Berkunjung ke Xavier School San Juan dan Nuvali di Filipina merupakan momen yang sangat berharga bagi saya dan rekan-rekan yang mengikuti program live in di Filipina. Perjalanan ini awalnya terasa cukup menegangkan. Akan tetapi justru memberi banyak pengalaman yang mengesan. Keramahan, kelincahan, dan semangat muda dapat saya rasakan begitu tiba di dua sekolah Xavier ini.
Rekan-rekan di Xavier, baik yang di Nuvali maupun San Juan, dengan keramahannya, terbuka menerima kami. Sejak awal, saya merasakan cinta sebagai keluarga baru. Direksi, guru, karyawan, hingga siswa senang dengan kehadiran kami di sana. Bahkan, kepala sekolah dari dua sekolah ini, sengaja mengenakan batik sebagai bentuk apresiasi bagi kami. Mereka tampak antusias dengan cerita kami tentang Indonesia, Yogyakarta, dan terutama tentang de Britto. Begitu pula ketika mereka mengenalkan kebiasaan dan program-program yang dilakukan sekolah dalam mendampingi para siswa. Keramahan para guru di sana juga dikerahkan dengan sepenuh hati. Ada salah satu guru yang makan bersama kami bercerita tentang hal-hal yang dia ketahui tentang Indonesia tentang politik dan prestasi Presiden Indonesia. Bahkan kami juga sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama. Ada pula seorang siswa yang merupakan putra salah satu guru di Nuvali, yang ternyata belajar Bahasa Indonesia agar bisa berkomunikasi dengan kami.
Perwujudan cinta juga begitu kentara dalam proses belajar sehari-hari di sekolah. Sejak hari pertama sekolah, guru membiasakan diri untuk menjemput para siswa kelas kecil di depan pintu gerbang. Tidak jarang ada siswa TK yang menangis ketika ditinggal orang tua tetapi para guru bahkan pimpinan di TK dengan sabar berusaha menenangkan dan mengajak anak tersebut untuk mau belajar di kelas. Ruang – ruang kelas, baik ruang kelas untuk TK hingga SMA, didesain oleh para wali kelas sesuai dengan kebutuhan para siswa di setiap angkatannya. Hal ini bertujuan untuk membuat siswa merasa lebih nyaman dalam belajar di kelas. Penyediaan sarana belajar dan ruang–ruang lain juga menunjukkan cinta sekolah pada para siswa. Salah satunya adalah perpustakaan untuk masing-masing tingkat. Desain setiap perpustakaan dan buku–buku yang disediakan juga berbeda untuk tiap angkatan, bahkan aplikasi atau alat pencarian buku pun didesain dengan tampilan yang ramah anak khususnya di perpustakaan tingkat dasar. Selain itu, gymnasium dan sarana olahraga lain, seperti stadion bola basket, lapangan bola yang luas, kolam renang berstandar atlit, dibangun untuk mendukung siswa yang memiliki kemampuan khusus di tiap olahraga tersebut. Selalu ada program pengamanan ataupun alat yang bisa mengamankan siswa dari cedera, antara lain dengan adanya sistem lifeguard di kolam renang, adanya bantalan pengaman di setiap sudut gymnasium. Sensor kebakaran, alat pemadam, dan alat penyelamatan dari kebakaran juga disiapkan dengan baik.
Di setiap bangunan dan ruang yang ada di dua sekolah ini selalu mempunyai namanya masing-masing. Umumnya nama ini diambil dari nama seseorang atau keluarga yang menjadi donatur atas bangunan atau ruang–ruang tersebut. Kesediaan keluarga atau alumni menjadi donatur dalam membangun sekolah dan memberi beasiswa bagi siswa tidak mampu merupakan buah dari pengalaman para alumni maupun keluarganya yang merasakan cinta dari sekolah mereka.
Keteladanan dari para pendidik juga menjadi kerja keras mereka. Misalnya, para guru kelas dan asistennya mengajak para siswa kelas kecil (TK dan primary grade level) untuk berjalan berkeliling sekolah melalui sisi kanan jalan dan dengan tertib tanpa banyak bicara. Proses pembiasaan ini membentuk pribadi para siswa ketika berada di tingkat lebih tinggi. Tanpa perlu banyak instruksi dari para guru, para murid sudah menjalankannya karena sudah terbiasa menghidupi. Keteladanan juga ditunjukkan sekolah dengan mengenalkan values sekolah kepada para siswa melalui tulisan atau gambar atau media lain yang banyak dihadirkan hampir di setiap sudut dan dinding sekolah. Bahkan, ada juga di anak tangga yang dilalui siswa setiap harinya, dan dihadirkan pada setiap misa sekolah.
Dari berbagai pengalaman berinteraksi dengan warga sekolah Xavier dan melihat sarana yang disiapkan sekolah untuk para siswa, saya melihat cinta sekolah yang diwujudkan dalam kepedulian para guru, karyawan, bahkan alumni atau keluarganya kepada para siswa. Kepedulian ditunjukkan secara langsung melalui keteladanan dan bukan hanya kata–kata hingga akhirnya menjadi kebiasaan. Cinta, kepedulian, dan keteladanan yang dibangun oleh warga sekolah Xavier, sepertinya tidak lepas dari teladan para tokoh Jesuit pendiri sekolah ini. Cinta yang dulu dirasakan oleh guru atau karyawan senior, ditularkan pada para juniornya, termasuk pada para siswa melalui berbagai sarana yang dibangun di sekolah, seperti dibangunnya patung beberapa tokoh pendiri sekolah yang diletakkan di beberapa area sekolah dan juga adanya gambar atau poster para tokoh tersebut di beberapa bagian dinding sekolah. Bahkan ada tempat sembahyang khusus bagi para tokoh ini di salah satu sudut sekolah. Hal inilah yang menurut saya bisa membangun keramahan, kelincahan, dan semangat muda yang ada dalam jiwa hampir semua warga sekolah ini. Saya rasa, semangat Santo Ignatius Loyola yang mengungkapkan bahwa “Bagi mereka yang mencintai, tidak ada yang terlalu sulit, terutama ketika itu dilakukan untuk cinta Tuhan kita Yesus Kristus”, dilakukan dan dihayati sungguh oleh guru dan karyawan sekolah Xavier dalam mendampingi para siswa dengan penuh energi meskipun dihadapkan pada banyak tantangan, salah satunya adalah kelas hybrid yang pada tahun ajaran baru ini sedang dimulai oleh seluruh warga di sekolah Xavier.
Bagi mereka yang mencintai, tidak ada yang terlalu sulit, terutama ketika itu dilakukan untuk cinta Tuhan kita Yesus Kristus.
Ignatius Loyola
Kontributor: Antonita Ardian Nugraheni – Guru SMA Kolese de Britto