Ada banyak alasan untuk memilih pergi ketimbang menetap di pulau-pulau kecil di tepi Samudera Pasifik, apalagi di masa pandemi yang serba terbatas ini. Alasan pertama soal keterpencilan geografis. Wilayah yang disebut Micronesia (gugusan pulau berukuran mikro) membentang cukup luas, dari Palau di sisi Barat sampai Kiribati di Timur, dan terbagi ke dalam empat zona waktu. Lebih dari sembilan puluh persen luas wilayahnya adalah lautan dan jarak antar pulau amat jauh. Pada situasi non-pandemi, persoalan jarak tidak terlalu membebani karena ada penerbangan rutin yang menunjang mobilitas. Akan tetapi, sejak Covid-19 merebak, negara-negara di Micronesia menutup akses masuk dari negara lain. SMA Xavier pun memulangkan semua siswa, volunteers, termasuk para Jesuit pada Maret 2020- juga karena alasan kekeringan di pulau Weno, Chuuk. Kegiatan belajar mengajar di tahun 2019-2020 hanya terbatas bagi para siswa asal Chuuk dengan dibantu oleh tenaga pengajar lokal. Kini, akses antar pulau sudah mulai dibuka tetapi sarana transportasi masih sangat jarang- kira-kira satu bulan hanya satu penerbangan saja. Kondisi pandemi memperkuat kembali kenyataan bahwa keterpencilan geografis Micronesia memang menantang dan menyulitkan.
Alasan kedua adalah kebergantungan ekonomi. Walau memiliki potensi turisme yang besar, penduduk Micronesia jauh dari sejahtera. Lebih dari empat puluh persen warganya hidup di bawah garis kemiskinan. Siapa pun yang datang ke pulau Chuuk dapat merasakan betapa terbengkalainya pulau ini. Mobil-mobil rusak dibiarkan di tepi pantai, bersama dengan sampah kaleng yang berserakan tak keruan. Di sepanjang jalan utama (yang penuh lubang) di pulau ini, banyak rumah berdinding seng, bersebelahan dengan kandang babi yang sering dibiarkan terbuka. Juga tidak ada satupun lahan pertanian atau peternakan, tanda bahwa suplai bahan pokok sepenuhnya bergantung dari impor. SMA Xavier pun sangat bergantung dari donasi Serikat Jesus Provinsi USA North East yang menanggung lebih dari dua pertiga biaya pendidikan.
Alasan terakhir, ancaman lingkungan dan migrasi penduduk. Dampak krisis ekologis amat terasa di pulau kecil ini. Setiap tahun air laut semakin tinggi mendekati jalan utama dan bukan tidak mungkin puluhan tahun ke depan pulau ini akan ditinggalkan. Jangankan di masa depan, gejala perpindahan penduduk sudah menjadi pola umum. Dalam periode 2007-2012 saja, ada pengurangan penduduk sebanyak 2.100 orang (2,05 persen dari total penduduk) per tahun akibat migrasi keluar dari Federated States of Micronesia (FSM). Angka migrasi ini tidak akan menurun sejauh masalah ekonomi dan lapangan pekerjaan tidak kunjung membaik di FSM. Bagi para siswa SMA Xavier pun, orientasi masa depan mereka adalah pergi ke Amerika Serikat (AS) untuk studi dan bekerja.
Melihat berbagai alasan itu, banyak pertanyaan muncul. Untuk apa Jesuit datang kembali dan melanjutkan karya di tengah Pasifik? Untuk apa merawat orang-orang yang akan pergi meninggalkan pulau mereka sendiri? Untuk apa menyisihkan banyak energi dan materi bagi karya di sudut dunia ini? Semakin saya bertanya, semakin saya sadar bahwa pertanyaan-pertanyaan itu datang dari kalkulasi untung-rugi, dari suatu cara berpikir yang sama sekali lain dari semangat misi. Pusat misi adalah kasih kepada mereka yang butuh untuk dilayani, bukan semata-mata demi keuntungan. Semangat ini pula yang mendasari Ignatius untuk memberi prioritas pada “bagian kebun anggur yang lebih membutuhkan, baik karena kekurangan pekerja maupun karena keadaan sulit dan lemah dari orang-orang di tempat itu.” (Konstitusi Pars. VII, [622]). Jesuit memilih untuk tinggal, mencintai, dan menyiapkan masa depan anak-anak Micronesia.
Mencicipi Tantangan menjadi Misionaris
Sejak awal tahun ajaran 2020-2021, saya ditugaskan untuk menjalani Tahun Orientasi Kerasulan (TOK) di SMA Xavier, Chuuk, Micronesia. Ada banyak kendala dalam proses kedatangan saya ke tempat ini, mulai dari kesulitan mencari tiket pesawat sampai jadwal keberangkatan yang sangat tidak pasti. Pada 20 Agustus 2021 saya mulai menempati rumah Jesuit di Guam sembari menunggu jadwal karantina dan keberangkatan ke Chuuk. Di sana saya ditemani oleh Pater Charles Sim, S.J. (MAS) asal Singapura yang sama-sama akan bekerja di SMA Xavier. Walau saya sudah mulai mengajar melalui media Google Classroom, tinggal di Guam masih terasa seperti berlibur. Jalan raya teraspal rata serta banyak situs sejarah dan pantai yang bisa dikunjungi (maklum Guam termasuk teritori AS). Saya pun menyempatkan waktu keliling pulau itu untuk singgah di beberapa gereja tua yang dibangun oleh para Jesuit Spanyol, termasuk Beato Diego San Vitores. Guam adalah satu karya awal misi Jesuit di Micronesia.
Saya dan P Charles pada awalnya hanya akan singgah selama dua minggu di Guam. Namun, akhirnya kami tinggal di sana selama satu setengah bulan. Untungnya ada beberapa Jesuit senior yang sering menemani untuk makan bersama atau sekadar duduk, ngobrol, dan minum bir. Pada 26 September saya mulai masuk karantina di Guam selama 10 hari kemudian lanjut karantina kedua selama 7 hari di Pohnpei, salah satu negara bagian FSM. Mengenai fasilitas karantina, kami beruntung bisa mendapatkan fasilitas yang sangat layak dan gratis, apalagi disertakan ke dalam penerbangan repatriasi (penduduk FSM yang telah menunggu lama untuk pulang). Pasca karantina kami sempat tinggal selama lima hari di paroki Jesuit di Pohnpei sebelum berangkat dengan pesawat kecil berkapasitas 18 orang. Akhirnya saya mendarat di Chuuk pada 18 Oktober 2021, disambut dengan pemandangan alam yang indah dan nyanyian selamat datang dari para murid. Pengalaman yang berkesan di tengah situasi yang serba tidak menentu.
Sekilas tentang kondisi SMA Xavier di tengah pandemi saat ini, jumlah murid 93 orang, setengah dari jumlah biasa. Jumlah tenaga pengajar utama hanya 8 orang, itu artinya satu guru bisa mengajar 3-4 mata pelajaran berbeda. Ada tiga pastor Jesuit yang bekerja di sini, semuanya personel baru. P Thomas Kenny, S.J. sebagai presiden/direktur, P Matthew Cassidy, S.J. sebagai pengajar sejarah dan P Charles sebagai konselor sekolah. Saya sebagai TOK-er mengajar agama untuk tiga angkatan dan mendampingi Campus Ministry. Dalam beberapa kesempatan sharing, saya kerap kali mendengar kejujuran para Jesuit di sini, khususnya tentang perutusan ke Micronesia yang jauh dari harapan mereka. Ada yang merasa perutusan ini tidak sesuai dengan studinya, ada pula yang berjuang mengatasi perasaan terisolasi. Berbagai kesulitan itu tidak menghentikan kami untuk bersama-sama belajar beradaptasi, mencoba mengatasi perasaan terasing, dan mencari cara yang paling baik untuk berkarya.
Saya beruntung bisa mencicipi sedikit tantangan dalam bermisi, di situasi yang serba tidak menentu dan banyak kekurangan. Tentu ini tidak sebanding dengan pengalaman para misionaris Spanyol yang membuka jalan Kristianitas, atau para misionaris lain yang bekerja di pedalaman. Namun, ada perasaan sepenanggungan yang mulai tumbuh sebagai Jesuit- yang selalu dipanggil untuk pergi dan menjangkau sudut-sudut kebun anggur milik-Nya. Kiranya perasaan ini bisa menjadi modal penting untuk mengatakan bahwa pilihan Jesuit untuk tinggal di tanah misi tidak pernah sia-sia. Ada kebahagiaan yang timbul saat melihat para murid bisa mulai berefleksi, belajar berdiskresi, dan membangun habit belajar. Ada perasaan gembira yang muncul ketika mendengar karyawan bersyukur karena kedatangan Jesuit kembali ke tempat ini. Dan akhirnya, ada kebahagiaan bisa menjawab “Ya!” pada undangan Allah untuk melayani di tepi laut Pasifik.
Kontributor : Benicdiktus Juliar Elmawan, S.J.