukan kunjungan pastoralnya ke negara-negara di pinggiran seperti Albania atau Siprus. Dia menjaga jarak dari negara-negara dengan tradisi Katolik lama, seperti Spanyol dan Perancis. Memang dia akan mengunjungi Marseilles selama beberapa jam di bulan September 2023 tetapi Fransiskus juga jelas menyatakan bahwa kunjungan di kota pelabuhan bagian selatan Perancis ini bukanlah perjalanan kunjungan yang sesungguhnya. Kunjungan itu lebih sebagai persinggahan yang memberi dia kemungkinan bergabung dengan para uskup Eropa sebelum meneruskan perjalanan ke Mongolia. “Tidak diragukan lagi bahwa Fransiskus merasa bahwa perannya bukanlah untuk mengorganisasi kunjungan-kunjungan di Eropa demi mengisi kurangnya inisiatif dari pihak Gereja Eropa,” kata salah seorang pembantu terdekat Paus. Sebuah Pergeseran Paradigma Bertolak belakang dengan Gereja Eropa, makin banyak kantor-kantor kuria, ordo, dan tarekat religius dunia melakukan pergeseran kepemimpinan kepada orang-orang dari dunia Belahan Selatan. Jenderal Serikat Jesus, ordo religius Paus Fransiskus, saat ini adalah seorang imam dari Venezuela bernama Arturo Sosa. Master Ordo Pengkhotbah (Dominikan) adalah P. Gerard Timoner dari Filipina. Kongregasi-kongregasi misionaris besar juga telah beralih seperti tampak pada tahun 2010 dengan terpilihnya Richard Baawobr dari Ghana, orang Afrika pertama, sebagai superior jenderal White Fathers. Di universitas-universitas kepausan, “pergeseran paradigma” yang diakibatkan oleh kedatangan Fransiskus sebagai tampuk pimpinan Gereja Katolik tidak luput dari perhatian. “Fakta bahwa ia berasal dari Belahan Selatan merupakan sebuah ujian bagi Gereja, khususnya karena hal ini memunculkan pertanyaan mengenai relasi antara Gereja Katolik di Barat dengan Gereja Katolik Non-Barat,” demikian catatan dari Paul Béré, seorang ahli kitab suci dari Burkina Faso. Béré adalah penerima hadiah Ratzinger tahun 2019, semacam “Hadiah Nobel Teologi.” Béré sendiri lama mengalami dirinya dikritik oleh sejawatnya yang berasal dari Eropa sebagai “teolog kelas dua.” “Ketika saya mendengar kritik dari kardinal-kardinal tertentu yang berasal dari Barat tentang Paus, saya mengenali diri saya di dalamnya,” kata Jesuit Afrika ini. “Saya menjadi bagian dari kritik yang sama selama bertahun-tahun. Mereka sering melihat saya dengan rasa kasihan, membuat saya mengerti anggapan mereka bahwa tak ada sesuatu yang baik atau yang serius berasal dari Afrika karena teologi di sana tidak berdasar pada kanon-kanon Barat,” kenangnya. Akibat Mengerikan dari Kolonisasi Terlepas dari pendekatan teologi yang klasik, Fransiskus juga memfokuskan tema dan isu baru. Ekologi jelas salah satunya seperti ditunjukkan dengan ensiklik yang dikeluarkannya tahun 2015 yang kita kenal dengan Laudato si. “Dia memperluas batas-batas otoritas tugas seorang paus,” kata seorang pengamat veteran di Vatikan. “Sejak sekarang, orang tidak bisa lagi mengatakan bahwa peran paus hanya terbatas pada liturgi dan moralitas.” Hal yang sama terjadi dengan perhatian yang ia berikan dan sebelumnya tak pernah terjadi kepada penduduk pribumi dan bangsa pertama, khususnya di Amazon dan Kanada. Ia beberapa kali menemui perwakilan-perwakilan kelompok ini di Roma. Fransiskus berkeliling ke Kota Quebec, Edmonton, dan Iqaluit di ujung jauh Kanada bulan Juli tahun lalu untuk meminta maaf atas pelecehan dan kejahatan yang terjadi di sekolah-sekolah berasrama milik Gereja Katolik pada abad kesembilan belas. Mengutuk “akibat mengerikan dari penjajahan,” menjadi pukulan bagi mereka di tempat tinggalnya sekarang di Eropa bahwa Gereja universal bukanlah Gereja Eropa. Atas prinsip yang sama, terkait perang di Ukraina, sejak awal ia menolak godaan untuk dilihat sebagai “pendamping Barat.” Tidak Ada yang Tersisa Kecuali Orang-orang Argentina Ketidakpercayaan Fransiskus terhadap Amerika Serikat juga menjadi bahan bakar bagi gagasan bahwa posisinya lebih banyak disebabkan karena sejarah negara kelahirannya. Argentina memiliki hubungan yang tidak setara dengan raksasa Amerika Utara itu, dan paus sebagian menyalahkan Amerika Serikat atas situasi Argentina di awal tahun 2000 yang hampir bangkrut. “Tidak ada yang tersisa kecuali orang-orang Argentina,” demikian keluhan salah seorang penjaga tradisi lama di Vatikan. Faktanya, Fransiskus memang mengangkat sejumlah besar orang-orang dari negaranya menjadi pejabat utama di Curia Roma atau menjadi anggota-anggota di lingkaran dalam para penasihatnya. Termasuk di dalam lingkaran dalam itu ialah Emilce Cuda, seorang perempuan berusia 57 tahun yang menjadi sekretaris Komisi Kepausan untuk Amerika Latin, di Roma. Demikian juga Victor Manuel Fernandez, uskup agung La Plata yang berumur 60 tahun dan menjadi penulis bayangan dokumen-dokumen penting Paus. Ada juga mantan imam Lefebvrist, P Pablo Enrique Suárez (anggota Serikat St. Pius X-SSPX hingga tahun 2019),