Surat Pater Arturo Sosa, S.J.
Saudara-saudara yang terkasih,
Serikat Jesus berduka cita bersama seluruh Gereja atas meninggalnya Paus Emeritus Benediktus XVI sekaligus bersyukur atas rahmat karunia Tuhan yang telah memberikan umat terbaik-Nya bagi Gereja dan dunia.
Ada banyak alasan untuk mengenangnya secara mendalam dan penuh syukur, bukan saja karena pelayanannya bagi Gereja Universal sebagai Wakil Kristus, tetapi juga atas pujian-pujian yang sering ia ungkapkan bagi Serikat kita.
Dalam masa hidupnya yang panjang, Pater Joseph Ratzinger sangat tahu akan kekuatan dan keterbatasan-keterbatasan Serikat kita. Buah-buah pekerjaannya sebagai seorang terpelajar dan profesor teologi di Jerman, perannya sebagai seorang ahli dalam Konsili Vatikan II, dan tanggung jawabnya sebagai Prefek Kongregasi Doktrin Iman telah mempertemukannya dengan banyak Jesuit yang berkomitmen dalam refleksi-refleksi teologis, biblis, filsafat, dan kanonik. Secara tulus dan tanpa mengesampingkan kesulitan-kesulitan yang ada, mereka semua dilibatkan dalam dialog dan diajak berkolaborasi secara positif dan jujur demi menemukan nilai dan keutamaan Gereja yang lebih besar. Ia menaruh rasa hormatnya kepada Pater Henri de Lubac, salah satu penulis yang paling mempengaruhinya serta menunjukkan minat dan penghargaannya terhadap Universitas Gregoriana yang ia ungkapkan selama kunjungannya pada November 2006. Memori Benediktus XVI mendorong kita untuk melanjutkan berbagai penelitian dan studi teologis, dengan penuh dedikasi dan secara sangat serius, demi pelayanan iman di tengah budaya kontemporer.
Joseph Ratzinger juga tahu dan sangat menghargai spiritualitas Ignasian. Tak lama setelah pensiunnya, ia menjawab pertanyaan tentang apa doa-doa favoritnya. Ia langsung mengutip doa Santo Ignatius Sume, Domine, et suscipe. Pada waktu lain, ia mengatakan, “Doa ini nampak terlalu tinggi bagi saya, sedemikian rupa sehingga saya hampir tidak berani mengucapkannya. Namun begitu kita harus selalu, lagi dan lagi, mencoba berani mengucapkan dan menjiwainya.” Doa kedua favoritnya adalah doa yang dikaitkan dengan St. Fransiskus Xaverius, “Aku mencintai Engkau karena Engkaulah Tuhanku […]. Aku mencintai engkau karena engkau adalah engkau.” Kita merasa sangat dekat dengannya karena teladan kasih pribadinya bagi Yesus Kristus dan pencariannya yang tanpa henti serta penuh gairah untuk menemukan “wajah Allah,” yang dengan begitu fasihnya ia ungkapkan dalam trilogi tentang Yesus dari Nazaret. Untuk inilah, kita mengenang Benediktus XVI, yaitu mengajak kita untuk melestarikan dan memupuk hubungan yang hidup dengan pribadi Yesus, karena tanpa itu kita kehilangan makna terdalam atas hidup kita.
Ada begitu banyak tantangan yang sulit selama masa kepausannya namun ia mengerti bagaimana menghadapi semua itu dengan kerendahan hati, keberanian, dan keteguhan seraya memberikan bimbingan dan teladan kepada seluruh Gereja. Saya mengingat secara khusus realitas pelecehan seksual yang dramatis dan menyakitkan yang dilakukan para imam dan religius, tidak terkecuali oleh kita sendiri. Ia menanggung sendiri beban dan segala konsekuensi dari dosa Gereja yang tak terkatakan ini dengan caranya yang dengan demikian telah menempatkan kita di jalan yang benar: menerima kenyataan yang menyakitkan ini, mendengarkan para korban, menegakkan keadilan atas setiap kasus, mencari cara untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan, dan mengambil langkah-langkah pencegahan agar kepahitan tersebut tidak lagi terulang. Itulah jalan yang juga harus terus kita tempuh, dengan cara yang lebih penuh perhatian, maju bersama seluruh komunitas gerejawi dan semua orang. Rahmat Allah selalu memungkinkan kita memberikan kesaksian integritas hidup dan komitmen pertobatan, dan inilah tuntutan hidup Kristiani, religius, dan imamat kita yang harus senantiasa diingat.
Dalam sidang KJ 35 yang dipimpin oleh Jenderal Serikat yang baru terpilih Pater Adolfo Nicolás, Serikat berkesempatan merasakan dan menikmati kedekatan dan cinta kasih yang ditunjukkan oleh Benediktus XVI ketika Serikat beraudiensi pada 21 Februari 2008. Lekturnya yang luar biasa mampu membawa kita ke jantung identitas spiritualitas kita. Ia mendorong agar Serikat, dengan tekad dan penuh antusiasme, untuk menghidupi nilai-nilai perutusan multi-dimensinya, yaitu melayani iman, keadilan, dan budaya, berada di tengah-tengah orang miskin, berpikir bersama dan di dalam Gereja, dengan pengabdian “efektif dan afektif” yang menjadikan Jesuit sebagai “rekan berkarya yang bernilai dan tak tergantikan” dari Wakil Kristus. Itu adalah momen penghiburan dan pengukuhan rohani, ketika kita menyaksikan hubungan resiprokal dan harmonis antara Tahta Suci dan Serikat, bahwa sesuai Dekret 1 dari KJ 35, kita diajak melaksanakan perutusan “dengan tekad dan semangat yang senantiasa diperbarui.” Terlepas dari segala keterbatasan kita, ini menjadi salah satu komitmen yang masih kita usahakan terus-menerus.
Setelah mundur dari kepausannya, Paus Benediktus XVI memberikan teladan cemerlang akan kerendahan hati dan kebebasan rohani bagi kita. Hal tersebut juga menunjukkan hasratnya untuk yang besar untuk menempatkan keutamaan Gereja universal di atas segala sesuatu. Bersama seluruh Gereja dan Paus Fransiskus, hari ini kita bersatu dalam doa syukur untuk mengenang, dengan penuh kekaguman, integritas pribadi Joseph Ratzinger dan kedalaman magisterial Benediktus XVI. Selamat jalan, Paus Emeritus Benediktus XVI. Kita percaya bahwa Tuhan bermurah hati menerimanya. Semoga ia mendiami tempat tinggal yang telah lama dipersiapkan bagi mereka yang dengan murah hati telah mempersembahkan hidup kepada-Nya.
Saudara dalam Tuhan,
Arturo Sosa, S.J.
Superior Jenderal
Roma, 31 Desember 2022