Pilgrims of Christ’s Mission

Kuria Roma

Kuria Roma, Uncategorized

Paus dari Belahan Selatan

Paus pertama dalam sejarah yang berasal dari Amerika Latin, Fransiskus, dalam sepuluh tahun masa pontifikalnya di Takhta St. Petrus, telah membantu menggeser pendulum keseimbangan dalam Gereja Katolik. “Apakah Paus Fransiskus benar-benar telah mengubah Gereja?” Puluhan ribu orang berbondong-bondong membanjiri Lapangan St. Petrus. Satu jam sebelumnya, mereka telah melihat kepulan asap putih di atas Kapel Sistina. Paus baru telah terpilih! Saat cuaca yang dingin dan disertai hujan, pada 13 Maret 2013 malam, seorang pria muncul di balkon Basilika St. Petrus. Kebanyakan orang yang berkerumun di bawah balkon, di lapangan Basilika, tidak mengenal pria yang muncul itu. Pria itu adalah Jorge Mario Bergoglio, kardinal Jesuit dari Buenos Aires yang memilih nama Fransiskus sebagai nama panggilannya sebagai Paus. “Seperti Saudara sekalian ketahui bahwa tugas konklaf ialah memilih Uskup Roma,” menjadi kata-kata pertamanya sebagai seorang Paus. “Tampaknya para kardinal telah mengangkat seseorang dari ujung bumi,” tambahnya. Ujung bumi, jelas merujuk tanah kelahirannya Argentina, di Amerika Selatan. Paus baru ini memang sungguh orang asing atau orang luar – dalam tiga arti yang berbeda. Pertama, ia tidak berasal dari Eropa. Kedua, ia bukan orang Italia. Ketiga, ia adalah seorang yang asing dengan budaya Curia Roma, sesuatu yang tidak ia sukai dan ia tidak pernah menyembunyikan ketidaksukaannya pada budaya birokrasi ini sebagai uskup-kardinal di ibukota Argentina. Bahkan, begitu kenalnya orang akan perasaan Bergoglio terhadap birokrasi Vatikan, beberapa orang berharap – dan beberapa yang lain takut – bahwa ia akan menjadi pembawa pergeseran besar Gereja Katolik dari Utara ke Selatan. Eropa Si Anak Manja Sejatinya, hubungan Paus Fransiskus dengan Eropa telah menjadi topik diskusi yang tanpa henti sepanjang sepuluh tahun terakhir ini. “Dia melihat Eropa sebagai anak yang manja,” ungkap salah seorang temannya. Fransiskus selalu merujuk Eropa seperti seorang “perempuan tua” tempat tanpa masa depan yang cerah bagi Gereja. Paus Jesuit ini tidak berusaha menutup-nutupinya: dia takut dengan penutupan besar-besaran Gereja di Barat. Bagi Fransiskus, Gereja di Barat tidak lagi memperlihatkan adanya dinamisme. Karena dia melihat Benua Tua ini telah menjadi “manja” di masa lalu, khususnya karena begitu banyak kunjungan yang dilakukan selama masa para pendahulu-pendahulunya. Fransiskus memilih melakukan kunjungan pastoralnya ke negara-negara di pinggiran seperti Albania atau Siprus. Dia menjaga jarak dari negara-negara dengan tradisi Katolik lama, seperti Spanyol dan Perancis. Memang dia akan mengunjungi Marseilles selama beberapa jam di bulan September 2023 tetapi Fransiskus juga jelas menyatakan bahwa kunjungan di kota pelabuhan bagian selatan Perancis ini bukanlah perjalanan kunjungan yang sesungguhnya. Kunjungan itu lebih sebagai persinggahan yang memberi dia kemungkinan bergabung dengan para uskup Eropa sebelum meneruskan perjalanan ke Mongolia. “Tidak diragukan lagi bahwa Fransiskus merasa bahwa perannya bukanlah untuk mengorganisasi kunjungan-kunjungan di Eropa demi mengisi kurangnya inisiatif dari pihak Gereja Eropa,” kata salah seorang pembantu terdekat Paus. Sebuah Pergeseran Paradigma Bertolak belakang dengan Gereja Eropa, makin banyak kantor-kantor kuria, ordo, dan tarekat religius dunia melakukan pergeseran kepemimpinan kepada orang-orang dari dunia Belahan Selatan. Jenderal Serikat Jesus, ordo religius Paus Fransiskus, saat ini adalah seorang imam dari Venezuela bernama Arturo Sosa. Master Ordo Pengkhotbah (Dominikan) adalah P. Gerard Timoner dari Filipina. Kongregasi-kongregasi misionaris besar juga telah beralih seperti tampak pada tahun 2010 dengan terpilihnya Richard Baawobr dari Ghana, orang Afrika pertama, sebagai superior jenderal White Fathers. Di universitas-universitas kepausan, “pergeseran paradigma” yang diakibatkan oleh kedatangan Fransiskus sebagai tampuk pimpinan Gereja Katolik tidak luput dari perhatian. “Fakta bahwa ia berasal dari Belahan Selatan merupakan sebuah ujian bagi Gereja, khususnya karena hal ini memunculkan pertanyaan mengenai relasi antara Gereja Katolik di Barat dengan Gereja Katolik Non-Barat,” demikian catatan dari Paul Béré, seorang ahli kitab suci dari Burkina Faso. Béré adalah penerima hadiah Ratzinger tahun 2019, semacam “Hadiah Nobel Teologi.” Béré sendiri lama mengalami dirinya dikritik oleh sejawatnya yang berasal dari Eropa sebagai “teolog kelas dua.” “Ketika saya mendengar kritik dari kardinal-kardinal tertentu yang berasal dari Barat tentang Paus, saya mengenali diri saya di dalamnya,” kata Jesuit Afrika ini. “Saya menjadi bagian dari kritik yang sama selama bertahun-tahun. Mereka sering melihat saya dengan rasa kasihan, membuat saya mengerti anggapan mereka bahwa tak ada sesuatu yang baik atau yang serius berasal dari Afrika karena teologi di sana tidak berdasar pada kanon-kanon Barat,” kenangnya. Akibat Mengerikan dari Kolonisasi Terlepas dari pendekatan teologi yang klasik, Fransiskus juga memfokuskan tema dan isu baru. Ekologi jelas salah satunya seperti ditunjukkan dengan ensiklik yang dikeluarkannya tahun 2015 yang kita kenal dengan Laudato si. “Dia memperluas batas-batas otoritas tugas seorang paus,” kata seorang pengamat veteran di Vatikan. “Sejak sekarang, orang tidak bisa lagi mengatakan bahwa peran paus hanya terbatas pada liturgi dan moralitas.” Hal yang sama terjadi dengan perhatian yang ia berikan dan sebelumnya tak pernah terjadi kepada penduduk pribumi dan bangsa pertama, khususnya di Amazon dan Kanada. Ia beberapa kali menemui perwakilan-perwakilan kelompok ini di Roma. Fransiskus berkeliling ke Kota Quebec, Edmonton, dan Iqaluit di ujung jauh Kanada bulan Juli tahun lalu untuk meminta maaf atas pelecehan dan kejahatan yang terjadi di sekolah-sekolah berasrama milik Gereja Katolik pada abad kesembilan belas. Mengutuk “akibat mengerikan dari penjajahan,” menjadi pukulan bagi mereka di tempat tinggalnya sekarang di Eropa bahwa Gereja universal bukanlah Gereja Eropa. Atas prinsip yang sama, terkait perang di Ukraina, sejak awal ia menolak godaan untuk dilihat sebagai “pendamping Barat.” Tidak Ada yang Tersisa Kecuali Orang-orang Argentina Ketidakpercayaan Fransiskus terhadap Amerika Serikat juga menjadi bahan bakar bagi gagasan bahwa posisinya lebih banyak disebabkan karena sejarah negara kelahirannya. Argentina memiliki hubungan yang tidak setara dengan raksasa Amerika Utara itu, dan paus sebagian menyalahkan Amerika Serikat atas situasi Argentina di awal tahun 2000 yang hampir bangkrut. “Tidak ada yang tersisa kecuali orang-orang Argentina,” demikian keluhan salah seorang penjaga tradisi lama di Vatikan. Faktanya, Fransiskus memang mengangkat sejumlah besar orang-orang dari negaranya menjadi pejabat utama di Curia Roma atau menjadi anggota-anggota di lingkaran dalam para penasihatnya. Termasuk di dalam lingkaran dalam itu ialah Emilce Cuda, seorang perempuan berusia 57 tahun yang menjadi sekretaris Komisi Kepausan untuk Amerika Latin, di Roma. Demikian juga Victor Manuel Fernandez, uskup agung La Plata yang berumur 60 tahun dan menjadi penulis bayangan dokumen-dokumen penting Paus. Ada juga mantan imam Lefebvrist, P Pablo Enrique Suárez (anggota Serikat St. Pius X-SSPX hingga tahun 2019),

Kuria Roma

Pertobatan, Penebusan, Pengampunan, dan Pilihan

Sebagai tema yang tampaknya sederhana, keempat kata tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan masa pontifikal Paus Fransiskus selama 10 tahun ini. Meskipun dunia telah banyak berubah dalam beberapa dekade terakhir, karena perang, pergolakan global, bencana alam, dan pandemi, Paus Fransiskus secara konsisten meminta semua orang yang berkehendak baik untuk membuka diri terhadap pertobatan, mencari penebusan dosa dan mengampuni mereka yang telah berbuat dosa, dan menentukan pilihan untuk membangun masa depan yang penuh harapan dan peluang, alih-alih sinisme dan ketakutan. 10 Tahun Paus Fransiskus: Refleksi dari Para Jesuit Paus Gregorius XII juga melakukan hal yang sama pada tahun 1415, yaitu mengadakan konklaf untuk memilih penggantinya. Tahun 2013 lalu, pada voting kelima, 115 kardinal yang hadir memilih Jorge Mario Bergoglio, S.J., Uskup Agung Buenos Aires, untuk menjadi Uskup Roma menggantikan Paus Benediktus. Pada 13 Maret 2013, Paus Fransiskus diperkenalkan kepada dunia. Itulah kali pertama seorang Jesuit menjadi Paus, kali pertama Paus berasal dari benua Amerika, dan kali pertama seorang Paus menggunakan nama “Fransiskus.” Itu menjadi awal yang sungguh menggugah perasaan atas sejarah kepausan paling penting di zaman modern. Tahun ini, 2023, adalah tahun kesepuluh masa kepemimpinan Paus Fransiskus dan kami meminta para Jesuit dari seluruh dunia untuk memberikan refleksi pribadi tentang arti satu dekade Paus Fransiskus bagi diri, pelayanan, dan hidup mereka dalam Gereja. Kami akan membagikan refleksi mereka dan berharap semua itu menginspirasi doa-doa kita dan memungkinkan kita memetakan gerakan Roh Kudus dalam hidup selama masa yang luar biasa ini. 10 Tahun Paus Fransiskus: Ia adalah Paus saya juga Pater Patrick Mulemi, dari Lusaka, Zambia, adalah Jesuit pertama yang memberikan refleksi tentang Kepausan Fransiskus dalam seri “10 Tahun Paus Fransiskus” ini. Rabu, 13 Maret 2013. Saya adalah seorang pastor Paroki Matero, sebuah daerah miskin yang luas di Lusaka, ibukota Zambia. Matero terletak lebih dari 10.000 kilometer jauhnya dari Roma, dan hari itu para kardinal sedang mengadakan konklaf. Saya baru saja merayakan misa sore dan mengobrol dengan umat saat mereka keluar dari gereja. Tiba-tiba seseorang berteriak, “Kita punya paus baru!” Saya bergegas ke pastoran, menyalakan TV, dan … “Dia seorang Jesuit!” Seorang Jesuit??? Apa artinya bagi Gereja dan Serikat Jesus? Saya benar-benar tak menduganya. Dia memilih nama Fransiskus, demikian diumumkan. Pikiran pertama saya yang muncul adalah “Orang miskin dari Asisi.” Dan saya benar. Mungkin itu karena saya tinggal dan bekerja di lingkungan yang miskin. Pada misa pagi keesokan harinya, setelah menyebutkan “Fransiskus Paus kita” untuk pertama kalinya dalam doa Ekaristi, seorang wanita tua mendekati saya setelah misa selesai dan sambil tersenyum berkata kepada, “Dia Paus saya juga.” Pada saat itu saya tahu bahwa Roh Kudus telah berbicara. Saya kemudian bertemu dengan Paus Fransiskus dalam beberapa kesempatan ketika bekerja di Roma. ia adalah seorang Jesuit, dengan nama Fransiskan, dan kebiasaan Dominikan. Seorang Paus untuk semua orang. Karunia Tuhan bagi Gereja. Dia adalah Paus yang dibutuhkan Gereja saat ini. 10 Tahun Paus Fransiskus: MAGIS Pater Ramesh Vanan, S.J., Jesuit dari India yang sedang berkarya di Guyana, menuliskan refleksi untuk seri “10 Tahun Fransiskus.” MAGIS adalah nilai Ignasian yang saya peluk dan telah lama tertanam dalam diri saya. Nilai ini sudah menjadi bagian integral diri dan hidup saya sehari-hari, yang pada gilirannya menuntun saya untuk melayani Tuhan dan umat-Nya di Guyana. Bagi saya, pontifikal Paus Fransiskus telah menggarisbawahi sebuah apresiasi dan membantu menenun esensi MAGIS yang sama namun dalam dimensi yang berbeda. Diantaranya ialah menjaga segala sesuatunya tetap sederhana, mengakui bahwa tidak ada yang lebih besar daripada Sang Pencipta, tidak menghakimi, rendah hati meminta pengampunan, mengekspresikan diri dengan sederhana, merangkul spiritualitas dalam hal-hal yang paling kecil, mencium bau domba, peduli akan kebaikan bersama, menjaga agar pintu-pintu Gereja tetap terbuka, mengingat yang miskin, merangkul semua orang apapun latar belakang mereka, hadir di tengah-tengah realitas dunia, dan di atas semua itu, terlibat dalam kebutuhan orang banyak. Saya menghargai bahwa melalui iman dan tindakannya, Paus Fransiskus telah menginspirasi hidup dan pelayanan saya. Cara Gereja di Guyana melibatkan diri dalam keinginan untuk berkontribusi pada pertumbuhan Gereja universal adalah contoh yang bagus. Hal ini dapat dilihat melalui pesan yang disampaikan Paus Fransiskus kepada umat beriman di seluruh dunia, khususnya di Guyana. Berkali-kali ia menggarisbawahi pentingnya Gereja mendengarkan umatnya dan merespon dengan cara yang sama seperti yang dilakukan Kristus lakukan bagi mereka. Mereka mendengarkan pesannya, dan hal itu telah membuka kekuatan iman di dalam diri mereka. Seorang peserta lansia dalam sesi audiensi untuk sinode mengatakan, “Tolong beritahu Paus (Fransiskus) untuk makan dan beristirahat yang cukup supaya sehat untuk terus memimpin Gereja.” Kelembutan hati Paus Fransiskus telah menyentuh orang-orang sederhana yang mendiami daerah-daerah terpencil di Lembah Amazon. Dengan demikian, orang-orang merasa bahwa Gereja mendengar dan memperhatikan hidup dan pertumbuhan rohani mereka. Saya berharap dan berdoa bagi Paus Fransiskus, semoga Tuhan senantiasa memberkati dan memberikannya rahmat yang cukup untuk memimpin Bunda Gereja kita di dalam zaman kontemporer ini. 10 Tahun Paus Fransiskus: Inspirasi Panggilan S Rob Rizzo, SJ, skolastik dari Provinsi EUM (Euromediterania) yang sedang menempuh formasi teologi di Filipina. Paus Fransiskus dan saya sebenarnya memiliki tanggal yang istimewa. Rabu pagi, 13 Maret 2013, saya bertemu seorang promotor panggilan di tempat saya dan ia mengajak saya menjadi Jesuit. Kini, 10 tahun sudah saya menjadi seorang Jesuit, sama dengan masa kepausan Paus Fransiskus. Meskipun belum pernah bertemu, saya merasa dekat dengannya. Saya merasa ia akan memahami saya – dan banyak orang merasakan hal ini. Itulah salah satu karisma Paus Fransiskus yang saya kagumi. Ia membuat orang merasa dekat dengan Tuhan dan Tuhan dekat dengan kita. Kepausannya dipenuhi aneka anekdot seperti ketika dia menelepon agen koran di Buenos Aires untuk membatalkan langganannya ketika ia menjadi Paus atau ketika ia memberi tahu seorang anak kecil, Emanuele, bahwa ayahnya yang seorang ateis tetap dicintai Tuhan; atau siapakah yang bisa melupakan foto ikoniknya, ia memberikan berkat Urbi et Orbi pada Maret 2020 tanpa seorang pun hadir di sana karena Covid-19. Paus Fransiskus menginspirasi saya dengan keberaniannya. Tanpa takut, ia menghadapi isu-isu kontroversial dan tabu bagi Gereja sebelumnya, misalnya kasus pelecehan oleh klerus dan kesulitan Gereja memahami dan menyambut LGBTQ+. Bagi seseorang dari generasi saya, ini bukanlah masalah yang bisa disembunyikan. Sungguh menggembirakan melihat Paus mulai membahasnya. Ia lebih

Kuria Roma

Empat Tahun UAP: Dua Pembelajaran yang Tidak Terduga

Pada Februari 2019, Paus Fransiskus mengutus Serikat Jesus dengan Universal Apostolik Preferences (UAP). Apa yang telah kita pelajari setelah menghidupi UAP selama empat tahun ini? Berikut adalah refleksi mengenai empat tahun UAP oleh Pater John Dardis, Asisten Pater Jenderal bidang Perencanaan Apostolik. Saudara yang terkasih, saya hendak berbagi tentang Universal Apostolic Preferences (UAP) yang bulan ini memasuki tahun keempat. Oleh Bapa Suci Fransiskus, pada tahun 2019 lalu, UAP diserahkan kepada kita sebagai sebuah perutusan. Ini sungguh menjadi hal yang begitu penting. Bapa Suci menekankan Preferensi pertama, menunjukkan jalan menuju Allah, sebagai yang terpenting karena menjadi preferensi kunci dari tiga preferensi lainnya. Saya membayangkan beberapa perubahan yang mungkin telah kita lakukan dan hal-hal yang telah kita petik selama empat tahun terakhir ini. Saya ingin menyampaikan beberapa hal terkait dengan itu. Pertama, menurut saya, kita telah belajar tentang kerendahan hati melalui percakapan rohani, doa, dan diskresi. Kita sadari bahwa kita bukanlah satu-satunya yang bertanggung jawab atas perutusan dari Allah tadi. Kita harus senantiasa mendengarkan Allah, Yesus, dan menangkap Roh lalu memutuskan untuk bertindak. Itulah saat-saat kunci. “Mendengarkan” memberikan kita kerendahan hati yang sesungguhnya. Rapat, aneka pertemuan, atau menulis dokumen, semuanya itu memanglah penting bagi kita. Namun yang terpenting adalah mendengarkan Roh yang memampukan kita siap berbenah dan bergerak serta memperdalam hasrat kita. Itulah hal pertama yang dapat saya petik selama empat tahun ini. Saya telah melihat hal tersebut melalui aneka kesempatan kunjungan ke berbagai Provinsi, ketika membaca rencana-rencana yang telah disusun, dan ketika memberi asistensi kepada para Provinsial dan Provinsi, termasuk rekan berkarya Serikat, ketika membantu mereka mendiskresikan jalan untuk bergerak maju. Jadi, yang pertama adalah kerendahan hati. Kedua, kita seperti kembali menemukan hasrat untuk hidup sebagai Jesuit. Kita kembali antusias dan berani bermimpi, penuh daya untuk menunjukkan jalan menuju Allah dan memperhatikan mereka yang terbuang dan disingkirkan, serta membantu orang muda. Banyak orang muda di berbagai belahan dunia hidup miskin. Lantas bagaimana kita bisa membantu mereka menemukan masa depan yang penuh harapan di dunia yang dilingkupi kegelapan ini. Terakhir, tentang rumah kita bersama. Mungkin ini preferensi yang mengejutkan tetapi memberi banyak konsolasi. Kita tahu bahwa ini menjadi isu penting di seluruh dunia dan planet bumi kita. Kita memang tidak begitu paham bagaimana melakukannya, namun menjadikannya sebagai salah satu preferensi justru mendorong kita untuk memikirkan tentang rumah kita bersama, untuk mendoakannya, dan bertanya pada diri sendiri apa yang sebenarnya istimewa dalam panggilan Jesuit dan tradisi Ignasian sehingga mampu mendorong kita untuk berani bergerak maju. Jadi, merangkum apa yang telah kita petik bersama selama empat tahun ini, sekali lagi, kita telah belajar bagaimana berdiskresi secara rendah hati, mendengarkan, dan menggunakan percakapan rohani untuk dapat melaksanakan isi UAP. Kerendahan hati dan hasrat. Kita telah menemukan kembali semangat kita untuk melayani begitu banyak karya Serikat beserta inisiatif-inisiatifnya. Hasrat dan keberanian untuk mewujudkan impian Tuhan bagi dunia ini. Sungguh pelajaran besar yang dapat kita petik dari UAP. Masih ada enam tahun lagi dan semua itu akan menjadi petualangan kita. Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel UAPs After 4 Years: 2 Unexpected Lessons dalam https://www.jesuits.global/2023/02/17/uaps-after-4-years-2-unexpected-lessons/ Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo, pada tanggal 28 Februari 2023

Kuria Roma

Tanggap Darurat Gempa Bumi Turki dan Suriah

Situasi masih terlihat tak menentu setelah gempa bumi dahsyat pada malam hari 5-6 Februari yang melanda Suriah dan Turki. Bangunan gereja Katedral Iskenderun runtuh. Uskup Paolo Bizzeti, S.J., Uskup Anatolia di Turki Timur, sedang berada di luar negeri saat bencana terjadi. Namun demikian, ia bisa segera mengorganisasi bantuan. Pater Antuan Ilgit S.J. yang berada di lokasi juga langsung mengorganisasi bantuan untuk para umat. Situasi berubah-ubah dan informasi terus diperbarui. Gambaran di sekitar nampak kacau: rumah sakit runtuh atau tidak dapat melayani pasien, kurangnya pasokan listrik, dan koneksi internet yang rusak atau sangat sulit. “Dari hati terdalam, kami menyampaikan belarasa dan belasungkawa yang terdalam kepada keluarga dan semua orang yang terdampak gempa bumi di Suriah dan Turki,” kata Pater Arturo Sosa. “Kami turut berduka atas mereka yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai, mereka yang kehilangan tempat tinggal dan komunitas. Kami berdoa semoga semua segera pulih dan mereka yang terluka mendapat perawatan yang aman dan mereka yang terdampak bencana mendapatkan kenyamanan kembali.” Di Aleppo, di sebuah komunitas yang terdiri atas tiga Jesuit, mereka terpaksa turut mengungsi setelah gempa pertama dan bergabung dengan penduduk Aleppo lainnya dalam cuaca yang sangat dingin sepanjang malam. Banyak rumah telah runtuh. Orang-orang tidak mau kembali ke rumah karena takut akan gempa susulan. Lembaga kita telah membuka rumah di Aziziyé, sebuah rumah yang telah dibangun dengan sangat baik, sebagai tempat pengungsian sementara. JRS berdiri di depan untuk melakukan respon tanggap darurat dan sekaligus mereka telah meluncurkan permohonan bantuan dana. Tony O’Riordan, imam Jesuit Irlandia, mengatakan, “Saya baru saja tiba di Aleppo untuk melakukan assessment kebutuhan dan respon tanggap darurat yang akan dilakukan JRS. Menyelamatkan hidup dan memenuhi kebutuhan kesehatan menjadi prioritas utama dan kami berusaha segera membuka kembali klinik kesehatan setelah semuanya dibersihkan dan disiapkan oleh para tukang hari ini. Kami akan terus meningkatkan sokongan perlindungan dasar terhadap cuaca dingin dan hal lainnya yang tidak memungkinkan para korban kembali ke rumah. Prioritas kedua kami adalah membantu para korban agar tetap tangguh secara mental.” Turki: untuk informasi lebih lanjut dan tautan untuk donasi silakan klik www.amo-fme.org Suriah: untuk informasi lebih lanjut dan tautan untuk donasi silakan klik https://jrs.net/. Donasi dari AS klik di sini.

Kuria Roma

Paus Emeritus Benediktus XVI Wafat

Surat Pater Arturo Sosa, S.J. Saudara-saudara yang terkasih, Serikat Jesus berduka cita bersama seluruh Gereja atas meninggalnya Paus Emeritus Benediktus XVI sekaligus bersyukur atas rahmat karunia Tuhan yang telah memberikan umat terbaik-Nya bagi Gereja dan dunia.  Ada banyak alasan untuk mengenangnya secara mendalam dan penuh syukur, bukan saja karena pelayanannya bagi Gereja Universal sebagai Wakil Kristus, tetapi juga atas pujian-pujian yang sering ia ungkapkan bagi Serikat kita.  Dalam masa hidupnya yang panjang, Pater Joseph Ratzinger sangat tahu akan kekuatan dan keterbatasan-keterbatasan Serikat kita. Buah-buah pekerjaannya sebagai seorang terpelajar dan profesor teologi di Jerman, perannya sebagai seorang ahli dalam Konsili Vatikan II, dan tanggung jawabnya sebagai Prefek Kongregasi Doktrin Iman telah mempertemukannya dengan banyak Jesuit yang berkomitmen dalam refleksi-refleksi  teologis, biblis, filsafat, dan kanonik. Secara tulus dan tanpa mengesampingkan kesulitan-kesulitan yang ada, mereka semua dilibatkan dalam dialog dan diajak berkolaborasi secara positif dan jujur demi menemukan nilai dan keutamaan Gereja yang lebih besar. Ia menaruh rasa hormatnya kepada Pater Henri de Lubac, salah satu penulis yang paling mempengaruhinya serta menunjukkan minat dan penghargaannya terhadap Universitas Gregoriana yang ia ungkapkan selama kunjungannya pada November 2006. Memori Benediktus XVI mendorong kita untuk melanjutkan berbagai penelitian dan studi teologis, dengan penuh dedikasi dan secara sangat serius, demi pelayanan iman di tengah budaya kontemporer. Joseph Ratzinger juga tahu dan sangat menghargai spiritualitas Ignasian. Tak lama setelah pensiunnya, ia menjawab pertanyaan tentang apa doa-doa favoritnya. Ia langsung mengutip doa Santo Ignatius Sume, Domine, et suscipe. Pada waktu lain, ia mengatakan, “Doa ini nampak terlalu tinggi bagi saya, sedemikian rupa sehingga saya hampir tidak berani mengucapkannya. Namun begitu kita harus selalu, lagi dan lagi, mencoba berani mengucapkan dan menjiwainya.” Doa kedua favoritnya adalah doa yang dikaitkan dengan St. Fransiskus Xaverius, “Aku mencintai Engkau karena Engkaulah Tuhanku […]. Aku mencintai engkau karena engkau adalah engkau.” Kita merasa sangat dekat dengannya karena teladan kasih pribadinya bagi Yesus Kristus dan pencariannya yang tanpa henti serta penuh gairah untuk menemukan “wajah Allah,” yang dengan begitu fasihnya ia ungkapkan dalam trilogi tentang Yesus dari Nazaret. Untuk inilah, kita mengenang Benediktus XVI, yaitu mengajak kita untuk melestarikan dan memupuk hubungan yang hidup dengan pribadi Yesus, karena tanpa itu kita kehilangan makna terdalam atas hidup kita. Ada begitu banyak tantangan yang sulit selama masa kepausannya namun ia mengerti bagaimana menghadapi semua itu dengan kerendahan hati, keberanian, dan keteguhan seraya memberikan bimbingan dan teladan kepada seluruh Gereja. Saya mengingat secara khusus realitas pelecehan seksual yang dramatis dan menyakitkan yang dilakukan para imam dan religius, tidak terkecuali oleh kita sendiri. Ia menanggung sendiri beban dan segala konsekuensi dari dosa Gereja yang tak terkatakan ini dengan caranya yang dengan demikian telah menempatkan kita di jalan yang benar: menerima kenyataan yang menyakitkan ini, mendengarkan para korban, menegakkan keadilan atas setiap kasus, mencari cara untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan, dan mengambil langkah-langkah pencegahan agar kepahitan tersebut tidak lagi terulang. Itulah jalan yang juga harus terus kita tempuh, dengan cara yang lebih penuh perhatian, maju bersama seluruh komunitas gerejawi dan semua orang. Rahmat Allah selalu memungkinkan kita memberikan kesaksian integritas hidup dan komitmen pertobatan, dan inilah tuntutan hidup Kristiani, religius, dan imamat kita yang harus senantiasa diingat. Dalam sidang KJ 35 yang dipimpin oleh Jenderal Serikat yang baru terpilih Pater Adolfo Nicolás, Serikat berkesempatan merasakan dan menikmati kedekatan dan cinta kasih yang ditunjukkan oleh Benediktus XVI ketika Serikat beraudiensi pada 21 Februari 2008. Lekturnya yang luar biasa mampu membawa kita ke jantung identitas spiritualitas kita. Ia mendorong agar Serikat, dengan tekad dan penuh antusiasme, untuk menghidupi nilai-nilai perutusan multi-dimensinya, yaitu melayani iman, keadilan, dan budaya, berada di tengah-tengah orang miskin, berpikir bersama dan di dalam Gereja, dengan pengabdian “efektif dan afektif” yang menjadikan Jesuit sebagai “rekan berkarya yang bernilai dan tak tergantikan” dari Wakil Kristus. Itu adalah momen penghiburan dan pengukuhan rohani, ketika kita menyaksikan hubungan resiprokal dan harmonis antara Tahta Suci dan Serikat, bahwa sesuai Dekret 1 dari KJ 35, kita diajak melaksanakan perutusan “dengan tekad dan semangat yang senantiasa diperbarui.” Terlepas dari segala keterbatasan kita, ini menjadi salah satu komitmen yang masih kita usahakan terus-menerus. Setelah mundur dari kepausannya, Paus Benediktus XVI memberikan teladan cemerlang akan kerendahan hati dan kebebasan rohani bagi kita. Hal tersebut juga menunjukkan hasratnya untuk yang besar untuk menempatkan keutamaan Gereja universal di atas segala sesuatu. Bersama seluruh Gereja dan Paus Fransiskus, hari ini kita bersatu dalam doa syukur untuk mengenang, dengan penuh kekaguman, integritas pribadi Joseph Ratzinger dan kedalaman magisterial Benediktus XVI. Selamat jalan, Paus Emeritus Benediktus XVI. Kita percaya bahwa Tuhan bermurah hati menerimanya. Semoga ia mendiami tempat tinggal yang telah lama dipersiapkan bagi mereka yang dengan murah hati telah mempersembahkan hidup kepada-Nya. Saudara dalam Tuhan, Arturo Sosa, S.J. Superior Jenderal Roma, 31 Desember 2022

Kuria Roma

Peran Perempuan Bersama Serikat

Salah satu prakarsa yang dilakukan Komisi Perempuan Serikat Jesus (lih. artikel yang dipublikasi pada 25 Oktober – Highlithing the Role of Women in Strengthening Mission) adalah menyusun sebuah survei global. Dalam artikel ini direktur survei menerangkan tentang tujuan, metode, dan keadaan terkini proyek tersebut. Anggota tim survei berasal dari Institut Kebudayaan Filipina – Universitas Ateneo de Manila, Filipina. Mereka ditugaskan oleh Kuria Jenderalat SJ untuk mendukung tujuan penelitian Komisi 10 (terdiri atas 10 anggota) tentang Peran dan Tanggung Jawab Perempuan dalam Serikat Jesus atau disingkat Komisi Perempuan. Ini dibentuk untuk melacak, mendokumentasikan, memperbarui, dan merekomendasikan kepada Pater Jenderal tentang pelaksanaan Dekret 14 (Jesuit dan Kedudukan Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat Luas) yang dipromulgasikan dalam Kongregasi Jenderal (KJ) 34 pada tahun 1995. Tim ini dibentuk pada Maret 2022 oleh Komisi Perempuan agar bersama-sama merancang dan melakukan survei global untuk menentukan keterlibatan, peran, dan tanggung jawab perempuan dalam struktur Serikat Jesus. Survei ini terdiri atas lima bagian. Bagian pertama berisi pertanyaan-pertanyaan seputar profil sosio-demografi responden dan ini memiliki tiga bagian yang relevan dengan tujuan survei, yaitu: (1) persepsi tentang peran dan tanggung jawab perempuan dalam Serikat Jesus; (2) bagaimana hal ini diterjemahkan ke dalam praktik cara berproses dalam Serikat; dan (3) memberikan rekomendasi untuk mendukung keterlibatan lebih lanjut perempuan dalam Serikat. Sedangkan pada bagian terakhir berupa beberapa pertanyaan terbuka tentang bagaimana para responden mendefinisikan kesetaraan peran laki-laki dan perempuan, isu gender yang paling relevan bagi perempuan, jenis bantuan yang dibutuhkan perempuan dari Serikat, dan daya upaya apa yang perlu dilakukan oleh Serikat untuk melaksanakan Dekret 14. Prasarana survei ini merupakan hasil kerja sama yang kuat antara Komisi Perempuan dan seluruh tim peneliti, mulai dari menyusun pertanyaan yang sesuai hingga memvalidasi terjemahan ke dalam empat bahasa (Inggris, Spanyol, Portugis, dan Perancis). Survei awal dilaksanakan dari 6 September hingga 7 Oktober 2022. Dari 192 target responden di enam Konferensi, 141 merespon survei dan menunjukkan tingkat respon hingga 73,44%. Dari survei awal ini dapat dilihat bahwa secara keseluruhan para responden merasa bahwa Serikat Jesus termasuk sebagai lembaga yang responsif dalam menanggapi isu gender dan inklusif. Peran perempuan dalam Serikat dianggap penting dan signifikan, tetapi responden tidak setuju bahwa laki-laki dan Jesuit selalu lebih cocok bekerja dan memimpin lembaga-lembaga karya Jesuit. Selain itu, beberapa perempuan masih merasakan tetap adanya sikap dominasi dan pandangan yang merendahkan perempuan. Tim peneliti dan Komisi Perempuan akan melaksanakan survei secara penuh pada November 2022 sampai Februari 2023 dengan melibatkan minimal 1.440 responden di enam Konferensi Jesuit yang meliputi sektor karya kerasulan pendidikan, sosial, spiritual, dan lainnya. Dengan dukungan dari Kuria Roma, Asistensi, dan semua lembaga Jesuit dan rekan berkarya terkait lainnya, diharapkan dapat diperoleh wawasan dan data penting untuk membantu Komisi membuat rekomendasi yang tepat dan revolusioner (mengapa tidak?) bagi Serikat Jesus untuk melaksanakan deklarasi profetis seperti diserukan dalam Dekret 14 KJ 34. * Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel The Women’s Participation in The Jesuit World – A Global Survey. Artikel ini diterjemahkan dengan penyesuaian oleh Tim Sekretariat SJ Provindo, pada tanggal 11 November 2022

Kuria Roma

Katolik 101: Apa itu Konsili Vatikan II?*

Tahun ini Konsili Vatikan Kedua (konsili ekumenis ke-21 di Gereja Katolik) genap berusia 60 tahun. Pada tahun 1959, Paus Yohanes XXIII menyerukan konsili ekumenis dengan tujuan untuk memperbarui Gereja (bahasa Italia aggiornamento menjadi kata favoritnya). Konsili berlangsung dalam empat sesi sidang dari tahun 1962-1965. Hampir 2.400 uskup, kardinal, dan pemimpin agama (dikenal sebagai Bapa Konsili) berpartisipasi bersama dengan ratusan penasihat teologi (dikenal sebagai periti). Konsili memperkenalkan, mendiskusikan, dan memperdebatkan puluhan topik penting bagi kehidupan Gereja Katolik yang akhirnya menghasilkan 16 dokumen. Bukan saja menjadi peristiwa terpenting abad ke-20, Konsili Vatikan II memiliki dampak yang terus bergema dan selalu muncul dalam 60 tahun ini. Mengingat pentingnya KV II beserta dinamika yang terjadi, perlulah dipahami latar belakang diadakannya KV II, apa yang terjadi, dan apa signifikansinya bagi Gereja dan dunia saat ini. Mengapa diadakan Konsili Vatikan II Paus Yohanes XXIII, terpilih tahun 1958 saat ia berusia 76 tahun, dianggap sebagai tokoh transisi karena usia dan pembawaannya yang dikenal periang. Ketika pada Januari 1959 ia mengumumkan rencananya untuk mengadakan konsili atau sidang Gereja sedunia, maka Gereja dan dunia pun terkejut. Kejutan ini bukan saja terkait dengan usia Paus Yohanes, tetapi juga dengan iklim Gereja pada saat itu. Banyak umat menganggap bahwa tidak perlu diadakan konsili. Konsili-konsili sebelumnya biasanya diadakan untuk menanggapi krisis yang terjadi di Gereja, untuk menjawab pertanyaan doktrinal yang menyebalkan, atau untuk mengutuk bidaah yang dianggap merusak Gereja. Tidak ada krisis seperti itu yang dihadapi Gereja pada tahun 1959. Kebanyakan umat Katolik menganggap Gereja itu permanen selamanya. Misa dirayakan dalam bahasa Latin dan dalam bentuk yang sebagian besar sama sejak abad ke-16. Gereja melayani sebagai jangkar yang tidak berubah di dunia modern yang dicengkeram oleh dua perang dunia yang menghancurkan. Ada anggapan, bagi rata-rata orang Katolik, bahwa Gereja akan tetap seperti ini tanpa batas waktu. Dinamika kunci Konsili Vatikan II: Sumber Daya dan Aggiornamento Di bawah bayang-bayang kemapanan dalam Gereja, bagaimanapun, reformasi sedang berlangsung. Beberapa teolog Eropa, terutama teolog Perancis, mengangkat tema kembali ke sumber asali yang kemudian menjadi gerakan penting yang dikenal dengan ressourcement, yang berarti kembali kepada para pemikir dan teks-teks teologi awal abad-abad pertama Gereja. Dalam tulisan-tulisan ini, para teolog menemukan kesegaran dan pembaruan yang memperkuat gerakan-gerakan ke arah pembaruan liturgi, memahami Gereja sebagai suatu dinamika, umat peziarah, dan mengapresiasi bagaimana doktrin berkembang dalam kehidupan Gereja. Selain itu, perkembangan telaah tulisan-tulisan sakral sedang berlangsung signifikan dan berkembang baik pada akhir 1950-an. Semua ini dikombinasikan dengan gerakan penting kedua, yaitu aggiornamento yang secara harfiah bermakna ‘memperbarui.’ Meskipun Gereja tampak ajeg selamanya dalam pengalaman sebagian besar umat Katolik, para teolog dan beberapa pemimpin Gereja melihat perlunya Gereja “membaca tanda-tanda zaman” dan menanggapi agar setia pada kekayaan Injil. Kedua gerakan kunci ini berdinamika dalam Konsili. Kembali ke sumber asali bukanlah kembali ke masa lalu yang diidealkan atau lari dari pertanyaan-pertanyaan mendesak dan sering membingungkan dalam dunia modern. Sebaliknya, para Bapa Konsili dan para teolog berusaha menjawab pertanyaan dan masalah-masalah dunia modern yang dihadapi oleh Gereja dengan memanfaatkan kekayaan teologis dan kebijaksanaan masa lampau serta perkembangan modern dalam teologi dan pengalaman pastoral. Hasilnya, Konsili itu merupakan pengalaman “Pentakosta baru”, membuka pintu dan jendela bagi Roh Kudus untuk meniupkan kehidupan baru ke dalam Gereja. Siapa saja yang hadir dalam Konsili Vatikan II? Apa yang dibahas di sana? Antara Oktober 1962 hingga Desember 1965, para Bapa Konsili bersidang dalam empat sesi pleno di Vatikan, dimana masing-masing sesi berlangsung sekitar 10 minggu. Di antara yang hadir adalah Uskup Agung Krakow Karol Wojtyla (Paus Yohanes Paulus II) dan penasihat teologis Pater Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI), serta teolog berpengaruh lainnya seperti Karl Rahner, S.J., Yves Congar, O.P., dan John Courtney Murray, S.J. dari Amerika. Para uskup dari seluruh benua di dunia berpartisipasi mewakili sudut-sudut dunia yang belum pernah (atau jarang) berpartisipasi dalam konsili-konsili sebelumnya. Konsili menunjukkan bahwa Gereja memperdalam identitasnya sebagai Gereja global yang benar-benar universal dalam merangkul semakin banyak orang di dunia. Selain uskup dan pemimpin utama ordo para biarawan, hadir pula perwakilan dari Gereja Protestan dan Gereja Ortodoks Timur sebagai pengamat. Hadir pula lebih dari dua puluh perempuan auditor awam sebagai anggota non-voting. Memang jumlah mereka sangat kecil dibandingkan dengan peserta laki-laki, namun itu menjadi langkah awal dan penting menuju partisipasi kepemimpinan perempuan dalam Gereja. Sebelum Konsili dimulai, para uskup mengajukan ide dan topik untuk diskusi yang dibuat menjadi “skema” atau konsep bagi para Bapa Konsili (dan penasihat teologis mereka) untuk dibahas dalam sesi kerja yang lebih kecil dan kemudian diperdebatkan dalam sesi pleno. Nantinya, para uskup akan memberikan suara pada setiap amandemen dan kemudian akhirnya menyetujui dokumen tersebut. Setelah para uskup menyetujui, Paus akan memberi persetujuan akhir dan mengumumkan dokumen-dokumen tersebut sebagai ajaran resmi Konsili dan Gereja. Meskipun debat dan pemungutan suara terkadang cukup kontroversial, semua dokumen disetujui dengan dukungan signifikan dari mayoritas uskup. Apa saja dokumen yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan II? Apa isi ajaran dalam Konsili Vatikan II? Bagaimana pengajarannya? Secara keseluruhan, Konsili Vatikan II menghasilkan 16 dokumen selama empat sesi. Dalam 16 dokumen ini, Konsili mengajarkan tentang apa itu Gereja dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu: berkenaan dengan dirinya sendiri, umat Kristiani lainnya, dan dunia. Pertama, Gereja merefleksikan dirinya sendiri dengan apa artinya menjadi Gereja? Ini berarti mempertimbangkan peran liturgi dalam kehidupan Gereja, terutama mengenai partisipasi penuh kaum awam (Sacrosanctum Concilium); melihat hakikat Gereja itu sendiri (Lumen Gentium); dan memperbarui keterlibatan umat Katolik dengan Kitab Suci (Dei Verbum). Selain itu, Konsili Vatikan II berusaha memperbarui cara Gereja memahami peran kaum awam, imam, dan uskup. Secara umum, Konsili berbicara tentang Gereja sebagai ‘umat peziarah’ atau ‘umat Allah’ yang menekankan martabat umum baptisan dan panggilan universal bagi kekudusan. Kedua, Konsili merefleksikan hubungan Gereja dengan umat Kristiani lainnya, mengakui unsur-unsur yang baik dan indah dalam Gereja atau denominasi lain, dan kesediaan untuk berdialog sambil tetap mempertahankan tradisi Gereja dalam kepenuhannya yang kaya dan kebutuhan Gereja akan reformasi yang berkelanjutan (Unitatis Redintegratio). Hal monumental lainnya adalah mengenai ajaran Konsili, sehubungan dengan agama-agama di luar Kristianitas, bahwa “Gereja Katolik tidak menolak apa pun yang benar dan suci…” (Nostra Aetate, 2). Menyatakan bahwa semua orang memiliki hak yang melekat, berdasar pada martabat manusia, untuk secara

Kuria Roma

Katekese tentang Discernment atau Pembedaan Roh: Ignatius Loyola Sang Teladan

Paus Fransiskus dalam audiensi publik di Lapangan Santo Petrus-Vatikan pada Rabu, 7 September 2022. Saudara saudari terkasih, selamat pagi. Kita hendak melanjutkan refleksi tentang discernment atau pembedaan roh. Mulai saat ini discernment akan kita bahas setiap hari Rabu. Untuk discernment ini kita mengacu pada satu saksi khusus. Santo Ignatius Loyola memberikan teladan terbaik melalui episode paling menentukan dalam hidupnya. Waktu itu Ignatius harus tinggal di rumah untuk pemulihan cedera kaki karena pertempuran. Untuk menghilangkan rasa jenuh, dia meminta buku-buku bacaan. Sebenarnya ia lebih menyukai kisah-kisah para ksatria, tetapi di rumah itu hanya ada bacaan tentang kisah para kudus. Mulanya ia ragu untuk membaca buku-buku itu. Meski begitu, ia tetap membacanya dan perlahan-lahan mulai menemukan sebuah ‘dunia lain’. Kisah orang kudus dan kisah para ksatria saling tarik-menarik merebut perhatian Ignatius. Dalam kisah orang kudus, ia begitu terpesona oleh sosok Santo Fransiskus dan Santo Dominikus. Timbul keinginan besar dalam hatinya untuk meneladani mereka. Meski demikian, kisah para ksatria nampaknya juga terus memberikan daya tariknya. Jadi, ia merasakan pikirannya bergejolak karena kisah para kudus dan para ksatria sama-sama sangat menarik perhatiannya. Meski demikian, Ignatius mulai melihat beberapa perbedaan. Dalam Autobiografinya, dengan kata ganti orang ketiga, ia menulis, “Ketika ia memikirkan hal-hal duniawi” – dan segala hal tentang keperwiraan, orang mengerti bahwa “itu memberinya kesenangan besar, tetapi setelah itu ia merasa kering dan murung. Sebaliknya, ketika ia berpikir untuk melakukan perjalanan ke Yerusalem dan hidup hanya dengan makan sayur-mayur dan matiraga, ia merasakan kebahagiaan bukan hanya ketika ia memikirkannya, tetapi juga ketika ia sudah tidak memikirkannya” (Bab 8). Kesemuanya itu memberinya kegembiraan. Ada dua hal yang bisa kita catat dari pengalaman tersebut, yang pertama adalah waktu. Pada awalnya keduniawian itu memang sangat menarik hati, tetapi lama-kelamaan akan kehilangan daya tariknya dan hanya menyisakan kekosongan serta ketidakpuasan. Semuanya tampak kosong. Tetapi sebaliknya, pikiran-pikiran kita yang tertuju kepada Tuhan pada awalnya membuat kita merasa enggan, “Ah, aku tidak mau membaca buku kisah para kudus.” Akan tetapi, sesaat setelah kita membacanya, ternyata kita mengalami semacam rasa damai yang tidak kita ketahui namun berlangsung lama. Kedua adalah titik akhir gagasan. Awalnya situasinya tampak tidak begitu jelas. Muncul perkembangan penegasan atau discernment, misalnya kita memahami apa yang baik bagi kita bukan secara abstrak, secara umum, tetapi secara nyata dalam perjalanan hidup kita. Dalam aturan pembedaan roh atau discernment, buah dari pengalaman mendasar ini adalah bahwa Ignatius meletakkan sebuah premis penting untuk membantu memahami proses ini. “Pada orang-orang yang silih berganti melakukan dosa berat yang satu ke dosa berat lainnya, roh jahat biasanya menggunakan ‘kenikmatan’ untuk menarik minat mereka dan meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja. Ini membuat mereka terus memikirkan tentang kenikmatan indrawi dan menjebak mereka untuk melakukan dosa lebih banyak sehingga mereka tumbuh dalam kejahatan dan dosa. Sebaliknya, Roh Baik akan menggunakan cara yang berlawanan, menusuk dan menggigit hati nurani melalui proses nalar” (Latihan Rohani 314). Akan tetapi ini memang tidak mudah. Ada sejarah penting yang mendahului seseorang sebelum ber-discernment atau melakukan pembedaan roh. Sejarah ini penting karena kebijaksanaan bukanlah hasil uji laboratorium atau semacam ramalan, fatalisme seperti melemparkan nasib pada dua kemungkinan. Pertanyaan-pertanyaan besar muncul ketika kita telah menempuh perjalanan hidup yang panjang dan kita harus kembali untuk memahami apa yang kita cari. Jika kita membuat sedikit kemajuan dalam hidup, maka dapat diajukan dua pertanyaan reflektif, “Mengapa saya berjalan ke arah ini dan apakah yang saya cari?” Di situlah discernment terjadi. Ketika terluka dan berada di rumah ayahnya, Ignatius tidak pernah berpikir sama sekali tentang Tuhan atau bagaimana ia hendak mengubah hidupnya sendiri. Ia memiliki pengalaman pertamanya tentang Tuhan dengan cara mendengarkan hatinya sendiri yang membalikkan dirinya secara asing atau aneh, yaitu bahwa hal-hal yang pada pandangan pertama terlihat menarik justru membuatnya kecewa, sedangkan hal-hal yang tampak kurang mempesona baginya, ternyata di situ ia menemukan kedamaian abadi. Kita juga memiliki pengalaman semacam ini. Tidak jarang kita mulai memikirkan sesuatu dan kita tetap memikirkan hal tersebut namun akhirnya kita merasa kecewa. Sebaliknya, saat kita berderma, melakukan sesuatu yang baik dan merasakan suatu kebahagiaan, maka pikiran yang baik datang kepada kita. Setelah itu kebahagiaan atau sesuatu yang menggembirakan datang melingkupi kita dan itu menjadi pengalaman milik kita sepenuhnya. Ignatius memiliki pengalaman tentang Tuhan dengan mendengarkan hatinya sendiri dan memunculkan rasa penasaran dalam dirinya. Inilah yang harus kita pelajari, yaitu mendengarkan hati kita sendiri demi mengetahui apa yang terjadi kemudian mengambil keputusan serta membuat evaluasi atas suatu situasi dalam hidup kita. Agar dapat melakukannya, seseorang harus mendengarkan hatinya sendiri. Kita menonton televisi, mendengarkan radio, telepon genggam dan kita ini ahli dalam mendengarkan, tetapi saya ingin bertanya kepada Saudara sekalian, “Apakah kita tahu cara mendengarkan hati kita? Ataukah kita berhenti bertanya “Bagaimana situasi hati saya? Apakah puas, sedih, ataukah sedang mencari sesuatu?” Agar mampu membuat keputusan yang baik, kita perlu mendengarkan hati kita. Inilah mengapa Ignatius terus menyarankan kita membaca kisah hidup orang-orang kudus. Hal itu karena kisah-kisah tersebut menunjukkan cara Tuhan bekerja dalam hidup orang-orang yang tidak jauh berbeda dengan kita dengan narasi yang dapat dipahami. Bukankah orang-orang kudus juga tercipta dari daging dan darah seperti kita. Tindakan mereka menjadi teladan kita, dan keteladanan itu membantu kita memahami maknanya. Dalam episode terkenal mengenai dua perasaan Ignatius ketika membaca kisah tentang ksatria dan tentang kehidupan para santo, kita dapat mengenali aspek penting lainnya dari pembedaan roh seperti telah saya sebut terakhir. Ada semacam keacakan yang jelas dalam peristiwa hidup, yaitu bahwa segala sesuatu tampaknya berasal dari peristiwa biasa. Tidak ada buku tentang ksatria melainkan hanya ada buku-buku tentang kehidupan orang kudus. Namun demikian, itu menjadi sebuah peristiwa yang memunculkan titik balik. Hanya beberapa waktu setelah Ignatius menyadari hal ini, lantas ia mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap hal itu. Sungguh Tuhan bekerja melalui peristiwa yang tidak direncanakan dan terjadi secara kebetulan. Kebetulan hal ini terjadi pada saya. Kebetulan saya bertemu orang ini. Kebetulan saya menonton film ini. Semua itu tidak kita rencanakan. Namun demikian, Tuhan bekerja melalui peristiwa yang tidak direncanakan dan bahkan melalui kemalangan. “Seharusnya saya bisa berjalan-jalan tetapi kaki saya terluka parah, saya tidak bisa …”. Kemalangan: apa yang dikatakan Tuhan kepadamu? Apa yang sebenarnya hidup ingin katakan? Hal ini juga