Pilgrims of Christ’s Mission

Feature

Feature

Angin Segar dari Arah Jombor

Kegiatan volunteer di SPM (Seksi Pengabdian Masyarakat) Realino bagiku adalah sekolah formasi kehidupan. Sebelum aku mengenal kegiatan mengajar anak-anak dampingan di SPM Realino aku selalu berpikir bagaimana caranya memberi waktu, pikiran, tenaga, dan materi untuk orang lain. Dengan berpikir demikian, tanpa sadar ternyata aku “menutup pintu” bagi orang lain untuk memberi inspirasi pada hidupku. Bagai sedang berada dalam ruangan yang pintunya tertutup sehingga tidak ada sirkulasi udara, seringkali aku merasa pengap dan lelah sendiri. Kemudian, ketika aku ikut kegiatan volunteer di SPM Realino pelan-pelan aku “membuka pintu” dan membiarkan angin segar masuk ke dalam ruanganku. Aku merefleksikan bahwa angin segar yang memasuki ruanganku adalah anak-anak yang selama ini aku dampingi selama menjadi sukarelawan di Realino. Hembusan angin segar datang dari arah Jombor. Sedikit gambaran saja, di sana kami mengajar Bahasa Inggris sederhana bagi anak-anak dampingan. Anak-anaknya sangat bersemangat. Aku masih ingat ketika pertama kali datang ke sana, ada beberapa anak yang menyambut dengan antusias. “Yeay! Kakaknya datang! Mau ngajar Bahasa Inggris, kan Kak?” ucap anak kecil yang kini kukenal bernama Syafa. Aku merasakan semangat yang besar sejak awal kedatanganku. Mereka mudah untuk diajak bermain. Mereka juga mudah untuk dikondisikan saat pembelajaran akan dimulai. Mereka juga antusias ketika ada soal yang sengaja kami siapkan untuk menguji materi pembelajaran yang sudah kami sampaikan. Suatu kali, bahkan ada anak yang meminta lembar soal lagi untuk dikerjakan di rumah. Yang membuatku lebih terkesan lagi adalah semangat itu tidak hanya besar di awal lalu mengecil kemudian. Tiap kali datang ke sana, semangat itu selalu aku temukan pada diri anak-anak dampingan. Semangat belajar anak-anak dampingan di Jombor konsisten. Pernah terjadi saat hari pendampingan (Kamis) diliburkan karena para volunteers ada agenda lain. Kemudian di hari Kamis selanjutnya mereka bertanya, “Kok kemarin (minggu lalu) gak dateng kenapa, Kak?” Pengalaman lain, pada bulan Desember 2021, ada beberapa anak yang mengungkapkan kesedihannya setelah Pater Pieter Dolle, S.J. mengumumkan bahwa pendampingan harus libur sejenak dan akan bertemu lagi pada akhir bulan Januari 2022. “Yah, kak, kenapa harus libur?” ucapnya. Jujur saja, konsistensi semangat mereka mengingatkan aku pada masa-masa di mana semangatku berkobar tetapi kobarannya tidak bertahan lama. Aku biasanya menyebut semangat obor blarak. Ketika aku sedang on fire semua pekerjaan atau tugas bisa diselesaikan dengan mudah. Tetapi, ketika sedang padam fire-nya semua pekerjaan atau tugas bisa terbengkalai atau ditunda-tunda terus. Aku merasa kalah dari anak-anak dampinganku yang mempunyai semangat yang konsisten, tidak sangat berkobar tapi kobarannya juga tidak pernah mengecil hingga hampir padam. Ketika merefleksikan pengalaman melihat konsistensi mereka selama kurang lebih setahun ini, aku bertanya mengapa semangat anak-anak dampingan di Jombor begitu konsisten? Barangkali karena pintu (baca: diri) mereka selalu terbuka pada apa yang sedang mereka hadapi. Bisa saja, sebelum datang ke tempat pendampingan, mereka sedih karena bertengkar dengan temannya. Bisa saja, mereka sedang tidak mood hari itu. Akan tetapi mereka tidak larut pada perasaan-perasaan negatif itu. Mereka terbuka pada apa yang sedang mereka hadapi dan semangat mereka terbangun lagi. Ketika datang ke tempat pendampingan, mereka semangat karena barangkali materi-materi yang volunteer bawakan itu menarik. Mungkin juga karena mereka bisa bermain. Karena mereka bisa belajar Bahasa Inggris dengan menyenangkan. Karena mereka bisa bertemu dengan teman-teman mereka dan kami para volunteer yang datang. Karena mereka bisa mengerjakan soal. Banyak hal. Aku tidak tahu pasti yang mana penyebabnya karena pasti berbeda dari hari ke hari. Yang aku tahu semangat mereka konsisten karena mereka terbuka pada apa yang sedang mereka hadapi. Mereka tidak larut pada perasaan-perasaan negatif. Barangkali inilah yang dimaksud dalam Kitab Suci dimana dikatakan “jadilah seperti anak kecil.” Terima kasih, angin dari Jombor. Hembusan anginmu membuatku tersadar bahwa terlalu larut dalam kekalutan itu hanya membuat semangat hidup padam. Anginmu mengingatkanku untuk terbuka pada hal-hal yang sedang terjadi, jangan terlalu larut dalam kekalutan, agar mampu menemukan hal-hal yang membuat semangat terus konsisten. Kontributor: Fr. Alam Panji Utama, Pr – Frater Projo KAS

Feature

Cinta, Kepedulian, dan Keteladanan di Xavier School

Berkunjung ke Xavier School San Juan dan Nuvali di Filipina merupakan momen yang sangat berharga bagi saya dan rekan-rekan yang mengikuti program live in di Filipina. Perjalanan ini awalnya terasa cukup menegangkan. Akan tetapi justru memberi banyak pengalaman yang mengesan. Keramahan, kelincahan, dan semangat muda dapat saya rasakan begitu tiba di dua sekolah Xavier ini.  Rekan-rekan di Xavier, baik yang di Nuvali maupun San Juan, dengan keramahannya, terbuka menerima kami. Sejak awal, saya merasakan cinta sebagai keluarga baru. Direksi, guru, karyawan, hingga siswa senang dengan kehadiran kami di sana. Bahkan, kepala sekolah dari dua sekolah ini, sengaja mengenakan batik sebagai bentuk apresiasi bagi kami. Mereka tampak antusias dengan cerita kami tentang Indonesia, Yogyakarta, dan terutama tentang de Britto. Begitu pula ketika mereka mengenalkan kebiasaan dan program-program yang dilakukan sekolah dalam mendampingi para siswa. Keramahan para guru di sana juga dikerahkan dengan sepenuh hati. Ada salah satu guru yang makan bersama kami bercerita tentang hal-hal yang dia ketahui tentang Indonesia tentang politik dan prestasi Presiden Indonesia. Bahkan kami juga sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama. Ada pula seorang siswa yang merupakan putra salah satu guru di Nuvali, yang ternyata belajar Bahasa Indonesia agar bisa berkomunikasi dengan kami.  Perwujudan cinta juga begitu kentara dalam proses belajar sehari-hari di sekolah. Sejak hari pertama sekolah, guru membiasakan diri untuk menjemput para siswa kelas kecil di depan pintu gerbang. Tidak jarang ada siswa TK yang menangis ketika ditinggal orang tua tetapi para guru bahkan pimpinan di TK dengan sabar berusaha menenangkan dan mengajak anak tersebut untuk mau belajar di kelas. Ruang – ruang kelas, baik ruang kelas untuk TK hingga SMA, didesain oleh para wali kelas sesuai dengan kebutuhan para siswa di setiap angkatannya. Hal ini bertujuan untuk membuat siswa merasa lebih nyaman dalam belajar di kelas. Penyediaan sarana belajar dan ruang–ruang lain juga menunjukkan cinta sekolah pada para siswa. Salah satunya adalah perpustakaan untuk masing-masing tingkat. Desain setiap perpustakaan dan buku–buku yang disediakan juga berbeda untuk tiap angkatan, bahkan aplikasi atau alat pencarian buku pun didesain dengan tampilan yang ramah anak khususnya di perpustakaan tingkat dasar. Selain itu, gymnasium dan sarana olahraga lain, seperti stadion bola basket, lapangan bola yang luas, kolam renang berstandar atlit, dibangun untuk mendukung siswa yang memiliki kemampuan khusus di tiap olahraga tersebut. Selalu ada program pengamanan ataupun alat yang bisa mengamankan siswa dari cedera, antara lain dengan adanya sistem lifeguard di kolam renang, adanya bantalan pengaman di setiap sudut gymnasium. Sensor kebakaran, alat pemadam, dan alat penyelamatan dari kebakaran juga disiapkan dengan baik.  Di setiap bangunan dan ruang yang ada di dua sekolah ini selalu mempunyai namanya masing-masing. Umumnya nama ini diambil dari nama seseorang atau keluarga yang menjadi donatur atas bangunan atau ruang–ruang tersebut. Kesediaan keluarga atau alumni menjadi donatur dalam membangun sekolah dan memberi beasiswa bagi siswa tidak mampu merupakan buah dari pengalaman para alumni maupun keluarganya yang merasakan cinta dari sekolah mereka. Keteladanan dari para pendidik juga menjadi kerja keras mereka.  Misalnya, para guru kelas dan asistennya mengajak para siswa kelas kecil (TK dan primary grade level) untuk berjalan berkeliling sekolah melalui sisi kanan jalan dan dengan tertib tanpa banyak bicara. Proses pembiasaan ini membentuk pribadi para siswa ketika berada di tingkat lebih tinggi. Tanpa perlu banyak instruksi dari para guru, para murid sudah menjalankannya karena sudah terbiasa menghidupi. Keteladanan juga ditunjukkan sekolah dengan mengenalkan values sekolah kepada para siswa melalui tulisan atau gambar atau media lain yang banyak dihadirkan hampir di setiap sudut dan dinding sekolah. Bahkan, ada juga di anak tangga yang dilalui siswa setiap harinya, dan dihadirkan pada setiap misa sekolah.  Dari berbagai pengalaman berinteraksi dengan warga sekolah Xavier dan melihat sarana yang disiapkan sekolah untuk para siswa, saya melihat cinta sekolah yang diwujudkan dalam kepedulian para guru, karyawan, bahkan alumni atau keluarganya kepada para siswa. Kepedulian ditunjukkan secara langsung melalui keteladanan dan bukan hanya kata–kata hingga akhirnya menjadi kebiasaan. Cinta, kepedulian, dan keteladanan yang dibangun oleh warga sekolah Xavier, sepertinya tidak lepas dari teladan para tokoh Jesuit pendiri sekolah ini. Cinta yang dulu dirasakan oleh guru atau karyawan senior, ditularkan pada para juniornya, termasuk pada para siswa melalui berbagai sarana yang dibangun di sekolah, seperti dibangunnya patung beberapa tokoh pendiri sekolah yang diletakkan di beberapa area sekolah dan juga adanya gambar atau poster para tokoh tersebut di beberapa bagian dinding sekolah. Bahkan ada tempat sembahyang khusus bagi para tokoh ini di salah satu sudut sekolah. Hal inilah yang menurut saya bisa membangun keramahan, kelincahan, dan semangat muda yang ada dalam jiwa hampir semua warga sekolah ini. Saya rasa, semangat Santo Ignatius Loyola yang mengungkapkan bahwa “Bagi mereka yang mencintai, tidak ada yang terlalu sulit, terutama ketika itu dilakukan untuk cinta Tuhan kita Yesus Kristus”, dilakukan dan dihayati sungguh oleh guru dan karyawan sekolah Xavier dalam mendampingi para siswa dengan penuh energi meskipun dihadapkan pada banyak tantangan, salah satunya adalah kelas hybrid yang pada tahun ajaran baru ini sedang dimulai oleh seluruh warga di sekolah Xavier.  Bagi mereka yang mencintai, tidak ada yang terlalu sulit, terutama ketika itu dilakukan untuk cinta Tuhan kita Yesus Kristus. Ignatius Loyola Kontributor: Antonita Ardian Nugraheni – Guru SMA Kolese de Britto

Feature

Pengungsi Butuh Teman untuk Berdaya

Saat masih remaja, saya pernah menjadi pengungsi bencana erupsi Gunung Merapi di Muntilan selama beberapa bulan. Saat itu, saya melihat banyak orang dari berbagai organisasi datang membantu. Salah satunya adalah Jesuit Refugee Service (JRS). Saya sulit  mengingat bantuan barang apa saja yang saya terima, tetapi saya masih dapat mengingat jelas keramahan para relawan JRS yang datang dan menemani para pengungsi saat itu. Meski susah, ternyata saat itu saya bisa menikmati masa pengungsian. Saya menikmati kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh para relawan. Saya merasa sungguh ditemani.  Kini, sebagai Frater Jesuit, saya ikut menjadi bagian dari JRS dalam melayani para pengungsi dari luar negeri. Bagi pengungsi luar negeri, penemanan adalah hal yang sangat berharga. Sebagai pengungsi, hak mereka sangat terbatas. Mereka tidak boleh bekerja dan tidak banyak yang bisa dilakukan selama di Indonesia. Setelah terlibat dalam berbagai pelayanan JRS, saya pun memahami bahwa selain bantuan material, pengungsi pun membutuhkan teman untuk “berjalan bersama.” Sekarang saya dapat mengerti mengapa dulu saat saya mengungsi, saya juga begitu menghargai penemanan yang terjadi. Penemanan adalah pintu agar pengungsi merasa dihargai sehingga bisa semakin percaya diri dan lebih berdaya.  Penemanan di Jesuit Refugee Service Keutamaan penemanan ini ternyata tidak hanya saya rasakan ketika saya menjadi pengungsi atau ketika saya menjadi bagian dari JRS di Indonesia. Pada Juli 2022, saya mengikuti Pedro Arrupe Summer School tentang pengungsi dan migrasi di Campion Hall, Universitas Oxford. Di sana saya berjumpa dengan beberapa Jesuit muda, para dosen-akademisi, dan peneliti yang berkarya dalam bidang pengungsi. Dari setiap diskusi dan kelas, saya menangkap bahwa keutamaan penemanan ternyata terus dibicarakan dan menjadi napas bagi setiap anggota JRS di berbagai negara.  Seorang teman dari JRS Inggris, Meghan Knowles, bercerita bahwa JRS selalu ingin hadir sebagai teman yang berjalan bersama pengungsi yang menghadapi sistem suaka yang tidak memanusiakan para pengungsi. Dalam sistem yang tidak ramah, “JRS berusaha membangun relasi yang setara dan berjalan bersama pengungsi, tidak hanya sekadar memberikan bantuan,” ujar Knowles.  Kita sadar bahwa selalu ada relasi yang tidak setara antara pemberi layanan dan pengungsi. Namun melalui penemanan dan kerendahan hati, JRS berusaha menempatkan diri sebagai teman yang setara. Nicholas Austin, Direktur Campion Hall, mengungkapkan bahwa penemanan harus dimulai dari usaha untuk membangun relasi saling percaya yang berdasarkan martabat manusia yang sama. Atas dasar martabat yang sama, penemanan mendorong pengungsi agar lebih berdaya dan bisa berkontribusi dalam masyarakat.1 Penemanan vs Capaian  Sebagai seorang teman, kita harus sabar mendengarkan keluhan dan kebutuhan pengungsi. Kita harus siap dengan berbagai curahan hati. Kita harus menghargai setiap waktu yang kita habiskan bersama pengungsi. Dalam praktiknya, terkadang proses penemanan menyita banyak waktu. Mungkin beberapa organisasi bisa saja sekadar memberikan bantuan yang dibutuhkan pengungsi tanpa perjumpaan dan penemanan agar efisien. Namun, JRS tetap memilih perjumpaan dan penemanan. Dalam kunjungan ke rumah pengungsi, saya bisa berbincang dan mendengarkan kisah pengungsi selama berjam-jam. Ryan Birjoo, seorang frater yang berkarya di JRS Lebanon, juga bercerita bahwa meski butuh banyak waktu, tetapi penemanan JRS adalah hal yang membuat pengungsi di Lebanon diperlakukan secara manusiawi. Dari perspektif pencapaian, mungkin penemanan bukan hal yang efisien. Penemanan harus disertai dengan pemberian layanan dan upaya advokasi, sebagaimana misi JRS.  JRS memilih penemanan dengan tujuan “menciptakan komunitas kasih.”2 Penemanan dapat “mengkomunikasikan cinta kasih dan persahabatan.”3 Penemanan hanya bisa dilakukan lewat perjumpaan. Hal ini sejalan dengan gagasan Paus Fransiskus tentang “budaya perjumpaan.”4 Dalam penemanan terdapat proses timbal-balik memberi dan menerima. JRS tidak hanya ingin sekadar menyalurkan bantuan, tetapi juga ingin memberdayakan dan belajar bersama pengungsi. Melalui penemanan, JRS tidak ingin mengikuti jejak para “’developmentalists’ dengan merencanakan proyek yang menurut mereka membantu orang miskin dan memobilisasi bantuan untuk sekadar memenuhi kebutuhan.”5 Menurut Maryanne, pengajar di Boston College, kita harus menggunakan pendekatan aspirasional (bottom up) dengan menguatkan komunitas-komunitas di akar rumput.  Selain itu, dengan melihat nilai-nilai dalam Populorum Progressio hingga Fratelli Tutti, penemanan JRS tidak ingin berhenti pada “doing for” tetapi juga “doing and being with.” Melalui penemanan, JRS menempatkan pengungsi sebagai subjek, bukan sekadar mendiktenya sebagai objek penerima bantuan. Pengungsi ditemani untuk mengenali situasi, potensi, keterampilan, dan tujuan hidup mereka. Dengan demikian, pengungsi bisa lebih berdaya, menyadari peran agensinya untuk berkontribusi dalam komunitas, dan berkembang secara integral sebagai manusia utuh.  Kontributor: Ishak Jacues Cavin, S.J. – JRS Indonesia 1 Nicholas Austin, “Integral Human Development: From Paternalism to Accompaniment”, Theological Studies, 2019, Vol. 80(1), 138, DOI: 10.1177/0040563918819798. 2 Nick Jones, “Cambodia: Accompaniment Creates ‘Communities of Love,’” Jesuit Refugee Service News (March 17, 2016), http://www.jrsap.org/news_detail?TN=NEWS-20160316102931.  3 Nicholas Austin, “Integral Human Development: From Paternalism to Accompaniment”, 140.  4 Pope Francis, “Morning Meditaion in The Chapel of The Domus Sanctae Marthae: For a culture of encounter”, L’Osservatore Romano (September 13, 2016), https://www.vatican.va/content/francesco/en/cotidie/2016/documents/papa-francesco-cotidie_20160913_for-a-culture-of-encounter.html  5 Nicholas Austin, “Integral Human Development: From Paternalism to Accompaniment,” 124. 

Feature

That’s How Our Love Is

Sayup-sayup bunyi kereta api perlahan menyambutku setelah helm dan motor bututku terparkir rapi di parkiran Stasiun Tugu. Setiap Sabtu siang paruh semester ini, aku memiliki suatu kebiasaan baru, yaitu membelah kota Jogja dari Jalan Kaliurang hingga Stasiun Tugu. Lingkungan depan Stasiun Tugu itu dikelilingi oleh hotel-hotel berbintang dan juga ruko-ruko mewah yang mungkin hanya dikunjungi oleh orang-orang yang berada. Orang-orang di sana ramai berlalu lalang dan sibuk dengan perjalanannya. Namun sayangnya, bangunan-bangunan yang tampak megah itu seakan menutup suatu realita lain di sekitar stasiun tugu. Apabila kita berjalan ke arah timur, kita akan berjumpa dengan pemukiman padat penduduk yang dikenal sebagai salah satu area lokalisasi yang bernama Bong Suwung. Nama “Bong” atau “Ngebong” tak terlepas dari sejarah daerah tersebut yang konon katanya merupakan bekas makam orang-orang Tionghoa. Sebenarnya, tempat tinggal yang mereka huni sekarang juga merupakan bangunan yang berdiri di atas tanah milik PT KAI. Jujur, karena sudah lama berdinamika dengan mereka, ada satu ikatan emosional yang membuatku sedikit khawatir, bagaimana jika sewaktu-waktu PT KAI meminta hak mereka dan menggusur secara paksa orang-orang yang ada di situ. Perjalanan dinamika bersama teman-teman di Bong Suwung dimulai dari kami, para mahasiswa semester 5 Fakultas Teologi Wedhabakti, yang mencari tempat untuk pengabdian sosial. Waktu itu, salah satu rekanku yaitu Fr. Aang secara kebetulan melihat postingan temannya di Instagram yang mengunggah kegiatan mengajar anak-anak di Bong Suwung. Melihat peluang ini, kami pun langsung tertarik untuk bergabung dengan para volunteer yang mengajar di sana. Kami kemudian diminta untuk menghubungi Pater Pieter, S.J. yang merupakan penanggung jawab Yayasan Realino, sebuah yayasan dari Kongregasi Serikat Jesus yang menaungi kami dalam kegiatan mengajar di Bong Suwung. Pertemuan dengan Pater Pieter bagiku secara pribadi merupakan satu pertemuan berahmat karena beliau adalah pribadi yang sangat easy going dan humble serta banyak mengajarkanku hal-hal yang secara langsung mungkin tak disadari olehnya. Singkat cerita, Pater Pieter sangat terbuka dan senang dengan kehadiran kami untuk bergabung bersama mereka. Kami kemudian diberi kesempatan untuk berdinamika bersama dengan anak-anak di Bong Suwung setiap Sabtu dan di daerah Jombor setiap Kamis. Di Jombor hal yang diajarkan adalah pendidikan Bahasa Inggris dasar untuk anak-anak SD. Selain itu, para voluntir di sini juga memfasilitasi pembelajaran bahasa Inggris untuk beberapa anak yang sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Sedangkan di Bong Suwung, kami diminta untuk mengajarkan kemampuan-kemampuan dasar dalam mengembangkan keterampilan dan kreativitas seperti melipat origami, membuat pigura dari barang-barang bekas, menuliskan dan menggambarkan cita-cita mereka, dan lain-lain. Dalam setiap dinamika yang ada, kami selalu berusaha memberikan suasana keceriaan dengan mengadakan beberapa game sederhana serta reward kecil-kecilan untuk mereka yang sudah hadir. Dari kedua tempat itu, jujur Bong Suwung lebih menantang untukku. Anak-anak di sana sangat aktif, terlampau aktif maksudnya. Kami harus sedikit bekerja keras untuk bisa membangun suasana yang kondusif di Bong Suwung. Mereka adalah anak-anak yang notabene berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Latar belakangnya pun berbeda-beda. Ada yang sudah putus sekolah. Ada yang bapaknya entah di mana. Ada yang diasuh oleh neneknya sejak kecil, dan lain-lain. Mereka adalah anak-anak yang sangat butuh untuk diperhatikan. Mereka juga mempunyai kebutuhan akan hiburan dan kebersamaan yang membuat mereka terlampau asyik bila sudah berkumpul dan bermain bersama teman-teman seusia. Terkadang, ada rasa emosi dan gemes dengan tingkah laku mereka. Namun, kami sendiri memang telah sepakat untuk tidak berlaku keras kepada mereka. Misi kami memang untuk mencintai mereka setulus mungkin. Kami tahu bahwa sebagian anak di sana itu dididik dengan cukup keras oleh orangtuanya. Aku bahkan pernah melihat sendiri orangtua yang “ringan tangan” dan “ringan ucapannya” ketika sedang memarahi anaknya. Oleh sebab itu, kami membuat kesepakatan untuk sebisa mungkin tidak menegur anak secara keras, baik fisik maupun kata-kata. Satu pengalaman yang membuatku terkesan berdinamika bersama dengan anak-anak di Bong Suwung adalah ketika kami mengadakan rekreasi bersama di Galaxy Waterpark. Di tempat tersebut, aku sangat terkesan dengan senyum dan kebahagiaan yang sederhana dari mereka. Aku merasa bahwa mereka adalah adik-adikku sendiri. Aku dan para volunteer yang lain mengawasi dan menjaga mereka di kolam sebagaimana seorang kakak menjaga adiknya. Kami tertawa bersama ketika berselancar, memacu adrenalin di sebuah perosotan yang cukup mengerikan di tempat itu. Kebersamaan di Galaxy Waterpark menurutku menjadi sebuah moment untuk melepas kecanggungan-kecanggungan yang masih ada ketika proses dinamika di Bong Suwung berjalan. Terlepas dari itu semua, pernah terbersit di pikiranku. ”Apa sih sebenarnya kegunaan kami di mata mereka? Apakah melipat kertas, membuat baling-baling, mewarnai gambar, merangkai manik-manik akan berpengaruh bagi kehidupan mereka?” Pertanyaan itu kemudian menemukan jawabnya ketika setiap kali aku ke sana dan melihat senyum mereka. Kehadiran kami di sana mungkin tak serta merta mengubah situasi sosial ataupun masa depan mereka. Namun demikian, aku merasa kehadiran para volunteer di sana akan selalu membawa cinta yang besar bagi hidup mereka nantinya. Kesempatan bersama mereka secara pribadi bagiku menjadi sebuah blessing in disguise, rahmat yang tersembunyi. Walaupun aku, secara bebas, telah memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai seorang calon imam di awal Agustus lalu, aku masih diberi peluang rahmat untuk tetap menjadi berkat bagi orang-orang yang ada di sekitarku. Melalui pengalaman mengajar di Bong Suwung, maka cinta, kasih dan kebahagiaan semakin terukir nyata dalam bentuk keterlibatan. Sesederhana melihat anak kecil yang bertengkar, menangis, dan kemudian mudah memaafkan walau nantinya bertengkar lagi. That’s how our love is. Aku menemukan cinta itu ada. Lalu bahagia yang sederhana kemudian memperoleh definisi yang nyata. Aku menemukan bahwa itulah sejatinya arti dari seluruh ungkapan dinamika kami dalam melipat kertas, membuat baling-baling, merangkai manik-manik ataupun menuliskan mimpi-mimpi sederhana dengan dibalut dengan canda, tawa, dan kadang air mata. Aku sangat setuju dengan Ayu Utami dalam novelnya yang berjudul Saman bahwa Paulus menghabiskan seluruh hidupnya untuk berbicara tentang kasih, namun kasih tanpa keterlibatan adalah satu pengalaman yang tak dapat diringkus oleh kata-kata. Aku berharap agar semakin banyak orang mampu untuk menjadi agen-agen kebaikan di manapun mereka berada karena aku selalu percaya bahwa sekecil apapun kebaikan yang diusahakan oleh seseorang, tak pernah mengubah esensi dari kebaikan itu sendiri. Ad Maiorem Dei Gloriam! Kontributor: Yohanes Agil Parikesit

Feature

Coretan untuk Teman-teman Kecil Saya

Semoga potongan lagu Sahabat Kecil milik Ipank ini mampu mewakili perasaan saya sekarang, Melawan keterbatasanWalau sedikit kemungkinanTak akan menyerah untuk hadapiHingga sedih tak mau datang lagi Bersamamu kuhabiskan waktuSenang bisa mengenal dirimuRasanya semua begitu sempurnaSayang untuk mengakhirinya Suasana pinggir rel kereta di Stasiun Tugu menjadi refren yang saya rasakan setiap akhir pekan. Bau oli dan mesin, riuh pekerja yang sedang beristirahat, dan warga kampung Bong Suwung yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing menjadi pemandangan yang selalu saya lihat. Saya seperti merasakan secara langsung suasana yang terjadi di film Joshua Oh Joshua produksi tahun 2001. Film itu masih terngiang dalam benak saya karena memang berkesan. Keterpesonaan tersebut sama halnya saat saya menemani teman-teman kecil saya di Bong Suwung. Sebenarnya saya ini adalah orang yang mudah sekali tersentuh perasaanya. Ya, anggap saja saya ini orangnya mudah untuk baper.. Maka saat saya harus berinteraksi dengan anak-anak dan tidak sengaja mendengar kisah hidup mereka, ada air mata yang menetes perlahan dalam hati saya.  Perjalanan ini saya mulai saat saya dan keempat teman saya harus menjalani studi lapangan yaitu pengabdian sosial. Singkat cerita, saya mengenal Yayasan Realino Seksi Pengabdian Masyarakat dari salah seorang teman. Orang pertama yang saya tuju adalah Romo Pieter, yang pada saat saya menelepon masih Diakon Pieter. Memiliki kepribadian yang santuy, humble, tetapi juga pakewuhan menjadi first impression saya kepada beliau. Ternyata saat saya bergabung di komunitas ini, saya juga bertemu dengan orang-orang yang hebat menurut saya. Saya mengenal istilah volunteer ya di komunitas ini. Saya terkesan karena masih ada orang yang mau mengatur waktunya untuk nyelakke menemani anak-anak di Bong Suwung dan juga di Jombor. Di saat banyak orang berlomba-lomba menggapai kesuksesan diri, ternyata masih ada orang yang mau untuk memberikan diri untuk mendukung kesuksesan orang lain. Jujur saya terharu, karena bukan sekadar materi, tetapi juga waktu, dan tenaga kalian berikan untuk orang lain. Nais gaessh, kalau kata Romo Pieter. Terima kasih boleh mengenal teman-teman, ada Mbak Lusi, Mbak Ria, Joni, Nervi, Devina, Lintang, Dita, Dhira, Rani, Echa, Mas Wahyu, para Suster ADM, para Frater Scholapio dan juga teman-teman yang lalu lalang hadir. Ingatlah kawan, jerih payah, keringat, serta pengabdianmu mungkin tidak dibalas Tuhan sekarang, tetapi suatu saat pasti Tuhan akan memberikan berkat-Nya kepada panjenengan sedaya yang sudah mau menjadi perpanjangan tangan kasih-Nya. Bertemu dengan teman-teman kecil saya, terkhusus di Bong Suwung membuat saya selalu bertanya dalam hati tentang bagaimana latar belakang mereka dan apa yang mereka kerjakan di luar kelas ini. Di balik keceriaan mereka, keramaian mereka, dan juga kenakalan mereka tersimpan rapi segala kisah hidup yang pasti lebih berat dari apa yang saya rasakan. Contohnya adalah saat kita rekreasi ke Galaxy Waterpark, saya mendengar anak kecil mengatakan “Wah ini pertama kalinya aku makan KFC” dan saat itu diri saya membeku seketika. Saya ingin menangis rasanya. “Hey nak secara tidak langsung kamu mengajarkanku untuk selalu bersyukur setiap harinya!!!! Bukan soal KFC nya, tetapi soal bagaimana anak itu menerima apa yang didapatkan dari panitia. Saya? Diberi tempe dan sayur saja sudah lari menuju ke warmindo andalan. Tidak cukup dengan itu, saat sesi makan saya harus melihat salah seorang dan juga mbah kakungnya makan suap-suapan beralaskan kardus. Moment tersebut berbicara banyak bagi diri saya. Apakah saya sudah mencintai orang terdekat saya? Apakah saya sudah bersyukur atas pemberian Tuhan setiap harinya? Ya, memang dalam proses ini saya menjadi “guru” bagi teman-teman kecil saya, tetapi justru terkadang saya belajar banyak dari mereka.  Soal ciri khas mereka yang begitu bar-bar saat pelajaran, saat harus diam sejenak, saat untuk diminta memperhatikan sampai diminta baris di akhir pelajaran saja susahnya bukan main. Pasti harus ramai, dan tak jarang kata-kata kasar keluar, serta pukulan yang sepertinya sudah lanyah mereka berikan kepada temannya. Di balik segala keberingasan tersebut, sebenarnya ada perasaan yang mereka harapkan, karena mungkin perasaan tersebut kurang mereka dapatkan dari orang-orang terdekat mereka. Tidak lain tidak bukan adalah perasaan kasih sayang. Kebahagiaan mereka saat didengarkan, dipangku, digendong, digoda, diperhatikan oleh volunteer tidak lain adalah sebuah hubungan sebab akibat dari keseharian mereka di rumah. Harus saya akui bahwa setiap dari mereka memiliki mental baja dan kelak akan menjadi pribadi yang tangguh dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Perjalanan bersama teman-teman kecil saya merupakan perjalanan membagikan cinta kepada sesama. Cinta tersebut berwujud perhatian yang diberikan kepada anak-anak hebat ini. Levinas dalam teori penampakan wajah mengatakan bahwa tanggung jawab kepada orang lain itu dimulai saat sejak kita bertemu/berhadapan dengan orang tersebut. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa kebahagiaan hidup orang lain, kesejahteraan orang lain, termasuk membantu sesama merupakan tugas dari setiap manusia. Melihat realita yang begitu pedih, hendaknya empati kita digerakkan untuk datang dan memberikan diri kita. Pendidikan merupakan suatu jalan bagi setiap pribadi untuk bangkit dari ketertindasan, baik ketertindasan fisik maupun ketertindasan lainnya yang dialami oleh masing-masing pribadi. Dengan pendidikan, orang tidak hanya menerima materi, tetapi juga digerakkan untuk mengenali diri dan mampu mengalahkan ketertindasan hidupnya dengan kemampuan yang berupa  harta karun di dalam dirinya. Kehadiran para volunteer dapat menjadi fasilitator bagi anak-anak untuk menggapai pendidikan yang layak. Setiap pribadi yang kita temui adalah guru dan setiap waktu yang kita jalani adalah proses belajar.  Di bagian ini, saya ingin mengungkapkan kegelisahan dan harapan saya untuk teman-teman kecil saya di Bong Suwung (dan juga Jombor). “Teman-teman, meskipun kisah hidupmu berat, tetaplah belajar, tetaplah mencari tahu, gapailah harapanmu, dan mimpi-mimpimu. Kisah hidup kalian berbeda dengan cerita dramatis di film ‘Joshua oh Joshua.’ Kesuksesan itu diperjuangkan, bukan sekadar dinanti! Percayalah, kalian tidak berbeda dengan orang lain, kalian sama; kalian berhak untuk sukses dan menjadi orang-orang hebat di masa depan. Kakak percaya, lambat laun kenakalanmu akan luntur seiring dengan tanggung jawab hidup yang akan kalian emban esok. Terima kasih boleh mengenal dan menjadi bagian dari kalian. Sampai bertemu di masa depan dengan segala kesuksesan dan pencapaian kita masing-masing.” Semangat selalu, teman-teman kecilku di Bong Suwung dan di Jombor. Berkibar selalu bendera Realino untuk mewartakan kebaikan!  Kontributor : Aloysius Anggoro Ariotomo – Volunteer SPM Realino

Feature

Xavier High School Micronesia Kala Pandemi : Jesuit Menolak Pergi dari Pasifik

Ada banyak alasan untuk memilih pergi ketimbang menetap di pulau-pulau kecil di tepi Samudera Pasifik, apalagi di masa pandemi yang serba terbatas ini. Alasan pertama soal keterpencilan geografis. Wilayah yang disebut Micronesia (gugusan pulau berukuran mikro) membentang cukup luas, dari Palau di sisi Barat sampai Kiribati di Timur, dan terbagi ke dalam empat zona waktu. Lebih dari sembilan puluh persen luas wilayahnya adalah lautan dan jarak antar pulau amat jauh. Pada situasi non-pandemi, persoalan jarak tidak terlalu membebani karena ada penerbangan rutin yang menunjang mobilitas. Akan tetapi, sejak Covid-19 merebak, negara-negara di Micronesia menutup akses masuk dari negara lain. SMA Xavier pun memulangkan semua siswa, volunteers, termasuk para Jesuit pada Maret 2020- juga karena alasan kekeringan di pulau Weno, Chuuk. Kegiatan belajar mengajar di tahun 2019-2020 hanya terbatas bagi para siswa asal Chuuk dengan dibantu oleh tenaga pengajar lokal. Kini, akses antar pulau sudah mulai dibuka tetapi sarana transportasi masih sangat jarang- kira-kira satu bulan hanya satu penerbangan saja. Kondisi pandemi memperkuat kembali kenyataan bahwa keterpencilan geografis Micronesia memang menantang dan menyulitkan.  Alasan kedua adalah kebergantungan ekonomi. Walau memiliki potensi turisme yang besar, penduduk Micronesia jauh dari sejahtera. Lebih dari empat puluh persen warganya hidup di bawah garis kemiskinan. Siapa pun yang datang ke pulau Chuuk dapat merasakan betapa terbengkalainya pulau ini. Mobil-mobil rusak dibiarkan di tepi pantai, bersama dengan sampah kaleng yang berserakan tak keruan. Di sepanjang jalan utama (yang penuh lubang) di pulau ini, banyak rumah berdinding seng, bersebelahan dengan kandang babi yang sering dibiarkan terbuka. Juga tidak ada satupun lahan pertanian atau peternakan, tanda bahwa suplai bahan pokok sepenuhnya bergantung dari impor. SMA Xavier pun sangat bergantung dari donasi Serikat Jesus Provinsi USA North East yang menanggung lebih dari dua pertiga biaya pendidikan. Alasan terakhir, ancaman lingkungan dan migrasi penduduk. Dampak krisis ekologis amat terasa di pulau kecil ini. Setiap tahun air laut semakin tinggi mendekati jalan utama dan bukan tidak mungkin puluhan tahun ke depan pulau ini akan ditinggalkan. Jangankan di masa depan, gejala perpindahan penduduk sudah menjadi pola umum. Dalam periode 2007-2012 saja, ada pengurangan penduduk sebanyak 2.100 orang (2,05 persen dari total penduduk) per tahun akibat migrasi keluar dari Federated States of Micronesia (FSM). Angka migrasi ini tidak akan menurun sejauh masalah ekonomi dan lapangan pekerjaan tidak kunjung membaik di FSM. Bagi para siswa SMA Xavier pun, orientasi masa depan mereka adalah pergi ke Amerika Serikat (AS) untuk studi dan bekerja.   Melihat berbagai alasan itu, banyak pertanyaan muncul. Untuk apa Jesuit datang kembali dan melanjutkan karya di tengah Pasifik? Untuk apa merawat orang-orang yang akan pergi meninggalkan pulau mereka sendiri? Untuk apa menyisihkan banyak energi dan materi bagi karya di sudut dunia ini? Semakin saya bertanya, semakin saya sadar bahwa pertanyaan-pertanyaan itu datang dari kalkulasi untung-rugi, dari suatu cara berpikir yang sama sekali lain dari semangat misi. Pusat misi adalah kasih kepada mereka yang butuh untuk dilayani, bukan semata-mata demi keuntungan. Semangat ini pula yang mendasari Ignatius untuk memberi prioritas pada “bagian kebun anggur yang lebih membutuhkan, baik karena kekurangan pekerja maupun karena keadaan sulit dan lemah dari orang-orang di tempat itu.” (Konstitusi Pars. VII, [622]). Jesuit memilih untuk tinggal, mencintai, dan menyiapkan masa depan anak-anak Micronesia.  Mencicipi Tantangan menjadi Misionaris  Sejak awal tahun ajaran 2020-2021, saya ditugaskan untuk menjalani Tahun Orientasi Kerasulan (TOK) di SMA Xavier, Chuuk, Micronesia. Ada banyak kendala dalam proses kedatangan saya ke tempat ini, mulai dari kesulitan mencari tiket pesawat sampai jadwal keberangkatan yang sangat tidak pasti. Pada 20 Agustus 2021 saya mulai menempati rumah Jesuit di Guam sembari menunggu jadwal karantina dan keberangkatan ke Chuuk. Di sana saya ditemani oleh Pater Charles Sim, S.J. (MAS) asal Singapura yang sama-sama akan bekerja di SMA Xavier. Walau saya sudah mulai mengajar melalui media Google Classroom, tinggal di Guam masih terasa seperti berlibur. Jalan raya teraspal rata serta banyak situs sejarah dan pantai yang bisa dikunjungi (maklum Guam termasuk teritori AS). Saya pun menyempatkan waktu keliling pulau itu untuk singgah di beberapa gereja tua yang dibangun oleh para Jesuit Spanyol, termasuk Beato Diego San Vitores. Guam adalah satu karya awal misi Jesuit di Micronesia.  Saya dan P Charles pada awalnya hanya akan singgah selama dua minggu di Guam. Namun, akhirnya kami tinggal di sana selama satu setengah bulan. Untungnya ada beberapa Jesuit senior yang sering menemani untuk makan bersama atau sekadar duduk, ngobrol, dan minum bir. Pada 26 September saya mulai masuk karantina di Guam selama 10 hari kemudian lanjut karantina kedua selama 7 hari di Pohnpei, salah satu negara bagian FSM. Mengenai fasilitas karantina, kami beruntung bisa mendapatkan fasilitas yang sangat layak dan gratis, apalagi disertakan ke dalam penerbangan repatriasi (penduduk FSM yang telah menunggu lama untuk pulang). Pasca karantina kami sempat tinggal selama lima hari di paroki Jesuit di Pohnpei sebelum berangkat dengan pesawat kecil berkapasitas 18 orang.  Akhirnya saya mendarat di Chuuk pada 18 Oktober 2021, disambut dengan pemandangan alam yang indah dan nyanyian selamat datang dari para murid. Pengalaman yang berkesan di tengah situasi yang serba tidak menentu. Sekilas tentang kondisi SMA Xavier di tengah pandemi saat ini, jumlah murid 93 orang, setengah dari jumlah biasa. Jumlah tenaga pengajar utama hanya 8 orang, itu artinya satu guru bisa mengajar 3-4 mata pelajaran berbeda. Ada tiga pastor Jesuit yang bekerja di sini, semuanya personel baru. P Thomas Kenny, S.J. sebagai presiden/direktur, P Matthew Cassidy, S.J. sebagai pengajar sejarah dan P Charles sebagai konselor sekolah. Saya sebagai TOK-er mengajar agama untuk tiga angkatan dan mendampingi Campus Ministry. Dalam beberapa kesempatan sharing, saya kerap kali mendengar kejujuran para Jesuit di sini, khususnya tentang perutusan ke Micronesia yang jauh dari harapan mereka. Ada yang merasa perutusan ini tidak sesuai dengan studinya, ada pula yang berjuang mengatasi perasaan terisolasi. Berbagai kesulitan itu tidak menghentikan kami untuk bersama-sama belajar beradaptasi, mencoba mengatasi perasaan terasing, dan mencari cara yang paling baik untuk berkarya.  Saya beruntung bisa mencicipi sedikit tantangan dalam bermisi, di situasi yang serba tidak menentu dan banyak kekurangan. Tentu ini tidak sebanding dengan pengalaman para misionaris Spanyol yang membuka jalan Kristianitas, atau para misionaris lain yang bekerja di pedalaman. Namun, ada

Feature

PEDRO ARRUPE: Ignatius Loyola yang dekat dengan kita

Kita mengetahui bahwa peringatan 500 tahun pertobatan St. Ignatius (2021) dan 400 tahun kanonisasinya bersama St. Fransiskus Xaverius (2022) dirayakan bersamaan dengan ulang tahun Provinsi Indonesia (Provindo) yang ke-50 (1971). Kita ingat bahwa pada tahun 1859 datanglah para misionaris Jesuit asal Belanda dan akhirnya pada 4 Februari 1956 Pater Jenderal Joannes Janssens, S.J. menetapkan Indonesia yang sebelumnya berstatus tanah misi di bawah Belanda menjadi Vice Provinsi. Selanjutnya, pada 8 September 1971, pesta kelahiran Santa Maria, Pater Jenderal Pedro Arrupe, S.J., menetapkan Vice Provinsi Indonesia menjadi Provinsi Indonesia (Petrus Arrupe-Praep. Gen. Soc. Iesu, “Decretum quo viceprovincia Indonesiana erigitur in Provinciam”, AR 15 [1971], 752-753). Dua peristiwa tersebut, 500 tahun pertobatan St Ignatius dan 50 tahun Provindo, secara bersamaan cukup sering muncul dalam pikiran dan perasaan saya. Pada saat masuk Gereja del Gesù, Roma, dua momen sejarah rohani dan rasuli Serikat tersebut menyempit menjadi St. Ignatius dan Pedro Arrupe, dua Jenderal Serikat dan sama-sama berasal dari Bask, Spanyol. Biasanya pada hari Minggu, di del Gesu misa dimulai pukul 08.00 (dalam memori afektif, rasane kaya misa Minggu pukul 05.30 di Kotabaru). Setelah ikut misa, saya sejenak berdoa pendek di tiga tempat, yaitu di hadapan patung Maria della Strada, Ignatius, dan Pedro Arrupe. Saya berdoa di hadapan tiga pribadi dengan beragam intensi, baik untuk pribadi maupun permohonan teman atau kenalan. Jika kadang muncul dorongan doa karena tidak kerasan dan pengen pulang, maka ketika berdoa di depan makam Pedro Arrupe, saya malah malu sendiri, heeeee; apalagi pada saat membaca bagian teks doa yang berbunyi, “Dia telah memberikan dirinya kepada-Mu, sepenuhnya, baik dalam aktivitas tugas perutusannya, maupun dalam memimpin sesama saudaranya dalam Serikat; baik pada saat dia sehat, maupun juga pada saat sakitnya.” Yang terbayang adalah pemberian diri Pedro Arrupe sebagai Jesuit sampai habis, menderita stroke dan tak berdaya di ujung hidupnya. Kita bersyukur bahwa Tuhan menganugerahi, tidak hanya St. Ignatius, tetapi juga Provinsi kita, seorang Pedro Arrupe. Dalam surat penetapan Provinsi tersebut Pater Arrupe mengungkapkan optimismenya karena melihat banyak orang muda di Provindo. Membaca tulisan-tulisan beliau dan tulisan-tulisan tentang beliau, kita merasakan bahwa Serikat berjalan benar dalam kepemimpinannya yang ditandai oleh kesetiaan kuat dan mendalam terhadap semangat Konsili Vatikan meskipun ini tidak berarti semua itu tanpa kesulitan. Ada energi dan kreativitas rasuli yang mengalir dari kedalaman rohaninya. Tantangan dunia dan persoalan kemanusiaan sebagai bagian dari panggilan dan tantangan perutusan Serikat disuarakan oleh Pedro Arrupe secara jelas. Karena itu, pun kalau dalam memandang dan membayangkan Pedro Arrupe kita berhadapan dengan sosok pribadi yang optimistis, seperti dikatakannya sendiri, hal tersebut dimungkinkan karena bekal utamanya adalah cinta Tuhan; oleh karena kebersatuannya dengan Tuhan. Bekal ini memampukan Pedro Arrupe menatap dunia dengan segala tantangannya dan selanjutnya mengundang anggota Serikat merasul sebagai pribadi yang optimistis. “Soy optimista y lo creo, la razón de ser de este optimismo es la gran confianza en Dios y que estamos en sus manos.” Saya optimis dan saya rasa, alasan optimisme ini adalah kepercayaan yang besar akan Tuhan dan karena berada di tangan-Nya. Atau, ketika majalah Rohani, dalam edisi khusus Januari 2022 menyajikan Pedro Arrupe memberi keterangan MENDAKI JALAN SUKACITA. Di situ hendak disebarkan penggambaran sekaligus rangkuman hidup Pedro Arrupe yang berakar pada cinta Tuhan dan sukacita sejati mengalir dari cinta Tuhan serta menjadi kekuatan menjalankan perutusan. Sukacita Pedro Arrupe ini merupakan penghiburan rohani atau konsolasi sejati. Jenis sukacita dan konsolasi yang bisa digali dan diserap pembelajarannya dari Pedro Arrupe ini bisa ada berada bersama kesulitan, tantangan, serta ketidakberdayaan yang menyertai komitmen seorang Jesuit di jalan panggilan dan tugas perutusannya. Artinya, dari Pedro Arrupe kita bisa belajar menjadi optimistis dalam pelbagai kesulitan yang menyertai peziarahan hidupnya. Dalam semua itu, secara pribadi saya merasakan sosok Arrupe itu seperti menghadirkan St. Ignatius di masa kini dan melalui Pedro Arrupe, St. Ignatius Loyola terasa lebih dekat. “Pedro Arrupe: Ignatius Loyola yang dekat dengan kita.” Inspirasi rohani dan rasuli hidup dan kepemimpinannya seperti mengatakan, apa yang merupakan karya Roh Tuhan pada diri St. Ignatius dan Serikat pada abad-abad silam itu masih terus relevan dan berdaya untuk hidup di masa kini. Dalam doa dengan pengantaraan hamba Allah, disebutkan bahwa keutamaan Pedro Arrupe meyakinkan banyak orang, yaitu bahwa dirinya membantu dengan teladan dan inspirasinya dalam menghayati Injil dan menjadi saksi kenabian di dunia ini serta menyemangati dan menginspirasi setiap orang untuk menghayati imannya di setiap budaya, situasi sosial, politik, agama, dan menjadi manusia bagi sesamanya (Bdk. “Doa dengan pengantaraan hamba Allah Pedro Arrupe,” Postulazione Generale della Compgania di Gesù, Borgo Santo Spirito, 4 – I-00193 ROMA postolazione@sjcuria.org). Keutamaan iman demikian ini berharga layak dan mesti kita serap dan sebarkan kepada sesama. Sekadar contoh, gagasan men for others (1973) yang disampaikan pada kongres internasional para alumni sekolah-sekolah Jesuit Eropa (Valencia, 31 Juli 1973), terus menggema kuat sampai sekarang dan menginspirasi sekolah-sekolah Jesuit karena membahasakan inti panggilan Serikat. Inspirasi dan gagasan ini membahasakan karakter spiritualitas Serikat, yaitu membantu jiwa-jiwa para alumni. Beberapa waktu lalu, Rm Melkyor Pando, S.J. (2017) membuat studi bertema men for others dengan basis anak-anak SMA Kolese Loyola dan konteks zaman ini, yaitu budaya digital. Dalam studi tersebut kurang lebih disimpulkan bahwa karakter atau sisi men for others ini tetap menjadi kontribusi formatif yang sangat penting bagi anak-anak SMA Kolese Loyola zaman ini. Sudah barang tentu, dengan perspektif yang lebih luas, bahkan dapat dikatakan bahwa aspek men for others bisa menjadi alat ukur elementer kesejatian spiritualitas Ignatian. Dalam konteks sejarah Serikat, Peter-Hans Kolvenbach membuat penggambaran yang bagus dengan membaca jejak-jejak Pedro Arrupe bersama jejak- jejak St. Ignatius dan St. Yoseph Pignatelli. Dikatakan bahwa keduanya, baik Pignatelli maupun Arrupe, berada dalam masa-masa sulit dan kritis hidup Serikat. Dikatakan bahwa dengan kesabaran dan kesetiaannya, Pignatelli bertindak sebagai jembatan antara Serikat yang dibubarkan dan Serikat yang direstorasi. Sementara Arrupe, dengan keberanian dan semangatnya, melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Vatikan II bagi pembaruan hidup bakti dan pembaruan Serikat. Peter-Hans Kolvenbach menggambarkan Pignatelli dan Arrupe sebagai penerus sejati Ignatius terutama semangat dalam “mencari dan mendiskresikan apa yang Tuhan kehendaki bagi kehidupan dunia ini, tidak dalam arti yang abstrak, tetapi sangat konkret, di sini dan saat ini, di dalam kehidupan setiap pribadi, Gereja, dan dunia”

Feature

Berkunjung ke Pedalaman Papua

Pada tanggal 23 Desember 2021 yang lalu, aku berkesempatan pergi ke Waghete  untuk mengunjungi salah satu karya Jesuit di Papua. Bagiku, ini adalah kesempatan berharga karena aku dapat melihat kehidupan masyarakat atau Orang Asli Papua (OAP) yang tinggal jauh dari keramaian kota. Dalam taraf tertentu, aku sudah melihat dan mengalami kehidupan bersama OAP selama kurang lebih setengah tahun berada di Nabire. Namun, Nabire adalah kota pesisir. Di sana sudah terdapat banyak pendatang yang hidup berdampingan dengan OAP. Kondisi dan dinamika kehidupan di Nabire sudah lebih “maju” dan modern. Saat akan pergi ke Waghete, aku berharap akan berjumpa dengan corak kehidupan OAP yang berbeda daripada yang aku temui di Nabire. Perjalanan dari Nabire menuju Waghete membutuhkan waktu kurang lebih 6 jam melalui jalan darat melintasi tiga kabupaten, yaitu Nabire, Dogiyai, dan Deiyai. Waghete sendiri adalah ibukota Kabupaten Paniai. Aku berangkat ke Waghete pukul 7.00 WIT menggunakan mobil sewaan dan ditemani oleh dua orang relawan. Sepanjang perjalanan, kami menikmati pemandangan yang indah dan lebatnya hutan yang masih belum banyak terjamah. Jalanan berkelok-kelok karena kontur tanah yang berbukit-bukit. Untungnya, jalanan dari Nabire menuju Waghete sudah beraspal sehingga akses menjadi lebih mudah. Aku tidak bisa membayangkan betapa sulitnya perjalanan tanpa aspal yang membelah hutan tersebut. Setelah 2 jam perjalanan, kami singgah di Kilometer 100 untuk sarapan. Konon inilah tempat terakhir untuk dapat membeli makanan atau minuman. Empat jam perjalanan selanjutnya, sudah tidak ada lagi kios-kios atau warung makan yang tersedia sepanjang perjalanan. Salah satu hal berkesan yang aku dan teman-teman relawan alami selama perjalanan adalah terkena palang. Ketika ada babi atau anjing yang mati di jalanan, masyarakat biasanya memalang jalan untuk meminta uang kepada mobil-mobil yang lewat sepanjang jalan. Biasanya mereka akan meminta uang sebesar Rp 100.000,00. Dalam perjalanan, kami sempat terkena palang beberapa kali. Kami sempat merasa was-was. Untunglah sopir yang mengantar kami sudah berpengalaman menghadapi situasi seperti ini sehingga bisa bernegosiasi dengan masyarakat setempat. Kami sampai di Pastoran Waghete sekitar pukul 13.00 WIT. Udara dingin langsung terasa menusuk. Kami berpindah dari daerah pesisir yang panas ke pegunungan yang dingin. Aku pun harus tidur dengan menggunakan jaket dan 2 selimut di malam pertama menginap di sana. Meski demikian, aku disambut hangat oleh Rm. Adri, Fr. Wahyu, dan empat volunteer di sana. Kami diajak berkeliling pastoran dan gereja paroki serta mengenal beberapa pengurus paroki. Selain untuk menikmati jeda akhir semester, aku juga diminta untuk ikut membantu melayani dalam perayaan Natal di sana. Karena di Paroki Waghete hanya ada 1 pastor paroki, maka perayaan Natal di stasi-stasi hanya akan dipimpin oleh frater, suster, dan para gembala. Aku sendiri mendapat bagian untuk melayani di Stasi Mugouda. Stasi ini adalah stasi yang paling dekat dengan gereja paroki, namun akses menuju stasi ini hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Untuk menuju ke stasi ini, aku dan teman-teman relawan harus menaiki bukit yang cukup curam dan terjal.  Perayaan Natal di Stasi Mugouda dirayakan dengan sederhana. Hal yang menarik adalah beberapa umat mempertahankan kebiasaan untuk menggunakan pakaian adat setempat. Bacaan-bacaan, lagu, dan kotbah pun disampaikan dengan Bahasa Mee. Ketika pertama kali mendengar paduan suara mereka, aku sangat kagum pada keindahan paduan suara mereka. Untuk kotbah, aku pun perlu didampingi oleh penerjemah. Pengalaman memimpin ibadat bersama orang asli tersebut sungguh menjadi pengalaman yang unik dan berharga. Setelah ibadat perayaan Natal selesai, masyarakat biasanya berkumpul untuk acara bakar batu. Mereka menimbun beberapa ekor babi yang telah dipotong-potong dan sayur-sayuran bersama dengan batu yang sudah dibakar terlebih dahulu, tanpa bumbu tambahan. Selain melayani perayaan Natal, kesempatan pergi ke Waghete ini juga menjadi kesempatan untuk mengunjungi beberapa rumah siswa-siswi SMA Adhi Luhur yang berasal dari sekitar sana. Tidak semuanya bisa kami kunjungi karena ada beberapa anak yang rumahnya sangat jauh di perbukitan dan tidak bisa ditempuh dengan kendaraan. Kami hanya berhasil mengunjungi siswa-siswi yang rumahnya ada di sekitar Paroki Waghete saja. Akan tetapi, suatu hari ketika kami sedang berjalan-jalan ke pasar di tepi Danau Paniai, secara tidak sengaja kami justru bertemu dengan beberapa siswa SMA Adhi Luhur yang sedang nongkrong di pasar. Awalnya kami hendak mengunjungi rumah mereka, tetapi jaraknya amat jauh. Untuk mencapai rumah mereka, kami harus menyeberangi danau dengan perahu motor. Kami pun mengurungkan niat kami. Selain untuk jalan-jalan, ternyata mereka pergi ke pasar untuk mengisi daya HP karena di tempat tinggal mereka belum ada listrik. Pada 29 Desember 2021, kami mengakhiri petualangan kami di Waghete. Kami kembali ke Nabire dengan menggunakan pesawat karena lebih murah dan waktu tempuh yang lebih singkat. Pesawat yang kami naiki adalah Cessna Caravan. Aku sempat merasa was-was apakah pesawat kecil ini bisa mengangkut kami beserta penumpang-penumpang lain. Dari dalam pesawat, aku bisa menikmati pemandangan pedalaman Papua yang begitu indah. Aku sempat melihat pemandangan yang tampaknya seperti penambangan emas milik warga lokal. Dari ketinggian langit, kami sungguh disuguhi keindahan dan kekayaan Tanah Papua. Kami mendarat dengan selamat di Nabire dan segera disambut oleh panasnya terik matahari daerah pesisir. Aku bersyukur dapat menyaksikan dan berjumpa dengan masyarakat Papua di Waghete Dari perjalanan singkat ini, aku seperti diingatkan kembali tentang salah satu Preferensi Kerasulan Universal, khususnya berjalan bersama mereka yang tersingkir. Problematika kompleks yang melingkupi Tanah Papua membuat masyarakat di tempat seperti Waghete, dalam hal ini Suku Mee, harus berjuang untuk tetap hidup di tengah gempuran kebudayaan lain, kencangnya laju pembangunan, dan derasnya arus informasi, dan tuntutan modernitas di zaman ini. Preferensi Kerasulan Universal mengingatkanku bahwa kepada atau untuk merekalah pandangan dan hati Serikat seharusnya tetap tertuju. Koyao! Kontributor: Frater Arnold Lintang Yanviero, SJ Dokumentasi: Pribadi